Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ich Liebe Dich
MENU
About Us  

Kevin baru selesai mengganti pakaiannya ketika dia mendengar suara ribut berasal dari ruang tamu. Dia segera berlari keluar kamar ketika menyadari bahwa suara ribut itu berasal dari Radit dan Mona. Dengan cemas dia memperhatikan dua orang yang sedang beradu mulut itu dari depan kamarnya.
   Pemandangan seperti ini bukan yang pertama kalinya Kevin lihat. Dia sudah biasa melihat keributan antara ibu dan ayahnya. Biasanya selagi mereka hanya ribut-ribut kecil dia hanya akan memperhatikan dari kejauhan seperti ini. Cowok itu baru akan mendekat dan melerai kalau Radit sudah mulai berbuat kekerasan. Dia paling tidak bisa tahan kalau Mona disakiti secara fisik oleh Radit.
   Sebelumnya Kevin tak pernah menduga kalau kedua orangtuanya akan sering terlibat konflik seperti ini. Dulu hubungan kedua orangtuanya harmonis-harmonis saja. Pertama kali Kevin melihat orang tuanya ribut di depan matanya adalah ketika dia masih duduk di bangku kelas sembilan. Sedangkan Alice waktu itu masih duduk di bangku kelas empat. Siang itu mereka berdua pulang sekolah bersama seperti biasa. Ketika sampai di rumah keadaan ruang tamu sudah berantakan. Kursi-kursi bergeser dari tempatnya semula dan vas yang biasanya ada di atas meja jatuh di lantai dengan kondisi yang sudah pecah.
   Melihat Mona yang sedang menangis dan bersandar di salah satu kaki meja, Alice dan Kevin segera mendekati wanita itu.
   “Mamaaaa!” jerit Alice. Dia berlari mendekati Mona. Tangis gadis itu pecah begitu saja melihat kondisi Mona. Mona mengelus kepala Alice yang sudah berada di pelukannya. Di sisi kanan Mona, Kevin sedang menatap Radit dengan penuh penghakiman. Dia sebenarnya ingin tahu apa yang terjadi. Dia tak terima ibunya disakiti begitu. Namun dia masih terlalu takut untuk melawan Radit. Akhirnya dia hanya bisa menatap ayahnya itu dengan segenap rasa sakit hati yang menggumpal di dada. Meski baru pertama kali melihat ayah dan ibunya ribut, tapi baginya itu sudah di luar batas wajar. Dia tak terlalu bodoh untuk tidak mengerti bahwa apa yang Radit lakukan sangat tidak pantas.
   Seolah tak mempedulikan kehadiran Kevin dan Alice, Radit terus saja membentak-bentak Mona. “DASAR KAMU ISTRI TAK TAU DIUNTUNG! SETIAP HARI BISANYA CUMA CURIGA SAJA SAMA SUAMI!” bentaknya. Suaranya terdengar menggelegar. Mona tak menyahuti ucapan Radit dia hanya menagis dan menangis. Alice juga, gadis itu menangis sambil terus memeluk Mona. Suara dengingan tangis mereka semakin lama terasa seperti merobek jantung Kevin. Namun lagi-lagi dia hanya bisa diam. Dia terlalu takut untuk membalas bentakan kasar Radit.
   “APA LAGI BISANYA KAMU SELAIN CURIGA DAN MEMFITNAH SUAMI, HAH! DASAR WANITA LAKNAT!” teriak Radit lagi. Hati Kevin tersayat mendengarnya.
   Kevin memandang ibunya sesaat. Air mata di pipi wanita itu terus mengalir. Rambutnya agak berantakan. Kevin tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mona. Kalau dia sendiri merasa ikut tersakiti atas perkataan ayahnya bagaimana dengan ibunya? Kevin yakin Mona pasti jauh lebih sakit hati dari dirinya. Namun wanita di sampingnya itu tampak tenang. Tak ada raut ketakutan. Hanya air matanya saja yang terus mengalir. 
