Selama beberapa hari pasca putus dengan Sofi, ada perubahan signifikan yang terjadi pada diri Kevin. Cowok itu kembali bergelut dengan kebiasaan buruknya yang selama beberapa minggu telah dia hindari. Dia jadi suka merokok lagi tanpa perlu ditawari Ferro atau Dion. Kalau biasanya hanya sering ribut dengan Edo, sekarang dia jadi sering ribut dengan siapa saja. Mulai dari adik-adik kelas hingga teman seangkatannya tak lepas dari keisengan kevin. Dia jadi lebih tempramen.
Suatu hari di parkiran Kevin pernah menabrak bagian belakang mobil teman seangkatannya ketika berangkat sekolah. Mengetahui itu, yang punya mobil turun dan marah padanya. Namun bukannya minta maaf, dia malah menantang berkelahi. Itu kericuhan pertama, tapi bukan yang terakhir. Di suatu hari lain setelah makan siang di kantin Kevin makan pisang bersama Dion dan Ferro. Kulitnya dia lempar ke sembarang arah dan tak sengaja diinjak anak kelas sebelas. Anak kelas sebelas itu otomatis terjatuh. Ketika tahu bahwa ternyata Kevin-lah yang memakan pisang, anak kelas sebelas itu tak terima dan mengajak Kevin berkelahi. Tentu saja Kevin meladeni keinginan anak itu dengan senang hati. Bahkan Dion dan Ferro juga ikut berkelahi melawan teman-teman anak itu.
Selain kejadian di sekolah, Kevin juga pernah berkelahi di luar sekolah dengan ketua OSIS. Kasus kali ini penyebabnya adalah seorang gadis. Gadis itu adalah sekertaris OSIS. Kevin sebenarnya tahu kalau mereka berdua itu sedang dekat. Namun dia tak mau ambil pusing. Ketika si sekertaris OSIS minta diantarkan pulang, dia langsung saja mengiyakan permintaan gadis itu. Awalnya semua berjalan normal-normal saja. Mereka berbicara membahas tentang hobi, olahraga favorit, makanan kesukaan, dan banyak hal lain. Obrolan itu terus berlanjut sampai mendekati rumah gadis itu.
Keanehan mulai tampak ketika Kevin dan si gadis turun dari mobil. Mobil yang awalnya terus mengikuti mereka dari belakang ternyata juga berhenti di halaman rumah si gadis. Segera Kevin tahu kalau itu adalah ketua OSIS ketika si pengemudi mobil turun. Si ketua OSIS marah pada Kevin karena dianggap sengaja mendekati si sekertaris OSIS padahal dia tahu kalau keduanya tengah dekat. Kevin tak terima, karena dia merasa mereka—si ketua dan sekertaris OSIS itu—belum berpacaran. Jadi Kevin merasa sah saja kalau dia dekat dengan si sekertaris OSIS. “Cewek ini bukan robot ber-remote yang bisa lo atur-atur. Dia berhak deket sama siapa aja selagi belum resmi jadi pasangan lo! Belum apa-apa udah posesif, gimana ntar kalau udah jadi pacar? Cinta itu membebaskan, Bro, bukan mengekang!” kata Kevin waktu itu pada si ketua OSIS. Namun, si ketua OSIS tak mau mengerti. Dia terus saja menyalahkan Kevin. Karena kesal terus disalahkan, Kevin akhirnya menghajar si ketua OSIS habis-habisan. Akibatnya Kevin diadukan ke guru BP oleh si ketua OSIS.
Tak berhenti sampai di situ, Kevin terus-menerus membuat ulah di hari-hari berikutnya. Suatu siang saat pulang sekolah Kevin didekati seorang gadis, adik kelasnya. Sebenarnya mereka hanya mengobrol biasa. Mereka berjalan bersama di sepanjang koridor. Tak berapa lama berjalan, pacar gadis itu—yang merupakan teman seangkatan Kevin—datang. Dia marah-marah dan mengatai kalau Kevin itu cowok sok keren, sok ganteng. Kevin yang sudah merasa terbakar amarah segera saja menyerang pacar gadis itu. Hanya dalam hitungan detik, perkelahian itu pun akhirnya terjadi. Kasus itu membuat Kevin lagi-lagi harus masuk ruang BP. Karena ulah Kevin itu Mona sempat beberapa kali dipanggil ke sekolah.
Kevin selalu menyesal setiap kali Mona menasihatinya sambil menangis setelah wanita itu dipanggil ke sekolahnya. Namun cowok itu tetap tak bisa mengendalikan dirinya. Semua itu dia lakukan untuk mengisi kekosongan di hatinya. Semua itu dia perbuat untuk mengisi lubang di hatinya yang terasa semakin melebar pasca kepergian Sofi. Ya, Sofi meninggalkan banyak kepingan luka di hatinya. Gadis itu bagaikan air yang menumpahkan segala kesejukan di hati Kevin. Ketika gadis itu pergi, hatinya dilanda kegersangan lagi.
“Lo beneran putus sama Sofi, ya, Hawk, makanya bisa kacau banget kayak gini?” tanya Dion ketika pelajaran pertama masih belum dimulai. Dia jengah melihat kelakuan Kevin yang semakin tak terkontrol.
“Menurut lo gimana?” jawab Kevin jutek.
“Ayolah, Hawk, lo cerita, dong, sama kita-kita,” kata Dion lagi sambil meninju pelan pundak Kevin.
“Yang namanya orang curhat itu musti pelan-pelan, Yon, lo sabar dikit kenapa?” Ferro ikut menyahut sambil menjambak pelan rambut landak Dion.
Kevin diam sejenak, tak langsung menceritakan semua pada dua sahabatnya itu. Dia tak ingin Dion dan Ferro merasa bersalah kalau nanti mereka mendengar apa yang dia ceritakan.
“Beneran lo nggak mau curhat sama kita, Hawk? Mau lo lampiasin dengan ngajak berantem berapa anak lagi?” tanya Ferro.
Kevin akhirnya menyerah. Entah bagaimanapun perasaan kedua temannya nanti, yang terpenting sekarang dia harus jujur dulu. Cowok itu akhirnya menceritakan secara rinci kejadian yang terjadi antara dia dan Sofi selepas Dion dan Ferro pergi dari rumahnya usai party berlangsung.
“Lo nggak coba buat jelasin semua sama dia?” tanya Dion setelah Kevin mengakhiri ceritanya. Di luar dugaan Kevin, cowok itu sama sekali tak menghakimi Sofi setelah mendengarkan semuanya. Dion malah menganggap wajar kalau gadis baik-baik seperti Sofi tak suka punya pacar yang hobi merokok.
Kevin hanya menggeleng menanggapi pertanyaan Dion. Pandangannya menerawang ke depan sambil tangannya memain-mainkan bolpoin.
“Nggak gampang juga, sih, kalo misalnya lo mau ngejelasin, Hawk. Karena gimanapun juga kepercayaan yang dihianati itu kayak kertas yang diremas. Sekalinya kusut dia nggak akan bisa balik halus lagi seperti semula,” ujar Ferro. Pandangannya menerawang, berpikir bagaimana baiknya Kevin menjelaskan semua pada Sofi. “Apa gue dan Dion ikut turun tangan jelasin ke Sofi?” Ferro merasa kalau dirinya dan Dion perlu meyakinkan Sofi agar gadis itu bisa memaafkan Kevin. Jujur saja, bagi Ferro semakin lama kelakuan Kevin jadi semakin memprihatinkan. Selama ini mereka bertiga memang bukan termasuk murid baik-baik yang penurut. Mereka suka berangkat terlambat, merokok di lingkungan sekolah, tidur saat diterangkan, dan lain-lain. Namun, selama ini mereka bukan tipe-tipe pencari gara-gara seperti yang Kevin lakukan belakangan ini. Dulu cowok itu hanya melawan kalau diserang lebih dulu. Baru semenjak berpisah dari Sofi cowok itu berubah lebih brutal sifatnya. Ferro hanya ingin Kevin menjadi sosok yang lebih baik seperti ketika masih bersama Sofi.
“Nggak usah. Ntar gue ke kelas dia sendiri,” balas Kevin. Dia tak mau melibatkan kedua temannya dalam urusannya dengan Sofi.
Kevin tersenyum getir ketika mengingat bagaimana awal pertemuannya dengan Sofi hingga saat semuanya harus berakhir. Dari masalahnya dengan Sofi sekarang, dia tahu kalau cinta itu tak selalu identik dengan kebahagiaan semata. Cinta selalu hadir sepaket dengan segala risikonya. Risiko kecewa, sedih, bahkan patah hati.
“Lo keliatan menyedihkan banget gitu, Hawk!” kata Ferro sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Kevin. Kevin hanya tersenyum masam menanggapi ucapan Ferro itu.
“Yang kayak gini nih yang bikin gue males cinta-cintaan. Cinta itu lebih abstrak dari mahluk halus dan lebih mengerikan dari film thriller. Kedatangan dan kepergiannya nggak bisa diprediksi. Begitu datang dia membawa begitu banyak kebahagiaan, tapi begitu pergi dia membawa begitu banyak kesakitan,” kata Ferro lagi.
Kalimat bijak Ferro ada benarnya. Namun Kevin sudah terlanjur berani mengambil segala risiko. Biarlah dia gila karena cinta. Baginya lebih baik merasakan cinta hingga kehilangan kewarasan atau menjadi sangat sakit daripada tak pernah merasakan apa-apa sama sekali.
***
Kalau Kevin menjadi lebih brutal tingkahnya, maka Sofi lain lagi. Gadis itu menjadi semakin pendiam belakangan ini. Kalau diterangkan dia sering bengong. Nilai semua mata pelajarannya sedikit menurun. Penyebabnya, ya, karena gadis itu mulai jarang menyentuh buku-buku pelajaran. Jangankan mau belajar, makan saja rasanya tak enak.
Ketika Kevin datang dalam hidupnya, Sofi merasakan gumpalan kebahagiaan mengisi ruang kosong di hatinya. Namun ketika dia memutuskan untuk mengaikhiri semuanya, gumpalan itu seperti direnggut paksa dari hatinya. Sofi merasa ada yang kurang dalam hidupnya.
Perlu kamu tahu, bahwa sampai beberapa hari putus, gadis itu masih menyimpan nomor ponsel Kevin. Selama beberapa hari di setiap malam, pikirannya selalu dipenuhi oleh Kevin. Dia bahkan masih sering membaca beberapa chat dari Kevin. Dia rindu cowok itu. Dia rindu tawa hangat Kevin, dia rindu senyum tipis Kevin, dia rindu suara bariton Kevin yang terasa hangat menyapa dadanya ketika cowok itu menelepon. Dia rindu menatap mata Kevin dan menyentuh rambut Kevin. Dia rindu semua tentang Kevin.
“Sof,” sapa Jessie sambil menyenggol bahu Sofi ketika melihat Sofi melamun.
“Hmm,” jawab Sofi sambil masih bermalasan, menyandarkan kepalanya di meja.
“Lo kenapa, sih, beberapa hari ini kayak agak aneh?” tanya Jessie sambil mendekatkan wajahnya ke Sofi. Jessie menyadari segala perubahan yang ada pada diri Sofi sudah dari beberapa hari lalu sebenarnya, tapi baru kali ini dia berani bertanya.
“Nah, lo juga kenapa dari pagi kayak nggak bersemangat gitu?” tanya Sofi balik. Sama seperti dirinya, Jessie juga terlihat lesu. Bedanya, kalau Sofi sudah dari beberapa hari kemarin, Jessie baru pagi tadi kelihatan aneh begitu.
“Lo duluan aja yang cerita,” sahut Jessie.
“Gue putus sama Kevin,” ujar Sofi lemah.
“Hah, serius? Kok lo nggak nangis?” tanya Jessie penasaran. Dia yakin Sofi merasakan kehilangan luar biasa karena perubahan pada diri sahabatnya itu memang cukup mencolok. Namun, selama beberapa hari terakhir ini Jessie tak melihat Sofi terlalu sedih bahkan sampai menangis. Bukan apa-apa, Jessie sering melihat teman-temannya yang lain menangis di kelas kalau sedang bertengkar atau putus dengan pacarnya. Tapi Sofi tidak. Gadis itu kelihatan tegar-tegar saja. Di awal ketika melihat perubahan pada Sofi, Jessie malah berpikir kalau sahabatnya itu sedang sakit makanya jadi tak konsentrasi belajar.
“Di rumah, Jes, nangisnya,” kata Sofi sembari mengangkat kepalanya. ”Sekarang giliran lo yang cerita.”
“Masalah kita sama persis. Gue juga putus sama Edo,” kata Jessie. Raut wajahnya berubah sendu.
“Hah! Kok bisa, sih?” tanya Sofi. Selama ini hubungan keduanya terlihat hangat-hangat saja. Bahkan kemarin Sofi masih melihat Jessie keluar bersama Edo waktu jam istirahat.
“Gue itu nggak tahu, ya, kenapa Edo jadi emosional banget tiap kali gue ngelarang dia buat bales dendam ke Kevin,” kata Jessie memulai ceritanya. Pandangannya menerawang seperti tertuju ke papan tulis, tapi sebenarnya tidak. “Kemaren siang dia bilang kalo mau bales nyerang Kevin. Gue larang dia, dong, soalnya itu juga demi kebaikan dia. Ya, intinya gue nggak mau dia terus-terusan ribut sama saudaranya sendiri,” lanjut Jessie, pandangannya masih menerawang sambil menccoba mengingat-ingat kejadian kemarin siang. Sofi mendengarkan dengan hati-hati sambil mengangguk paham.
“Dia marah waktu gue larang, tapi gue diem. Malemnya gue ke rumah dia. Dia mau keluar waktu itu, sama temen-temennya. Gue tahan lagi dia supaya jangan nyerang Kevin. Dianya malah kasar ... ke gue ... terus dia bilang putus,” kata Jessie lagi. Suaranya terputus-putus karena tangisnya mulai pecah.
“Ssst ...,” kata Sofi. Dia rangkul pundak Jessie kemudian dielusnya pundak sahabatnya itu pelan.
“Lo diapain waktu itu?” tanya Sofi hati-hati. Sebenarnya dia tak ingin Jessie jadi sakit lagi karena harus mengingat kejadian tadi malam, tapi rasa penasarannya lebih mendominasi. Edo cenderung suka kasar kalau sedang marah, wajar kalau dia curiga.
Jessie tak langsung menjawab. Gadis itu masih sesenggukan. “Dia dorong gue sambil ngebentak gue. Dia bilang gue cerewet, bawel, rempong, bahkan dia tampar gue sebelum bilang putus,” jelas Jessie akhirnya, tangisannya semakin parah.
Sofi terus menenangkan Jessie dengan mengelus punggung gadis itu. Dia tak habis pikir kenapa seorang lelaki yang katanya mencintai bisa berbuat kasar seperti itu. Dulu waktu ayahnya masih hidup, dia pernah diberitahu kalau laki-laki diciptakan dengan kekuatan fisik lebih itu fungsinya untuk melindugi dan membuat wanita merasa aman, bukannya malah digunakan untuk berlaku semena-mena dan membuat wanita merasa tersakiti.
Pandangan Sofi beralih ke bagian depan ruangan kelas ketika mendengar derap langkah seseorang. Matanya seketika membelalak saat melihat sosok Kevin. Jantungnya seketika berdetak tak beraturan. Desir halus di dadanya masih terasa ketika dia menatap mata tajam Kevin. Kekagumannya akan keindahan Kevin juga belum menghilang sama sekali. Raut wajah itu masih sama indahnya seperti saat pertama kali Sofi menatapnya lebih dari sebulan yang lalu.
“Sof, ada yang mau aku bicarain,” kata Kevin tanpa basa-basi ketika telah sampai di meja Sofi. Ditariknya lengan Sofi hingga gadis itu berdiri. Melihat itu Jessie yang tangisannya sudah reda segera ikut berdiri. Dia tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Sofi. Dia tak ingin Kevin melakukan kekerasan pada Sofi seperti apa yang Edo lakukan padanya.
“Ap ... apaan sih, Kak Kevin, lepas,” kata Sofi. Dia terpaksa mengikuti Kevin. Gadis itu terus berusaha melepaskan tangannya, tapi semakin dia meronta cengkeraman Kevin justru semakin kuat. Tak ingin tangannya jadi semakin sakit, akhirnya dia berhenti meronta dan pasrah mengikuti langkah Kevin keluar kelas. Di belakang mereka berdua, Jessie terus mengekor.
Langkah Kevin terhenti di dalam gudang. Cowok itu memposisikan tubuh Sofi berdiri dekat dengan tembok. Sengaja. Supaya Sofi tak bisa kabur. Saat Kevin semakin maju, Sofi mundur beberapa langkah. Ketika punggungnya mentok mengenai tembok, langkahnya terhenti. Tak ingin gadis yang ada di depannya menghindar atau bahkan berlari, Kevin lantas mengunci pergerakan Sofi dengan meletakkan kedua tangannya di samping kanan dan kiri tubuh gadis itu. Matanya menatap Sofi tajam. Seolah tak gentar, Sofi juga melakukan hal yang sama. Sebisa mungkin dia mengabaikan getaran halus yang merambat di dadanya saat menatap manik mata Kevin. Gemuruh di dada gadis itu semakin keras saat Kevin tak juga berhenti menatap matanya. Dari cara mereka berdua saling bertatapan, bisa terlihat jelas kalau keduanya masih saling menyimpan rasa cinta.
“Vin, lo mending lepasin Sofi, deh!” kata Jessie yang baru menyusul sambil menarik baju seragam Kevin.
Tak ingin diganggu, Kevin segera menoleh pada Jessie. Dengan tatapan tajam dia memandang gadis itu. “Gue nggak akan nyakitin Sofi dan lo tahu itu. Sekarang lo boleh pergi,” desisnya penuh penekanan.
Jessie tak perlu mengatakan kalimat lain lagi untuk melarang Kevin. Dia percaya cowok itu tak akan menyakiti Sofi. Lagi pula nada suara Kevin yang penuh penekanan cukup membuatnya paham kalau cowok itu sedang tak ingin urusannya dicampuri siapa pun. Akhirnya dengan terpaksa dia melangkahkan kakinya keluar gudang.
Setelah Jessie menghilang dari pintu, Kevin kembali menatap Sofi lekat-lekat. Mata cerah itu, hidungnya yang mancung, bibir mungilnya, semua masih tampak memesona di mata Kevin. Segala hal yang semakin dipandang akan menghasilkan getaran indah merambat di dada cowok itu.
“Tolong beri aku kesempatan, Sof.” Kevin memohon pelan. Wajahnya tampak memelas. Kedua tangannya yang tadi berada di tembok telah beralih pada kedua pundak Sofi. Baru kali ini cowok itu memohon pada seorang gadis. Dulu dia tak pernah sampai seperti ini kalau sedang minta izin pada Stela untuk pergi bermain futsal bersama teman-temannya di hari Minggu. Hari yang selalu Stela jadwalkan menjadi hari di mana seharusnya mereka menghabiskan waktu berdua.
Kevin pikir reaksi Sofi akan sama tenangnya dengan dia. Namun dugaannya keliru. Tak disangka-sangka Sofi justru mendorongnya sambil berkata, “Nggak ada lagi yang perlu dijelaskan, Kak Kevin! Aku itu nggak buta. Semua yang aku liat sore itu jelas banget! Sudah berapa kali Kak Kevin ngelanggar janji?!”
Kevin terus menatap Sofi sambil menahan dua tangan gadis itu yang terus meronta. Panggilan “Kak Kevin” itu terdengar begitu menyakitkan di telinganya. Tak ada lagi sebutan “kamu”, seolah Sofi sekarang telah benar-benar menganggap dia orang lain. Seolah Sofi ingin memperjelas bahwa hubungan mereka sekarang hanya sebatas kakak dan adik kelas.
Kevin masih terus mencengkeram kedua tangan Sofi. Dia terus menatap Sofi dalam dan semakin mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Sementara itu Sofi juga tetap tak mau menyerah. Gadis itu tak henti-hentinya meronta. Bersamaan dengan rasa lelah yang mulai muncul, air matanya keluar dari kelopak mata.
“Lepasin, Kak Kevin ... lepas,” kata Sofi sambil terus menangis. Namun, Kevin tak mau peduli. Cowok itu masih terus menahan kedua tangan Sofi. Matanya menatap lurus dan kosong ke dalam iris hitam Sofi.
Perlahan pertahanan Sofi runtuh. Akhirnya dia biarkan Kevin memeluk tubuhnya. Dia menangis dalam dekapan mantan kekasihnya itu selama beberapa detik.
“Aku sayang sama kamu, Sof. Kamu membuat hidup aku terasa lebih baik. Tolong jangan pergi,” bisik Kevin lemah sambil memejamkan matanya ketika dekapannya semakin erat.
Selama dalam dekapan Kevin itulah bayangan kelam yang selama ini Sofi rahasiakan berkelebat. Bayangan kelam akan kenyataan yang menyakitkan. Yang memaksanya berhenti berjalan dengan tawa yang terurai di atas luka dan air mata. Dia harus berhenti karena kehangatan yang tercipta olehnya disertai oleh kedinginan yang mencekam. Sadar penerimaan yang dilakukannnya itu salah, Sofi lantas mendorong tubuh Kevin. Namun Kevin melakukan refleks yang cepat. Dia tahan lagi kedua tangan Sofi.
“Lepas,” kata Sofi lemah sambil terus terisak.
Kevin seolah tak mau mendengar permohonan Sofi itu. Dia malah mendekatkan wajahnya ke wajah Sofi. “Sof, aku ... argh!” kata-kata Kevin terputus karena Sofi menginjak kakinya. Ketika cekalan tangannya mengendur akibat sakit di kakinya, Sofi berusaha melepaskan diri.
Kevin sempat melihat Sofi berlari di kejauhan ketika dia melangkahkan kakinya ke luar gudang. Gadis manis dengan senyum cerah itu kini tak bisa dia gapai lagi. Tak akan bisa dia rengkuh lagi.
***
Sofi melangkah gontai melewati jalanan menuju rumahnya. Rasa lelah yang melandanya seusai berkeliling menjajakan kue buatan Tiara membuat tubuhnya terasa lemas. Meski begitu wajahnya tetap terlihat cerah karena keranjang kue di tangannya sudah habis isinya. Tiara pasti senang melihat uang hasil penjualan kue yang dia bawa.
Ketika langkah Sofi sudah sekitar lima puluh meter dari rumah, gadis itu mendengar deru mesin mobil yang mendekat ke arahnya. Ketika menoleh dia mendapati mobil Kevin di belakangnya. Tak mau peduli, dia terus melanjutkan langkahnya. Tak ada lagi yang perlu dibenahi. Meski nyatanya sekarang hatinya terasa sakit, tapi Sofi yakin lama-lama dia akan terbiasa. Sebelum bertemu Kevin, dia bisa hidup normal tanpa pacar-pacaran. Maka, seiring berjalannya waktu dia yakin hidupnya akan kembali normal seperti sedia kala.
Merasa diabaikan, Kevin akhirnya turun dan berlari mendekati Sofi. Dicekalnya tangan gadis itu agar berhenti berjalan.
“Sof, aku mau ngomong sama kamu,” kata Kevin ketika Sofi telah berbalik menghadapnya.
Raut Kevin tampak serius. Tatapan matanya tajam dan tegas, tidak tampak layu dan memelas seperti waktu dia minta maaf di sekolah.
“Harus berapa kali aku bilang ke Kak Kevin kalau nggak ada yang perlu lagi dijelasin! Atau Kak Kevin nggak ngerti Bahasa Indonesia? Minta diomongin pakai Bahasa Jerman?” desis Sofi. Raut cerianya berubah masam.
Kevin terdiam beberapa saat. Dia tahu Sofi sedang berakting. Ekspresi wajah yang seperti itu sama sekali bukan yang biasa Sofi tampakkan bahkan di saat gadis itu sedang marah. Mungkin Sofi sengaja menampakkan raut wajah seperti itu agar dia berhenti mengganggu.
“Ada yang mau aku kasih ke kamu,” kata Kevin. Cowok itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu diberikan pada Sofi.
Sofi memerhatikan pigura dari Kevin dengan seksama. Di pigura itu ada selembar tisu kusut dengan noda darah yang sudah mengering. Di bawahnya ada sebuah guntingan kertas. Kertas itu adalah tugas Bahasa Inggris Kevin, hasil tulisan tangan Sofi. Sofi mengerutkan keningnya ketika dia melihat dua benda itu. Dia tak tahu apa maksud Kevin memberinya semua itu.
“Tisu itu adalah tisu yang kamu pakai untuk membersihkan luka di siku aku waktu itu,” kata Kevin.
Sofi membuka mulutnya ketika mendengar kalimat Kevin itu. Dia tak percaya kalau Kevin masih menyimpannya.
“Kamu berhasil menyentuh hati aku sejak pertama kali aku menatap mata kamu saat kamu memebersihkan luka di siku aku pagi itu,” katanya sambil menyentuh wajah Sofi. “Kamu adalah seberkas cahaya yang datang menerangi hidup aku yang penuh dengan kegelapan. Terima kasih karena kamu sudah mau menyempatkan diri jadi bidadari penyelamat untuk pengembara yang tersesat,” lanjutnya sambil tersenyum lembut.
Senyum lembut Kevin itu meski terlihat indah, tapi menimbulkan rasa pedih di hati Sofi Dalam hitungan detik air mata gadis itu jatuh dan mengalir deras. Kevin telah menyerah. Kenyataan itu membuat dada Sofi sesak.
Sofi tak menyangka kalau Kevin menganggap dua barang yang berhubungan dengannya itu begitu istimewa. Dia tak menyangka kalau ternyata perasaan Kevin sedalam itu. Dia tak menyangka kalau dongeng karangan Kevin yang selama ini tak pernah dianggap penting olehnya ternyata menceritakan dirinya. Fakta itu membuat segumpal sesal singgah di dada Sofi. Dia telah membuat cowok dengan cinta tulus itu mundur. Seandainya bisa, dia ingin memutar waktu. Dia ingin menghapus adegan ketika mulutnya mengucap kata “putus” agar tak perlu ada hati yang terluka. Agar matanya tak perlu mengeluarkan air mata. Namun, itu tak boleh dia lakukan.
“Kamu simpan itu, biar kamu tahu kalau selalu ada seseorang yang akan menyimpan nama kamu di hatinya. Biar kamu tahu kalau ada seseorang yang akan selalu menyimpan senyum indah kamu dalam ingatannya. Biar kamu tahu kalau ada seseorang yang selalu memberikan cintanya untuk kamu, meski kamu nggak pernah menginginkannya.” Kevin mengucapkan kalimat itu sambil mengusap pundak Sofi. Ada senyum lembut di wajahnya. Namun, kali ini senyum itu tak tampak indah lagi. Senyum itu terlihat begitu getir, suram, dan layu.
Dada Sofi semakin sesak ketika mendengar penuturan Kevin. Setiap kata yang diurai cowok itu merasuk ke dalam dinding jantungnya. Menciptakan getar-getar rasa sakit yang mencekam. Air mata yang turun membasahi pipi Sofi mengalir semakin deras. Isakannya terdengar semakin keras dan memilukan. Kevin tidak tahu kalau bagi Sofi sampai kapan pun raut wajah terindah yang ada di benakya adalah milik cowok itu. Kevin tidak tahu kalau bagi Sofi mata jernih yang selalu ingin dia tatap adalah mata cowok itu. Kevin tidak tahu kalau bagi Sofi rengkuhan hangat yang selalu ingin dia rasakan adalah pelukan cowok itu. Kevin tidak tahu kalau bagi Sofi nada termerdu yang selalu ingin dia dengar adalah suara cowok itu.
Sofi masih terus terisak bahkan sampai mobil Kevin telah menghilang dari hadapannya. Cowok itu tak lagi bisa dia sentuh.
si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
Comment on chapter Prologberkunjung balikke ceritaku ya.