Sofi baru akan masuk ke kelas ketika dia melihat Stela berjalan tergopoh mendekatinya. Dia cuek saja awalnya. Stela tak mungkin datang untuk menemuinya, jadi, dia terus melangkahkan kaki ke dalam kelas. Namun akhirnya langkahnya terhenti juga saat dia merasakan ada seseorang menarik pergelangan tangannya. Ketika membalikkan badan, dia mendapati Stela sedang berdiri di depannya. Gadis itu tampak canggung. Entah apa yang ingin dia sampaikan.
“Kenapa, Kak? Ada yang perlu Kak Stela tanyain lagi soal yang kemaren?” tanya Sofi penasaran.
“Nggak ... cuma ada sedikit yang perlu gue omongin. Tapi kita jangan ngobrol di sini, ya, di aula aja?” balas Stela.
Sebenarnya Sofi merasa ada keanehan dari sikap Stela. Dia tak pernah membayangkan Stela datang menemuinya seperti ini karena memang sangat mustahil terjadi. Ya, kalaupun memang terjadi, Stela mungkin akan melabraknya, bukannya berbicara baik-baik seperti sekarang. Dalam kediamannya selama beberapa detik ketika sedang memikirkan untuk mengiyakan atau menolak ajakan Stela, rasa khawatir mulai menyelinap dalam diri Sofi. Dia takut Stela nekat menyakitinya. Bukan tak mungkin, kan, gadis itu masih menyimpan rasa benci padanya? Namun karena selama ini tak pernah ada kejadian yang seperti itu, akhirnya Sofi mencoba meyakinkan diri kalau tak akan terjadi apa-apa. Dengan lemah akhirnya dia mengangguk lalu mengekor di belakang Stela.
“Kenapa, Kak? Mau ngomong apa?” tanya Sofi saat langkah mereka terhenti di dalam aula.
Stela tak langsug menjawab pertanyaan Sofi. Matanya menatap Sofi sambil melemparkan senyum canggung. Baru setelah menghembuskan napas beberapa kali gadis itu mulai berbicara. “Gue ... mau minta maaf, Sof,” katanya pelan. Dia memandang wajah Sofi penuh harap.
“Maaf buat apa?” tanya Sofi. Baginya, Stela tak perlu meminta maaf kalau soal Kevin. Toh, sekarang dia sudah bukan pacar Kevin lagi. Lagi pula dia bisa mengerti bagaimana perasaan Stela. Sebagai seorang mantan kekasih, wajar kalau gadis itu merasa sakit hati saat mengetahui Kevin menjalin hubungan asmara lagi dengan gadis lain.
“Sebenernya yang upload foto lo ke Facebook itu gue?” kata Stela. Raut wajahnya menampakkan rasa bersalah dan penyesalan, membuat Sofi yakin kalau Stela sedang tidak berbohong.
“Gimana caranya? Jelas-jelas saya lihat foto itu di-posting akun Kak Kevin,” kata Sofi heran.
“Waktu itu gue nggak sengaja liat Kevin pandangin foto lo pas nyamperin dia ke kelasnya. Seketika itu juga ide jahil gue muncul. Gue rebut hape Kevin dan gue posting foto itu di akun Facebook dia,” jelas Stela hati-hati.
Sofi mengerutkan keningnya. Masih tak mengerti dengan penjelasan Stela. Kalau benar Stela melakukan itu, harusnya Kevin marah. Tapi waktu itu Sofi malah melihat mereka bertatapan mesra.
“Lo pasti lihat, kan, waktu itu Kevin mojokin gue ke tembok sambil menatap mata gue tajem? Waktu itu gue baru aja selesai adu bacot sama dia. Dia marah ke gue karena sudah seenaknya sebarin foto lo, tapi gue malah ngebantah dan bilang kalo lo itu cewek nggak baik. Gue nggak tahu apa yang bakal Kevin lakuin ke gue, mungkin dia bakal cekik gue kalau seandainya waktu itu lo nggak dateng.” Mata Stela mulai berkaca-kaca ketika mengatakan kalimat itu. Sementara itu Sofi masih terus mendengarkan dengan seksama.
“Gue sempet merasa benci ke lo karena lo bisa dapetin hati Kevin dengan mudah, bahkan tanpa harus ngerayu dan kecentilan kayak cewek yang lain. Gue juga kesel karena waktu kalian jadian, gue dengernya dari temen gue. Gue ngerasa telat dapet berita. Gue ngerasa seperti pecundang yang nggak tahu apa-apa tentang Kevin,” kata Stela lagi. Air matanya sudah jatuh di pipi sekarang. Gadis itu tak peduli apa pun yang Sofi pikirkan tentangnya karena memang itulah yang dia rasakan.
“Setelah lo bantu gue kemarin, gue sadar kebencian gue ke lo itu sama sekali nggak penting. Semalaman gue susah tidur karena dihantui rasa bersalah.” Stela mengusap air matanya dengan jari-jari tangan sebelum melanjutkan lagi kalimatnya. “Gue sadar kebencian Kevin ke gue itu karena kesalahan yang gue perbuat sendiri. Dan lo cewek baik, Sof. Gue nggak pantes benci sama lo. Lo tahu nggak, dari semua cewek yang suka sama Kevin, kebanyakan mereka itu pasti musuhin gue, tapi lo enggak. Gue mita maaf, Sof. Gue minta maaf,” ujar Stela. Tangisnya semakin parah. Dia sadar kalau kebenciannya selama ini tak ada artinya. Api kebencian yang dia keluarkan justru membakar dirinya sendiri.
Awalnya Sofi merasa sakit hati saat mengetahui fakta yang Stela ceritakan. Namun akhirnya dia tak tega juga saat melihat Stela menangis. Matanya mengisyaratkan ketulusan. Gadis itu benar-benar menyesal sepertinya. Maka setelah mengangguk dan tersenyum, Sofi segera memeluk Stela.
Setelah melepaskan pelukan, mereka berdua saling tersenyum canggung. “Kita balik ke kelas lo, yuk!” kata Stela, mencoba memecahkan kecanggungan yang tercipta. Gadis itu menggandeng tangan Sofi lalu mengajaknya berjalan keluar aula.
“Ngapain? Kak Stela nggak kembali ke kelas apa?” tanya Sofi ketika langkah mereka melewati pintu aula.
Stela menghentikan langkahnya sejenak sebelum akhirnya menjelaskan semua pada Sofi. “Gue udah tahu gimana hubungan lo sama Jessie sejak foto lo sama Edo kesebar di sosmed. Kemaren sepulang sekolah gue ketemu Edo. Gue paksa dia buat ngaku apa yang sebenarnya terjadi dan dia mau ngaku. Sekarang gue mau lo jelasin semuanya ke Jessie biar hubungan kalian bisa baik lagi,” kata Stela sambil tersenyum tulus.
Setibanya di kelas, Sofi melangkahkan kakinya ragu-ragu. Jessie sedang duduk di kursinya. Saat melihat Sofi, gadis itu mulai menampakkan wajah masamn seperti yang selalu dia tampakkan beberapa hari belakangan ini.
“Ta ... tapi, Kak,” Sofi menoleh pada Stela. Keraguan semakin jelas terpancar di wajahnya.
Menyadari keraguan Sofi itu, Stela lantas berjalan mendekati Jessie. Sofi terus memperhatikan ketika Stela mendekatkan wajahnya pada Jessie. Entah apa yang gadis itu katakan. Yang pasti akhirnya Jessie mau berjalan mendekat pada Sofi, meski masih dengan memasang tampang masam.
“Mau ngomong apa lo?” tanya Jessie jutek ketika langkahnya telah terhenti di depan Sofi.
“Jes, gue mau jelasin kalau kejadian Edo sama gue itu nggak seperti yang lo lihat di foto,” kata Sofi pelan. Gadis itu berbicara sambil terus memperhatikan raut wajah Jessie. “Waktu itu pas gue jalan di koridor, tiba-tiba aja Edo dateng dan tanya hubungan gue sama Kevin. gue jelasin, dong, semuanya ke dia kalau gue sama Kevin beneran udah putus. Gue juga ceritain tentang kalimat nggak enak yang diucapin Kevin waktu di UKS.” Sofi melirik Stela ketika mengucapkan kalimatnya itu. Seolah mengerti apa yang Sofi maksud, Stela tersenyum seraya mengangkat bahu. “Edo bilang Kevin emang suka mainin perasaan cewek. Denger itu, gue yang sudah kebawa perasaan seketika nangis. Tiba-tiba aja Edo ngedeketin wajahnya dan ngusap air mata gue. Mungkin waktu itu Kevin ambil fotonya dari belakang,” lanjut Sofi ketika matanya tertuju pada Jessie lagi.
Jessie terdiam mendengar penjelasan Sofi. Tatapan matanya tertuju ke lantai selama beberapa detik. Selama itu Sofi harap-harap cemas. Dia tak tahu apakah akan ada maaf dari Jessie untuknya atau tidak. Akhirnya sedikit harapan Sofi muncul saat melihat Jessie mengangkat wajah. Raut masam gadis itu perlahan memudar.
“Lo mau kan maafin gue, Jes? Please!” kata Sofi sambil meraih kedua pergelangan tangan Jessie.
Jessie kenal betul bagaimana Sofi. Sebenarnya dari awal juga dia tak yakin kalau Sofi sengaja berciuman dengan Edo. Kalau memang mereka benar berciuman, pastilah Edo yang memaksakan kehendak. Kemarahannya pada Sofi muncul hanya karena dia ingin sahabatnya itu merasakan rasa bersalah. Mungkin itu terdengar kekanakan sekali! Namun, semua itu sudah tak penting lagi sekarang. Dia bisa saja mendapatkan cowok lain yang lebih baik dari Edo suatu hari nanti, tapi sahabat sebaik Sofi belum tentu mampu dia temui lagi di lain waktu. Maka sebuah senyuman dia tampakkan untuk membuat Sofi lega. “Lo lucu kalo lagi memohon gitu,” katanya sambil tertawa jenaka.
“Jadi gue dimaafin?” tanya Sofi memastikan.
Jessie mengangguk. Tanpa ragu lagi Sofi segera memeluk sahabatnya itu. Pelukan itu memudarkan segala kebencian yang sempat bersemayam di hati Jessie. Pelukan itu meleburkan batas yang sempat sengaja Jessie ciptakan. Di samping mereka, Stela, yang masih setia berdiri menunggu, ikut tersenyum melihat apa yang terjadi di depan matanya.
***
Kevin memandangi foto keluarga yang ada di lantai gudang. Cowok itu sedang menaruh beberapa barang bekas yang baru saja dia bereskan. Sejak Alice berada di rumah sakit, rumahnya jadi kurang terawat karena Mona dan Bik Tini bergantian menjaga adiknya itu. Jadi, Kevin sengaja membereskan dan merapikan beberapa barang yang semrawut dan meletakkannya di gudang. Ketika akan berjalan keluar gudang, langkahnya terhenti karena melihat foto itu.
Ketika foto itu diambil, Kevin masih berusia dua belas tahun dan sedang duduk di bangku kelas tujuh. Sementara Alice waktu itu masih kelas dua sekolah dasar. Di foto itu Radit berdiri di samping Kevin. Pria itu tampak gagah dengan jas dan kemeja berwarna hitam. Kevin juga kelihatan hampir sama gagahnya dengan Radit. Dia mengenakan jas yang warna dan modelnya sama persis dengan yang ayahnya kenakan. Di depan dua laki-laki yang sedang berdiri itu ada Mona. Wanita itu sedang duduk di sebuah kursi. Di tubuhnya melekat sebuah gaun berwarna merah jambu. Di pangkuan Mona ada Alice. Gadis kecil itu mengunakan gaun yang warna dan bentuknnya sama persis dengan yang Mona pakai. Dalam foto itu, mereka berempat tersenyum cerah ke arah kamera. Awalnya foto itu terpajang di tembok ruang tamu, Kevin yang memindahkannya ke gudang sejak Radit mulai sering kasar pada Mina. Dia malas kalau harus melihat wajah Radit setiap kali masuk ke dalam rumah.
Sebenarnya Kevin sangat merindukan sosok Radit yang hangat dan penuh kasih sayang. Bukan Radit yang kasar dan pemarah seperti sekarang. Dulu Radit hanya suka marah kalau Kevin melakukan kesalahan yang fatal. Waktu kecil Kevin pernah dimarahi karena mengambil buah mangga tetangga yang rantingnya menjulang ke halaman rumahnya. Dia juga pernah dimarahi karena berkelahi dengan anak tetangganya hingga anak tetangganya itu giginya tanggal satu. Berbeda dengan sekarang. Radit begitu mudah marah padahal Kevin tak melakukan kesalahan apa pun.
Dulu, Kevin begitu mengidolakan ayahnya. Baginya Radit adalah sosok ayah teladan yang sangat menyayangi kedua anaknya. Kevin masih ingat bagaimana pertama kali dia dibuat takjub oleh perlakuan Radit saat menasehati Alice. Waktu itu, Kevin masih duduk di bangku kelas enam dan Alice kelas satu sekolah dasar. Suatu sore Kevin sedang bermain bola dengan Radit di pekarangan rumahnya. Saat mereka sedang asyik bermain, tiba-tiba saja Alice muncul dari dalam rumah dan ikut bergabung. Radit yang sudah kelelahan akhirnya beristirahat. Pria itu duduk di atas rumput dan membiarkan Alice bermain dengan Kevin. Kevin yang tadinya memainkan bola dengan kaki, berganti memainkan bola dengan tangan saat berhadapan dengan Alice.
“Tangkap bolannya, Dek!” kata Kevin saat melakukan lemparan pertamanya ke Alice.
Sambil tertawa-tawa, Alice menangkap bola hasil lemparan Kevin. Bola itu ternyata tak berhasil ditangkap Alice dan meleset jauh hingga mendekati pagar. Ketika Alice akan mendekat, bola itu mengenai pagar dan memantul ke kepalanya. Hal itu otomatis membuat Alice—yang merasakan sakit—menangis. Melihat itu, refleks Radit segera berlari mendekati anak gadisnya. Dia berjalan sambil menggendong Alice kemudian berhenti di tempatnya duduk tadi.
“Kak Kevin nggak sengaja, Dek. Udah dong nangisnya,” katanya sambil mengusap air mata yang membasahi pipi Alice.
“Tapi sakit, Pa,” rengek Alice sambil memegangi keningnya yang terkena bola.
“Mana ... mana coba, fiuhh!” kata Radit sambil mengusap lalu meniup kening Alice. Alice kemudian tertawa dalam tangis karena ulah Radit. “Udah, ya, nangisnya, nanti juga hilang,” lanjut Radit. Pria itu kemudian mengecup kening Alice.
“Kenapa sih Papa nggak bolehin Alice nangis?” tanya Alice polos setelah Radit mengusap pipinya yang basah.
Radit tertawa sesaat sebelum akhirnya menjawab, “Boleh nangis, tapi jangan terus-terusan. Karena Alice itu wonder woman Papa. Dan wonder woman Papa nggak boleh cengeng, oke!”
Senyum Alice muncul setelah itu. Radit lantas mengecup pipi juga kening Alice berulang-ulang. Melihat kedekatan mereka, Kevin bukannya merasa iri atau bagaimana. Dia justru bangga dengan Radit. Di balik sosok kerasnya ayahnya itu memiliki sifat lembut dan penyayang pada anak-anaknya. Dia ingin jadi seperti ayahnya kelak jika tumbuh menjadi pria dewasa.
Sekarang keinginan itu Kevin hapuskan dari dalam hatinya. Baginya Radit bukanlah sosok ayah yang baik.
Kevin melangkahkan kakinya dengan cepat keluar gudang saat mendengar suara klakson samar-samar. Ketika berada di ruang tamu, Kevin melihat mobil Dion dan Ferro dari balik jendela kaca rumahnya.
“Ngapain, sih, mereka sore-sore gini berisik banget,” gerutunya ketika membuka pintu rumah.
Kevin membuka gerbang rumahnya dan membiarkan dua mobil temannya masuk ke pekarangan rumahnya.
“Gue bawa kabar gembira buat lo, Hawk!” Ferro yang pertama turun dari mobilnya. Dia berjalan mendekati Kevin dengan sangat bersemangat.
“Kabar gembira apaan?”
Ferro menolehkan kepalanya pada Dion yang sudah berdiri di sampingnya. Dengan tampang cerah Dion mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya lalu diberikannya kertas itu pada Kevin. Senyum Kevin terbit setelah membaca isi kertas itu.
Kertas itu berisi tentang pengumuman lomba balapan. Dan hadiah yang diberikan begitu menjanjikan. Lima puluh juta rupiah untuk pemenang pertama. Jumlah itu bisa sangat berguna untuk membantu biaya perawatan Alice di rumah sakit.
“Juara satunya lima puluh, juara duanya tiga puluh, dan juara tiganya sepuluh. Kalo kita bertiga ikut dan menang semua, total yang kita dapetin delapan puluh. Cukup banget buat biaya rumah sakit Alice, Hawk,” kata Ferro saat telah duduk di kursi ruang tamu rumah Kevin.
“Lo masih berharap kayak gitu aja,” balas Kevin sambil tertawa-tawa.
“Yang namanya ngayal itu emang harus yang paling nggak mungkin sekalian. Ngapain juga capek-capek ngayal kalo masih mungkin terjadi di dunia nyata,” bantah Ferro sambil merapikan poninya melalui kamera depan ponsel.
“Eh, Hawk, ngomong-ngomong foto Sofi sama Edo itu gimana ceritanya sih, kok bisa kayak gitu?” tanya Dion, mengalihkan pembicaraan. Suaranya terdengar agak pelan, seolah takut kalau dia akan menyinggung perasaan Kevin.
“Nggak tahu,” jawab Kevin asal. Tampangnya berubah masam.
“Ya, lo juga sih! Kenapa pas lo jadian nggak lo sikat duluan si Sofi. Sekarag giliran udah disosor Edo aja lo jeles,” kata Dion. Cowok itu bukan asal menebak. Dia bisa merasakan kalau Kevin memang menyimpan rasa cemburu yang tersirat dalam tampang muramnya.
“Dari mana lo tahu kalo gue jeles? Lagian juga gue udah putus sama dia. Jadi mau Sofi ngapain aja sama siapa saja, ya terserah dia.”
Ferro yang dari tadi merapikan poninya ikut angkat bicara mendengar bantahan Kevin. Menurutnya tebakan Dion benar. Kevin tak akan berubah masam begitu wajahnya kalau memang tak cemburu dan tak lagi mempunyai rasa untuk Sofi. “Lo tahu nggak, Hawk, rasa yang tertinggal itu lebih nggak enak dari rasa pahit atau pedes. Jadi kalo misalnya lo masih suka sama Sofi mendingan lo bilang aja ke dia sebelum beneran dibabat sama Edo dan sebelum lo kurus mendadak gara-gara nahan rasa yang tertinggal.”
Dion terbahak mendengar pidato pendek Ferro itu. Sementara itu Kevin justru merenung. Kalimat Ferro itu seratus persen benar. Namun, sudah tak mungkin lagi bagi Kevin untuk memaksakan kehendak. Kalau sekarang hatinya terluka, dia yakin waktu yang akan membuat luka itu sembuh dengan sendirinya, seperti dulu saat Stela menyakitinya. Perjalanan hidupnya masih panjang. Kalau bukan Sofi tempatnya berhenti, dia yakin akan bertemu dengan gadis lain kelak
si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
Comment on chapter Prologberkunjung balikke ceritaku ya.