Esok harinya, Kevin sama sekali tak melihat Sofi dari pagi. Ketika dia menjemputnya kekasihnya itu di rumahnya, Sofi sudah berangkat. Sesampainya di sekolah gadis itu tak dapat ditemui di kelasnya. Di kantin atau di perpus, Sofi juga tak dapat ditemui. Ketika mengikuti pelajaran di kelas, Kevin terlihat seperti orang linglung. Semua pelajaran yang diterangkan guru tak ada satu pun yang berhasil diserap otaknya dengan baik. Pikirannya hanya tertuju pada Sofi dan Sofi. Kedua sahabatnya yang merasakan keanehan pada diri Kevin sempat menanyakan kedaan cowok itu, tapi Kevin hanya menjawab, “Nggak, gue nggak kenapa-napa,” sambil terus memandang ke papan tulis dengan tatapan kosong.
Sofi seperti menghilang di telan bumi. Ditelepon berkali-kali gadis itu tidak menjawab. Di SMS pun tidak membalas. Terakhir kali Kevin menelepon, nomor Sofi malah sudah tidak aktif. Kevin binggung bukan main. Saking frustrasinya di jam istirahat, begitu guru pengajar keluar dari kelasnya, cowok itu langsung berlari ke kelas Sofi, berharap bisa melihat wajah yang dia rindukan, yang dia khawatirkan. Namun usahanya itu tak berhasil. Sofi sudah tidak ada di kelasnya. Kevin bahkan sampai menanyai satu-persatu murid yang masih ada di kelas. Tetapi semua informasi yang mereka berikan sama sekali tak membuat cowok itu puas karena jawabannya simpang siur. Ada yang bilang Sofi ke kantin, ada yang bilang Sofi ke perpus, dan kebanyakan mereka menjawab dengan jawaban “tidak tahu”.
Kejadian Sofi menghilang itu berlanjut hingga hari kedua. Bedanya Kevin tak lagi menanyai seisi kelas ketika dia datang ke kelas Sofi. Cowok itu hanya menengok sebentar ke dalam ruangan. Ketika menyadari Sofi tak ada di sana, dengan langkah gontai dia terpaksa mengikuti ajakan dua sahabatnya—yang rupanya sengaja mengekor di belakang waktu dia keluar kelas—untuk pergi ke kantin. Ketika kembali dari kelas Sofi dan akan berjalan menuju kantin, sebenarnya Kevin melihat Jessie dan dia sempat ingin menanyakan tentang Sofi pada gadis itu. Ketika sadar kalau Jessie sedang berlari menghampiri Edo, Kevin mengurungkan niatnya. Dia sedang tak ingin memancing keributan dengan Edo.
Kalau hari pertama dan kedua Kevin hanya terlihat seperti orang linglung, di hari ketiga menghilangnya Sofi dia malah sudah tidak bernafsu makan. Di kantin Dion dan Ferro memaksa cowok itu untuk makan. Mereka berdua bahkan sampai memaksa menyuapi segala, tapi Kevin tetap tak mau membuka mulutnya. Pandangan cowok itu hanya menerawang kosong ke depan. Kevin merasa ada yang kurang dalam hari-harinya pasca menghilangnya Sofi.
Kemarin sepulang sekolah Kevin sempat ke rumah Sofi, tapi rumah gadis itu tertutup rapat. Ketika dihubungi, nomor Sofi maih saja tidak aktif. Tidak hanya menghubungi via telepon, Kevin juga meng-inbox Sofi di akun Facebook-nya, mengirim direct message di akun Instagram juga Twitter-nya. Namun semua usahanya itu tetap tak membuahkan hasil. Tak ada respon sama sekali dari Sofi.
Hari ini Kevin ada jadwal latihan pencak silat bersama dengan adik-adik kelasnya seperti biasa. Selama latihan dia tak bisa Fokus. Pikirannya terus tertuju pada Sofi. Akhirnya dengan alasan tak enak badan Kevin berhasil mendapatkan izin untuk pulang lebih cepat. Di tengah perjalanannya menuju tempat parkir dia bertemu dengan Jessie. Gadis itu sedang berjalan sendiri di depan koridor kelas sepuluh. Dengan cepat Kevin berlari mendekati gadis itu. Dia berharap bisa mendapatkan informasi tentang Sofi dari Jessie.
“Jes, Sofi ke mana, sih? Belakangan ini dia ngilang nggak ada kabar,” kata Kevin ketika dia telah berhasil menghadang langkah Jessie.
Jessie tak segera menjawab pertanyaan Kevin. Gadis itu malah memutar bola matanya dan menunjukkan wajah cemberut. Kevin bisa maklum. Mungkin gadis itu sekarang jadi benci padanya setelah apa yang dia perbuat pada Edo.
“Jes, gue minta maaf soal Edo. Lo boleh benci sama gue, terserah, tapi tolong sekarang kasih tahu gue tentang Sofi. Cuma lo yang bisa kasih tahu gue karena lo sahabat deketnya, Jes,” kata Kevin pelan sambil menyatukan kedua telapak tangannya.
“Gue? Sahabat deketnya?” kata Jessie ketus sambil menunjuk dirinya. Kevin menganguk menaggapinya. “Nah, lo pacarnya!” sentak Jessie kemudian setelah memberi jeda beberapa detik. Tanpa menunggu balasan Kevin, gadis itu lantas segera membalikkan badan dan melangkahkan kakinya dengan cepat.
Kevin mengejar Jessie. Dia tak mau menyerah. Dia harus mendapatkan informasi tentang Sofi hari ini juga. “Jes, gue mohon. Sofi nggak bisa gue hubungin. Kemaren pas gue ke rumahnya juga gue nggak berhasil nemuin dia,” kata Kevin ketika dia berhasil meraih lengan Jessie.
Jessie akhirnya membalikkan badan. Tak tega juga akhirnya dia melihat Kevin memohon seperti itu. “Sofi sakit. Lo coba ke rumahnya aja lagi,” kata itu yang terlontar dari mulut Jessie sebelum akhirnya gadis itu melangkahkan kakinya lagi.
Setelah berterima kasih pada Jessie, Kevin berlari-lari kecil menuju tempat parkir. Dia harus segera ke rumah Sofi sekarang. Ketika mencapai area depan tempat parkir Kevin berhenti berlari karena ada panggilan masuk. Mona yang menelepon.
“Halo, kenapa, Ma?” tanyanya ketika ponselnya sudah tertempel di telinga. Cowok itu bertelepon sambil berjalan pelan mendekati mobil.
“Kak, kamu tungguin adek di rumah sakit, ya! Mama sama Bik Tini mau ke Jakarta buat beli bahan rajutan. Sekalian mau nganterin pesenan beberapa pelanggan nanti di sana,” sahut Mona di seberang. Terdengar dari ritme suaranya, wanita itu sepertinya sedang terburu-buru.
Kevin mengepalkan tangan kiri dan memejamkan kedua matanya, mencoba membunuh rasa kesal yang menyelinap di dadanya. Cowok itu tahu siapa yang harus dia utamakan. Dan pilihan itu membuat dadanya terasa begitu sesak.
“Kak, kamu dengerin Mama, kan?” Mona bertanya lagi, mencoba memastikan.
“Iya, Ma, habis ini Kevin langsung ke rumah sakit.”
“Yaudah, Mama lagi ada di perjalanan sekarang. Kamu langsung ke rumah sakit, ya! Nanti kalo ada apa-apa panggil suster aja,” kata Mona.
“Iya,” balas Kevin.
Setelah sambungan telepon terputus, Kevin segera memasuki mobilnya lalu mengemudikannya dengan cepat menuju ke rumah sakit. Yang menjadi pelampiasan kesal Kevin akhirnya adalah jalanan. Semakin lama kecepatan mobilnya semakin tak wajar. Bahkan bisa dibilang ugal-ugalan. Dia meliuk asal untuk menyalip setiap kendaraan yang ada di depannya tanpa menyalakan lampu sein sebelumnya. Orang yang melihat Kevin mengemudi mungkin akan mengira kalau cowok itu sedang mabuk.
Sesampainya di rumah sakit, Kevin segera berjalan cepat menuju ruang rawat Alice. Adiknya itu tak boleh merasa kesepian dan sendirian.
Kevin mendapati Alice tengah terduduk sambil menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seperti orang gelisah ketika dia masuk ke dalam ruang rawat. Mungkin dugaannya bahwa Alice merasa kesepian memang benar.
Kevin berjalan pelan mendekati Alice sambil terus memperhatikan kondisi fisik adiknya itu. Wajah Alice makin lama makin tirus dan pucat. Lingkar hitam di matanya juga makin dalam saja. Rambut Alice yang makin tipis juga tak luput dari perhatian Kevin. Seandainya rasa sakit Alice bisa dibagi, Kevin ingin menjadi tempat berbagi rasa sakit bagi adiknya itu.
Wajah Alice tampak semringah ketika menyadari kehadiran Kevin. Senyum di bibirnya terbit. Senyum itu yang sebenarnya ingin Kevin lihat di wajah adiknya setiap hari.
“Kak Kevin ... kok dateng sendirian, Kak Sofi mana?” tanya Alice dengan suara pelan.
Diingatkan pada Sofi seperti itu membuat Kevin mengingat hubungannya dengan Sofi yang tengah merenggang. Dia khawatir hubungannya dengan Sofi akan semakin memburuk. Entahlah, Kevin merasa gadis itu seperti sengaja menghindarinya.
“Kak!” kata Alice lagi, membuat Kevin tersadar dari lamunannya.
“Eh, iya ... itu ... Kak Sofi lagi sakit, Dek.”
“Yah, padahal Alice kangen sama Kak Sofi. Dia itu manis banget udah gitu baik lagi. Lain kali ajak dia ke sini, ya,” kata Alice.
Kevin menganggukkan kepalanya, menyetujui permintaan Alice. Untuk mengalihkan pembicaraan Alice agar tak membahas Sofi terus-menerus dia lantas mengambil makanan yang ada di meja dekat ranjang.
“Tadi Mama belum sempet suapin kamu, ya?” tanya Kevin ketika melihat isi mangkuk. Makanan itu masih utuh.
“Belum, tadi susternya baru keluar pas Kak Kevin dateng.”
“Kak Kevin suapin, ya,” ujar Kevin sambil mulai menyendok. Alice menanggapinya dengan anggukan.
Kevin menyuapi Alice perlahan. Dia berharap adiknya itu bisa segera tidur setelah disuapi karena dirinya pun lelah dan ingin beristirahat. Namun ternyata harapannya itu tak terwujud. Selesai makan Alice terbaring sambil menggerakkan kepalanya ke kiri lalu ke kanan. Matanya menerawang, menatap seisi ruangan. Tak hanya itu, sebentar-sebentar Alice menanyakan Mona. Mama pergi lama atau sebentar? Kapan Mama kembali? Kevin sedikit merasa dibuat kerepotan menangapi pertanyaan adiknya itu. Namun dia tetap harus berada di sini. Dia tetap harus menjaga Alice.
Tadinya Kevin berpikir kalau dia bisa menenangkan Alice, tapi pemikirannya salah. Kevin lupa kalau selama ini dia tak bisa menjadi teman yang baik untuk adiknya. Satu-satunya yang berhasil membuat Alice tenang adalah Mona dan orang lain yang berasil melakukan hal itu selain ibunya adalah Sofi. Ketika pikirannya tertuju pada Sofi, Keinginannya untuk menghubungi gadis itu timbul lagi. Maka dia ambil ponsel yang ada di saku seragamnya. Kemudian dia menelepon Sofi. Kali ini panggilan tersambung, nomor Sofi aktif, tapi tetap tak ada jawaban dari seberang. Kevin mengembuskan napas lemah. Menyerah, dia lantas memasukkan lagi ponselnya ke saku seragam.
Kevin menghabiskan waktu di rumah sakit selama berjam-jam. Dari sore hingga menjelang tengah malam Mona tak juga datang. Kevin sama sekali belum benar-benar bisa istirahat karena Alice tidak juga mau tidur. Adiknya itu tak henti-hentinya bertanya tentang Mona.
“Mama kapan pulang sih, Kak?” pertanyaan ini Alice lontarkan entah sudah yang ke berapa puluh kalinya.
Dengan sabar Kevin mencoba menjawab sebisanya. “Sebentar lagi, Dek, kamu tidur, gih! Nanti kalo Mama dateng Kakak kasih tahu kamu,” katanya, mencoba menenangkan. Hanya itu yang bisa Kevin lakukan untuk membujuk Alice. Setelah menelepon Sofi tadi dia sempat menghubungi Mona beberapa kali, tapi tidak dijawab. Terakhir Kevin menelepon nomor ibunya malah tidak aktif.
Jam di dinding kamar rawat Alice sudah menunjukkan pukul dua belas malam ketika kelopak mata Kevin mulai terasa berat. Tak juga ada tanda-tanda kepulangan Mona. Dengan harap-harap cemas Kevin berjalan mendekati pintu lalu keluar kamar. Cowok itu mengedarkan pandangannya ke lorong-lorong rumah sakit, mengantisipai kalau ibunya tiba-tiba datang, tapi hingga beberapa menit menunggu Mona tak juga muncul. Kevin lantas menutup pintu lalu masuk lagi ke dalam ruangan. Dia mulai diliputi rasa khawatir. Dia takut terjadi apa-apa dengan Mona. Ibunya itu tak biasanya mematikan ponsel kalau sedang bepergian.
Kurang lebih lima menit setelah Kevin masuk, dia mendengar langkah kaki mendekati kamar rawat Alice. Penasaran, dia lantas berjalan mendekati pintu. Ketika membuka sedikit papan kayu itu, Kevin mendapati Mona dan Bik Tini berdiri di baliknya.
“Alice dari tadi nyariin nggak?” tanya Mona sembari melangkah mendekati ranjang Alice.
“Iya, Ma, dia nggak mau tidur nanyain Mama melulu. Mana Mama ditelfonin nggak bisa lagi,” kata Kevin sambil menutup pintu.
“Maaf, Sayang, handphone Mama lowbat,” kata Mona tanpa menoleh pada Kevin. Wanita itu sudah duduk di ranjang Alice sekarang.
“Mas Kevin kelihatan capek banget kayaknya,” kata Bik Tini ketika melihat raut kusut Kevin sesaat setelah meletakkan kantung plastik berisi benang-benang dan peralatan merajut di lantai dekat meja.
“Nggak apa-apa, Bik. Biasanya kan Bibik sama Mama terus yang jagain Alice, sekarang giliran Kevin, dong!” Kevin melangkah mengikuti Mona. Ibunya itu tengah menciumi pipi Alice ketika langkahnya terhenti tepat di samping ranjang. Dalam hitungan detik setelah mendapatkan sentuhan Mona, adiknya itu segera bisa memejamkan mata.
“Kevin pulang aja ya, Ma,” kata Kevin.
“Hati-hati, ya. Maafin Mama, ya, Kak, gara-gara Mama pulangnya terlalu larut kamu jadi nggak bisa istirahat,” sesal Mona.
“Nggak apa-apa,” balas Kevin sembari tersenyum maklum. Usai mencium tangan Mona dia lantas berpamitan pada Bik Tini. “Kevin pulang dulu ya, Bik.”
“Iya, Mas Kevin, kade di jalan.”
Kevin berjalan cepat melewati setiap lorong rumah sakit yang tampak sepi. Setibanya di tempat parkir dia segera masuk ke dalam mobilnya dan memacu Jazz merah itu dengan kecepatan tinggi. Tujuan Kevin bukan rumahnya, melainkan rumah Sofi. Di sepanjang perjalanan dia terus-terusan menguap. Dia mencoba mengabaikan rasa kantuk yang begitu menyiksanya demi menemui Sofi di rumahnya.
Meski tahu kalau ini sudah larut malam, tapi Kevin yakin kalau Sofi mau menemuinya. Jadi dia mempercepat laju mobilnya agar bisa segera sampai.
Rumah Sofi tampak sepi ketika Kevin datang. Cowok itu turun dari mobilnya dan perlahan mendekati pintu. Dia tak mungkin mengetuk pintu rumah Sofi karena ini sudah larut malam. Maka dia memutuskn untuk menelepon pacarnya itu.
Kevin menelepon nomor Sofi beberapa kali. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, usahanya kali ini pun tak membuahkan hasil. Tak ingin menyerah, Kevin kemudian mengirim pesan ke nomor Sofi.
Kamu sakit apa, Sof? Aku kangen banget sama kamu. Kalau aku ada kesalahan, aku minta maaf. Kita bicarakan semuanya baik-baik. Jangan menghilang begini.
Kevin menunggu jawaban dari Sofi selama sejam lebih. Selama itu dia berjalan mondar-mandir, duduk, berdiri, lalu duduk lagi, berjongkok sambil menahan kantuk. Rasa dingin yang menusuk kulit serta rasa perih yang menyergap matanya dia abaikan. Ketika melihat ponsel dan waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, Kevin memutuskan untuk pergi akhirnya. Namun sebelum beranjak, dia mengirimkan pesan lagi kepada Sofi.
Menghindarlah kalau itu bisa bikin kamu tenang. Kamu cuma perlu tahu kalau sebisa mungkin aku akan tetap mengabdikan hatiku buat kamu.
Di balik tirai jendela kamarnya Sofi sempat melihat Kevin masuk ke dalam mobil. Namun dia tetap bertahan berdiri di sana. Dia merindukan Kevin. Dia juga ingin berbicara dengan cowok itu. Namun logikanya berhasil memaksa hatinya untuk mengalah. Maka dia biarkan Kevin berlalu begitu saja.
***
Ini adalah hari di mana lomba pencak silat dilaksanakan dan Kevin bangun kesiangan. Semalam dia tak bisa langsung tertidur karena memikirkan Sofi. Ketika matanya terbuka dia mendapati jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul tujuh lebih. Untung lomba pencak silat itu dilaksanakan di jam sebelas. Namun tetap saja Kevin terlambat karena para peserta lomba dijadwalkan berkumpul untuk mendapatkan pengarahan seputar lomba di jam tujuh tepat.
Setelah mandi, memakai seragam, mengemasi tas, serta memasukkan pakaian seragam silat ke dalamnya, Kevin segera berjalan cepat ke luar rumah. Mona dan Bik Tini belum pulang. Mereka pasti menginap di rumah sakit. Kevin memutuskan untuk membeli makanan di kantin sekolah saja untuk sarapan. Cowok itu lantas masuk ke mobil dan memacunya dengan kecepatan yang tidak wajar menuju ke sekolah.
Suasana di sekolah tampak tak biasa. Ada banyak wajah asing di sekolah Kevin. Mereka pasti peserta lomba yang datang dari sekolah lain.
Setelah memarkirkan mobil, Kevin segera berlari menuju aula, tempat diadakannya lomba. Di sana dia melihat murid sekolahnya sedang bertanding basket melawan sekolah lain. Ketika melihat beberapa guru yang menjadi panitia lomba, Kevin segera berjalan mendekti mereka untuk meminta maaf karena datang terlambat. Kevin hanya mendapatkan teguran karena keterlambatannya itu, selebihnya dia diberi arahan tentang lomba karena dia tidak sempat berkumpul dengan para peserta lomba yang lain.
Setelah mengganti seragamnya dengan pakaian silat, Kevin menyempatkan mendatangi kelas Sofi. Dia berharap bisa bertemu dengan gadis itu. Namun dia tak menemui siapa-siapa di sana. Kelas itu tak berpenghuni. Tak ingin membuang waktu untuk bertemu Dion dan Ferro, Kevin lantas melangkahkan kakinya ke kantin. Di sana dia melihat dua sohibnya tengah menikmati makanan di salah satu meja di bagian sudut kantin. Setelah memesan makanan dia lantas berlari kecil mendekati dua temannya itu.
“Kenapa lo, Hawk, tuh tampang kusut banget gitu?” tanya Dion. Cowok itu menyentil rokoknya yang sudah habis terisap ke bawah meja lalu menginjaknya.
“Telat gue, semalem tidur kemaleman,” jawab Kevin sambil menyomot salah satu gelas berisi minuman yang ada di meja lalu menenggak isinya dengan rakus.
Ferro yang tadi sedang sibuk merapikan poni sambil bercermin seketika menurunkan cerminnya karena minumannya digasak Kevin. “Orang yang memberi itu lebih mulia dari yang meminta, Hawk. Lo udah minta, nggak izin lagi! Nggak ada mulia-mulianya,” gerutunya.
“Alah! Haus gue. Sekali-kali nggak apa-apa, lah,” bantah Kevin.
“Tahu tuh, si Polem. Dimintain gitu aja rempong banget lo kayak emak-emak,” bela Dion.
“Lagian si Hawk biasanya juga dateng-dateng minta dibagiin rokok, tumben banget sekarang yang dirampas minuman gue,” balas Ferro lagi, tak mau kalah.
Kevin bungkam menaggapi ucapan Ferro. Dia tak mungkin mengadu kepada dua sohibnya itu kalau Sofi melarangnya merokok. Dia khawatir dua temannya tersebut akan menghakimi Sofi sebagai pacar yang suka mengatur-atur kalau mereka tahu.
“Hai semuanya! Aku join, ya!” tanpa diduga tiba-tiba saja Stela datang menghampiri mereka bertiga. Cewek itu tidak kapok meski Kevin sudah berkali-kali menolaknya secara terang-terangan.
Meski tak ada jawaban dari tiga cowok yang ditanyai, gadis berambut lurus panjang sepunggung itu tetap saja duduk.
“Kamu kok keliatan lesu gitu, sih, Vin, kenapa? Bukannya nanti kamu mau ikut lomba, ya?” tanya Stela ketika menyadari wajah letih Kevin.
“Nggak, kok, cuma kurang tidur aja,” jawab Kevin tanpa menolehkan kepalanya pada Stela. Cowok itu kemudian segera menikmati batagor yang baru saja diantar ke mejanya.
“Vin, kamu itu kenapa, sih? Kamu jangan bohong, deh, kamu pasti lagi banyak masalah, iya, kan?” tanya Stela pelan sambil mendekatkan tubuhnya pada Kevin. Tangan kananya dia letakkan di pundak Kevin, sementara tangan kirinya membelai wajah cowok itu lembut.
Kevin tak menggubris Stela dan terus memakan batagornya dengan lahap. Dia berharap bisa segera pergi setelah ini.
“Ehm! Ehm ... Ehm!” Dion yang merasa geli melihat ulah Stela berdehem keras dengan nada yang dibuat-buat.
Mendengar itu Ferro melirik Dion. Dion memberikan kode dengan mengedip-ngedipkan matanya. Setelah mengerti maksud Dion, cowok itu kemudian batuk keras dengan nada yang juga dibuat berlebihan. “Uhk ... Uhk! Uhk ... Uhk!”
Kevin nyaris tersedak karena menahan tawa akibat tingkah dua sohibnya itu. Setelah meminum minumannya hingga tersisa separuh gelas, cowok itu lantas berpamitan pada Stela. “Gue ke aula dulu, ya, Stel,” katanya sambil beranjak berdiri.
Tanpa menunggu jawaban Stela, Kevin segera berjalan menjauh. Stela bermaksud mengikuti langkah Kevin, tapi gagal karena Dion dan Ferro lebih dulu menyerobot. Mereka berdua merangkul Kevin dari belakang seolah sengaja menghindarkan cowok itu dari Stela.
Ketika sampai di aula, perlombaan silat sudah di mulai. Peserta pertama sedang tampil. Kevin adalah peserta kedua. Dia tampil setelah ini. Sambil menunggu dia merapatkan diri bersama gerombolan murid yang menonton pertandingan di sudut aula. Ketika namanya di panggil, dia segera berjalan ke tengah aula. Dia berusaha bertanding dengan konsentrasi penuh meski pikirannya sedang kacau. Dengan hati-hati dia melayangkan setiap pukulan dan jurusnya pada lawannya. Dia harus memenangkan lomba, karena ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menorehkan prestasi sebagai pelajar SMA. Setelah ini dia harus fokus ujian dan tak mungkin bisa mengikuti lomba silat lagi.
Awalnya Kevin sempat pesimis ketika nama pemenang lomba disebutkan. Dia tak yakin bisa menang karena menurutnya banyak peserta lain yang performanya lebih baik darinya. Namun akhirnya dia bisa tersenyum lega saat namanya disebut sebagai juara tiga lomba pencak silat. Cowok itu segera maju ketika dia dan dua juara lainnya diminta untuk mengucapkan beberapa patah kata.
Sambil membawa piagam serta piala di tangannya Kevin mulai bercuap-cuap di depan mikrofon setelah dua juara yang lain selesai menyuarakan pidatonya. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena sudah baik sekali mau memberikan bakat terpendam ini kepada saya sejak bayi. Kedua saya mau berterimakasih sekaligus minta maaf kepada Mama saya yang merupakan korban pertama atas bakat saya ini. Ya, kata mama saya, dulu di dalem perut saya sudah suka silat. Nonjok dan nendang-nendang gitu.” Kalimat Kevin itu mengundang tawa beberapa murid dan guru yang sedang menyaksikan pidatonya. Tak terkecuali Dion dan Ferro.
“Kemudian saya mau berterima kasih kepada Bapak Tono selaku pelatih saya. Dua sahabat saya Dion dan Ferro yang selalu menjadi penyemangat saya. Tak lupa pada semua penjual makanan di kantin. Karena makanan yang mereka jual saya jadi nggak kelaparan lagi kalau latihan silat. Terakhir, untuk Bik Tini, asisten rumah tangga di keluarga saya yang selalu mencuci dan menyetrika seragam silat saya. Kalau tidak ada dia bisa dipastikan seragam silat saya pasti akan kucel dan baunya juga akan ...,” Kevin menahan kalimatnya. Dia memperagakan mengendus seragam silatnya, “ugh, apek!” lanjutnya sambil memencet ujung hidungnya. Gemuruh tawa bercampur dengan seruan ,”Hu,” keras terdengar memenuhi aula akibat tingkah Kevin.
Setelah mengucapkan salam penutup, Kevin meninggalkan podium dan langsung menghampiri kedua temannya. Mereka memberi selamat dengan merangkul dan menepuk-nepuk pundak Kevin.
“Kita harus ngerayain kemenangan lo, Hawk,” kata Dion sambil terus merangkul Kevin ketika berjalan keluar aula.
“Iya, Hawk, kita harus parti pokoknya,” tambah Ferro.
Party itu berarti menghabiskan waktu bersama makanan, rokok, dan minuman beralkohol. Kevin tak mungkin melanggar janjinya pada Sofi. Maka sebisa mungkin dia berusaha menolak. “Jangan, lah. Nggak usah. Orang cuma menang gini aja,” katanya, menunjukkan kesan merendah supaya penolakannya tidak terlalu mencolok.
“Nggak bisa. Kali ini gue sama Ferro deh yang patungan buat beli semua. Ya, nggak, Ro,” bantah Dion.
Ferro mengangguk setuju.
Ketika itu Sofi sedang mengamati mereka bertiga dari kejauhan. Dia menahan diri untuk tidak mendekat.
***
Sofi sedang berada di toilet putri kelas sebelas. Bel pulang sudah berbunyi sekitar lima belas menit yang lalu. Dia sengaja menunggu di sini agar tak bertemu Kevin. Dia masih belum siap bertatap muka dengan cowok itu setelah kejadian menyesakkan yang dilihatnya beberapa hari lalu.
Sofi baru akan melangkahkan kakinya keluar ketika dia melihat Stela masuk ke toilet putri. Gadis itu tersenyum padanya. Dalam hitungan detik kecanggungan menyeruak di antara keduanya.
“Hai, Sof! Belum pulang lo?” tanya Stela. Tak ada kebencian tersirat di wajahnya. Yang ada justru senyuman. Meski demikian Sofi tak mampu mengartikan makna yang tersirat di balik senyum gadis itu.
“Belum, Kak,” jawab Sofi singkat. Meski kelihatannya tak ada niat buruk pada diri Stela, dia tetap harus waspada. Bagaimanapun juga gadis di depannya ini masih menyimpan rasa suka pada Kevin.
“Belakangan ini gue jarang liat lo berduaan sama Kevin, kenapa?” tanya Stela sambil bersedekap dan menyandarkan tubuhnya di tembok. Masih tak Sofi temui sedikit pun tatapan sinis di wajahnya.
Sofi yang masih berdiri di depan wastafel memandang Stela melalui cermin. Sebenarnya dia enggan menjawab. Dia merasa tak perlu membahas tentang Kevin, apalagi dengan mantan kekasihnya. Ini bukan obrolan yang baik. Namun, dia takut Setela akan tersinggung dan menganggapnya tidak sopan kalau tak menjawab. Akhirnya Sofi hanya menjawab sekenanya pertanyaan Stela itu. “Pacaran bukan berarti harus nempel ke mana-mana, kan, Kak? Ayah sama ibu saya aja yang jelas-jelas udah menikah juga nggak segitunya dulu,” kata Sofi akhirnya degan nada datar. Sebisa mungkin dia menutupi rasa tidak nyamannya terhadap Stela.
“Oh, ya? Jujur, ya, Sof sebenernya lo yakin nggak sih sama perasaan Kevin ke lo?” tanya Stela. Nada suaranya mulai terdengar tidak menyenangkan.
Entah mengapa Sofi merasa suhu di toilet putri terasa agak panas setelah mendengar ucapan Stela itu. Detak jantungnya pun ritmenya jadi lebih cepat. Dia kemudian membalikkan badan. Memberanikan diri menatap Stela yang masih bersedekap bersandar di tembok. Gadis itu menatap Sofi. Menunggu Sofi mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.
“Maksud Kak Stela apa nanya gitu?” tanya Sofi, menanyakan kejelasan maksud Stela. Dia tak ingin berburuk sangka. Kalau Stela mau gadis itu bisa mem-bully-nya dengan mengajak beberapa temannya seperti yang biasa ada di sinetron-sinetron. Namun Stela tak melakukannya. Itu bebarti Stela tak mempunyai niat jahat, kan?
Bukannya menjawab, Stela malah bercerita tentang keindahan masa lalu hubungannya dengan Kevin. “Kevin itu dulu getol banget ngejar-ngejar gue,” katanya sambil tersenyum. Pandangannya menerawang, tak tertuju pada Sofi. Gadis itu seperti sedang berusaha mengingat semua masa lalunya bersama Kevin. “Gue masih inget waktu awal kelas delapan. Dia sampe tawuran sama anak kelas lain gara-gara ngerebutin gue,” lanjutnya sambil tersenyum tipis.
Sofi hanya bisa menahan panas yang mulai merambat di hatinya mendengar cerita Stela. Dia terus menatap Stela tanpa berniat menyela ucapan gadis itu.
“Waktu nembak gue, dia bilang kalau dia udah memendam perasaannya sejak awal ketemu di kelas tujuh.” Kata Stela lagi. Senyum di wajahnya masih belum hilang. “Dia sampe bikin acara di kafe dan ngundang teman sekelas waktu nembak gue. Waktu itu dia juga bawain gue sebuket bunga mawar sambil berlutut dan nyatain perasaannya. Gue langsung aja iyain pertanyaan dia. Dan lo tahu nggak, apa yang dia lakuin setelah itu? Dia cium pipi gue di hadapan semua temen yang ada di situ?” lanjut Stela. Dia menutup ceritanya itu dengan tawa girang.
Sejujurnya Sofi meradang mendengar cerita Stela. Kevin tidak sampai seperti itu waktu memintanya menjadi kekasih. Kesannya justru dia seperti dijebak. Ada rasa iri merayap di hatinya. Entah itu cerita rekaan atau kenyataan, tetap saja hatinya terasa panas membayangkannya.
“Menurut lo setelah segitu dalemnya Kevin nyatain perasaannya ke gue, dia bisa ya semudah itu move on?”
Sofi mengerti sekarang, Stela menceritakan semua masa lalunya itu untuk membuatnya ragu akan cinta Kevin padanya. Atau mungkin Stela juga ingin meyakinkan kalau Kevin masih mencintainya. Bahkan mungkin dia bermaksud mengatakan secara halus kepada Sofi kalau Kevin hanya menjadikannya sebagai pelarian belaka.
“Ketika seseorang jatuh cinta lagi, secara otomatis dia akan melupakan cinta lamanya. Rasa percaya diri Kak Stela yang terlalu tinggi itu yang harusnya perlu dipertanyakan. Bukan perasaan Kak Kevin ke saya,” jawab Sofi telak.
Tak ada jawaban lagi dari mulut Stela setelah itu. Sofi kemudian segera meninggalkan toilet putri.
Rasa takut akan kehilangan seringkali menghantui seseorang. Dan ketakutan itu kadang membuat seseorang tak bisa menerima dengan mudah kenyataan buruk yang telah terjadi. Kerapkali karena saking tidak terimanya dengan kenyataan, kita malah berhalusinasi bahwa segala yang telah hilang itu seperti masih saja kita miliki. Kita seolah lupa bahwa hidup ini adalah pertaruhan dan tidak selamanya kita akan menemui kemenangan.
si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
Comment on chapter Prologberkunjung balikke ceritaku ya.