Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ich Liebe Dich
MENU
About Us  

  Bu Zahra—guru pengajar Bahasa Jepang—sedang ada keperluan. Tadi beliau hanya sempat menerangkan sebentar sebelum akhirnya meninggalkan kelas Sofi dengan memberi tugas. Sofi menyelesaikan tugas itu dalam waktu empat puluh menit. Sekarang gadis itu sedang melenggang menuju perpustakaan—mencari buku bacaan—untuk membunuh rasa bosannya setelah beberapa menit mengerjakan tugas tadi.
   Suasana di koridor depan semua kelas tampak sepi. Begitu juga halnya dengan lapangan upacara. Sofi mempercepat langkahnya agar bisa segera mencapai perpustakaan. Namun, langkah cepatnya terhenti ketika dia mendekati deretan ruang laboratorium. Dia melihat Kevin. Cowok itu sedang berdiri di depan laboratorium Biologi yang sedang kosong.  Penasaran, Sofi akhirnya mendekati Kevin dan mengurungkan niatnya untuk pergi ke perpustakaan.
   “Ngapain di sini? Bukannya ini masih jam pelajaran, ya?” tanya Sofi
   Kevin menolehkan kepalanya ke pohon sawo setinggi kurang lebih tiga meter di depan laboratorium Biologi. Sofi mengikuti isyarat Kevin itu. Di ranting-ranting pohon itu dia melihat ada beberapa sepatu tergantung. Setelah itu dia kembali menatap Kevin dengan raut penuh tanya.
   “Anak-anak yang sepatunya aku gantung di situ itu kemaren nggak mau kasih aku contekan pas ada tugas,” jelas Kevin setelah dia memahami ekspresi Sofi.
   Sofi tersenyum kemudian geleng-geleng kepala mendengar penjelasan Kevin itu.
   “Tadi aku izin ke toilet, padahal sih mau ngerjain anak-anak. Lima menit lagi kan bel nih,” kata Kevin sambil melihat jam yang tergantung di tembok ruang laboratorium Biologi. ”Nanti habis masuk sebentar aku keluar lagi yang paling duluan biar nggak kena amukan mereka. Kamu tunggu sini, ya!” lanjutnya sebelum akhirnya dia masuk ke dalam laboratorium Bahasa.
   Kevin keluar laboratorium Bahasa tepat lima menit kemudian. Cowok itu membuntuti seorang guru laki-laki yang baru saja keluar dari ruangan. Dengan tergesa dia meraih tangan Sofi kemudian mengajak gadis itu berlari menjauhi deretan ruang laboratorium. Mereka berdua berlari sambil tertawa-tawa. Awalnya Kevin tak tahu akan mengajak Sofi bersembunyi di mana. Namun akhirnya langkah mereka terhenti di tempat parkir. Kevin terpikir untuk mengajak Sofi ke tempat itu karena jarang ada murid atau guru yang datang ke sana ketika jam istirahat.
   Dengan napas tersengal Kevin berpegangan pada batang pohon. Sementara itu Sofi terduduk lunglai di tanah ber-paving yang menjadi lantai area parkir. Kondisi napasnya sama dengan Kevin. 
   “Capek!” keluh Sofi.
   Kevin memandang ke arah Sofi. Memperhatikan wajah penuh keringat gadis itu. “Nggak apa-apalah capek dikit. Yang penting sekarang aku bisa liat pemandangan,” katanya kemudian.
   “Pemandangan apa?” tanya Sofi. Gadis itu berdiri lalu memperhatikan sekeliling. “Cuma motor-motor gini,” lanjutnya ketika pandangannya telah tertuju pada Kevin lagi.
   Kevin tak segera menyahuti lagi ucapan Sofi. Dia malah memperhatikan Sofi lamat-lamat sambil tersenyum tipis. Satu tangannya yang tadi berpegangan pada batang pohon sekarang sudah terlipat di depan perut bersama dengan satu tangan yang lain. “Kamu keliatan seksi kalo lagi keringetan,” bisiknya. 
  Wajah Sofi seketika menghangat. Untuk menutupi rasa grogi, digelitikinya pinggang Kevin sambil berkata, “Jangan mulai, deh! Suka banget bikin orang lemes!”
   “Ampun ... ampun, Sof. Kita duduk aja gimana?” kata Kevin sambil mengangkat kedua telapak tangannya tanda menyerah. Sofi menanggapinya dengan anggukan.
   Kevin duduk di atas paving sambil meluruskan kakinya. Punggungnya tersandar pada pohon jambu air yang dipegangnya tadi. Pohon jambu air di parkiran motor ini ditanam dengan jarak masing-masing lima meter. Jadi tempat parkir ini tampak teduh. Sementara itu Sofi duduk di atas jok salah satu motor yang terparkir di dekat Kevin.
   “Sof, aku mau cerita sama kamu,” kata Kevin sambil mengibas-ngibaskan bajunya, menghilangkan rasa gerah.
   “Cerita apa lagi? Bidadari dan pengembara? Bosen, ah! Yang lain, dong!” protes Sofi.
   “Iya, ini mau cerita yang lain.”
   “Yaudah, cerita aja.”
   “Dulu pernah ada yang kepergok ciuman di pojok sana. Di balik pohon itu,” kata Kevin sambil menunjuk bagian pojok parkiran yang ada pohon jambu airnya.
   “Dari mana kamu tahu? Ngintip, ya?” tebak Sofi. 
   “Enggak, dulu ada yang vidioin terus kesebar gitu deh.”
   “Eh, ciuman apa tuh?” tanya Sofi penasaran.
   “Ya bibir, dong! Mana panas banget lagi ciumannya,” jawab Kevin sambil terkekeh.
   “What? Bibir? Di sekolah?”
   “Iya.”
   “Terus mereka diapain?” desak Sofi. Rasa penasarannya makin menjadi. Lagi pula dia tak habis pikir, bagaimana bisa sekolah yang harusnya menjadi tempat belajar malah dijadikan tempat mesum?
   “Jadi gini, si cewek itu anak berprestasi. Anak IPA dia, suka bawa nama baik sekolah di lomba-lomba gitu,” kata Kevin. Sofi mendengarkan dengan serius. “Sedangkan si cowok anak IPS dan dia bukan murid berprestasi. Jadi yang dikeluarin si cowok akhirnya,” lanjut Kevin.
   Sofi menggelengkan kepalanya heran. Dia nyaris tak percaya seorang anak IPA mau berpacaran dengan anak IPS bahkan sampai berani berciuman di sekolah segala. Bukannya apa-apa, selama ini yang dia tahu anak-anak IPA yang katanya berotak encer itu maunya juga dekat dengan sesama otak encer. Lagi pula biasanya mereka lebih cenderung suka bergumul dengan buku-buku pelajaran daripada memikirkan perasaannya pada lawan jenis. Memang masa remaja adalah masa di mana hormon seseorang sedang tinggi-tingginya diproduksi. Terutama hormon asmara dan seks. Itu yang membuat mereka meledak-ledak dalam mengekspresikan perasaan pada lawan jenis. Namun, bukan berarti dengan demikian mereka bisa melakukan perbuatan seperti yang Kevin ceritakan di sekolah, kan?
   “Yang cewek masih di sini sekarang?” tanya Sofi lagi, dia masih belum lepas dari rasa penasarannya.
   “Masih. Kelas dua belas sekarang.”
   Di usia remaja hampir semua anak ingin bereksplorasi. Mencoba hal-hal baru. Pacaran kadang menjadi salah satunya. Memang tak selamanya berdampak buruk. Namun sejatinya pacar yang baik itu tak akan menjerumuskan dalam hal negatif. Pacar yang baik akan menularkan hal baik dan membuat orang yang disayangi menjadi pribadi yang lebih baik pula. Pacar yang baik adalah yang bisa menjaga dan menghargai kehormatan gadis yang dicintainya. Bukan malah menyesatkan dan merusak atas nama cinta yang acapkali hanya merupakan ungkapan pemanis di bibir belaka.
   Raut wajah Kevin berubah waspada ketika mendengar beberapa langkah kaki berjalan mendekati parkiran. Dia curiga itu adalah langkah-langkah kaki beberapa anak yang sedang mencarinya. Kecurigaannya terbukti benar karena beberapa saat kemudian muncul sekitar tiga orang anak laki-laki di parkiran motor. “Itu Kevin!” kata salah seorang di antara mereka sambil mengulurkan telunjuk ketika melihat Kevin.
   Kevin segera bangkit lalu mengajak Sofi—yang sudah turun dari jok motor—untuk berlari. Mereka keluar melalui pintu keluar parkiran. Pintu masuk dan keluar parkiran sengaja dibuat berbeda untuk menghindari tabrakan ketika pulang sekolah. Di mana ketika itu semua murid pasti berhamburan masuk dan keluar parkiran secara bersamaan.
  Kevin dan Sofi terus berlari. Tiga orang tadi mengikuti dalam jarak sekitar tujuh meter. Sofi nyaris kehilangan tenaganya ketika Kevin mengajaknya berbelok menuju ruangan gudang. Di dalam gudang itu akhirnya mereka berhenti untuk bersembunyi.
   Sofi menyandarkan tubuhnya pada tembok. Dadanya terasa sesak dan napasnya tak beraturan.
   “Maaf ya, karena ulah aku, kamu ikutan jadi korban,” kata Kevin. Napasnya juga tersengal, tapi tak separah Sofi. Penyesalan terpancar jelas dari sorot mata cowok itu.
   “Nggak apa-apa kalo larinya sama kamu,” balas Sofi. Dia lantas meringis.
   Kevin tersenyum dalam lalu menarik tubuh Sofi ke dalam dekapannya. Senyumnya mengembang saat dia menundukkan kepalanya hingga berapa helai rambut Sofi mengenai wajahnya. Aroma lavendel yang menguar dari rambut dan tubuh gadis itu adalah wangi yang selalu menyenangkan baginya untuk dihirup.
   Sebelumnya Sofi tak pernah membayangkan adegan ini dalam khayalan terliarnya. Dia juga tak pernah menyangka kalau akan jatuh sedalam ini, sampai rela berlari-lari hingga kelelahan akibat ulah usil Kevin. Pada akhirnya cinta memang selalu beriringan dengan kerelaan. Kerelaan untuk menghadapi risiko apa pun. Bahkan ketika harus menjalani kesulitan sekalipun. Bersama orang yang kita sayangi segala kesulitan akan terasa mudah. Tak hanya itu, segala yang terasa menyedihkan pun akan terasa menyenangkan jika dijalani bersama orang yang spesial. Itulah keajaiban cinta. Keajaiban yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun dan tak bisa ditukar dengan benda semewah apa pun. 
   “Kita naik ke atas gimana? Mau nggak?” tanya Kevin setelah napasnya kembali normal.  Dia menunjuk langit-langit gudang tanpa mengalihkan pandangannya dari Sofi. Sofi mengikuti arah telunjuk Kevin. Di atas sana, tepatnya di bagian pojok, ada sebuah lubang. Dan baru setelah melihat ke bawahnya, Sofi menyadari kalau ada tangga penghubung. Tanpa ragu Sofi lantas menganggukkan kepalanya sebagai persetujuan.
   Mereka berdua kemudian menaiki tangga. Kevin yang naik lebih dulu. Sofi mengikuti di bawahnya. Sinar matahari masuk ke dalam ruang gudang ketika Kevin membuka penutup atap yang terbuat dari kayu. Cahaya itu menyilaukan mata Sofi. Refleks, kelopak matanya tertutup. Karena terus melangkah dalam kondisi matanya yang tertutup itu, Sofi tak sadar kalau rok seragamnya tergores paku yang ada di bagian papan kayu sampai sobek dan menembus kulit. Dia baru sadar kalau kulitnya—tepat di bagian atas lutut—tergores dan mengeluarkan darah ketika Kevin mengamati kakinya dan berkata, “Lutut kamu kenapa, Sof?”
   Darah yang keluar dari luka itu tak mengucur deras, tapi keluar perlahan-lahan, merembes membentuk titik-titik cairan kental. Setelah memperhatikan luka itu selama beberapa detik, baru Sofi bisa merasakan perih. 
   “Mungkin kena paku yang ada di papan tadi. Biarin aja, ntar juga kering sendiri, ” kata Sofi sambil menghapus darahnya dengan ujung jari.
   “Jangan, dong! Ntar bisa infeksi. Aku ambilin kamu obat merah di UKS, ya? Tunggu bentar di sini!” kata Kevin. Tanpa menunggu jawaban Sofi, cowok itu lantas melompat menuruni tangga. 
   Tanpa sepengetahuan Kevin, Sofi ikut turun. Dia melangkah perlahan menuruni tangga. Di balik jendela gudang dia berhenti karena melihat Kevin berbicara dengan seorang murid laki-laki. Anak itu sepertinya sengaja menghentikan langkah Kevin.
   “Mau kemana lo, Vin? Nggak ke kelas? Habis ini ada remidial Matematika. Penting banget ini karena buat raport bayangan nilainya. Lo juga ikut, kan, harusnya? Minggu kemaren kan nilai lo jeblok,” kata cowok itu.
   “Nggak. Kalo ditanya, bilang aja Kevin lagi mules dan bakal lama di kamar mandi,” kata Kevin. Cowok itu kemudian beranjak, hendak membalikkan badannya, tapi sebelum tubuhnya berbalik sepenuhnya dia berkata, “Bilang juga gue bakal ikut remidial susulan sendirian!” agak keras karena jarak cowok yang memberi tahunya sudah agak jauh.
   Menyusul? Itu berarti Kevin bersedia mengikuti ulangan sendiri di ruang guru. Dan otomatis dia akan diawasi oleh banyak guru di sana. Sofi tahu bagi Kevin hal seperti itu tak akan mudah. Dulu Sofi pernah terpaksa mengerjakan ulangan sendiri di ruang guru karena dia sedang sakit saat diadakan ulangan. Jangan ditanya bagaimana rasanya, saking groginya, dia sampai tidak bisa berkonsentrasi karena perutnya melilit. Sekarang jika Kevin bersedia melakukan hal mengerikan itu demi dia, maka itu adalah pengorbanan yang tak mungkin lagi diragukan. Seketika itu juga separuh hati yang sempat Sofi jaga untuk tidak tenggelam pada hati Kevin, tenggelam seutuhnya. Dia biarkan serat-serat halus cinta Kevin merengkuh hatinya sepenuhnya.
   Sekarang Sofi mengerti bahwa dia benar-benar tak bisa menghindar. Cinta akan melumpuhkan penderitanya secara pasti. Manusia bisa berlari kalau mereka merasa mampu menghindar dari jeratan cinta. Namun ketika seluruh elemen alam telah memutuskan dua insan untuk bersama, tak ada satu pun yang bisa menghindar darinya.
   
***
   Kevin sedang berjalan menuju tempat parkir mobil dan masih berada di koridor deretan kelas sepuluh ketika dia merasakan ada kepalan tangan mendarat dengan keras di punggungnya. Dia  tersenyum sinis karena sudah bisa menebak siapa pelakunya. Maka sambil berbalik, dia melayangkan kakinya untuk menendang orang yang memukulnya itu. Akibatnya, Edo—yang masih berada tepat di belakang Kevin—otomatis terjatuh karena tendangan cowok itu tepat mengenai lututnya.
   “BANGUN!” kata Kevin sambil menarik kerah baju Edo.
   Ada pancaran ketakutan di wajah Edo ketika dia melihat tatapan murka Kevin. Namun dia sudah terlanjur memulai semuanya. Maka dengan segala keberanian yang dipaksakan untuk muncul, Edo melayangkan tinjunya ke perut Kevin. Pukulan Edo tak sampai mengenai perut Kevin karena cowok itu telah lebih dulu menangkis dengan sigap. Sebagai balasan, Kevin menebas bagian samping leher Edo hingga cowok itu mengerang kesakitan. Rasa ngilu dan sakit berdenyut-denyut Edo rasakan akibat serangan Kevin itu. Dia sempat mundur beberapa langkah sebelum akhirnya maju lagi dan mencoba menendang Kevin. Namun usahanya itu gagal juga karena Kevin berhasil menghindar. Serangan balik dilakukan Kevin dengan menghantam rahang bawah Edo. Rasa sakit luar biasa dirasakan Edo dari hasil serangan Kevin itu. Namun, rupanya Edo tak ingin menyerah. Dia berusaha memukul bagian wajah Kevin, tapi lagi-lagi usahanya gagal. Belum sempat pukulan Edo mengenai sasaran, Kevin sudah lebih dulu menyerang dagu dan ulu hatinya secara beruntun dengan tangan kanan dan kiri. 
   Edo sudah terlihat lemas. Namun, Kevin belum mau mengalah. Rasa kesal yang selama ini tertahan dia lampiaskan sekarang. Diseretnya Edo masuk ke dalam sebuah ruangan kelas sepuluh yang sudah tak berpenghuni kemudian dihempaskannya tubuh Edo ke deretan bangku yang tertata rapi hingga deretan bangku itu berantakan.
   “BANGUN! INI, KAN, YANG LO CARI SELAMA INI, HAH?!” teriak Kevin sambil menendang sebuah meja di samping Edo yang sedang berusaha bangkit.
   Ketika Edo baru saja bangkit, Kevin menyerang cowok itu secara bertubi-tubi. Seperti kesetanan, dia hantam bagian ulu hati Edo sambil berteriak. Tak sanggup menahan pukulan Kevin, tubuh Edo terhuyung ke belakang, mengenai tembok. Seolah tak puas, Kevin terus melancarkan serangan. Dia hantam telinga kiri Edo dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menghantam telinga kiri cowok itu. Terakhir, Kevin menyerang tengkuk Edo dengan hantaman keras dari sikunya. Beberapa detik kemudian Edo kehilangan kesadarannya. Sebelum Kevin meninggalkan ruangan, terdegngar langkah kaki orang berlari mendekat. Ketika menoleh, dia mendapati Pak Dahlan sedang menatapnya dengan raut murka. Di sekitar Pak Dahlan ada beberapa murid laki-laki—campuran kelas sepuluh, sebelas, dan dua belas. Mereka menatap Kevin dan Edo dengan tatapan penuh tanya.
   “Kevin! Apa-apaan kamu ini?!” kata Pak Dahlan ketika melihat kondisi Edo yang sudah tak sadarkan diri. Kevin hanya membeku mendapati kemurkaan guru BP-nya itu. 
   “Kalian bawa Edo ke rumah sakit terdekat, cepat! Nanti bapak menyusul,” kata Pak Dahlan pada beberapa murid yang berkerumun. Pandangan beliau lantas tertuju pada Kevin lagi. “Kamu mau jadi sok jagoan, iya?!” bentaknya.
   “Edo yang mulai duluan, Pak! Selama ini selalu dia yang mulai duluan!” kata Kevin. Dia mencoba menahan segenap kesal yang mengumpul di dadanya. Betapa tidak, dia dan Edo memang sering ribut. Namun tak sedikit yang tahu bahwa Edo-lah yang selalu memancing perkelahian. Dan sekarang ketika Kevin berusaha melampiaskan sakit hati dan amarahnya, justru dia yang disalahkan. 
   “Iya, tapi bukan seperti ini caranya, Vin! Lagi pula kalian itu masih saudara, tidak malu apa ribut-ribut terus begitu?” Pak Dahlan menghela napasnya berat. Beliau tak habis pikir mengapa mereka bisa berkelahi sampai seperti ini. Sebelumnya mereka sudah dua kali dipanggil ke ruang BP karena perkelahian yang sama dan setiap ditanyai tentang penyebab pertengkaran, keduanya selalu diam.
   “Bapak tunggu kamu di ruang BP besok,” kata Pak Dahlan lagi sebelum beliau meninggalkan Kevin.
   Di rumah, Kevin disambut dengan raut dingin Mona. Wanita itu duduk di salah satu kursi ruang tamu sambil menatapnya tajam. Ibunya seolah telah menunggu kedatangannya. Tantenya pasti sudah memberi tahu keadaan Edo pada ibunya tersebut.
   “Edo kamu apain sampai masuk rumah sakit?” tanya Mona.
   Kevin tak segera menjawab. Dia berjalan gontai menuju sofa di samping Mona. Setelah tubuhnya terhempas ke Sofa, dia masih tak juga menjawab. Cowok itu malah menundukkan kepalanya. Dia bingung harus menjawab apa. Selama ini dia terlanjur merahasiakan semuanya. Dia bersikap seolah hubungannya dengan Edo baik-baik saja, padahal mereka sudah bermusuhan sejak lama. Hampir dua tahun lebih. “Ceritanya panjang, Ma,” jawabnya dengan suara lirih. Penyesalan merambat di hatinya. Seharusnya dia tak menghajar Edo sampai lepas kendali.
   “Panjang gimana?” tanya Mona tak sabar. “Edo itu sepupu kamu sendiri, Kak, dan dari kecil kalian dekat. Kenapa bisa sampai tawuran di sekolah begitu? Malu-maluin aja!”
   Kevin mengangkat kepalanya. Dia ceritakan dari awal permusuhan mereka. Tanpa ragu dia membeberkan bahwa Edo-lah yang selalu mulai memancing perkelahian. Dia juga bercerita bahwa sebenarnya permusuhannya dengan Edo sudah lama. Sudah sangat sering berkelahi, bahkan hingga dua kali dipanggil ke ruang BP untuk diberi peringatan secara lisan.
   “Mama nggak percaya! Selama ini Edo itu sopan banget sama Mama, Kak, mana mungkin dia nyerang kamu tanpa alasan?” bantah Mona. Selama ini Edo memang selalu menunjukkan sikap baik di hadapannya. Kalau bertemu, keponakannya itu pasti menyapanya dengan penuh hormat.
   “Itu kan ke Mama. Mungkin dia respect aja kali sama Mama,” bantah Kevin pelan. Di satu sisi dia tak mau dianggap berbohong. Namun, di sisi lain dia tak ingin mengurangi rasa hormatnya dengan membantah Mona menggunakan nada tinggi.  
   “Nggak, Kak! Oh, atau jangan-jangan kamu sudah dipengaruhi dua teman kamu itu! Pasti mereka yang bawa pengaruh buruk buat kamu, iya, kan?!” tuduh Mona. Dia tak percaya anak laki-lakinya yang selama ini dididik dengan baik tega menghajar sepupunya sendiri. Pasti ada pengaruh dari orang lain. 
   “Mama kok jadi bawa-bawa Dion dan Ferro, sih? Ini nggak ada kaitannya sama mereka, Ma,” balas Kevin. Sekuat hati dia menahan rasa kesalnya agar tidak meluap. Bagaimanapun juga dia tetap harus bersikap sopan ketika berbicara pada ibunya.
   “Mama nggak mau tahu, ya, mulai sekarang kamu nggak boleh main sama mereka lagi!”
   Hati Kevin tak setuju dengan larangan Mona. Namun dia tak punya pilihan lain selain menurut. Ibunya itu sudah terlalu terbebani dengan kelakuan buruk ayahnya dan juga keadaan Alice. Dia tak mungkin membuat Mona lebih pusing lagi dengan membantah.  “Iya, Ma.” Jawabnya lemah. Cowok itu lantas beranjak dari duduknya. “Kevin  ke kamar dulu, Ma, capek mau istirahat.” 
   Hingga malam menjelang Kevin hanya mengurung diri di kamar. Dia menghindari untuk bertatap muka dengan Mona. Selain tak ingin mendengarkan ceramah panjang-lebar wanita itu lagi, dia juga tak ingin terjadi perdebatan antara dirinya dan ibunya tersebut. Bahkan ketika mengambil makan dan minum ke dapur pun dia berjalan dengan mengendap-endap, waspada supaya tidak ketahuan Mona. 
   Keesokan harinya di jam istirahat Kevin memenuhi permintaan Pak Dahlan. Dia meninggalkan kelas dengan terburu-buru tepat setelah guru pengajar keluar dari ruangan tanpa diiringi Dion dan Ferro. Ya, sebelumnya dia sudah menceritakan semua kepada dua sahabatnya itu. Tentang perkelahiannya dengan Edo, kemarahan ibunya, termasuk tuduhan ibunya kepada kedua temannya tersebut. Kevin berpesan pada kedua temannya itu agar mereka bisa mengerti kalau suatu ketika pertemanan mereka harus merenggang.
   Ketika mencapai koridor deretan kelas sebelas langkah Kevin terhenti karena melihat Sofi berjalan terburu-buru ke arahnya. Gadis itu berjalan mendekatinya dengan tatapan yang tidak menyenangkan. Tatapan yang mengisyaratkan kemarahan bercampur kekecewaan. Kevin yakin Sofi pasti sudah mendengar semuanya. Dan sekarang gadis itu pasti tengah kecewa padanya karena dia telah melanggar janji. Maka Kevin menyiapkan mentalnya untuk menerima segala kemarahan Sofi ketika gadis itu telah berdiri tepat di hadapannya. 
   “Kamu lupa sama janji yang kamu ucapin waktu kita jadian?” kata Sofi. Alih-alih marah, gadis itu justru mengutarakan sebuah pertanyaan. Dia memang tak pernah bisa mengungkapkan kemarahan dengan bentakan atau kata-kata kasar seperti kebanyakan orang pada umumnya.
   Kevin nyaris tertawa kalau dia tidak ingat bahwa Sofi mendatanginya dalam kedaan kesal dan kecewa. Ekspresi marah Sofi itu tidak begitu dingin dan mengerikan. Hanya, senyum yang biasanya muncul tak ada dan wajah cerianya tampak memudar. 
   “Sof, dengerin penjelasan aku dulu,” kata Kevin lirih, nyaris berbisik. Kedua tangannya menyentuh pundak Sofi lembut.
   “Penjelasan apa lagi?” sanggah Sofi. Dia singkirkan tangan Kevin. “Kamu udah bikin aku kecewa! Kamu udah ngelanggar janji! Dan tadi Jessie tuh sampe nangis-nangis pas cerita kalo Edo masuk rumah sakit!” air mata Sofi terkumpul di kelopak mata. “Aku nggak tahu sekarang harus gimana ke dia. Dia itu sahabat aku dan pacarnya sudah dibikin bonyok sama pacar aku ...,” lanjutnya. Tangisnya pecah akhirnya. 
   Kevin mencoba menenangkan Sofi. Dia hapus air mata di pipi gadis itu dengan jemarinya. “Aku minta maaf Sof, Edo yang mulai duluan,” balas Kevin, masih dengan lirih.
   Tadi di kelas sikap Jessie ke Sofi jadi agak aneh. Gadis itu lebih banyak diam. Sofi yang selalu memulai pembicaraan lebih dulu. Padahal jessie itu tipe-tipe ramai dan usil. Selain karena tak ingin Kevin terluka dan tersakiti karena melakukan hal yang sia-sia, hal inilah yang menjadi alasan Sofi melarang Kevin berkelahi dengan Edo. Dengan Kevin menyakiti Edo, secara otomatis Jessie akan tersakiti juga.
   “Iya, tapi ngak seharusnya kamu sampe kalap gitu, kan? Sekarang gimana aku ke Jessie coba?” kata Sofi. Air matanya masih belum berhenti. Perasaan gadis itu campur aduk. Antara marah, kesal, sedih, dan khawatir. Marah dan kesal karena ulah brutal Kevin, serta sedih dan khawatir karena tak tahu bagaimana harus menghadapi Jessie sahabatnya.
   “Ssst! Jangan nangis terus, Sof. Biar aku yang ngomong sama Jessie kalau dia marah sama kamu, oke,” kata Kevin dengan nada suara sangat rendah sambil menyibakkan pini miring Sofi yang menutupi wajah.
   Sofi masih menangis. Air matanya tak semudah itu surut. Jessie bisa mendukung hubungannya dengan Kevin padahal gadis itu tahu tentang permusuhan cowok itu dengan Edo saja sudah merupakan hal luar biasa bagi Sofi. Di saat dia berusaha menjaga hubungannya dengan Jessie agar tetap baik-baik saja, Kevin justru berulah seperti ini. Dia merasa sangat tak enak hati pada Jessie.
   “Sof, kamu diem atau aku cium di sini sekarang,” ancam Kevin. Terpaksa dia berkata seperti itu agar Sofi mau menghentikan tangisnya.
   Perlahan Sofi menghentikan tangisnya. Karena kalau tidak, dia akan punya masalah yang lebih rumit lagi. Kalau Kevin benar-benar melakukan apa yang diucapkannya, dia pasti akan menjadi bahan perbincangan seluruh murid, bahkan para guru juga. Bagaimanapun sekarang adalah jam istirahat dan banyak murid yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Dari tadi pun sebenarnya mereka sudah mencuri perhatian beberapa pasang mata.
   “Sekarang kamu ikut aku ke ruang BP, yuk!” kata Kevin sambil meraih pergelangan tangan Sofi.
   Sesampainya di ruang BP Sofi meminta untuk ikut masuk ke dalam, tapi Kevin melarang. Ini urusan pribadinya dengan Pak Dahlan. Akhirnya Sofi menunggu di luar. Atau bisa dibilang menguping karena dia berdiri di samping pintu sambil mendekatkan telinganya ke tembok yang memisahkan ruang pertama dan kedua. Ya, ruang BP terdiri dari dua ruangan yang dipisahkan oleh tembok. Ruang persidangan adalah ruang kedua yang tidak menyambung langsung dengan pintu utama ruang BP. Jadi, orang yang ada di ruang kedua tak akan melihat Sofi menguping.
   Di dalam ruang BP Kevin disambut dua guru. Dua guru itu adalah Pak Dahlan dan Pak Sanjaya. Yang memepersilahkan Kevin duduk adalah Pak Sanjaya. Kevin lantas duduk di kursi panjang yang sama dengan beliau. Sementara itu Pak Dahlan duduk di kursi lain yang ada di hadapan Kevin. 
   “Sebenarnya apa permasalahan kalian? Bapak itu tidak habis pikir, Vin, kalian itu saudara, tapi ribut terus kerjaannya!” Pak Dahlan memulai pembicaraan.
   “Bapak tanya saja sama Edo sendiri?” jawab Kevin. Bukannya dia bermaksud tak sopan, dia memang tak pernah tahu apa lasan Edo menyerangnya selama ini.
   “Maksud kamu apa?! Kamu mau mempermainkan Bapak, iya?!” kata Pak Dahlan sambil memukul meja. Laki-laki berkumis tebal itu tak menyangka kalau Kevin bukannya merasa menyesal dan bersalah, tapi malah melemparkan semua pada Edo yang jelas-jelas sekarang sedang terbaring di rumah sakit.
   “Tenang, Pak!” Kata Pak Sanjaya sambil mengangkat salah satu tangannya tanpa mengalihkan pandangannya dari Kevin. “Maksud kamu apa, Vin? Kalian berkelahi itu bukan cuma sekali, dua kali, masak berkelahi tanpa alasan? Aneh kamu ini?”
   “Edo tidak pernah mau menjelaskan alasannya pada saya setiap kali dia memulai perkelahian, Pak,” jawab Kevin.
   “Alah! Sudah ... sudah! Bapak makin pusing mendengarkan alasan kamu!” kata Pak Dahlan sambil mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan Kevin untuk berhenti berbicara. “Begini saja, untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kamu itu, kamu bapak skors selama lima hari terhitung mulai hari ini. Sekarang kamu kembali sana ke kelas dan kemasi tas kamu!”
   Tanpa berkata apa-apa lagi Kevin segera melangkahkan kakinya keluar ruang BP. Baginya hukuman seperti ini sudah biasa. Dia melihat Sofi mundur seperti orang kaget ketika langkahnya mencapai pintu ruang BP. Gadis itu seolah sedang mengantisipasi kalau yang keluar bukanlah dirinya.
   “Diskors lima hari, ya?” tanya Sofi.
   “Dasar tukang nguping!” kata Kevin sambil menarik tali rambut Sofi hingga rambut gadis itu terurai. Dia  kemudian berlari menjauhi ruang BP.
   Sofi mengejar Kevin sambil tertawa-tawa. Ketika jarak mereka sudah dekat, Gadis itu menarik  bagian belakang kemeja Kevin hingga keluar dari celana.
   “Lepasin atau aku cium!” ancam Kevin tanpa menolehkan kepala.
   “Nggak mau, kasih dulu ikat rambut aku!” bantah Sofi.
   Kevin mundur ke belakang beberapa langkah. Ketika menoleh, wajahnya sudah begitu dekat dengan wajah Sofi. Jaraknya mungkin sekitar lima senti. Selama beberapa detik mata mereka saling beradu. Wajah Sofi memanas ketika Kevin mulai tersenyum jahil lalu berkata, “Nantangin, nih?”
   Sebelum jantungnya bergemuruh semakin kencang dan kakinya menjadi lebih lemas lagi, Sofi melepaskan tangannya. Masih dengan wajah yang bersemu merah dia berkata, “Nggak, ka ... kamu ambil aja ikat rambutnya.”
   Kevin tersenyum geli ketika melihat Sofi berjalan cepat meninggalkannya. Tingkah kekasihnya itu begitu menggemaskan baginya. Betapa tidak, di saat semua gadis menginginkan untuk bisa dekat dengannya dan menggodanya tanpa rasa sungkan, Sofi yang sudah menjadi kekasihnya justru malu-malu seperti itu kalau digoda.
***
   Baru dua hari diskors Kevin sudah merasa bosan setengah mati. Mau tahu kenapa? Selama diskors Mona melarangnya keluar rumah dan menyita kunci mobil. Selain kunci mobil, Mona juga memegang ponsel Kevin. Seolah belum cukup, wanita itu juga tak memberi Kevin uang untuk jajan. Kalau lapar, Kevin disuruh makan saja di rumah. Kalau mau membeli cemilan di luar, Mona yang akan membelikan untuk Kevin. Intinya Mona benar-benar membatasi kemungkinan Kevin bertemu dengan Dion dan Ferro. 
   Jadilah selama diskors Kevin hanya berada di rumah saja. Kegiatan sehari-harinya menonton televisi di kamar, main playstation, memutar CD Maroon 5 sampai bosan. Sangat menjemukan. Bisa gila dia kalau lama-lama seperti itu terus. Kejenuhan Kevin mulai bercampur dengan rasa kesal ketika Mona mulai memaksanya untuk belajar di malam hari. Tak tanggung-tanggung, Mona menyuruh Kevin belajar dari habis isya’—sekitar jam tujuh—sampai jam sembilan malam. Padahal biasanya belajar lima belas menit saja kepala Kevin  sudah terasa pusing. Dulu waktu sikap malas belum mendarah daging pada dirinya pun, cowok itu paling mentok bisa betah belajar hanya sampai satu jam. Kevin ingin membantah semua aturan ibunya itu selama dia diskors, tapi itu tak mungkin dia lakukan. Dia tak ingin menyakiti perasaan Mona. Jadi, mau tak mau dia menurut.
   Sebenarnya Kevin tahu, Mona khawatir padanya karena peduli. Karena tak ingin dia menjadi seorang anak yang bandel dan berkelakuan buruk. Namun, menurutnya sikap ibunya itu terlalu berlebihan. Sebagai seorang anak laki-laki yang mulai beranjak dewasa Kevin ingin diberi kebebasan untuk bermain dengan siapa saja. Lagi pula dia bisa memilah mana teman yang baik dan teman yang menjerumuskan kepada hal-hal buruk. 
  Mona tak mengerti kalau perubahan sikap Kevin selama ini tak kaitannya sedikit pun dengan kedua sahabatnya. Dia berubah karena kondisi keluarganya yang sekarang mulai terasa berantakan dan tak utuh lagi. Dia berubah karena merasa tak berguna. Dia merasa hidupnya terasa tak berarti lagi karena satu-satunya tempat teraman baginya—keluarga dengan segala kehangatan di dalamnya—telah hancur.
   Sore ini, di hari ketiga menjalani skors, Kevin menjalani harinya dengan kebosanan yang sama dengan hari-hari sebelumnnya. Dia rindu suasana kelasnya. Rindu bercanda dengan Dion dan Ferro ketika diterangkan di dalam kelas. Dan yang paling Kevin rindukan adalah Sofi. Namun, dia tak bisa melakukan apa-apa.
   Untuk mengusir rasa jenuh, Kevin menyumpalkan earphone yang telah terhubung dengan ponsel ke dalam telinganya. dalam hitungan detik lagu Animals dari Maroon 5 mengalun memenuhi rongga telinganya. Untuk merilekskan posisi tubuh, dia menyandarkan punggung ke tembok, sementara kakinya dia luruskan di atas ranjang.
   Mata Kevin baru beberapa detik terpejam ketika dia mendengar suara ketukan samar-samar di pintu. Dia lantas melangkah mendekati pintu setelah mematikan aplikasi musik dan melepaskan earphone-nya. Ketika pintu kamarnya terbuka, dia mendapati Mona berdiri di depannya. Di tangan wanita itu ada sebuah kantong plastik transparan berisi satu kotak karton berwara putih. Kevin yakin isi kotak itu adalah makanan. “Ada yang nyariin kamu di bawah,” kata wanita itu. Tak ada raut kesal—seperti yang tiga hari kemarin tampak—terukir di wajahnya. 
   “Siapa?” tanya Kevin heran. Tak ada ekspresi semangat sedikit pun di wajahnya. Yang datang pasti bukanlah teman-temannya. Tak mungkin Ferro dan Dion nekat karena sudah dia peringatkan.
   “Lihat saja sendiri di bawah,” kata Mona. Wanita itu tersenyum riang sebelum meninggalkan kamar Kevin.
   Untuk menuntaskan rasa penasarannya, Kevin akhirnya berjalan cepat menuruni tangga. Dengan langkah cepat juga dia berjalan menuju ruang tamu. Raut ceria muncul di wajahnya ketika dia mendapati Sofi sedang duduk di salah satu sofa.
   “Kok bisa Mama izinin kamu masuk? Gimana ceritanya?” tanya Kevin ketika dia sudah berdiri di samping sofa yang diduduki Sofi.
   “Aku nyogok,” jawab Sofi sambil meringis. Gadis itu kemudian mengambil toples plastik berisi permen karet bulat warna-warni dari dalam tasnya. Dia berikan toples itu pada Kevin. 
   Usai menerima toples itu, Kevin memperhatikannya sambil mengerutkan kening. “Buat apaan?” tanyanya ketika pandangannya tertuju pada Sofi.
   “Katanya berhenti merokok itu susah, ya? Kayak orang kecanduan? Nah, aku bawa itu supaya ntar bisa kamu makan pas lagi pengen ngerokok,” kata Sofi sambil tersenyum teduh. 
   Sofi bisa tahu lantaran almarhum ayahnya dulu merokok. Katanya kalau tak menghisap batang beracun itu sehari saja mulutnya terasa pahit. Jadi sofi berinisiatif sendiri memberikan Kevin permen karet agar rasa pahit yang cowok itu rasakan ketika tak merokok berganti jadi rasa manis.
   Kevin tersenyum. Dia suka punya pacar yang pengertian seperti Sofi. Berhenti merokok memang susah. Seperti orang kecanduan. Benar kata Sofi. Hampir setiap melihat dua temannya atau siapa saja merokok, Kevin berusaha mati-matian menahan diri mengubur hasratnya untuk mengisap batang silinder beracun itu. Kadang untuk membunuh keinginannya itu dia memilih menghindar ketika Dion dan Ferro merokok. Kalau sudah begitu biasanya dia akan pergi ke kantin. Membeli banyak cemilan ringan untuk dimakan supaya keinginan mulutnya untuk mengisap rokok teralihkan. 
   “Makasih,” katanya sambil mengacak rambut di puncak kepala Sofi. Sofi menanggapinya dengan anggukan dan senyuman dalam.
   “Ngomong-ngomong tadi nyogok apaan ke Mama?” tanya Kevin setelah meletakkan toplesnya di atas meja.
   “Martabak telur,” jawab Sofi masih sambil tersenyum-senyum.
   Kevin tersenyum geli. Dia gemas. Bisa-bisanya gadis di sampingnya itu berinisiatif menyogok Mona dengan makan favoritnya. “Tahu dari mana kalau Mama suka makanan itu?” tanyanya.
   “Sebenernya aku asal ngasih aja, sih, soalnya pas di rumah sakit aku lihat ada martabak telur,” jawab Sofi.
   “Oh, selain pencuri hati dan tukang nguping kamu juga tukang suap ternyata, ya,” ledek Kevin.
   “Ih, disamperin bukannya bilang makasih malah ngeledek,” kata Sofi sambil menggelitiki pinggang Kevin. Bermaksud menghindar, Kevin pun berlari keluar rumah dan masuk ke garasi. Sofi mengejar. Namun belum sempat dia mencapai Kevin, langkahnya terhenti karena menabrak sebuah sepeda yang berada di garasi. Dia tak tahu kalau di bagian depan garasi itu ada sepeda yang tergeletak. Tak sempat mengantisipasi.
   “Ahh!” pekik Sofi ketika dia merasakan ngilu di ujung jari-jari kaki kanannya yang mengenai badan sepeda. 
   Mendengar itu Kevin lantas membalikkan tubuhnya. Ketika melihat Sofi sedang terduduk sambil memegangi salah satu kakinya, dia segera berlari mendekat.
   “Kamu kenapa?” tanya Kevin sambil memegang kaki kanan Sofi.
   “Nggak cuma sakit dikit, kok. Ini tadi kebentur sepeda,” kata Sofi sambil terus memijat jari-jari kakinya yang terasa sakit.
   “Coba sini aku lihat,” kata Kevin sambil meraih kaki Sofi.
   “Udah nggak apa-apa, kok! Tuh ... tuh,” kata Sofi sambil menggerak-gerakkan kakinya.
   “Yakin?” tanya Kevin memastikan. Sofi mengangguk berkali-kali menaggapi pertanyaan Kevin. Tubuh gadis itu sampai ikut bergerak-gerak. Kevin tertawa kecil melihat ulah Sofi.
   “Ini sepeda siapa?” tanya Sofi ketika perhatiannya telah tertuju pada sepeda tandem yang tadi mengenai kakinya. Gadis itu membangkitkan sepeda yang tadi posisinya terbaring itu sambil terus memandangi karena penasaran. Sofi tak menyangka cowok sekeren Kevin suka menaiki sepeda tandem lucu seperti itu.
   “Itu sepeda aku sama Alice. Waktu SMP kita suka pake itu. Sekarang aku masih suka pake keliling sekitar sini. Kalo sore biasanya. Ya, meski sendirian,” jawab Kevin. Raut wajahnya sendu dan sinar  matanya meredup ketika dia mengucapkan kalimat itu. 
   “Maaf,” ujar Sofi penuh sesal. Dia tak bermaksud membuat Kevin sedih dan mengingatkannya dengan kondisi Alice. “Alice pasti bisa nemenin kamu main sepeda lagi, kok. Dia anak yang manis. Tuhan pasti bakal kasih dia kesembuhan.” 
   Kevin hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat Sofi. Ada kegetiran dalam senyum itu. Sofi bisa melihatnya dengan jelas.
   Sebuah ide terlintas di kepala Sofi selama beberapa detik dia memperhatikan wajah Kevin. Berjalan-jalan keluar dan mempertemukan Kevin dengan kedua temannya mungkin bisa membuat kesedihan cowok itu sedikit memudar. Sambil tersenyum cerah gadis itu kemudian meminta izin pada Kevin untuk menemui Mona. Setelah sempat menyandarkan sepeda ke tembok, dia berlari kecil masuk ke dalam rumah. Kevin sempat bertanya untuk apa sebelum gadis itu menghilang dari pandangannya. Namun tak ada jawaban dari Sofi. Gadis itu sudah terlanjur masuk ke dalam rumah. Ketika keluar, Wajah semringah Sofi masih belum pudar dan malah terlihat semakin cerah saja.
   “Aku bawa kabar gembira buat kita,” ujar Sofi.
   Kalimat gadis itu berhasil membembuat membulatkan matanya. “Kabar gembira apaan?” tanyanya antusias.
   “Tante Mona izinin aku ngajak kamu jalan-jalan sebentar ke luar rumah,” kata Sofi sambil bertepuk tangan. Gadis itu tak bisa menahan senyum cerianya. “Yuk ... yuk!” lanjutnya sambil meraih tangan Kevin ketika menyadari kebengongan cowok di hadapannya itu.
   Lagi-lagi Sofi berhasil membuat Kevin heran. Dia tak percaya ibunya bisa melunakkan hati kalau berhadapan dengan Sofi. Rupanya sifat manis Sofi berhasil meluluhkan hati banyak orang. Jangankan luluh dan memberi izin untuk keluar ketika Kevin sedang menjalani masa hukuman seperti ini saat dia masih menjadi kekasih Stela, dulu gadis itu bahkan tak pernah berhasil membuat Mona benar-benar mengobrol lama dengannya. Kalau Stela main ke rumah Kevin, Mona hanya menanggapi sekadarnya lalu meninggalkan gadis itu begitu saja. Sikap Mona pada Sofi sangat berbeda dengan sikapnya pada Stela dulu.
   “Kalo kamu ke sekolah naik mobil bisa sekitar sepuluh menitan sampainya. Nah, kalo naik sepeda ini kita bakal sampai kurang-lebih hampir setengah jam. Nggak apa-apa, kan?” kata Sofi sambil mulai menuntun sepeda mendekati gerbang rumah Kevin.
   “Nggak apa-apalah, kan ngayuhnya berdua sama kamu. Tapi, ngomong-ngomong ngapain kita ke sekolah?”
   “Ada, deh!”
   “Kamu yang di depan nih?” tanya Kevin saat melihat Sofi tak juga melepaskan setir sepeda bagian depan.
   “Kamulah! Cowok kan yang jadi pemimpin.”
   “Ciyee, yang siap banget dijadiin makmum,” kata Kevin sambil mulai meraih setir sepeda bagian depan. 
   Sofi tersenyum geli. Kevin tak henti-hentinya menggoreskan kisah penuh kejaiban dalam hidupnya. Baginya setiap waktu yang dia habiskan bersama Kevin selalu terasa menyenangkan.
   Kevin dan Sofi mengayuh sepeda tandem itu dengan kecepatan sedang menyusuri jalan yang setiap hari Kevin lewati untuk menuju ke sekolah. Kevin bagaikan seorang narapidana yang bebas untuk sejenak. Entah mengapa udara sore di sekitar jalanan yang mereka berdua lewati terasa lebih sejuk dari biasanya.
   Kevin tak habis pikir mengapa Sofi bisa selalu membawa hal-hal positif bagi dirinya. Gadis itu seperti benang-benang halus yang merajut kepingan hatinya. Kepingan hati yang telah lama tercerai berai akibat hidupnya yang berantakan.
   Apa yang dikatakan Sofi tadi ternyata tidak meleset. Mereka berdua sampai di sekolah setelah mengayuh sepeda selama hampir setengah jam. 
   Suasana sekolah tampak lengang karena sudah di luar jam pelajaran. Di lapangan bola ada beberapa murid yang sedang mengikuti ekstra kurikuler futsal. Ada dua orang murid laki-laki dengan pakaian seragam di antara mereka yang berpakaian bebas. Sekarang Kevin tahu mengapa Sofi mengajaknya ke sekolah. Cowok itu lantas tersenyum lembut sambil mengusap pelan puncak kepala kekasihnya tersebut.
   “Sepedanya taruh sini aja, ya!” kata Kevin ketika mereka berhenti di depan pos satpam. Sofi mengangguk. Kevin lantas menyandarkan sepedanya pada pos satpam yang sedang tak berpenghuni itu.
   “Eh, kamu jalan belakangan aja! Aku mau ngasih kejutan buat mereka,” kata Sofi sambil menahan lengan Kevin yang sudah lebih dulu melangkah.
   Kevin menurut. Mereka berdua lantas berjalan dengan posisi Kevin berada di belakang Sofi beberapa meter. Mereka berjalan menyeruak di antara gerombolan anak yang sedang melakukan pemanasan dengan melakukan freestyle. Beberapa pasang mata melihat ke arah mereka ketika mereka melintas. Sebagian lainnya tetap fokus dengan bola di kakinya. 
     Bersama Dion dan Ferro biasanya Kevin suka ikut main bola kalau ada murid kelas sepuluh atau sebelas sedang ekstra kurikuler seperti ini. Mereka biasanya malah pulang lebih sore dari para murid yang sedang latihan. Meski pernah diusir oleh guru pembimbing, mereka tak pernah kapok. Bagi mereka bermain di luar jam pelajaran selepas pulang sekolah itu rasanya lebih puas. Satu-satunya cara bagi mereka untuk bebas bermain di luar jam pelajaran ya dengan bergabung dengan adik kelas seperti itu. karena memang tak ada lagi ekstra kulikuler bagi mereka karena sudah kelas dua belas. 
   “Hei! Liat deh siapa yang gue ajak ke sini,” kata Sofi ketika dia telah berada di dekat Dion dan Ferro yang sedang berebut bola. Gadis itu kemudian segera menggeser tubuhnya agar Ferro dan Dion bisa melihat Kevin.
  “Hawk! Gila gue nggak nyangka bisa ketemu lagi sama lo, Bro!” kata Dion ketika tatapan matanya tertuju pada Kevin. Cowok itu kemudian segera menghampiri Kevin lantas melakukan pelukan persahabatan ala cowok seolah mereka telah berbulan-bulan tak bertemu.
   “Alay lo! Kayak udah nggak ketemu gue seabad,” balas Kevin setelah melepaskan pelukannya.
   Yang menyusul berikutnya adalah Ferro. Cowok itu menyalami Kevin sambil berkata, “Rindu adalah penyakit paling mematikan sedunia karena semua apotek di dunia tak ada yang menjual obat bernama ketemuan.”
   “Sok bijak lo,” ejek Kevin sambil menghempaskan tangan Ferro.
   Mereka bertiga lantas tertawa bersamaan.
   Tak ada yang lebih membahagiakan bagi Sofi selain melihat Kevin bisa berkumpul lagi dengan kedua temannya dan tertawa bersama seperti itu.
   Sebelumya Sofi tak pernah menyangka dia bisa melakukan semua ini. Dia tak pernah menyangka bisa menaklukkan hati seseorang paling banyak dikagumi kaum cewek di sekolah. Dia tak perah berniat untuk sengaja melakukan itu. Ya, sifat cinta memang begitu murni. Mengalir. Membawa jiwa yang merasakannya masuk ke dalam petualangan yang tak pernah diduga-duga dan tak pernah direncanakan sebelumnya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • nuratikah

    si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
    berkunjung balikke ceritaku ya.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags