Sofi mendapati pemandangan tak biasa ketika dia melangkahkan kaki masuk ke dalam lingkungan sekolah. Beberapa murid memandangnya dengan tatapan aneh. Tatapan mereka itu sebagian besar menampakkan ketakjuban, seolah mereka baru saja melihat Sofi melakukan hal yang tidak wajar. Tatapan seperti itu kebanyakan ditunjukkan oleh beberapa murid perempuan seangkatannya. Sementara itu, para murid perempuan kelas sebelas dan dua belas memandangnya dengan tatapan kebencian. Dari para murid cowok, Sofi tak melihat tatapan seperti yang ditampakkan oleh para murid perempuan. Mereka—para murid cowok itu—malah menatap Sofi sambil tersenyum-senyum aneh.
Tak ingin terlambat masuk kelas, Sofi akhirnya memutuskan untuk terus berjalan. Ketika sampai di depan kelas Sofi juga melihat pemandangan sama seperti yang dia lihat di sepanjang lapangan dan koridor tadi. Beberapa teman perempuan sekelasnya yang sedang bergerombol di depan kelas memandangnya dengan tatapan heran.
Pandangan Sofi beralih pada kerumunan cowok yang duduk bersama Cungkring untuk memastikan reaksi mereka, apakah sama atau tidak dengan reaksi para cowok yang melihatnya di lapangan dan di sepanjang koridor tadi. Namun, Sofi tak mendapati rekasi yang sama karena mereka sedang sibuk memperhatikan ponsel yang dibawa Cungkring. Salah satu dari mereka menghentikan aktifitasnya menatap ponsel dan segera mencolek-colek yang lain ketika menyadari dia berjalan mendekat. Tatapan mereka terlihat sama herannya dengan tatapan para murid perempuan seangakatan Sofi.
“Ada apaan sih, Kring? Kenapa mereka, lo, juga kalian, jadi aneh gitu?” tanya Sofi sambil menunjuk sekeliling ketika pandangan Cungkring tertuju padanya.
“Lo belum lihat Facebook sama sekali, Sof?” bukannya menjawab, Cungkring malah balik bertanya.
Sofi menggelengkan kepala karena dia memang belum melihat akun Facebook-nya sama sekali.
Ragu-ragu akhirnya Cungkring memperlihatkan ponselnya pada Sofi. Sofi membelalakkan matanya ketika melihat layar ponsel Cungkring. Di beranda Facebook cowok itu Sofi melihat akun dengan nama Kevin Atharva mengunggah foto dirinya dengan Edo yang diambil dari belakang. Dalam foto itu mereka terlihat seperti orang berciuman.
Jantung Sofi seketika memompa lebih cepat. Kepalanya mendadak terasa panas seolah seluruh darahnya yang ada di ubun-ubun mendidih. Sofi tak menyangka Kevin setega itu menyebarkan fotonya di dunia maya. Gadis itu benar-benar tak menyangka kalau Kevin telah jadi sebenci itu padanya.
“Gue harus cari Kevin,” guman Sofi pelan setelah menyerahkan ponsel Cungkring kembali.
Sofi terus berjalan menyusuri koridor sambil celingukan. Matanya memindai dengan teliti ke setiap sudut sekolah yang dia lewati. Dia tak ingin melewatkan sesenti pun bagian sekolah karena dia harus menemukan Kevin.
Langkah Sofi terhenti ketika dia melihat Kevin di koridor deretan ruangan kelas dua belas. Cowok itu sedang berbicara serius dengan Stela. Posisi tubuh Kevin dan Stela mengingatkan Sofi saat cowok itu meminta maaf padanya di gudang beberapa waktu lalu. Seketika rasa panas yang ada di kepala Sofi menjalar ke hati melihat adegan itu. Posisi wajah keduanya terlalu dekat. Mungkin kurang dari sepuluh senti. Kevin sedang menatap Stela dan Stela juga sedang memandang Kevin balik dengan tatapan yang seolah menantang. Sofi nyaris membalikkan badannya karena tak tahan. Namun, dia harus tetap mendatangi Kevin untuk melampiaskan kekesalannya. Dia harus meminta penjelasan. Dia harus tahu alasan mengapa cowok itu tega menyebarkan fotonya.
“Apa maksud Kak Kevin upload foto aku di Facebook?” tanya Sofi ketika langkahnya telah terhenti sekitar satu meter di belakang Kevin. Suara Sofi bergetar karena tangisnya nyaris pecah. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca.
Mendengar itu, Kevin segera menurunkan kedua tangannya yang tadinya menempel di tembok. Dengan tenang cowok itu membalikkan badannya lantas menatap Sofi tajam.
“Kenapa? Lo malu kalau nanti seisi sekolah jadi tahu kalau ternyata lo itu cewek gampangan?” kata Kevin sambil tersenyum sinis. “Kalo menurut gue, sih, harusnya lo bangga karena berhasil menaklukkan satu cowok keren lain dalam waktu singkat setelah menaklukkan cowok paling keren di sekolah. Mereka saudaraan lagi. Wow! Sebelumnya nggak ada satu pun cewek yang berhasil ngelakuin itu, Sof. Harusnya nama lo masuk dalam rekor MURI,” lanjutnya. Ada raut kepuasan yang Sofi lihat di wajah cowok itu. “Katanya lo sahabat baik Jessie, nggak tahunya pas udah putus mantannya lo babat juga.”
Air mata yang tadi Sofi tahan akhirnya keluar juga dari kelopak matanya. Kalimat tajam Kevin itu seperti linggis yang sengaja ditusukkan ke dadanya menimbulkan rasa pedih dan sakit yang luar biasa. Rasa pedih yang dia rasakan semakin parah saat melihat senyum puas Stela yang sedang berdiri di belakang Kevin.
“Aku benci sama Kak Kevin,” kata Sofi sesaat sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan Kevin. Dia masih terus menangis ketika berlari menuju kelas. Dia abaikan beberapa pasang mata yang memandangnya dengan tatapan heran.
Ketika sampai di kelas, Sofi masih terus menangis. Bayangan saat Kevin menyatakan perasaan padanya, saat Kevin memeluknya, saat Kevin tersenyum padanya, terus berkelebat bergantian di kepalanya. Menimbulkan belenggu rasa sesak mengungkung hatinya. Suara indah Kevin yang dulu selalu terdengar lembut juga terus menjamah gendang telingannya. Merasuk dalam menjadi elegi kepedihan yang semakin lama terasa semakin menyakitkan.
Tangisan Sofi semakin parah saat kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut Kevin tadi terngiang di telinganya. Kata itu seperti gemuruh petir yang menggelegar menusuk telinganya. Menimbulkan rasa sakit luar biasa yang merasuk ke setiap sel tubuhnya.
Seandainya bisa, Sofi tak ingin terpengaruh dengan semua yang Kevin lakukan. Dia ingin terlihat baik-baik saja, sama seperti mantan kekasihnya itu. Namun begitulah memang sifat wanita. Hatinya terlalu rapuh dan lembut untuk terlihat baik-baik saja di saat sedang patah hati atau kecewa karena cinta.
Sofi mencoba menghentikan tangisnya ketika Jessie menghempaskan tubuh ke kursi yang ada di sampingnya. Wajah gadis itu suram. Menyadari itu, seketika Sofi merasa bersalah. Saat Jessie mulai menatapnya tajam, mengisyaratkan kemarahan dan kebencian, rasa bersalahnya mulai digelayuti rasa sesal. Seandainya saja dia bisa mengulang waktu dan menghindari Edo. Ya, tanpa bertanya pun dia tahu penyebab kemarahan Jessie. Gadis itu pasti sudah melihat fotonya dengan Edo yang sudah terlanjur tersebar di Facebook.
“Jess ... semuanya nggak seperti yang lo bayangin ... gue ... sama Edo nggak ....” kalimat Sofi terputus karena tangisnya mulai pecah lagi. Dia tak sanggup membayangkan kalau harus kehilangan sahabat baiknya. Selama ini Jessie bisa menolerir kesalahan apa pun yang dia lakukan. Seperti: telat datang saat diajak janjian ke mal, lupa hari ulang tahun Jessie, atau membiarkan Jessie bengong sendiri saat di perpustakaan karena dia terlalu fokus dengan buku puisi yang dibacanya. Namun, untuk cowok, apalagi ini Edo—cowok yang sudah diincar Jessie sejak awal masa orientasi—sahabatnya itu pasti tak akan sudi memberi toleransi.
“Gue nggak butuh penjelasan dari mulut orang munafik kayak lo,” ujar Jessie sambil menunjuk Sofi. “Gue pikir lo itu temen terbaik gue, tapi ternyata enggak. Lo jahat, Sof. Lo tahu, kan, kalo gue masih suka sama Edo, tapi kenapa lo ... arrgh! Gue benci sama lo!” lanjutnya sambil menatap Sofi tajam. Kedua tangannya diangkat, seperti ingin mencakar atau menjambak, tapi ditahan.
Melihat ekspresi kebencian Jessie itu, tangis Sofi malah semakin parah.
Sementara itu lantaran tak ingin lebih muak lagi karena harus melihat tampang sok suci Sofi, Jessie bergegas keluar kelas. Baginya air mata Sofi hanyalah kepalsuan. Bahkan seandainya gadis itu menangis darah sekalipun dia tetap tak mau peduli. Dia benar-benar tak menyangka kalau sahabat dekatnya yang begitu dia percaya ternyata penghianat.
Ketika kembali ke kelas Jessie terus menunjukkan raut tak suka pada Sofi. Sepanjang pelajaran di kelas, mereka sama sekali tak saling bicara.
***
Adegan antara Edo dan Sofi masih sering terekam di otak Kevin. Saat sedang sendiri, atau sedang tak melakukan apa pun kejadian itu berkelebat begitu saja di kepalanya. Seperti siang ini. Tadi Ferro dan Dion datang ke rumahnya dan sekarang mereka berdua baru saja pulang. Namun bukannya membersihkan diri dan berganti pakaian, Kevin malah terduduk di ranjangnya sambil memikirkan adegan ciuman Edo dan Sofi.
Kevin tak tahu mengapa dia jadi begitu. Harusnya dia tak perlu memikirkan semua itu, kan? Apa pun yang Sofi lakukan, dengan siapa pun, toh gadis itu bukan pacarnya lagi. Apa mungkin dia merasa cemburu? Kevin menggeleng-gelengkan kepalanya gusar ketika pemikiran itu terlintas di otaknya. Tidak, dia tak cemburu. Dia hanya tak rela kalau Edo merasa berhasil menyaingi atau merasa lebih unggul darinya. Hanya itu.
“Mas Kevin, aya nu neangan di handap?” suara Bik Tini terdengar dari luar kamar Kevin bersamaan dengan suara ketukan pintu pelan.
“Saha, Bik?” tanya Kevin tanpa bangkit dari duduknya. Cowok itu hanya menatap pintu selagi menunggu jawaban Bik Tini.
“Mmm ... teu ngarti, Mas. Bilangnya teh temennya Mas Kevin, begitu saja.”
Berikutnya hanya keheningan yang menyeruak selepas kalimat itu terdengar. Ada yang tak biasa dari Bik Tini. Biasanya asisten rumah tangga Kevin itu pasti berpamitan dulu kalau mau turun lagi, tapi sekarang tidak.
Kevin sengaja berdiam diri. Cowok itu tak berminat bangkit dari duduknya. Tak mungkin Ferro dan Dion yang datang. Mereka baru saja pulang. Sofi apa lagi, lebih tidak mungkin. Gadis itu pasti sudah sangat benci pada Kevin karena beberapa kata menyakitkan yang cowok itu lemparkan di sekolah. Pasti yang datang adalah dua antek-antek Edo. Buktinya Bik Tini sampai jadi aneh seperti itu. Edo pasti ingin balas dendam atas perbuatan Kevin yang telah membuatnya kesakitan sore itu. Setelah memantapkan hati, Kevin akhirnya berjalan mendekati pintu kamarnya dengan ogah-ogahan.
Kevin membelalakkan mata lantaran kaget sesaat setelah membuka pintu kamar. Dugaannya ternyata salah besar. Yang datang bukannya Edo atau kedua temannya, tapi Stela.
“Hai, Vin! Aku boleh masuk, kan? Tadi Bik Tini bilang aku disuruh masuk aja gitu ke kamar kamu. Bik Tini nggak pernah lupa ya ternyata sama kebiasaan aku. Kalau mau ketemu kamu dan kamu lagi ada di kamar, aku pasti langsung disuruh masuk,” cerocos Stela sambil tersenyum sok manis ketika melihat sosok Kevin.
Ucapan Stela itu berlebihan. Gadis itu hanya pernah tiga kali masuk kamar Kevin selama mereka berpacaran. Yang pertama karena menjenguk Kevin sakit. Sementara yang kedua dan ketiga karena mereka sedang belajar bersama. Itu pun pintu kamar Kevin dalam keadaan terbuka lebar. Lagi pula kamar Kevin luas, dan waktu itu mereka duduk di karpet jadi rasanya sama seperti berada di ruang keluarga.
“Tapi, Stel ....” Kalimat sanggahan Kevin tak terselesaikan karena Stela sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar tanpa dipersilakan. Gadis itu malah dengan sengaja menutup dan mengunci pintu ketika Kevin meraih lengannya untuk ditarik keluar.
“Vin, aku udah lama nggak belajar bareng kamu. Tadi aku dapet tugas susah banget. Ajarin aku, dong, kayak yang dulu biasa kamu lakuin,” kata Stela ketika dia telah terduduk di ranjang Kevin.
Kevin yang tadinya berdiri di belakang pintu kini beranjak mendekati Stela. Gadis itu sudah keterlaluan. Dia tak bisa seenaknya. Gadis itu harus dibuat mengerti kalau bagi Kevin dia sudah bukan sosok spesial lagi.
“Stela, lo apa-apaan, sih?! Gue nggak mau ya kalo sampai Bik Tini mikir macem-macem dan dia ngadu ke Mama! Mendingan lo turun deh sekarang!” bentak Kevin ketika langkahnya telah terhenti di depan Stela.
Bukannya takut, dibentak sperti itu Stela malah tersenyum-senyum. Kevin tak tahu kalau dia bukan lagi ‘si pacar SMP’ yang akan menurut jika cowok itu mengatakan apa saja. Stela akan memberitahu Kevin siapa dirinya yang sekarang, maka dari itu dia tak akan pergi.
Dengan senyum yang masih menghiasi bibir, Stela berdiri menghadap Kevin. Merasa bingung dengan tingkah Stela, Kevin hanya bisa terdiam menunggu. Melihat reaksi Kevin, Stela semakin bersemangat melancarkan niatnya. Dalam hitungan detik dia berjalan membelakangi Kevin hingga otomatis posisi cowok itu yang berada di dekat ranjang.
“Lo mau apa, sih?” tanya Kevin jutek ketika membalikkan tubuhnya menghadap Stela. Dia mulai kehabisan kesabaran.
Bukannya menjawab, Stela malah terus berjalan maju. Otomatis Kevin melangkah mundur. Saat tubuh Kevin ambruk dan terduduk di ranjang, Stela tersenyum makin lebar. Semakin Kevin mundur, mencoba menghindar, Stela pun semakin naik ke ranjang.
Kevin mulai merasakan firasat tak baik ketika Stela mulai duduk di atas kakinya yang terjulur memanjang. Dia baru sadar sedang dijebak ketika Stela mulai membuka satu persatu kancing dan melepaskan blouse-nya, menyisakan tanktop ketat dan menampakkan pemandangan yang membuat cowok mana saja yang melihatnya pasti akan tergoda.
Sebagai seorang cowok normal Kevin tentu saja merasakan gejolak dalam dirinya ketika melihat pemandangan di depannya. Apalagi Stela adalah mantan kekasihnya. Seseorang yang pernah singgah dalam hatinya. Dan tak bisa dia pungkiri kalau Stela memang memiliki tubuh yang lebih berisi dibanding Sofi, terutama di bagian dada. Kalau ada yang bisa Stela banggakan atas kebaikan hati atau kecerdasan otak Sofi adalah hal itu.
Sebenarnya Kevin nyaris tergoda oleh ulah Stela. Saat Stela mulai memajukan tubuh dan melingkarkan salah satu lengan ke lehernya, cowok itu malah diam saja dan menatap mata mantan kekasihnya itu seperti terhanyut. Ketika Stela mendekatkan wajah dan menatapnya tepat di manik mata, Kevin malah terhipnotis. Namun akhirnya dia berhasil menguasai diri ketika Stela meraba bagian dadanya. Itu adalah cara yang kerap gadis itu lakukan untuk melumpuhkan seorang cowok. Kevin juga sempat melihat Stela melakukan itu pada pacarnya yang di Semarang ketika dia datang ke kota itu dulu. Mengingat kejadian itu, dia lantas mendorong tubuh Stela. Gadis di depannya itu tak bisa dipercaya. Tak ada untungnya meladeni dia. Stela mungkin hanya ingin menjebak Kevin, tidak lebih. Dan mungkin dari dulu memang tak pernah ada cinta yang tulus di hati gadis itu untuk Kevin.
Kevin lantas mengedarkan pandangannya ke sekitar ranjang, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa dia pakai untuk menutupi tubuh Stela. Ketika melihat selimut yang terlipat di atas bantal, cowok itu menariknya. Dengan gesit dia membuka selimut itu lalu ditutupkan ke tubuh Stela. “Sebagai cewek, orang pertama yang bisa menghargai diri lo itu ya lo sendiri. Kalo lo nggak bisa ngehargain diri lo sendiri, gimana orang lain?” katanya setelah tubuh Stela tertutup sempurna oleh selimut.
Kalimat Kevin itu seketika membuat Stela merasa seperti ditampar. Dia pikir dengan aksinya ini dia mampu membuat Kevin mengerti kalau Sofi—atau siapa pun gadis lain di luar sana—tak ada yang lebih baik darinya. Namun ternyata pemikirannya salah. Dia justru menjatuhkan harga dirinya sendiri.
“Maafin gue, Stel ... gue nggak bermaksud nyinggung perasaan lo. Gue ... nggak bermaksud bilang lo nggak seksi atau apa,” kata Kevin ketika melihat Stela menunduk dan matanya mulai berkaca-kaca.
Stela tak bersuara. Sambil terus mencengkeram selimut yang Kevin berikan, gadis itu mulai menyingkirkan tubuhnya dari hadapan Kevin.
“Gue nggak tahu harus ngomong gimana ke lo. Gue nggak mau juga lo nganggep gue sok bijak atau mungkin munafik. Cuma, bagi gue cewek yang baik itu adalah cewek yang bisa menghargai dirinya sendiri. Karena cara cowok memandang cewek itu tergantung gimana pembawaan mereka dan tergantung gimana cara mereka menghargai diri mereka sendiri.” Kevin melirik Stela yang duduk di sampingnya sekilas sebelum melanjutkan kalimatnya lagi. Gadis itu sudah terisak sekarang. “Karena senakal-nakalnya cowok, selama dia nggak punya gangguan psikis, dia akan tetap berpikir dua kali untuk merusak cewek baik-baik, Stel.”
Kalimat Kevin yang terakhir itu semakin membuat tangis Stela makin parah. Gadis itu benar-benar menyesal karena telah mengkhianati Kevin. Orang bilang, segala hal baru akan terasa berarti ketika telah tak dimiliki lagi. Kerapkali penyesalan baru akan muncul ketika seseorang sadar kalau sesuatu yang pernah disia-siakan itu ternyata lebih baik dari yang dikira. Stela merasakan itu sekarang. Seandainya bisa, dia ingin mengulang waktu dan tak akan pernah dia sakiti Kevin. Namun semua terlanjur terjadi. Penyesalan itu sekarang menjelma menjadi sebuah kesakitan yang setiap detik terasa seperti menusuk-nusuk dinding jantung Stela.
si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
Comment on chapter Prologberkunjung balikke ceritaku ya.