    “Aaaahh! Jang ... ngannn, Paa. Jangan bentak Ma ... ma,” kata-kata Alice terputus oleh tangisnya yang mulai sesenggukan.
   “KAMU ITU WANITA BIADAB MONA! TIDAK ADA HORMAT-HORMATNYA SAMA SUAMI!” seolah tak peduli dengan tangisan Alice, Radit terus saja membentak Mona. Kali ini dia bahkan sampai menjambak dengan keras rambut Mona kemudian menyentakkan kepala wanita itu ke belakang.
   “Ahh! Jangan, Paaa! Jang ... ngaan sakitin Mama!” jerit Alice, masih dengan diiringi isakan tangis.
   Sementara itu, seolah tak merasakan sakit, Mona membalas ucapan Radit dengan tenang. Jambakan Radit dan bentakan pria itu seperti sama sekali tak berpengaruh padanya. “Bagaimana ... mau hornat ... kalau Mas Radit terus-terusan dingin ke aku,” katanya pelan.
   “Kamu yang bikin saya dingin ke kamu tahu! INI SEMUA KARENA ULAH KAMU SENDIRI GOBLOK!” kata Radit sambil menendang meja ke arah Mona. Meja itu mengenai kursi hingga terdengar suara benturan keras.
   “Al ... lice takut, Ma ....” Alice masih terus terisak. Kevin yang sudah tidak tahan melihat semua itu akhirnya memeluk Mona dari depan dengan maksud agar dia bisa melindungi jika Radit menyakiti wanita itu.
   “Salah aku bagaimana? Mas Radit saja yang mengada-ada,” kata mona pelan, masih sambil menangis.
   “Apa kamu bilang? Mengada-ada? SAYA ATAU KAMU YANG MENGADA-ADA?! SUAMI KERJA DIBILANGYA KELAYAPAN! DARI DULU JUGA KAMU YANG NGGAK TAHU DIRI MONA!” bentak Radit tak terima. 
   “Uu ... udah, Pa. Kasihan Ma ... ma,” kata Alice. Kalimatnya terputus-putus dan bergetar karena tangisnya yang mulai sesenggukan. Mona memeluk Alice lebih erat. Wanita itu lantas mengecup kening Alice dan Kevin bergantian. “Al ... lice ta ... kut, Ma.”
   “Nggak apa-apa, Sayang,” bisik Mona di sela isakan tangisnya. Wanita itu lalu mengecup kening Alice dalam, sementara tangan kanannya mengusap-usap pundak Kevin.
   Keributan itu baru bisa dihentikan setelah ada beberapa tetangga yang mendatangi rumah Kevin. Beberapa warga menenangkan Mona. Beberapa yang lain mengambilkan Alice air minum.
   Sebenarnya Kevin dan Alice masih terlalu dini untuk menyaksikan kejadian pertengkaran itu. Tidak sepantasnya anak di bawah umur menyaksikan pertengkaran kedua orangtuanya karena itu dapat mengganggu perkembangan psikis mereka. Beberapa bulan setelah kejadian itu baru Kevin mengetahui sebuah fakta bahwa kedua orangtuanya ternyata sudah beberapa kali ribut seperti itu. Tetangganya yang bercerita padanya. 
   Mona memang selalu berusaha menyembunyikan pertengkarannya dengan Radit. Di hadapan kedua anaknya dia selalu menampakkan bahwa hubungannya dengan suaminya itu baik-baik saja.
   Sejak saat itu Kevin selalu waspada setiap melihat Radit ribut dengan Mona. Ketika duduk di bangku kelas sepuluh dia sudah mulai berani membela ibunya. Dia tak peduli. Meski dia tak pernah tahu duduk perkara yang sebenarnya dan tak pernah tahu siapa yang salah dan siapa yang benar, tetap saja baginya seorang wanita tak pantas disakiti dan diperlakukan kasar. 
   Kevin segera berlari ke bawah dan mendekati kedua orangtuanya ketika melihat Radit mendorong Mona hingga tubuh wanita itu mundur beberapa langkah.
   “Pa, mau sampai kapan Papa kayak gini terus ke Mama?” tanya Kevin sambil menatap Radit tajam.
   “Apa kamu? Nggak usah ikut campur urusan Mama sama Papa, ya!” bentak Radit. Dia tak terima Kevin membela Mona.
   Kevin sedang malas ribut dengan Radit. Percuma, dibantah seperti apa pun, ayahnya itu tak akan reda amarahnya. Tak ingin menggubris Radit, Kevin segera meninggalkan ayahnya itu lalu mengajak Mona masuk ke dalam kamarnya.
   Kevin melihat mobil Radit meninggalkan gerbang rumahnya dari jendela kamar Mona ketika dia beranjak untuk mengambil minum ke dapur. Ketika kembali ke kamar Mona, Setelah membiarkan ibunya itu minum dulu, Kevin mulai mempertanyakan apa yang menjadi penyebab keributan tadi. Bukannya mananggapi pertanyaan Kevin, Mona malah menangis lagi. Untuk menenangkan, Kevin mengecup punggung tangan Mona. Dia hampir ikut menangis saat Mona mulai sesenggukan dan menyandarkan kepala di pundaknya. Untungnya dia berhasil menahan diri setelah mengambil napas dalam dan mengembuskannya beberapa kali. Dia biarkan Mona melampiaskan sakit hatinya dengan tangisan selama beberapa menit. Baru setelah tangisan Mona Reda, dia kembali menanyakan penyebab keributan tadi. Awalnya Mona menolak untuk bercerita. Namun setelah dia mengancam tidak mau makan seharian kalau Mona tak mau cerita, akhirnya wanita itu buka suara juga.
   “Tadi papa kamu itu mau ke kamar. Nggak tahu mau ambil apa,” cerita Mona setelah mengangkat kepalanya. “Pas dia jalan, Mama liat buku tabungannya jatuh dari map kerja. Pengeluarannya lumayan banyak dan sering sekali, Kak. Sedangkan dia nggak pernah kasih nafkah buat Mama. Kalau untuk pengeluaran perusahaan, kan, biasanya yang urus orang kantor. Lagi pula juga biasanya bukan dari rekening pribadi papa kamu,” jelas Mona. Wanita itu menjelaskan dengan tenang. Air mata yang sempat  di mengalir di pipinya kini sudah kering. Tak ada lagi raut kesedihan di wajah wanita itu. Meski begitu Kevin yakin kalau Mona masih menyimpan luka dan kesedihan yang mendalam.
   “Ma, mungkin nggak sih Papa itu ....” Kevin menggantung kalimatnya. Dia takut perkataannya akan menyakiti hati Mona nantinya.
   “Papa kamu kenapa?”
    Ragu-ragu Kevin melanjutkan kalimatnya. “Kalau Papa itu ... dekat sama wanita lain.” Kevin segera memperhatikan raut wajah Mona usai berkata begitu. Mona tampak resah. Tampak khawatir. Namun beberapa detik kemudian wanita itu tersenyum pada Kevin.
   “Rumah tangga itu dibangun di atas pondasi yang terdiri dari dua janji, yaitu janji kepada wali dan janji kepada Tuhan. Jadi, papa kamu nggak mungkin main-main, Kak!” kata Mona sambil mengelus kepala Kevin lembut. 
   “Maaf, Ma, kalau Kevin lancang udah buruk sangka sama Papa.”
   “Nggak apa-apa, kok,” jawab Mona sambil tersenyum teduh.
   Kadang Kevin heran mengapa Mona masih saja bisa bertahan di antara segala rasa sakit yang begitu menyiksa. Apa itu semata-mata hanya karena cinta? Padahal Kevin yakin ibunya itu akan baik-baik saja kalau harus berpisah dengan ayahnya. Bukankah selama ini mereka tidak dinafkahi? Dan buktinya Mona bisa bertahan meski tanpa Radit.
   Suatu hari Kevin pernah dengar seorang tetangga memberinya nasihat. Katanya ketika seseorang sudah berumah tangga dan telah mempunyai anak-anak, dia tidak bisa bersikap egois lagi. Segala keputusan yang diambil sudah bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi akan melibatkan anak-anaknya juga nantinya. Mungkin itu juga yang menjadi pertimbangan Mona untuk tidak berpisah dengan Radit. Mona tak hanya memikirkan tentang dirinya sendiri, tapi juga memikirkan tentang masa depan Kevin dan Alice.
***
   Party berjalan tanpa Kevin rencanakan. Lepas magrib—ketika Kevin akan menyusul Mona dan Bik Tini di rumah sakit—tiba-tiba saja Dion dan Ferro mendatangi rumah Kevin dengan membawa seplastik besar makanan dan minuman. Kevin tak mungkin mengusir mereka. Dengan terpaksa akhirnya Kevin mengajak mereka naik ke kamarnya. Di balkon kamarnya pesta itu dimulai. Dion mengeluarkan semua isi tas plastik yang tadi dibawanya. Tiga botol bir, tiga kotak rokok, dan berbagai macam cemilan ringan cowok itu keluarkan dari sana.
   “Pinjem gelas dong, Hawk,” kata Dion ketika dia berniat meminum birnya.
   “Lo ambil aja sendiri di dapur. Gue nggak ikut minum nggak apa-apa, kan?” tanya Kevin ragu-ragu.
   “Nggak bisa! Lo harus minum,” kata Dion.
   “Ayolah, Hawk! Lo kenapa, sih? Nggak biasa-biasanya kayak gini?” Ferro yang menyadari keanehan Kevin ikut buka suara.
   “Yaudah, satu orang ikut ke dapur kalo gitu, bantuin gue bawa gelas,” kata Kevin akhirnya.
   Dion yang ikut mengekor di belakang Kevin. Sama seperti Ferro, Dion-pun merasa ada keanehan pada diri Kevin. Dia pikir Kevin jadi seperti itu karena Mona. Mengingat tentang Mona, Dion jadi merasa khawatir. Takut kalau tiba-tiba nanti wanita itu pulang dan memergoki mereka sedang berpesta.
   “Nyokap lo biasanya pulang jam berapa, Hawk?” kata Dion ketika mereka telah kembali dari dapur dan sedang berjalan menaiki tangga prnghubung kamar Kevin.
   “Mama jarang pulang, sih,” jawab Kevin, “lebih sering nemenin Alice di rumah sakit. Kalo pulang  pun biasanya sekitar jam sepuluhan malem gitu, kenapa?”
   “Nggak, gue takut aja kalo nyokap lo tiba-tiba pulang dan marah-marah ngelihat kita,” jawab Dion.
   Mereka bertiga menghabiskan waktu selama kurang lebih satu jam untuk mengobrol, makan, dan minum. Makanan yang mereka bawa tadi hanya tersisa sedikit ketika Dion dan Ferro berpamitan pulang. Dua botol bir habis tak tersisa isinya, sementara satu botol lain isinya masih separuh. Botol yang isinya masih separuh itu milik Kevin. Dion dan Ferro membawa beberapa batang rokok jatah mereka yang masih tersisa. Sementara itu satu kotak rokok jatah Kevin yang hanya berkurang satu batang mereka biarkan tergeletak di antara botol-botol bir.
  Dion dan Ferro pulang dalam kondisi sadar seutuhnya karena minuman yang mereka minum kadar alkoholnya cuma sedikit. Orang lain yang tak terbiasa minum minuman beralkohol seperti itu pasti akan mabuk, tapi mereka tidak. Ya, meski bukan pemabuk berat, mereka suka minum alkohol beberapa kali kalau sedang ke klub atau tempat karaoke. Kevin sendiri meski sangat dekat dengan mereka, tapi dia tak terlalu suka minum. Dia hanya minum ketika  dalam kondisi emosi yang labil, saat sedang suntuk atau kesal dengan sesuatu.
   Kevin baru akan membereskan semuanya ketika dia mendengar derap langkah seseorang memasuki kamarnya. Dia kaget bukan main ketika membalikkan badan. Seperti ada sengatan petir di dekatnya ketika dia melihat Sofi berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam. Tak ada raut ceria dan senyum yang biasanya muncul terlukis di wajah gadis itu. 
   “Kamu ngerokok lagi? Minum juga?” tanya Sofi.
   Kevin gelagapan. Cowok itu melihat tangan kanannya yang masih membawa botol bir dengan separuh isi. Pandangannya kemudian tertuju pada Sofi lagi. Sambil berusaha menelan ludah, susah payah dia mencoba menjelaskan. “Ss ... Sof, ini nggak seperti yang kamu pikirin,” katanya. 
   Kevin benar-benar binggung. Dia tak tahu harus berkata apa lagi selain itu. Otaknya terisi penuh dengan pertanyaan tentang menghilangnya Sofi dan dia belum sempat mengetahui jawabannya. Sekarang, seharusnya dia merasa senang karena bisa bertatap muka dengan Sofi lagi dan dapat mengutarakan langsung segala pertanyaannya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih berbicara baik-baik dengan Sofi dan bisa mengetahui alasan mengapa gadis itu menghilang, Kevin justru mendapat kemurkaan dari kekasihnya itu karena kepergok melanggar janji untuk yang kedua kali.
   “Apa?” tanya Sofi, menuntut penjelasan.
   Kevin meletakkan botol yang dia bawa ke lantai lantas berjalan mendekati Sofi. “Kamu kemana aja beberapa hari ini? Kamu sakit apa, hmm? Aku kangen banget sama kamu,” katanya sambil menangkupkan kedua tangannya ke wajah Sofi.
   “Ya aku sakit. Bukannya Jessie udah bilang sama kamu?” jawab Sofi sambil menyingkirkan tangan Kevin. Nada suaranya sangat tidak menyenangangkan didengar. Selama mengenal Sofi, baru kali ini Kevin mendengar Sofi berbicara seketus itu.
   “Jadi kamu udah tahu dari Jessie kalo aku nyariin kamu? Terus kenapa kamu nggak nanggepin telfon dan bales SMS aku?!” balas Kevin dengan nada agak tinggi, mencoba melampiaskan kekesalannya.
   Seketika itu juga Sofi menangis. Dalam hitungan detik air mata mengalir deras dari kelopak mata ke pipinya.
   Gadis itu pasti menangis lantaran kecewa pada Kevin. Atau jangan-jangan dia sakit hati dengan kalimat cowok itu barusan. Mendadak Kevin menyesal karena tidak menyahuti Sofi dengan kata-kata lembut seperti biasa.
   “Sof, aku minta maaf kalo kata-kata aku tadi nyakitin kamu. Terus soal semua ini aku juga minta maaf. Aku nggak bisa nolak karena Dion dan Ferro yang mak—.” Kevin mendekatkan wajahnya ke wajah Sofi sambil berbicara pelan. Namun sebelum sempat dia menyelesaikan kata-katanya, Sofi sudah menyahut, “Diem,” sambil mendorong tubuhnya.
   Tangis Sofi makin menjadi, bahkan sampai sesengukan. 
   “Sof ... aku minta maaf,” kata Kevin lagi. Kali ini cowok itu tak mendekat pada Sofi.
   “Udah berapa kali kamu ngelanggar janji kamu dan minta maaf?” tanya Sofi. Suaranya bergetar karena tangis. “Mudah banget kamu bilang maaf dan ngulangin kesalahan yang sama,” lanjutnya. Tangisnya semakin parah.
   “Aku udah biasa ngerokok dan minum dulu, Sof. Lagian kenapa, sih, kamu ngelarang aku ngelakuin itu? Aku nggak akan kenapa-napa, kok!” kata Kevin, berusaha memberi pengertian pada Sofi.
   Kevin Tak tahu bagaimana rasa sakit yang Sofi rasakan saat ayahnya difonis mengidap penyakit kanker paru-paru sampai akhirnya harus meninggal dunia karena ayahnya sangat sulit untuk berhenti merokok. Awalnya, baik ibunya maupun Sofi tak tahu mengapa ayahnya tak juga sembuh dari sakit padahal berbagai macam obat sudah diberikan. Beberapa hari menjelang kepergiannya—saat sedang kritis-kritisnya terbaring di rumah sakit—ayah Sofi mengaku kalau selama sakit dia masih sering merokok diam-diam.
   Sejak ayahnya meninggal Sofi membenci rokok. Memusuhi asap rokok. Sebisa mungkin dia menjauhi orang-orang yang merokok. Kalau sedang di tempat umum dan melihat orang merokok rasanya dia selalu ingin mencabut rokok itu dari si pengisap dan langsung membuangnya atau menginjak hingga rokok itu mati dan asapnya berhenti keluar.
   “Kamu mungkin nggak akan kenapa-napa. Tapi kamu nggak tahu gimana sakitnya melihat orang yang aku sayangi harus rusak organ tubuhnya oleh racun dari rokok,” balas Sofi telak. Dia melarang Kevin karena dia peduli. Dia tak ingin Kevin menjadi seperti ayahnya. Iya, cukup ayahnya saja. Dia tak ingin ada orang lain lagi yang dia sayang menjadi korban.
   Kevin tertegun mendengar penuturan Sofi itu. Dia memerhatikan kekasihnya itu lamat-lamat. Ada kekecewaan dalam terpancar dari matanya. Dalam sekejap Kevin dihinggapi penyesalan hebat karena telah membuat kesalahan fatal. “Sof, aku mohon maafin aku. Aku janji aku nggak akan ngulagin kesalahan aku lagi,” ujarnya lirih sambil mendekatkan wajahnya pada Sofi.
   Sofi menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya masih belum berhenti mengalir. “Mulut kamu bau alkohol!” katanya sambil mendorong dada Kevin. “Aku benci kamu! Kita putus,” lanjutnya. Gadis itu kemudian membalikkan badan lalu keluar dari kamar Kevin. Masih sambil terus menangis, dia berlari cepat menuruni tangga.
   Ketika Kevin berlari keluar rumah, dia melihat kendaraan umum yang ditumpangi Sofi sudah berjalan menjauh. Setelah sempat mengunci pintu rumah, Dia segera mengeluarkan mobilnya dari garasi. Cowok itu memacu mobilnya dengan kecepatan tingg menuju rumah Sofi. Ketika sampai di rumah Sofi, dia sempat melihat gadis itu masuk ke dalam rumahnya. Namun ketika dia mendekat dan mengetuk-ngetuk pintu, tak ada respon dari dalam.
   Dengan terpaksa Kevin akhirnya melangkahkan kakinya untuk kembali ke dalam mobil. Dia menyesal, tapi tak ingin menyalahkan siapa pun. Jauh dalam lubuk hatinya dia tak bermaksud melanggar janji. Namun, sebagai rasa hormat dia juga tak bisa menolak permintaan kedua sahabatnya. Ya, penyesalan akan selalu muncul di belakang karena kita tak bisa meramalkan masa depan. Andai kita bisa meramalkan masa depan, tentu tak akan ada yang akan berbuat kesalahan karena telah tahu apa yang akan terjadi dan bisa menghindarinya. Namun beginilah memang hidup itu, terlalu banyak hal yang tidak kita ketahui di dalamnya. Tak ubahnya jalanan yang terus membentang. Kita tak akan tahu kerikil, lubang, atau belokan apa yang nantinya akan menanti di depan sana. Namun satu hal yang paling pasti, selagi roda sepeda kita masih bisa berputar, kita tetap harus mengayuhnya hingga tercapai tujuan hidup. 
   Sepanjang perjalanan menuju rumah, Kevin hanya bisa meratapi semuanya. Benang-benang halus yang merajut kepingan hatinya kini putus. Kepingan-kepingan hatinya yang pernah menyatu kini tercerai-berai lagi.
***
      Di kamarnya Sofi tak henti-hentinya menangis. Seluruh neuron dan neuroglia di dalam otak gadis itu memicu hippocampus-nya untuk terus memutar segala ingatan tentang Kevin. Senyum indah Kevin, tawa renyahnya, matanya yang bening, hidungnya yang mancung. Semakin Sofi mengingat itu, rasa sesak semakin mengimpit dadanya. Dia tak sanggup melepaskan Kevin sebenarnya. Segala hal tentang cowok itu begitu indah. Terlampau manis untuk dilewatkan. Bersama Kevin, Sofi melewatkan banyak hal tak terduga yang akan menjadi pengalaman indah dalam hidupnya. Meski terasa sebentar, tapi segala kenangan singkat itu membekas di palung hatinya. 
   Awalnya Sofi sempat tak merasakan apa-apa saat pertama Kevin hadir di hidupnya.  Dia bahkan sempat meragukan perasaannya sendiri. Namun ketulusan Kevin berhasil membuka pintu hatinya. Secara tidak langsung Kevin mengajarkan Sofi banyak hal. Cowok itu membuatnya mengerti bahwa yang sepintas terlihat buruk di luar tak berarti buruk juga segala tentangnya. Kevin juga membuatnya sadar bahwa senegatif apa pun sikap dan kepribadian seseorang, tak ada penghakiman yang pantas diberikan padanya. Karena sebenarnya selalu ada sebab dari akibat. Selalu ada alasan dari seseorang ketika orang itu melakukan sesuatu, bahkan yang dianggap kurang pantas sekalipun. Kevin membuatnya memiliki pandangan lebih luas terhadap segala hal. Tak hanya melihat dan menilai apa pun dari satu sisi saja.
   Kevin tak ubahnya seperti cat warna, sedangkan Sofi adalah kanvas putih. Bersih tapi kosong. Cat warna itu menorehkan warna-warna indah dan teratur sehingga pada kanvas itu tampak pemandangan indah yang hidup dan nyata. Mereka berdua adalah dua partikel yang saling melengkapi. Ketika Sofi terpaksa harus melepas Kevin, seperti ada yang hilang dalam hidupnya. Warna-warna dalam kanvas itu jadi coreng-moreng tak beraturan.
   Sofi memejamkan matanya sejenak. Mencoba mengenyahkan Kevin dari pikirannya. Namun, usahanya itu tak membuahkan hasil. Semakin dia mencoba melupakan, semakin bayangan Kevin terlihat nyata. Senyum indah Kevin berkelebat pada indera penglihatannya. Pelukan cowok itu yang menenangkan seperti masih terus bisa dia rasakan kehangatannya. Air mata Sofi semakin tak bisa surut semakin dia mengingat segala tentang Kevin. Akhirya dia memutuskan untuk menuangkan segala sesaknya ke dalam sebuah puisi. Gadis itu mengambil bolpoin kemudian dia biarkan jemarinya menari indah di atas kertas.
   Satu Bulan

   Denting waktu merayap cepat
   Batinku kian meredup dinaungi gelisah
   Jiwaku meraung menginginkan lebih
   Namun kobaran cinta ini terpaksa kupadamkan 

   Satu bulan ...
   Terlalu singkat kusesap madu cintamu
   Kubiarkan batinku berselimut rindu

   Jiwaku merintih perih
   Menelusup pekat batinku yang tersayat
   Ratusan sembilu menghunus jantungku
   Tatkala kisah ini bertemu titik akhir

   Tetes demi tetes lara meleleh di pipi
   Kawah menganga di dada
   Ribuan kata cinta menguap
   Batinku dibelenggu senyap
   Air mata Sofi masih terus menetes ketika dia selesai menulis puisi. Gadis itu baru tahu kalau ternyata menulis puisi akan terasa lebih mudah ketika jatuh cinta atau patah hati. Bolpoin di tangannya seperti menari-nari begitu saja menggoreskan kata-kata indah tanpa perlu otaknya berpikir keras.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • nuratikah

    si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
    berkunjung balikke ceritaku ya.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags