Kevin memandang tubuh Alice yang semakin lama semakin tampak kurus itu ketika dia berjalan mendekati ranjang. Adiknya tak seharusnya mengalami penyakit yang mengerikan seperti ini. Kadang Kevin berpikir mengapa tak dia saja yang mendapatkan hukuman dari Tuhan karena dia adalah anak orangtuanya yang paling nakal, bukannya Alice. Adiknya adalah anak baik-baik. Alice tak pernah bertengkar dengan temannya di sekolah ketika masih taman kanak-kanak. Tak seperti Kevin yang di hari pertama masuk TK sudah membuat seorang teman sekelasnya menangis karena rebutan permen.
Alice adalah seorang penurut. Ketika melewati masa orientasi di sekolah, dia mengumpulkan tanda tangan semua personel OSIS dengan semangat dan tak mengeluh ketika dikerjai aneh-aneh. Sementara Kevin, saat mengikuti masa orientasi baik di SMP maupun SMA, dia tak pernah mau mengumpulkan tanda tangan para seniornya. Dia juga enggan memakai aksesoris aneh-aneh seperti yang dipakai peserta lain. Ketika ditanya mengapa oleh temannya, dengan santainya Kevin menjawab, “Ngapain, sih, nyembah-nyembah anak OSIS gitu? Ngapain juga pakai baju kayak badut gitu? Nggak penting tahu! Kita sekolah ini bayar, buat dapet ilmu. Bukan buat dijadiin bahan lelucon!”
Intinya, Alice itu sangat berbeda dengan Kevin.
“Hari ini Kakak yang dapet tugas jagain kamu,” kata Kevin sambil mengelus kepala Alice ketika dia telah berdiri tepat di samping ranjang adiknya. Kevin menatap Alice dengan raut sedih yang dia coba untuk sembunyikan. Wajah pucat Alice, matanya yang semakin cekung, dan rambutnya yang semakin hari semakin menipis membuatnya tak tega setiap kali harus menatap berlama-lama.
Alice tak menjawab ucapan Kevin. Gadis itu malah menangis tanpa suara sambil menatap Kevin.
“Kamu kenapa, Dek? Ada yang bisa Kakak bantu? Kamu mau minum? Atau makan?” tanya Kevin. Cowok itu mulai terlihat agak panik.
Alice tak bersuara. Dia hanya menjawab pertanyaan Kevin itu dengan gelengan pelan. Air matanya masih terus mengalir.
“Enggak? Terus kalo gitu kenapa kamu nangis? Bilang sama Kakak mana yang sakit biar ntar Kakak panggil suster,” kata Kevin sambil mengusap air mata yang membasahi pipi Alice.
“A ... Al ... Alice takut, Kak,” kata Alice pelan, nyaris berbisik. Bibir pucatnya bergetar lemah ketika mengucapkan kata-kata itu.
“Takut kenapa? Kan, ada Kak Kevin di sini?” tanya Kevin heran.
“Mama mana? Papa mana? Bik Tini ... sama Kak Sofi juga mana? A ... Alice mau mereka juga ada di sini bukan cuma Kak Kevin. Biar ramai, Kak,” kata Alice. Air matanya terus menetes.
Rasa nyeri seketika menyeruak di dada Kevin ketika mendengar Alice menyebut nama Sofi. Bagaimanapun salah satu dari beberapa hal yang mebuat Kevin jatuh pada Sofi adalah cara gadis itu menenangkan Alice beberapa waktu lalu di tempat ini. Secara tidak langsung Alice adalah perantara. Rasa sesak dalam hati Kevin semakin parah ketika dia sadar bahwa adiknya itu juga menyebut ayahnya. Sekuat tenaga dia mencoba menahan agar air matanya tidak jatuh. Radit sudah tak mau tahu bagaimana keadaan Alice. Terakhir sekitar dua setengah bulan yang lalu pria itu bertemu Alice. Semakin mengingat itu, rasa sakit hati dan benci Kevin pada Radit semakin dalam. Seandainya bisa Kevin ingin ayahnya digantikan dengan sosok pria lain. Sosok yang lebih bertanggung jawab. Sosok yang bisa lebih menyayangi Mona, dia, dan juga Alice.
“Kak Kevin nggak akan ke mana-mana, Dek! Mama juga pasti bentar lagi ke sini, jadi kamu nggak perlu takut, ya! Jangan nangis lagi,” kata Kevin sambil menggengam erat tangan Alice. Dia memaksakan senyumnya untuk muncul.
“Tapi Alice kesepian ... Kak ... A ... Alice kangen sama Papa,” kata Alice lagi. Mata layunya berkedip lemah. Air matanya sudah berhenti mengalir, tapi suaranya masih terdengar bergetar dan lirih.
Kevin tak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Sekuat apa pun dia dan Mona berhasil menyembunyikan semua dari Alice, nantinya gadis itu pasti akan tahu juga.
Sebenarnya Kevin merasa ada yang aneh dengan Alice. Adiknya itu tak sekali pun menanyakan Radit selama berada di rumah sakit karena memang selama ini lebih dekat dengan Mona. Mungkin memang sudah tiba saatnya Alice merindukan Radit. Ya, waktu dua bulan setengah itu memang bukanlah waktu yang sebentar.
“Gimana kalau sekarang kamu tidur aja. Nanti Kak Kevin telepon Papa, deh, biar dia nggak sibuk kerja terus dan bisa jengukin kamu,” ujar Kevin sambil tersenyum meyakinkan. Mungkin kali ini dia harus meredam egonya dan menekan sedikit kebenciannya untuk Radit demi Alice. Kalau kedatangan Radit adalah salah satu dari beberapa hal yang membuat Alice bahagia, Kevin akan meminta ayahnya itu datang meski harus memohon sekalipun.
“Nggak mau,” sanggah Alice pelan.
“Terus maunya apa, dong, kalau nggak mau tidur?” tanya Kevin sambil megelus kepala Alice lembut.
“Alice mau Kak Kevin ikat rambut Alice kayak yang biasa Mama lakuin?” jawab Alice sambil mengangkat tubuhnya pelan.
“Eh, hati-hati, Dek.” Kevin buru-buru menyangga tubuh Alice saat melihat adiknya itu kesulitan untuk bangun.
“Sisirnya ... ada di meja, Kak. Ikat rambutnya juga.”
“Nggak usahlah, Dek! Kamu tidur aja, ya,” tolak Kevin halus.
Bukannya Kevin tak mau. Dia hanya tak ingin Alice tahu kalau rambutnya mulai rontok. Mona tak memberitahu efek pengobatan kemoterapi yang dijalani Alice karena dia tak ingin anak perempuannya itu sedih dan terpukul.
Alice memang sengaja memanjangkan rembutnya karena dia suka sekali menata mahkotanya itu. Dulu setiap akan berangkat sekolah, Mona selalu menata rambut Alice dengan berbagai macam bentuk kucir dan kepang. Sampai masuk SMP kebiasaan itu terus berlangsung. Kebiasaan itu Mona lakukan sejak Alice masuk sekolah playgroup. Mona melakukannya karena sangat bahagia saat tahu dia melahirkan anak perempuan. Ya, setelah Kevin lahir dan berumur dua tahun, Mona sangat menginginkan anak perempuan. Dan keinginannya itu baru bisa terwujud setelah menunggu selama kurang-lebih tiga tahun.
“Kak Kevin, Alice ... mau kayak dulu lagi. Kayak dulu tiap kali mau berangkat sekolah.”
Kevin tak tega juga akhirnya melihat Alice memohon seperti itu. “Yaudah, tapi habis itu kamu langsung tidur, ya!” katanya saat dia mulai meraih sisir yang ada di meja.
Kevin mencoba menyisir rambut Alice sepelan mungkin agar tak ada yang menyangkut di sisir. Namun usahanya itu sia-sia. Rambut Alice rontok dengan mudah, banyak juga yang menyangkut di sisir. Kevin berhenti menysisir saat dia menyadari rambut Alice yang rontok semakin banyak.
“Kok berhenti, Kak?” tanya Alice saat Kevin menghentikan gerakan tangannya.
“Ini udah selesai, kok!” bohong Kevin. Rambut Alice belum tersisir semua sebenarnya. Tak ingin rambut adiknya yang rontok semakin banyak lagi, cowok itu segera mengucir dua rambut Alice dan diarahkan ke depan. “Maafin Kak Kevin, ya, kalau hasilnya nggak bisa sebagus Mama.”
Alice melihat rambutnya sekilas. Dia paham kalau Kevin adalah seorang laki-laki. Mustahil bagi kakaknya itu menata rambut dengan luwes seperti yang Mona lakukan. ”Nggak ... apa-apa, Kak. Makasih,” katanya. Bibir pucatnya lantas melengkung membentuk senyuman manis.
“Sekarang kamu tidur, ya!” kata Kevin sambil membantu Alice membaringkan tubuhnya.
Beberapa menit setelah Alice memejamkan mata, Mona datang. Wanita itu membawa beberapa peralatan untuk merajut seperti biasa.
“Ma, Kevin mau pergi bentar. Mama nggak apa-apa kan nemenin Alice sendirian?” tanya kevin ketika Mona meletakkan peralatan rajutnya di meja.
“Nggak apa-apa. Sebentar lagi juga Bik Tini dateng. Tapi kamu mau ke mana sih, Kak, kok buru-buru?” tanya Mona ketika Kevin menyalami tangannya dengan tergesa.
“Ngg ....” kata-kata Kevin terputus. Dia tak mungkin bilang pada Mona kalau dia ingin mencari ayahnya. Cukup sudah segala penderitaan dan sakit hati yang Mona alami karena Radit. Kevin tak ingin menyebut nama ayahnya itu di hadapan Mona.
“Kenapa sih? Ada apa, kok kamu aneh gitu?” tanya Mona sambil menatap wajah Kevin dalam-dalam. Wanita itu mencoba mencari tahu apa yang sedang Kevin sembunyikan.
“Nggak kok, Ma. Kevin cuma lagi ada tugas kelompok, nggak apa-apa, kan, nanti kalau pulangnya malem?” jawab Kevin asal.
“Nggak apa-apa, dong! Mendingan gitu daripada kamu keluyuran dan kebut-kebutan nggak jelas di jalan kayak biasanya.”
Usai keluar dari ruang rawat Alice, satu-satunya tempat yang terlintas dalam benak Kevin adalah pabrik ayahnya. Pria itu pasti masih sibuk bekerja sore-sore begini. Waktu Radit masih sering pulang ke rumah saja pria itu selalu pulang hingga larut malam kalau sedang lembur.
Kevin memacu mobilnya menuju tempat kerja ayahnya dengan kecepatan tak wajar. Mengebut di jalan adalah hal yang selalu menjadi favoritnya. Kalau dipikir-pikir percuma juga Mona melarangnya kebut-kebutan. Toh selagi berada di jalan raya, dia pasti selalu mengebut.
Pabrik tampak lengang ketika Kevin datang. Awalnya Kevin sempat dihadang satpam saat akan masuk pabrik. Dia dikira orang asing yang ngawur nyelonong masuk ke dalam lingkungan pabrik. Untung saja Kevin masih punya foto bersama ayahnya yang dia simpan di ponsel. Foto itu dulu diambil ketika Radit sedang mengajak Kevin datang ke pabrik ini. Kevin menunjukkan foto tersebut pada laki-laki bertubuh gempal berseragam putih yang tengah berdiri di depan posnya itu.
Sebenarnya dulu Radit pernah mengajak Kevin datang ke pabrik tekstil ini beberapa kali ketika SD dan SMP. Dan si satpam pun masih orang yang sama. Mungkin karena sekarang postur tubuh dan wajah Kevin agak berbeda, jadi si satpam lupa.
Setelah diizinkan masuk, Kevin segera melangkahkan kaki menuju ke dalam pabrik. Ketika melewati lobi, Kevin sempat digoda oleh seorang resepsionis. Dia bilang dengan posturnya yang tinggi dan wajahnya yang ganteng itu Kevin cocok jadi pemain sinetron. Kevin hanya menanggapi wanita muda itu dengan senyuman lantas berkata kalau dia sedang buru-buru. Bukannya membiarkan Kevin masuk, wanita itu malah terus menggoda Kevin dan berkata, “Masnya sudah bikin janji belum? Atau masnya mau janjian sama saya aja mungkin?” sambil tersenyum-senyum genit.
“Maaf, Mbak, saya ini mau ketemu Pak Radit. Saya anaknya. Pak Raditnya ada tidak, ya?” kata Kevin sambil mencoba melepaskan tangannya yang mulai dipegang-pegang oleh si resepsionis.
“Loh! Masnya serius?” tanya si resepsionis ketika tangannya telah terlepas dari tangan Kevin. Ekspresi genit dan senyuman sok imut yang tadi ada di wajahnya berubah dengan ekspresi kaget.
“Iya, Mbak. Dulu saya sering dateng ke sini waktu SMP. Tapi waktu itu resepsionisnya bukan Mbak,” kata Kevin sambil memperlihatkan foto di ponselnya. Foto yang sama dengan yang dia tunjukkan pada satpam tadi.
“Oh, ma ... maaf, Mas. Saya pikir tadi Mas ini mahasiswa mau magang gitu,” kata Si resepsionis sambil tersenyum kikuk. “Mm ... Pak Raditnya lagi keluar. Katanya sih mau ada meeting. Lagian kenapa nggak langsung ditelfon saja, Mas? Mas, kan, anaknya?” tanya si resepsionis. Senyum genitnya yang tadi muncul telah berubah jadi senyum ramah khas resepsionis profesional yang sedang melayani tamu pabrik.
Kevin terdiam sesaat setelah mendengar saran si resepsionos. Dari kalimatnya tadi, Kevin bisa menyimpulkan kalau wanita di depannya ini tak tahu bagaimana kondisi keluarga sang bos. Bagaimana hubungan sang bos dengan istri dan anak-anaknya. Mungkin tak hanya si resepsionis yang tak tahu. Bisa jadi semua pegawai pabrik ini juga. Radit benar-benar rapih menyembunyikan kebusukannya dan berhasil menata wibawanya dengan baik di hadapan para karyawannya.
Kevin memang masih menyimpan nomor Radit, tapi sama sekali tak pernah dia hubungi. Dia agak tak yakin sebenarnya dengan saran si resepsionis.
“Iya, Mbak. Habis ini saya telfon. Ya sudah, Mbak, saya permisi dulu,” kata Kevin. Tanpa menuggu jawaban si resepsionis, dia segera membalikkan badan dan berjalan cepat menuju mobil. Di mobil, Kevin memperhatikan kontak Radit yang tersimpan di ponsel berkali-kali. Gengsi itu masih saja menggunung di dadanya. Apalagi kalau ingat perlakuan kasar ayahnya tempo hari, rasa sakit hatinya semakin dalam saja.
Kevin mencoba mengingat ekspresi wajah Alice tadi di rumah sakit ketika menanyakan tentang ayahnya. Berharap dengan begitu egonya teredam. Alice benar-benar merindukan Radit. Adik perempuannya itu benar-benar merindukan sosok ayahnya. Setelah memantapkan hati, Kevin akhirnya menelepon nomor Radit.
“Papa yakin kamu akan menyesal karena sudah berkata tidak sopan pada Papa, Vin,” terdengar suara Radit di seberang setelah Kevin sempat menunggu beberapa detik.
Kevin merasakan keangkuhan yang kental tersirat di setiap kata yang Radit ucapkan. Kekesalannya menyeruak begitu saja ketika dia mendengar kalimat Radit itu. Kalau saja bukan demi Alice, dia tak akan sudi menghubungi ayahnya.
“Kevin nggak nyesel kok, Pa. Kevin cuma mau kasih tahu kalau Alice lagi sakit. Sudah hampir dua bulan dia ada di rumah sakit.” Kevin mencoba mengucapkan kalimatnya itu dengan tenang. Dia yang harus membuat Radit menyesal telah meninggalkan dan berbuat semena-mena kepada keluarga. Kevin harus membuat Radit paham bahwa selama ini dia telah menjadi sosok orangtua yang tak berguna.
“Apa? Alice sakit? Gimana ceritanya? Kok —”
Sebelum Radit sempat melanjutkan kalimatnya, Kevin sudah lebih dulu menyahut. “Papa itu perhatian banget ya sama keluarga. Sampai anaknya sendiri masuk rumah sakit bisa nggak tahu.”
Sindiran Kevin itu memukul Radit telak. Selama ini dia selalu merasa paling benar ketika berhadapan dengan Kevin. Baginya, Kevin adalah anak kecil yang tak pernah tahu apa-apa tentang dunia yang serba luas ini. Namun ternyata dia salah. Dari kalimat yang Kevin ucapkan, bukan tak mungkin kalau selama ini anaknya itu telah menyimpulkan dan menilai banyak hal tentang dirinya. Mungkin karena itu juga Kevin terlihat sangat benci padanya.
“Papa mau bicara sama kamu. Kita ketemu sekarang di foodcourt Lippo Plaza bisa, Vin?” tanya Radit. Ini adalah pertama kali Radit berbicara dengan nada normal dengan Kevin setelah hampir selama berbulan-bulan pria itu selalu berbicara memakai nada tinggi, bahkan kadang dengan bentakan-bentakan kasar.
“Iya,” jawab Kevin singkat. Cowok itu kembali memacu mobilnya dengan kecepatan tak wajar setelah keluar dari area pabrik.
Setibanya di mall, Kevin segera menuju foodcourt. Ketika melihat Radit duduk di di depan meja salah satu restoran fastfood, Kevin segera berjalan mendekat. Di meja itu Kevin melihat ada dua porsi makanan yang dipesan. Kedua makanan itu masing-masing masih utuh. Kevin tak peduli ayahnya itu datang bersama atau sedang ada janji dengan siapa, dia hanya ingin memberitahu tentang keadaan Alice saja. Cowok itu masih malas kalau harus berlama-lama menatap tampang Radit.
Senyum canggung muncul di wajah Radit ketika melihat Kevin. Suasana ini sangat aneh. Mereka adalah dua orang ayah dan anak yang seharusnya akrab. Namun, mereka justru tampak sperti dua orang asing yang dulu pernah kenal kemudian terpisah lama lalu sekarang tak sengaja bertemu.
Berbeda dengan Radit yang tampak sedikit melunak sikapnya, Kevin malah menatap ayahnya itu dengan tatapan tajam. Raut wajahnya menggambarkan kekecewaan dan sakit hati. Radit bisa membaca itu, tapi dia berusaha mengabaikan. Dia harus meredam egonya untuk mengetahui informasi tentang Alice.
“Duduk, Vin!” kata Radit.
Sejujurnya Kevin rindu dengan suara Radit yang tenang. Rindu dengan ekspresinya yang tegas, tapi tetap menyiratkan kehangatan. Dia rindu saat-saat mereka pergi ke kedai kopi bersama. Saat di mana dia bisa menceritakan segala hobi dan cita-citanya dengan leluasa. Saat dimana Radit selalu bersedia melontarkan pujian padanya ketika dia bercerita tentang prestasi silatnya. Namun, gengsi dan sakit hati Kevin mampu mengubur semua rindu itu dan mengubahnya menjadi kebencian.
“Buat apa? Kevin nggak akan lama, kok! Kevin lagi males debat sama Papa,” kata Kevin sambil terus menatap Radit. Dia memasang raut jutek. Percuma saja. Apa pun yang dia ucapkan tak akan pernah ada artinya bagi Radit. Setiap protes yang Kevin ucapkan semata-mata hanya karena dia ingin Radit mengerti dan paham kalau keluarganya merindukan pria itu yang dulu. Namun nyatanya ayahnya tersebut tak pernah mau mengerti.
Radit yang awalnya agak melunak sikapnya jadi naik pitam karena melihat ekspresi Kevin. “Kamu itu, ya! Orangtua ngomong baik-baik bukannya ditanggapi yang enak, malah nggak sopan kayak gitu!” bentaknya, membuat pandangan beberapa pengunjung restoran tertuju pada mereka.
“Kevin kayak gini tuh gara-gara Papa! Kalau sikap Papa nggak berubah dan tetap ada buat Mama, Alice, juga aku, pasti aku nggak akan kayak gini ke Papa!” bantah Kevin tak kalah keras. Cowok itu sudah tak peduli dengan berapa banyak pasang mata yang tertuju pada dia dan ayahnya.
Menurut Kevin, anak itu seperti sebuah cermin yang akan senantiasa merefleksikan bayangan. Baik-buruknya sikap anak pada orangtua itu tergantung bagaimana sikap orangtua itu sendiri pada anaknya. Jika orangtua menanamkan kebencian kepada anak, maka kebencian itu juga yang akan mereka refleksikan kepada orangtua. Jika orangtua menanamkan cinta dan kehangatan, maka cinta dan kehangatan itu juga yang mereka refleksikan kepada orangtuanya. Menurutnya seorang anak juga tak ubahnya seperti pegas, semakin ditekan, dia akan semakin menghimpun kekuatan dan akan semakin memantul tinggi ketika dilepas. Ya, setiap tekanan dan rasa sakit yang Radit berikan membuat keinginan Kevin untuk menentang ayahnya itu semakin tinggi.
Terkadang banyak orangtua yang salah mengartikan bagaimana fungsi mereka terhadap anak-anaknya. Mereka melakukan kekerasan atau memakai kata-kata kasar kepada anak untuk membuat anak-anaknya takut. Padahal seharusnya sebagai orangtua fungsi mereka bukan untuk ditakuti melainkan disegani. Dan untuk disegani mereka tidak perlu berperilaku sok preman seperti itu. Karena dengan begitu mereka tidak akan disegani, tapi bisa jadi malah dibenci karena setiap perilaku kasar yang mereka lakukan membekas di hati anak dan menimbulkan dendam.
Mendengar jawaban Kevin itu, tatapan mata Radit semakin menajam. Kalau seandainya mereka sedang tak ada di tempat umum, pria itu pasti akan memukul Kevin lagi seperti apa yang tempo hari pernah dia lakukan ketika di rumah.
“Alice dirawat di Bogor Medical Center. Dateng aja kalau Papa sempet. Kalau Papa peduli.” Setelah berkata seperti itu. Kevin segera meninggalkan ayahnya. Dia benar-benar sedang malas ribut dengan Radit.
Selepas bertemu ayahnya, Kevin memacu mobilnya menuju rumah Ferro. Rumah dua lantai milik keluarga Ferro tampak sepi ketika Kevin datang. Ferro keluar dan membukakan gerbang tak lama setelah Kevin mengirim pesan pada cowok itu. Kevin bilang kalau dia ingin menginap di rumah Ferro karena besok adalah hari Minggu.
“Kenapa tampang lo kusut gitu, Hawk?” Tanya Ferro ketika mereka berdua telah terduduk di ruang tamu.
Kevin mengembuskan napasnya kasar sebelum akhirnya menjawab, “Alice makin parah keadaannya, Ro. Makin hari dia makin kurus aja. Tadi pas gue nyisir rambut dia, yang rontok makin banyak. Gue nggak tega liat Alice terus-terusan menderita kayak gini, Ro. Gue pengen dia dipindahin ke rumah sakit yang lebih bagus lagi, di Jakarta. Atau kalau perlu ke luar negeri sekalian, biar bisa cepetan sembuh.”
Ferro terus memandangi wajah suram Kevin ketika cowok itu bercerita. Dia bisa merasakan beban psikis yang Kevin rasakan. Seandainya menjadi Kevin, dia belum tentu sanggup menjalani semuanya. Sudah ayah-ibunya tidak akur, adiknya sakit kronis pula. Maka Ferro hanya mendengarkan. Cowok itu sedang tak ingin melontarkan kata-kata bijak untuk Kevin sekarang. Kadang berkata-kata itu jauh lebih mudah daripada menjalani. Dia terlalu malu untuk menasihati Kevin yang jelas-jelas terbukti lebih tangguh darinya.
“Semoga aja dalam waktu dekat bakal ada info tentang lomba balapan. Jadi gue, Dion, dan lo bisa ikut. Ntar kalo lo yang menang uangnya bisa buat biaya Alice berobat di rumah sakit lain. Sukur-sukur kalo kita bertiga yang menang. Lo juara satu, terus gue dan Dion juara dua dan tiga misal. Ntar uangnya buat lo semua, deh,” ceplos Ferro, membuat tawa Kevin pecah.
“Mana bisa kayak gitu!? Yang lain juga mau menang kali, Ro!” kata Kevin dengan masih ada sedikit sisa tawa.
Ferro ikut tersenyum lega saat melihat tawa Kevin muncul. Dia senang bisa ada untuk Kevin di saat cowok itu sedang ada dalam kondisi terpuruk. Dulu saat ayahnya dipecat dari pekerjaannya menjadi salah satu pegawai di balai kota karena dituduh korupsi, Kevin juga selalu ada bersamanya dan bersedia mendengar segala keluh kesahnya. Kevin bahkan getol sekali meminta Radit agar mau memasukkan ayahnya ke pabrik tekstil untuk menjadi salah satu manager tanpa tes masuk. Namun waktu itu Ferro menolak karena dia tak ingin berhutang budi. Persahabatan ini akan dia jaga sampai kapan pun. Bahkan seandainya kelak mereka akan berpisah ketika kuliah, Ferro tetap berjanji untuk menjadi teman terbaik bagi Kevin.
si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
Comment on chapter Prologberkunjung balikke ceritaku ya.