Awalnya Sofi sempat yakin kalau selamanya dia dan hatinya akan baik-baik saja selepas mengakhiri hubungannya dengan Kevin. Namun nyatanya dia hanya mampu bertahan untuk tetap tegar selama beberapa hari. Karena tepat esok harinya setelah Kevin menyatakan kemundurannya, dunia Sofi terasa seperti jungkir balik. Kebahagiaan yang pernah dia rasakan ketika cowok itu ada bersamanya hilang sama sekali.
Senyum yang selalu muncul di wajah Sofi saat di sekolah adalah senyum yang dipaksakan. Luka yang ada di hatinya seperti mempengaruhi kerja seluruh sel tubuhnya. Gadis itu tak merasakan lapar di jam-jam di mana seharusnya dia merasakan lapar. Kalau biasanya dia paling suka kalau dihadapkan dengan pelajaran, sekarang jadi seperti kurang berminat dengan pelajaran apa pun. Hal itu membuat semua nilai pelajarannya turun sangat drastis, lebih parah dari saat awal-awal dia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Kevin. Bahkan untuk Bahasa Indonesia, pelajaran yang paling disukainya, sekalipun.
Hampir setiap pagi Sofi berangkat sekolah dengan mata bengkak karena habis menangis semalaman. Kalau Jessie menanyakan alasan di balik raut wajahnya yang tampak agak menyeramkan itu, Sofi menjawab bahwa dia telat tidur lantaran terlalu lama belajar.
Sebenarnya Sofi tak ingin menjadi cengeng seperti itu. Namun setiap bayangan Kevin berkelebat di benaknya, rasa sesak seketika menjerat batinnya lalu tangisnya akan pecah begitu saja. Apalagi kalau mengingat fakta bahwa Kevin seperti sudah tak peduli lagi padanya, kesedihan yang dia rasakan semakin parah saja. Ya, Setiap kali tak sengaja bersisipan di sudut sekolah mana pun, Kevin hanya berjalan lurus seolah tak sadar dengan keberadaan Sofi. Mereka berdua seperti tak pernah saling mengenal. Kevin terlihat baik-baik saja, seolah tak merasakan sedikit pun luka, padahal Sofi berharap cowok itu juga merasakan rasa sakit dan kehilangan yang sama dengannya.
Sofi tak pernah menyangka kalau ternyata kehilangan orang yang pernah dimiliki itu jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan seseorang yang tak sempat dimiliki. Dulu ketika Sofi suka pada salah satu cowok di SMP dan tahu cowok itu sudah punya pacar, rasa sakitnya tak separah ini. Mungkin justru karena dulu mereka tak sempat bersama, makanya tak ada kenangan yang berarti. Tetapi sekarang dengan Kevin segalanya berbeda. Ada begitu banyak kenangan tentang cowok itu yang tak mudah Sofi lupakan.
Pagi ini ketika mengikuti pelajaran Penjasorkes Sofi juga tak bisa berkonsentrasi. Fokusnya semakin buyar saat matanya menangkp sosok Kevin dan dua temannya yang sedang duduk di taman kecil di depan sebuah kelas. Matanya seperti selalu ingin tertuju pada Kevin, bukannya fokus pada bola Voli yang harusnya dia tangkis. Bukan hanya konsentrasinya yang terganggu, hatinya mulai panas ketika melihat Stela datang mendekati Kevin dan dua temannya. Meski Kevin masih tampak agak cuek menanggapi Stela yang bersemangat mengobrol, tapi tetap saja ada rasa tak rela di hatinysa.
“Sof, awas!” teriak salah satu teman satu tim Sofi ketika bola voli meluncur ke arahnya. Sofi, yang tadinya memperhatikan Kevin dan Stela, segera memfokuskan pandangan ke lapangan kembali. Ketika menoleh, bola voli yang temannya lemparkan sudah berada sangat dekat dengannya. Maka tanpa persiapan Sofi langsung saja menangkis bola voli itu. Alhasil bukannya terlempar melewati net dan masuk ke area lawan, bola itu malah melambung jauh keluar dari lapangan voli. Sofi membelalakkan matanya ketika tahu bahwa bola hasil tangkisannya akhirnya mengenai kepala Stela. Rasa nyeri muncul di dadanya ketika melihat Kevin menggendong tubuh Stela yang sudah tak sadarkan diri. Ketika itu Kevin sempat memandang Sofi beberapa saat. Tatapannya datar, tapi dingin dan tajam. Sofi tahu itu bukan pertanda baik.
Sepeninggal Kevin, Sofi segera berlari keluar lapangan untuk mengambil bolanya. Permainan berlangsung kembali setelah serve dilakukan. Tapi permainan tim Sofi menjadi sangat kacau karena pikiran gadis itu terus tertuju pada kejadian beberapa menit tadi. Karena permainan Sofi tak kunjung membaik hingga akhir pertandingan, kekalahan pun akhirnya harus diterima timnya. Beberapa aggota tim gadis itu sempat menggerutu kesal padanya saat melihat sorak kemenangan tim lawan. Dia hanya bisa meminta maaf sambil memasang raut memelas menaggapi keluhan mereka.
Saat jam pelajaran olahraga berakhir, Sofi menolak diajak ke kantin oleh Jessie. Dia berniat pergi ke UKS untuk melihat kondisi Stela. Dia merasa khawatir dan bersalah.
“Udahlah, Sof, toh udah ada Kevin, kan, tadi? Stela nggak bakal kenapa-napa, kok,” kata Jessie jengkel ketika melihat raut khawatir Sofi. Menurutnya Sofi tak perlu terlalu merasa bersalah seperti itu. Terlalu tidak penting mengkhawatirkan Stela di saat sudah ada Kevin bersamanya. Kalau hanya untuk meminta maaf, kan, bisa dilakukan saat jam istirahat atau pulang sekolah?
“Nggak apa-apa, Jes, gue cuma pengen tahu gimana keadaan dia,” ujar Sofi. Sebenarnya Sofi tak hanya ingin tahu bagaimana keadaan Stela, yang lebih ingin dia ketahui adalah apa yang terjadi di antara Kevin dan mantan kekasihnya itu di UKS.
“Yaudah, cepetan ke kantin kalo udah selesai. Gue tunggu.” Jessie akhirya pasrah lalu membiarkan Sofi pergi ke UKS.
Setelah membalas kalimat Jessie dengan anggukan, Sofi segera berbalik dan melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ruang UKS.
Sofi berjalan mengendap-endap sambil agak membungkuk ketika telah sampai di ruang UKS. Dia melakukan itu karena ingin mendengarkan suara dari dalam ruang UKS. Dia tak ingin mengintip karena takut ketahuan.
Karena tak mendengar suara apa pun, Sofi akhirnya memantapkan hatinya untuk masuk ke dalam ruang UKS. Sekuat hati gadis itu mengabaikan segala kemungkinan akan pemandangan menyakitkan yang nantinya akan dia lihat. Seperti: Stela bersandar manja di pundak Kevin, Kevin membelai lembut rambut Stela yang tengah terpejam matanya, atau Kevin mengecup kening Stela dengan sayang.
Apa yang Sofi khawatirkan ternyata benar terjadi. Bahkan lebih parah dari apa yang dia bayangkan. Ketika mengintip dari celah pintu ruang UKS yang sedikit terbuka, Sofi melihat Stela, yang terduduk di ranjang, tengah memeluk Kevin yang berdiri di samping ranjang. Gadis itu membenamkan kepalanya di dada Kevin. Sementara kedua lengan Kevin merengkuh tubuhnya erat. Gadis itu tampak nyaman sekali. Jantung Sofi terasa seperti dilempari puluhan paku secara bersamaan melihat adegan itu, menimbulkan rasa perih sekaligus ngilu. Seandainya jantung Sofi terbuat dari kaca, mungkin detik itu juga jantungnya akan pecah dan hancur berkeping-keping. Sekuat hati Sofi mengabaikan rasa sakit di dadanya ketika dia memutuskan untuk membuka pintu lebar-lebar dan masuk ke dalam ruang UKS. Saat menyadari kehadiran Sofi, Kevin melepaskan pelukannya.
“Kak Stela ... aku minta maaf. Aku nggak sengaja tadi lemparin bolanya,” ujar Sofi penuh sesal ketika langkahnya terhenti di samping ranjang. Dia abaikan Kevin yang berdiri di sampingnya dan menatapnya dengan tatapan sinis.
Stela hanya diam menanggapi perkataan Sofi. Tatapan matanya menajam dan raut wajahnya menampakkan ekspresi kekesalan yang begitu nyata.
“Lo nyakitin Stela bukan karena lo kesel lihat dia bisa deket sama gue lagi, kan?” tanya Kevin sinis. Dia menatap Sofi tajam ketika melontarkan pertanyaan itu. Sementara lengan kirinya merangkul Stela defensif. “Jangan bikin gue nyesel udah pernah macarin lo, ya, Sof! Karena Stela nggak pernah sekasar itu dulu ke cewek-cewek yang ngedeketin gue. Ternyata kelembutan tutur kata lo nggak selembut sikap lo.”
Mendengar kalimat Kevin itu, hati Sofi terasa dongkol bukan main. Dia pikir Kevin mengenalnya dengan baik sehingga tanpa dijelaskan sekalipun cowok itu tahu kalau dia tak akan mungkin sengaja menyerang Stela. Namun dugaannya keliru. Kevin justru membela Stela dan berburuk sangka padanya.
Saat rasa sakit hatinya semakin parah, mata Sofi mulai berkaca-kaca. Tak ingin menangis di hadapan mereka, gadis itu lantas membalikkan badan dan berjalan cepat meninggalkan ruang UKS. Tak jauh dari ruang UKS dia menumpahkan air mata karena tak sanggup lagi menahan tangis. Jangan bikin gue nyesel udah pernah macarin lo, ya, Sof! Karena Stela nggak pernah sekasar itu dulu ke cewek-cewek yang ngedeketin gue. Ternyata kelembutan tutur kata lo nggak selembut sikap lo. Kalimat Kevin itu terngiang-ngiang berulang kali di telinga Sofi menimbulkan rasa sesak yang luar biasa. Kevin yang tadi dia lihat di UKS seperti sudah berbeda dan berubah drastis dari Kevin yang dia lihat beberapa hari lalu ketika cowok itu memberikan pigura berisi tisu dan kertas cerita dongeng padanya.
Semakin Sofi mengingat ekspresi wajah Kevin yang mengisyaratkan kekecewaan bercampur kemarahan, dadanya terasa semakin sesak. Terlebih saat mengingat kata “lo-gue” yang Kevin ucapkan. Kata itu terdengar terlalu kasar dan menyakitkan di telinganya. Padahal dia sendiri juga suka mengucapkan sebutan itu kalau sedang berbicara dengan Jessie. Teman-temannya yang lain juga suka memakai sebutan itu kalau berbicara padanya. Namun, entah mengapa sakit sekali rasanya ketika mendengar Kevin yang mengucapkannya. Apalagi dengan nada ketus seperti tadi.
Semakin lama air mata yang keluar dari mata Sofi semakin tak terbendung. Rasa sesak di dadanya juga terasa semakin menyiksa. Tubuhnya terasa semakin lemas. Punggungnya yang tadi dia sandarkan di tembok perlahan turun, seolah tak sanggup menopang badan. Dalam kondisinya yang sudah terduduk di lantai pun Sofi terus saja menangis. Mata indah yang dulu pernah berbinar untuknya kini meredup. Suara yang pernah terdengar lembut dan indah di telinganya kini terdengar begitu menyakitkan.
***
Sinar matahari terasa begitu menyengat kulit Kevin ketika dia melangkahkan kaki keluar kelas. Tak ingin kulitnya gosong, dia mempercepat langkahnya ketika berjalan menyusuri lapangan. Dia berharap bisa segera sampai di parkiran dan segera bisa merasakan dinginnya AC di mobilnya.
Tubuh Kevin terasa lebih panas ketika dia masuk ke dalam mobil. Bahkan rasa panas itu merasuk ke jantungnya. AC yang dia nyalakan tak berhasil mendinginkan suhu tubuhnya. Betapa tidak, di depan sebuah ruangan kelas yang sudah mulai agak sepi dia melihat Edo berdiri di depan Sofi. Mereka berdiri sangat dekat. Yang membuat dada Kevin seperti akan meledak adalah posisi kepala Edo yang agak miring di depan Sofi. Dia mengumpat kesal sambil melayangkan tinjunya ke setir ketika melihat adegan itu. Bisa-bisanya Sofi secepat itu dekat dengan Edo! Mana pakai adegan ciuman bibir lagi! Saat Kevin dan Sofi berpacaran saja mereka tak pernah melakukannya. Edo benar-benar kurang ajar! Cowok itu sukses membuat Kevin merasa jadi seperti pecundang.
Rencana Edo yang satu ini benar-benar berada di luar pemikiran Kevin. Dia tak menyangka kalau cowok itu akan melibatkan cewek dalam permusuhan mereka.
Dengan tangan agak gemetar karena amarah yang sudah sampai ubun-ubun, Kevin mengabadikan gambar itu dengan ponsel kameranya. Gambar itu bisa dijadikan bukti kalau nanti Edo menyangkal apa yang telah cowok itu lakukan dengan Sofi saat Kevin melabraknya.
Sebenarnya Kevin ingin membuat perhitungan dan menghabisi Edo sekarang juga, tapi cowok itu tak mau Sofi berpikir bahwa dia cemburu. Tak ingin panas di kepala dan hatinya jadi lebih parah, akhirnya dia memutuskan untuk segera meninggalkan parkiran. Dia mengendarai mobil dengan ugal-ugalan ketika telah berada di jalan raya. Menyalip ke kiri dan kanan tanpa menyalakan sein, kebiasaan yang selalu dia lakukan saat amarahnya sedang meletup-letup tak terkendalikkan.
Dalam kekalutannya itu Kevin memutuskan untuk menghubungi salah satu sohibnya. Tangan kanannya memegang setir, sementara tangan kirinya menempelkan ponsel di telinga.
“Ketemuan di tempat biasa, yuk, Yon! Lo ajak Ferro sekalian,” sahut Kevin setelah Dion menanyakan apa maksud dia menelepon.
“Hah, ngapain? Kan, lo sendiri tadi yang bilang kalo lo mau pulang cepet dan mau istirahat?” tanya Dion heran.
Tadi ketika berada di kelas Kevin memang bilang kalau dia ingin cepat pulang. Dia ingin melakukan kebiasaannya mendengarkan lagu-lagu Maroon 5 sampai tertidur dan melupakan segala hal tentang Sofi. Namun pemandangan di depan sebuah kelas tadi berhasil mengubah pemikirannya. Setelah melihat adegan antara Edo dan Sofi tadi, menghabiskan waktu berteriak-teriak di tempat karaoke bersama dua sohibnya sambil merokok dan minum minuman beralkohol akan terasa lebih menyenangkan baginya daripada sekedar tidur di kamar.
“Gue berubah pikiran. Kayaknya lebih enak teriak-teriak sambil dengerin musik keras-keras bareng lo semua daripada tidur di rumah,” jawab Kevin.
Terdengar suara tawa renyah Dion di seberang. “Okelah! Kita ketemuan di TKP, ya!” kata cowok itu setelah tawanya reda.
“Oke!” sahut Kevin cepat.
Kevin kembali memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju tempat karaoke di mana dia dan dua temannya biasa menghabiskan waktu bersama setelah mematikan telepon. Baginya tak ada yang lebih membuatnya lega selain menghabiskan waktu bersama mereka berdua. Selama beberapa tahun belakangan ini, merekalah yang selalu menemani Kevin menghabiskan waktu-waktu kelam ketika cowok itu nyaris menyerah saat mengetahui fakta tentang kondisi keluarganya yang hancur berantakan. Mereka juga yang menemani Kevin saat cowok itu ada dalam kedaan terpuruk saat mengetahui fakta tentang penyakit yang diderita Alice.
Ada beberapa hal di dunia ini yang tak bisa dibeli dengan uang dan ditukar dengan harta. Salah satunya adalah persahabatan. Kevin tak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya seandainya Dion dan Ferro tak ada bersamanya ketika dia sedang ada dalam fase-fase terburuk dalam hidupnya.
Kevin sampai di tempat karaoke dalam waktu dua puluh menit. Dia melihat Ferro dan Dion sidah menunggunya di depan tempat parkir ketika akan memarkirkan mobilnya. Tempat karaoke itu memang lebih dekat dengan posisi rumah Ferro dan Dion, jadi wajar kalau mereka sampai lebih awal.
Kevin sempat melihat dompetnya sebelum turun dari mobil. Ada lima lembar seratus ribuan di dalam dompetnya. Dia yakin uang itu cukup untuk menghabiskan waktu selama dua jam sekaligus membeli beberapa botol bir untuknya dan dua temannya. Uang itu adalah tabungan yang berhasil dia simpan selama hampir sebulan tidak membeli rokok.
Kevin benar-benar mengeluarkan segala rasa penatnya ketika berada di dalam ruangan karaoke. Selama dua jam berada di dalam, hampir lima puluh persen waktu dia yang menghabiskan. Dia bernyanyi lepas bahkan sampai berteriak-teriak. Tak hanya lagu-lagu Maroon 5 yang dia nyanyikan, beberapa lagu rock juga dia coba nyanyikan sambil berjingkrak dan melompat-lompat. Dion dan Ferro sempat saling bertatapan bingung melihat ekspresi Kevin yang seperti itu. Mereka sadar ada yang Kevin coba untuk lampiaskan, tapi mereka tak ingin bertanya. Saat ini Kevin hanya butuh melakukan apa pun yang bisa membuat hatinya lega.
Ketika tiba giliran Dion dan Ferro bernyanyi, Kevin menghabiskan waktunya dengan merokok dan minum bir. Tak tanggung-tanggung dua botol bir sekaligus telah dia habiskan ketika satu botol bir milik Ferro masih tersisa setengah dan satu botol milik Dion masih tersisa seperempat. Padahal minuman yang Kevin pesan itu adalah bir yang kadar alkoholnya lumayan tinggi.
Dion dan Ferro bertambah bingung ketika melihat Kevin melakukan panggilan pada pegawai karaoke dan memesan satu botol bir lagi.
“Ro, gimana, dong? Jangan ngurusin poni lempar lo terus! Lo liat, tuh, si Kevin, bisa nggak kuat nyetir tuh anak kalau telernya parah.” Dion setengah berbisik pada Ferro, mendekatkan kepalanya lewat belakang punggung Kevin. Ferro menghentikan aktifitasnya merapikan poni dengan bantuan layar ponsel untuk berkaca dan segera mengalihkan pandangannya pada Kevin yang sedang bernyanyi. Cowok itu sudah terlihat agak teler. “Gue mau ngelarang, tapi nggak enak, kan, ini juga Kevin yang traktir,” lanjut Dion setelah berpindah duduk di samping Ferro. Cowok itu tadinya duduk di samping Kevin, dan Kevin yang berada di tengah.
“Lo serahin sama gue aja, lah,” balas Ferro. Cowok itu lantas segera berdiri.
“Vin, gue ke toilet bentar, ya,” pamitnya pada Kevin. Kevin yang sedang fokus bernyanyi sambil memandang layar di depannya hanya menanggapi dengan anggukan.
Setelah keluar dari ruangan karaoke, Ferro segera membatalkan permintaan bir Kevin. Cowok itu menjelaskan apa alasan dia membatalkan pesanan serta memberi si pelayan tip agar mau ikut dalam sandiwaranya untuk pura-pura lupa kalau nantinya Kevin marah. Ketika kembali ke dalam ruangan, Ferro hanya bisa menahan tawa. Ketika Kevin mengomel karena sampai akhir waktu karaoke mereka habis bir pesanannya tak juga diantarkan, dia pura-pura ikut marah. Saat mereka bertiga datang ke kasir untuk membayar semua, Ferro berdiri agak jauh di belakang Kevin sambil membungkam mulutnya agar suara tawanya tak terdengar. Dion yang masih belum tahu apa yang Ferro lakukan, menjitak cowok itu pelan lantas berjalan cepat mengikuti Kevin. Dia khawatir Kevin lepas kendali dan membuat keributan. Usai Kevin dan Dion keluar, Ferro menyempatkan diri untuk berterima kasih pada pegawai karaoke yang dia ajak kompromi untuk membatalkan pesanan Kevin.
Setelah Kevin berpamitan dan mobil cowok itu keluar meninggalkan parkiran karaoke, Ferro segera menjelaskan pada Dion apa yang sudah dia lakukan. Dion ikut tertawa bersama Ferro ketika mengetahui akal bulus yang cowok itu lakukan. Kadang seseorang perlu melakukan kebohongan kecil demi kebaikan orang yang dia pedulikan.
***
Kevin nyaris melupakan urusannya dengan Edo ketika cowok itu sedang dalam perjalanan menuju rumah. Namun keinginannya muncul lagi saat melihat Edo duduk di beranda rumah sambil memainkan gitar. Mobilnya yang tadinya sudah melaju beberapa meter melewati rumah Edo, dia mundurkan lagi. Setelah menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Edo, dia turun dan berjalan tergesa mendekati sepupunya itu. Ketika melihat Kevin mendekat, Edo refleks meletakkan gitarnya lalu segera berdiri.
“Urusan lo cuma sama gue, nggak usah bawa-bawa cewek!” sembur Kevin tanpa basa-basi ketika dia telah berdiri tepat di hadapan Edo.
Edo hanya tersenyum tipis menghadapi omelan Kevin. Untuk saat ini dia berhasil membuat Kevin masuk ke dalam perangkapnya secara perlahan. Tak ada untungnya terus-terusan membalas Kevin dengan kekerasan. Dia tetap saja akan kalah dan Kevin akan selalu jadi pemenang kalau harus adu fisik. Dengan cara ini dia akan membuat Kevin kalah secara pelan namun pasti.
“Maksud lo apaan sih ngomong kayak gitu, Vin? Gue nggak ngerti?” tanya Edo sok polos.
Kevin mengambil ponselnya dan menunjukkan gambar Edo dan Sofi yang sempat dia abadikan di sekolah. Edo hanya tersenyum masam melihat gambar itu. Awalnya dia tak berpikir kalau Kevin akan sampai mengabadikan gambar itu segala. Dia hanya ingin memastikan Kevin tahu. Itu saja. Meski harus melalui orang lain, karena waktu itu dia sama sekali tak melihat Kevin ada di sekitarnya.
Edo memang sangat yakin kalau Kevin masih menyimpan perasaan pada Sofi. Itu yang menjadi penyebab dia mendekati Sofi. Dia tahu betul kalau Kevin bukanlah tipe cowok yang mudah melupakan seseorang yang pernah dicintai setelah putus hubungan. Sama seperti saat dengan Stela dulu. Waktu itu Kevin sering sekali cerita pada Edo kalau dia kesulitan melupakan Stela. Maka ketika melihat tampang Kevin yang mengisyaratkan kemarahan, Edo semakin yakin kalau dugaanya memang benar. Ada kecemburuan yang terpancar di matanya.
“Masih mau pura-pura bego’ lo?” kata Kevin setelah dia memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku celana.
“Bukan salah gue kalo bekas pacar lo jadi tertarik sama aura gue?” kata Edo tenang sambil bersedekap. Senyum sinisnya muncul.
Bekas pacar? Edo benar-benar keterlaluan. Dengan segala amarah yang telah menggumpal di dada, Kevin meninju Edo dengan keras tepat di bagian perut cowok itu. Edo tak melawan dan terus berjalan mundur sambil memegangi perut. Untuk terhindar dari amukan Kevin, Edo tak perlu membalas. Dia hanya perlu terus mundur ke belakang lalu masuk ke dalam rumah.
“Mungkin aja Sofi emang lebih tergoda untuk ngerasain bibir gue daripada bibir lo. Selama pacaran kalian nggak pernah ciuman, kan. Itu pasti karena Sofi sebenernya emang ngak pernah tertarik sama lo?” kata Edo lagi, kali ini sambil menyeringai puas. Tak peduli meski perutnya terasa nyeri. Melihat Kevin yang sedang terpancing amarahnya seperti itu terasa sangat menyenangkan baginya.
“Kurang ajar lo!” desis Kevin sambil menatap Edo tajam. Yang dimaki bukannya menampakkan wajah ketakutan, tapi malah semakin tersenyum sinis seolah menantang. Dengan sekuat tenaga Kevin menendang perut Edo hingga cowok itu terjatuh ke belakang. Namun, Edo tetap tak melawan. Dia terus mundur ke belakang. Setelah mendekati pintu rumah, dia lantas berusaha berdiri dan segera masuk. Cowok itu menutup pintu rapat-rapat dan segera menguncinya agar Kevin tak bisa masuk menyusulnya.
“Bangsat!” umpat Kevin pelan sambil menendang salah satu pohon bonsai yang ada di halaman rumah Edo ketika cowok itu berhasil meloloskan diri.
si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
Comment on chapter Prologberkunjung balikke ceritaku ya.