Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ich Liebe Dich
MENU
About Us  


   Hampir seminggu lamanya Sofi tak saling bicara dengan Jessie. Kecanggungan menyelimuti keduanya selama berada di dalam kelas. Mereka duduk sebangku, tapi seperti orang yang tak saling kenal. Kenyataan itu membuat Sofi sangat terpuruk. Selama menjalani hari-hari di sekolah, baru kali ini Sofi merasakan kesepian seperti ini. Kalau biasanya mereka sering ke mana-mana berdua, sekarang Sofi lebih sering ke mana-mana sendiri. Ke kantin sendiri. Ke perpus juga sendiri. Kalau ada tugas kelompok juga Jessie tak pernah mau bergabung dengan Sofi. Keadaan ini semakin lama semakin menyiksa Sofi. 
   Jam istirahat sudah berlalu selama lima menit dan Sofi masih ada di kelasnya. Jessie sudah keluar dari tadi. Sofi begitu merindukan saat-saat bercanda dan tertawa bersama Jessie. Apalagi saat pandangannya tertuju ke luar kelas. Langit yang mendung itu mengingatkan awal perkenalannya dengan Jessie. Waktu itu Sofi baru sekitar tiga hari masuk SMA. Dia sedang menjalani masa orientasi ketika bertemu Jessie. Di siang hari, saat akan pulang sekolah, tiba-tiba saja gerimis turun dari langit yang memang sudah lama mendung. Seperti yang biasa Sofi lakukan kalau ada gerimis, gadis itu bukannya lari berteduh seperti anak-anak lain, tapi malah berjalan pelan-pelan sambil menengadah dan memejamkan mata. Dia merasakan setiap tetes hujan yang jatuh di atas kulitnya.
   “Hei! Lo ngapain malah diem-diem di sini? Kita neduh, yuk!” Sofi mendengar kalimat itu dari seorang gadis ketika matanya masih terpejam.
   Ketika membuka mata, Sofi melihat murid perempuan berwajah cantik dengan rambut lurus sebahu yang dibiarkan terurai menarik tangannya. Gadis itu sedang membawa payung yang ternyata juga dia pakai untuk memayunginya.
   “Kok bengong? Ayo! Kalau gerimisnya berubah jadi hujan deras, entar lo bisa sakit karena basah kuyup,” kata gadis itu sambil terus menarik tangan Sofi.
   Sambil tersenyum geli Sofi mengikuti langkah gadis itu. Baru ketika mereka berhenti di halte Sofi menceritakan tentang kesukaanya pada gerimis pada gadis yang mengajaknya berteduh itu.
   “Sebenarnya gue jalan pelan banget karena sengaja nikmatin gerimis tahu,” ujar Sofi hati-hati agar tak membuat gadis yang menolongnya merasa malu karena sudah salah pengertian.
   “Hah? Jadi tadi itu lo emang sengaja?” kata si gadis sambil menunjuk ke arah Sofi. Wajah terkejutnya bercampur dengan ekspresi agak malu ketika Sofi menjawab pertanyaanya itu dengan anggukan.
   “Iya, jadi gue suka banget sama gerimis gitu. Dan cara gue menikmati ya dengan kayak tadi. Jalan pelan-pelan atau sambil sesekali berhenti untuk merasakan setiap tetes air yang jatuh di kulit gue,” kata Sofi sambil tersenyum untuk menghilangkan kecanggungan yang mulai muncul pada diri gadis di sampingnya itu.
   “Ma ... maaf. Tahu gitu, tadi lo gue biarin. Biar bisa lebih lama nikmatin gerimis,” kata si gadis penuh sesal.
   “Nggak apa-apa. Lain kali juga bakal ada gerimis-gerimis lain. Kota kita kan kota hujan, “ ujar Sofi sambil tersenyum lembut. “Ngomong-ngomong kalau boleh tahu nama lo siapa, ya? Kenalin, gue Sofi,” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.
   “Jessie,” jawab Jessie saat menjabat tangan Sofi.
   Sejak saat itu mereka mulai berteman dekat. Banyak hal yang Jessie bagi dengan Sofi begitu pula sebaliknya. Kalau Sofi diberi uang jajan agak banyak oleh ibunya karena kue yang dia jajakan laris-manis, dia tak segan mentraktir Jessie di kantin. Jessie juga sebaliknya. Kalau sedang punya banyak makanan, gadis itu pasti akan berbagi dengan Sofi. 
   Sekarang Sofi benar-benar merasa kehilangan momen kebersamaannya dengan Jessie. Untuk menghalau segala sesak di hatinya, akhirnya Sofi memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke perpustakaan. Membaca buku fiksi dengan segala keajaiban yang ada di dalamnya adalah pelarian terbaik saat masalah yang menyakitkan datang di kehidupan nyata.
   Ruang perpustakaan tampak agak ramai. Setelah memilih sebuah novel fantasi, Sofi duduk di sebuah bangku tak jauh dari pintu masuk. Dia membaca tanpa mempedulikan sekitarnya karena saking asyiknya. Selama beberapa menit dia menikmati aktifitasnya tanpa ada gangguan yang berarti karena suasana perpus memang selalu tenang dan hening. Namun saat akan menyelesaikan halaman ke dua puluh dia menghentikan aktifitasnya karena dikagetkan suara keras seperti sesuatu yang sengaja dijatuhkan ke meja. Ketika menurunkan bukunya, dia mendapati Stela sedang duduk di depannya dengan tampang kusut. Di depan gadis itu ada tumpukan buku catatan dan beberapa buku materi pendamping. Stela pasti sedang mendapat tugas sehingga tampangnya sampai sekusut itu. 
   “Itu guru bawel banget, sih! Udah tua, kalo ngajar bikin ngantuk, kalo ngasih tugas nggak tanggung-tanggung, nyebelin!” Stela menggerutu, membuat Sofi nyaris tertawa mendengarnya. Raut wajahnya yang biasanya tampak menyebalkan jadi terlihat lucu kalau sedang ngedumel seperti itu. Sedikit rasa panas di dada Sofi yang tadi sempat muncul saat pertama kali melihat wajah Stela perlahan menghilang karena itu.
   “Emang Kak Stela dikasih tugas apa?” tanya Sofi pelan, takut kalau nanti Stela—yang sepertinya suasana hatinya sedang tak baik itu—malah akan menyemprotnya.
   Stela menoleh. Gadis itu tampak agak kaget saat dia menyadari keberadaan Sofi. Mungkin juga merasa malu, karena dia tahu ocehannya pasti didengar Sofi. “Emm,” balas Stela canggung sambil merapikan beberapa helai rambut terurainya yang menjuntai di samping pipi. Bagaimanapun juga berhadapan dengan sorang gadis yang pernah berhubungan dengan cowok yang masih dia sukai membuatnya sedikit tidak nyaman. “Ada tugas Bahasa Indonesia. Emang lo bisa pelajaran kelas dua belas?” lanjutnya setelah rasa canggungnya menghilang. Nada suaranya terdengar meremehkan.
   “Biar saya baca dulu, Kak, siapa tahu bisa?” kata Sofi sambil tersenyum ramah. Suasana pertemuan sekarang ini agak berbeda dengan saat mereka bertatap muka di toilet putri beberapa waktu lalu. Tak ada lagi yang perlu dipermasalahkan memang, toh dia juga Stela sudah sama-sama bukan orang spesial di hati Kevin. 
   “Tadi pas di kelas gue nggak dengerin si tua itu nerangin. Dan dia marah. Terus gue disuruh nyari contoh kata homofon dan homonim. Disuruh nulis dan nyari sebanyak-banyaknya. Mana gue ngerti coba? Orang pas dia nerangin gue lagi ngelamun Kevin,” kata Stela. Gadis itu tertawa renyah setelah kalimatnya selesai.
   Kata-kata Stela yang terakhir itu membuat sofi merasakan ada sedikit sentakan menyentil dadanya. Senyum yang tadi ada di wajahnya seketika memudar. Menyadari itu, Stela segera mengalihkan pembicaraan. “Jadi, mau bantuin nggak, nih?” katanya. Dia menyesal. Tak  seharusnya dia keceplosan menyebut nama Kevin begitu di saat Sofi telah begitu baik padanya dengan mau menawarkan bantuan.
   “Eh, i ... iya, Kak. Mana coba saya lihat bukunya,” ujar Sofi sambil mengulurkan tangannya pada Stela. Setelah Stela memberikan bukunya, gadis itu lantas membaca buku materi pendamping dengan teliti. Kurang dari sepuluh menit Sofi membaca buku itu. Kemudian dengan sabar dia menjelaskan semua pada Stela. 
   “Homonim itu kata yang pengucapan dan tulisannya sama tapi maknanya beda, Kak,” kata Sofi sambil menunjuk bagian dalam buku yang menerangkan hal tersebut. Stela tak memandang bukunya, tapi pandangannya tertuju pada Sofi sambil terus mendengarkan. “Kalo di buku ini disebutin contohnya bisa ular dan bisa dapat, terus roman wajah sama roman cerita fiksi.” Sofi mengangkat wajahnya dari buku lalu menjelaskan contoh lain pada Stela karena gadis itu tampak masih bingung. “Contoh lainnya, hak lawan kata kewajiban sama hak sepatu terus ....” Sofi menghentikan kalimatnya sebentar sambil pandangannya menerawang karena berpikir. “Terus bulan satelit bumi sama bulan yang di kalender, kali sungai sama kali yang dipake di rumus Matematika. Gimana, udah paham, kan?” lanjutnya sambil tersenyum. Dia benar-benar berharap Stela paham dengan penjelasannya.
   Stela mengangguk menanggapi pertanyaan Sofi itu. Sofi kemudian lanjut menerangkan. “Kalo homofon itu pengucapannya saja yang sama, Kak, tapi tulisan sama maknanya berbeda. Kalo di buku ini contohnya bang sebutan untuk orang laki-laki sama bank tempat untuk nabung,” kata Sofi sambil menunjuk buku Stela lagi. “Kalo contoh lainnya, sangsi perasaan sama sanksi hukuman, rok yang dipake cewek sama rock jenis musik. Gimana, udah paham?” kata Sofi, lagi-lagi sambil tersenyum lembut. 
   Sebelum akhirnya mengangguk, Stela lebih dulu tersenyum tulus. Rasa kesal yang sempat menggumpal di dadanya akibat kedekatan Sofi dengan Kevin memudar sepenuhnya detik itu juga. Setiap gadis yang suka pada Kevin—baik dulu waktu SMP atau sekarang saat SMA—pasti membencinya. Walau tak secara terang-terangan menyerang, mereka kebanyakan pasti menunjukkan raut masam saat melihat wajah Stela. Cuma Sofi yang rela berbaik hati membantunya.
   Hari ini Stela benar-benar dibuat takjub dengan ketulusan hati Sofi. Gadis-gadis yang tak pernah menjadi pacar Kevin saja banyak yang memusuhinya, tapi Sofi yang notabene adalah mantan Kevin malah baik padanya.
   Kadang kita merasa begitu mengetahui sesuatu tentang seseorang sehingga kita menghakiminya. Padahal sebenarnya tidak  ada yang benar-benar tahu tentang apa pun yang ada dalam diri seseorang kecuali orang itu sendiri dan Tuhan. Tidak seharusnya kita menilai seseorang hanya berdasarkan prasangka sesaat dan apa yang kita lihat dari luar. Tak sepantasnya kita menghakimi seseorang jika kita tak benar-benar mengenalnya luar-dalam.
***
   Gerimis kecil-kecil dan rapat sedang turun saat Sofi berada di Taman Kencana. Rasa rindu yang membawa Sofi ke tempat ini. Dia duduk di tempat yang sama dengan tempat yang dia duduki dulu saat pertama kali datang ke sini bersama Kevin. Sofi terus melihat sekeliling. Mencoba merekam kembali keberadaan Kevin dan dirinya beberapa minggu yang lalu. Mungkin terdengar konyol. Namun, Sofi benar-benar ingin mengulang semuanya. 
   Seandainya Sofi masih menjadi kekasih Kevin, rindu yang menggumpal di dadanya bisa dengan mudah dia bunuh dengan bertemu. Dengan begitu tak ada kepedihan yang tersirat dalam rindunya selain hanya keindahan. Seandainya tak bisa bertemu pun selama statusnya masih sepasng kekasih, mereka akan saling menyimpan rindu. Tak berat sebelah. Beda kasusnya ketika kondisinya sudah seperti sekarang. Sofi bukan kekasih Kevin lagi. Dia sudah tak bisa bersama Kevin lagi. Dia tak punya hak untuk meminta Kevin datang di dekatnya. Rindu yang Sofi simpan hanya menjdi miliknya sendiri. Semakin dirasakan akan semakin menjalarkan kepedihan di dalam hati. 
   Sebenarnya, Sofi bisa saja membunuh rindunya dengan memandangi Kevin dari kejauhan saat mereka berada di sekolah. Namun tetap saja, rasanya tak akan memuaskan seperti kalau Sofi bisa memandang Kevin dari jarak dekat dan menyentuh cowok itu.
   Seharusnya Sofi membenci Kevin. Karena cowok itu telah menyakitinya, berkata-kata kasar padanya. Namun, nyatanya tidak demikian. Rasa sayangnya pada cowok itu telah tumbuh dan mengakar begitu kuat di jantungnya. Rasa itu yang mampu membutakan matanya. Membuat dia tetap memuja meski nyatanya cowok yang telah jadi mantan kekasihnya itu kini telah mengabaikannya. 
   Sofi tak mengerti mengapa seluruh sel otaknya seperti hanya terfokus dengan segala hal tentang Kevin. Semakin dia merasakan tetes gerimis merembes di permukaan kulitnya, semakin bayangan Kevin menari indah dalam khayalannya, menimbulkan gejolak sesak yang mencengkeram jantung. Rasa hangat yang menjalar di dada Sofi saat telapak tangannya bersentuhan dengan telapak tangan Kevin, tatapan teduh mata indah Kevin, senyuman Kevin, semua hal itu seperti terkunci sempurna di dalam otaknya. Tanpa sadar air matanya menetes membasahi pipi ketika mengingat semua itu. 
  Sama-sama menahan, menahan rindu kepada orang yang tak dimiliki itu akan lebih menyakitkan daripada menahan rindu pada seseorang yang dimiliki. Ya, rindu yang dirasakan seseorang yang mencintai sendirian itu lebih pedih daripada rindu yang dirasakan dua orang yang saling mencintai.
   Selama perjalanan pulang dan bahkan sampai berdada di rumah, pikiran Sofi terus tertuju pada Kevin. Tak bisa dia ingkari kalau kata benci itu hanya menghiasi mulutnya saja bukan di hatinya. Untuk membunuh rasa sesak, setibanya di kamar, setelah melemparkan tasnya ke atas ranjang, Sofi duduk di meja belajarnya. Setelah menemukan bindernya dan meraih sebuah bolpoin, dia menulis puisi.
   Rindu

   Sesak menggelayut di dada
   Perih membelenngu jantung
   Bayang mata indahmu selalu menghias benakku
   Senyum hangatmu meresap di aliran darahku

   Rindu ...
   Rasa itu membalut tiap jengkal kulit
   Mengoyak susunan sel jantung
   Mencabik ribuan kromosom otak 

   Rindu ...
   Rinainya seteduh gerimis sore
   Wanginya seharum kesturi
   Meski luka berdarah yang kudapati
   Biar rumpunnya kutanam dalam hati
   Air mata Sofi jatuh setelah menuliskan puisi itu. Kepalanya dia sandarkan di atas meja— menindih buku yang dia pakai untuk menulis puisi. Sebenarnya dia lelah. Dia ingin berhenti meratapi semua ini. Namun dia tak bisa melakukan hal lain selain pasrah dan menjalani. 
   Karena rindu memang rasa yang begitu alamiah, sama seperti cinta. Kedatangannya sama-sama tak bisa diprediksi dan sama-sama membutuhkan penuntasan. Karena tak mungkin bertatap muka dengan Kevin dari jarak dekat, satu-satunya cara yang Sofi pakai untuk menuangkan rasa rindunya, ya, dengan menulis puisi.
   
   

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • nuratikah

    si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
    berkunjung balikke ceritaku ya.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags