Sofi sedang berada di kamarnya. Tubuhnya terbaring di atas kasur berlapiskan seprai berwarna peach. Kamarnya sebenarnya tak begitu luas. Ukurannya hanya dua setengah kali satu setengah meter. Namun dia betah berada di tempat ini. Karena dia mengabiskan waktu di kamarnya tak hanya untuk tidur. Saat sedih dia menghabiskan waktunya di kamar. Tempat belajarnya juga di kamar. Menulis puisi juga sering dia lakukan di kamar. Hanya dengan berbaring terlentang sambil memandangi tembok kamar yang berlapiskan wallpaper bergambar tetesan gerimis tersebut dia bisa langsung tertidur dengan sendirinya biasanya. Namun agaknya saat ini ada yang berbeda. Sofi tak lagi bisa tertidur dengan mudah malam ini. Dia memikirkan kejadian di Taman Kencana. Ada sedikit rasa penasaran pada dua orang yang mengejar Kevin. Namun, yang lebih mendomansi adalah kebahagiaan yang membuncah lantaran akhirnya dia bisa menjadi kekasih Kevin.
“Anak Ibu kenapa belum tidur?” Suara Tiara terdengar bersamaan dengan suara derit pintu kamar. Wanita berambut sebahu itu masuk karena melihat pintu kamar Sofi yang masih sedikit terbuka.
Sofi bangkit. “Eh, Ibu,” katanya sembari merapikan rambutnya yang dibiarkan terurai. “Iya, tadi Sofi habis belajar dan sekarang belum bisa tidur,” lanjutnya ketika telah terduduk di tepi ranjang.
“Lagi ada masalah? Atau kamu lagi kangen ayah kamu mungkin?” tanya Tiara. Wanita itu duduk di samping Sofi.
“Nggak, Bu!” jawab Sofi sambil tersenyum-senyum. Gadis itu tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
“Terus kenapa, dong?” tanya Tiara sambil mengelus rambut anak gadisnya itu. “Ah, Ibu tahu, kamu pasti lagi kasmaran, ya?”
“Enggak kok,” elak Sofi.
Sofi bisa saja mengelak seperti itu. Namun wanita di depannya tak akan mungkin percaya. Terlihat jelas kebahagiaan yang tak biasa di wajah Sofi. Memangnya apalagi yang membuat anak remaja senyum-senyum seperti itu kalau bukan karena kasmaran?
“Siapa sih cowok yang bikin kamu senyam-senyum kayak gini?” tanya wanita berwajah tirus itu dengan tutur lembut. Kelembutan tutur kata itu juga yang dia wariskan pada Sofi.
“Mmmm ... Kak Kevin,” jawab Sofi pelan sambil menundukkan kepala. Dia takut kalau ibunya itu tidak suka dengan Kevin bahkan sampai melarang hubungannya dengan cowok itu. Mereka bilang naluri seorang ibu itu selalu tajam. Dia yakin kalau Tiara bisa melihat bahwa Kevin bukanlah tipe cowok alim. Waktu Kevin datang ke rumah menjemputnya di hari yang gerimis itu, Tiara seperti agak ragu saat akan memberi izin untuk pergi. Jadi, wajar kalau sekarang Sofi beranggapan bahwa ibunya itu tak terlalu menyukai Kevin.
“Kenapa nunduk gitu? Nggak apa-apa kok kamu jalan sama dia,” kata Tiara. Kalimat itu membuat hati Sofi lega. Dengan begitu dia tak perlu takut atau bersembunyi-sembunyi menjalani hubungannya dengan Kevin.
“Ibu percaya sama Sofi?” tanya Sofi saat mengangkat wajahnya.
“Iya. Bagi Ibu, ibu yang baik itu adalah ibu yang bisa mengenali anak-anaknya dengan baik kemudian memberikan kepercayaan dan kebebasan kepada mereka. Ibu kenal kamu, percaya pada kamu, makanya Ibu memberi kamu kebebasan,” kata Tiara lagi.
“Makasih, Bu,” kata Sofi. Dia memeluk Tiara Erat.
“Tapi ....” ujar Tiara ketika melepaskan pelukannya. Tiara menahan kalimatnya. Wanita itu menyentuh lengan Sofi sambil menatap wajah anak gadisnya tersebut dalam-dalam. “Ibu mau kamu menjaga kepercayaan Ibu. Ibu memberi kamu kebebasan bukan berarti kamu bisa melakukan apa saja hingga melewati batas,” lanjutnya.
Bagi Tiara merawat seorang anak gadis itu lebih banyak sulitnya daripada mudahnya. Seperti berjalan di jembatan kayu yang rapuh. Harus sangat berhati-hati. Apalagi di zaman yang serba modern seperti ini. Tingkah anak usia belasan sudah seperti orang dewasa. Di usia belia mereka melakukan perbuatan tidak seharusnya mereka lakukan. Tiara tidak mau Sofi menjadi seperti itu karena menurutnya segala sesuatu itu ada waktunya. Dia tak ingin Sofi melakukan apa yang tak seharusnya gadis itu lakukan sebelum waktunya.
“Iya, Bu,” balas Sofi sambil mengangguk dan tersenyum dalam, mencoba meyakinkan. Dia sangat mengerti kekhawatiran Tiara.
“Ibu ke kamar dulu, ya! Kamu cepetan tidur,” kata Tiara sambil mengelus puncak kepala Sofi lembut. Sofi membalasnya dengan anggukan pelan.
Sofi menutup pintu kamarnya setelah Tiara keluar. Ketika berbalik iba-tiba saja dia ingin menulis puisi. Maka beranjaklah dia ke meja belajar. Setelah mengambil bolpoin, dia menulis pada bindernya.
Hati Yang Kau Jarah
Mulanya aku ragu dengan rasa ini
Sempat kuingkari gemuruh di dada ini
Namun akhirnya aku berhenti tuk memungkiri
Karena gelora indah itu kini terpatri penuhi relung hati
Setiap getar suaramu adalah melodi
Mata cerahmu berkilau seindah swarowski
Tawa renyahmu kehangatan abadi
Melebur kekal di palung hati
Tetes asmara ini kan kujaga sampai nanti
Dalam haus biarkan aku menyesapnya
Dalam dahaga biar aku cicipi segarnya
Tak akan lelah kugenggam cintamu
Biar selamanya aku begini
Jadi pengagummu yang fanatis
Jadi perindumu yang sejati
***
Kevin masih memikirkan kejadian kemarin sore. Dia tahu Sofi curiga. Namun dia tak punya pilihan lain selain menyembunyikannya. Sofi tak boleh tahu apalagi ikut terlibat masalah akibat tingkah buruk yang dulu pernah dia jalani.
Untuk sementara ini mungkin Kevin bisa menutupi semua. Namun lama-kelamaan semua pasti akan terungkap juga. Terlebih Sofi adalah sosok yang pintar dan kritis. Lagi pula alasan yang Kevin ungkapkan kemarin sore itu hanya bisa diterima anak SD. Mungkin Sofi terlihat percaya, tapi Kevin yakin sebenarnya gadis itu tidak percaya.
Kata orang sebuah hubungan akan berjalan dengan baik kalau dilandasi dengan kejujuran. Dan Kevin setuju dengan ungkapan itu. Dulu saat berpacaran dengan Stela dia juga tak pernah merahasiakan apa pun. Namun untuk hal satu ini, dia punya pengecualian. Dia terpaksa tidak jujur. Dia harus menyelesaikan masalahnya dengan dua bajingan yang merusak hidupnya itu sendiri. Tanpa perlu melibatkan keluarga atau teman. Tidak juga Sofi.
“Katanya semalem di telfon lo bilang kalo baru jadian, sekarang kenapa mukanya keliatan kayak orang mikir gitu? Gue umumin gimana? Biar rame!” ceplos Dion tiba-tiba. Dia gemas melihat Kevin termenung saja selama beberapa menit ada di dalam kelas.
Semalam, sehabis membesuk Alice, Kevin tak bisa tidur. Dia gelisah lantaran tak bisa menyimpan kebahagiaannya sendiri. Baru setelah bercerita tentang Sofi yang akhirnya resmi menjadi kekasihnya dengan dua sohibnya di telepon dia bisa memejamkan mata. Dan sekarang dia menyesal. Kalau tahu Dion punya ide busuk seperti ini, Kevin tak akan menceritakan apa pun tentang dia dan Sofi.
Dion berjalan cepat menuju bagian tengah kelas. Tanpa menunggu persetujuan dari Kevin, dia lantas mengambil sebuah buku miliknya kemudian digulungnya buku itu untuk difungsikan seperti speaker.
Hari memang masih pagi, tapi suasana kelas sudah lumayan ramai. Sudah ada sekitar tujuh puluh persen penghuni kelas yang datang. Jadi, lumayan banyak yang akan tahu berita bahwa Kevin dan Sofi telah resmi jadian kalau Dion benar-benar berteriak di dalam kelas.
“Pengumuman! Pengumuman!” kata Dion, mencoba menarik perhatian seisi kelas. Seketika itu juga pandangan seisi kelas tertuju padanya. “Kevin baru jadian sama anak sebelas bahasa. Kita mintain PJ, yuk!” lanjutnya. Suaranya terdengar begitu lantang.
Kevin tertawa kecil. Dia lantas beranjak dari kursinya. Dengan gesit dia berlari menyusul Dion yang sedang berdiri di atas meja. “Bohong ... bohong! Nggak ada yang jadian!” katanya sambil berusaha merebut buku di tangan Dion.
“Mas Kevin gimana, sih? Sebagai seorang publik figur sekaligus sebagai anak dari seorang penyanyi juga komposer ternama, seharusnya Mas Kevin mengumumkan kabar bahagia itu, dong! Bagaimana ini, Mas, tolong klarifikasinya!” kata Dion. Dia berlagak seperti seorang wartawan yang sedang mewawancarai artis. Cowok itu mendekatkan buku yang dia gulung ke mulut Kevin.
Kevin tertawa kecil. “Bukan Kevin yang itu dodol,” katanya.
“Wiih! Katanya semalem langsung mampir ke hotel gaes! Wah ganas juga ya ternyata teman gue satu ini, baru jadian langsung diajak ngamar!” kata Dion dengan diselingi sedikit tawa.
“Asyik, dong!” sahut seorang murid cowok.
“Bagi-bagi jurus kek, Vin,” sahut seorang murid cowok lain yang duduk di bangku bagian depan.
“Kampret! Mulut lo nggak pernah lo sekolahin apa, Yon?!” Kevin mengejar Dion yang sudah berlari duluan. Keduanya tertawa-tawa berkejaran naik turun kursi dan meja. Alhasil beberapa meja dan kursi jadi kotor karena kena sepatu mereka.
Merasa ruang geraknya terbatas, Dion memutuskan untuk berlari keluar kelas. Tak ingin menyerah, Kevin lantas menyusul. Namun saat akan mendekati pintu, langkah cowok itu terhenti karena dia melihat sosok Stela. Dia tak perlu berpikir lama untuk tahu kalau orang yang gadis itu ingin temui adalah dirinya.
Sementara itu, Stela yang merasa kedatangannya disambut oleh Kevin langsung saja melemparkan senyum. Tanpa ragu dia berjalan mendekati Kevin. Namun, Kevin bukan anak TK yang tak pandai membaca ekspresi wajah seseorang. Dia tahu senyum Stela bukan senyum tulus seperti yang biasa gadias itu tunjukkan. Ada luka yang bisa Kevin lihat dari sana. Mungkin gadis itu sudah mendengar tentang dia dan Sofi.
“Jadi, kabar yang baru aku dengar pagi ini dari temen sekelasku itu beneran?” tanpa basa-basi Stela bertanya.
Sebenarnya Kevin tak ingin berita tentang kedekatannya dengan Sofi tersebar luas. Karena dia yakin itu akan berpengaruh pada kenyamanan Sofi. Akan ada banyak murid perempuan yang mendadak membenci bahkan memusuhi gadis itu nantinya. Namun seperti yang selalu terjadi sebelumnya, tanpa sengaja disebarkan pun kedekatan Kevin dengan seorang gadis akan selalu booming dan akan selalu menjadi perbincangan hangat di sekolah.
Tadi pagi Kevin memang berangkat bersama dengan Sofi. Dia menggenggam erat tangan Sofi ketika berjalan menyusuri koridor. Dari sanalah mungkin mereka semua itu mengambil kesimpulan dan mulai menyebarkan berita kedekatannya dengan Sofi. Kevin menyesal ketika dia menyadari kebodohannya itu. Kalau sekarang Stela datang dan mengonfirmasi kebenaran, maka itu adalah salahnya. Kalau sampai Stela nekat melakukan hal buruk pada Sofi, maka itu salahnya juga. Harusnya dia tidak terlalu mencolok menunjukkan kedekatannya dengan Sofi.
“Iya,” jawab Kevin singkat. Dia memasang tampang datar seperti yang biasa ditunjukkannya di hadapan Stela.
Stela melangkah lebih dekat pada Kevin kemudian diraihnya jemari tangan cowok itu. Tak ada rasa canggung sedikit pun terselip pada dirinya meski sekarang mereka sedang diperhatikan beberapa pasang mata. “Kamu bener-bener nggak mau kasih kesempatan ke aku? Selamanya?” tanyanya.
Kevin tak langsung menjawab pertanyaan Stela. Cowok itu malah menundukkan kepalanya. Dia tak sanggup melihat wajah Stela yang mulai tampak memelas. Bagaimanapun juga gadis di depannya itu adalah sosok yang pernah mengisi relung hatinya untuk pertama kali. Dulu saat mereka masih berpacaran, ketika Stela menunjukkan wajah melas seperti itu hati Kevin akan selalu luluh. Ya, Stela selalu meminta Kevin untuk ditemani melakukan banyak hal. Dan juga minta ditemani pergi ke banyak tempat. Biasanya raut wajah yang seperti itu Stela tunjukkan kalau gadis itu sedang ingin ditemani pergi ke suatu tempat dan Kevin menolak. Jurus itu dulu selalu berhasil membuat Kevin luluh. Namun sekarang tak ada lagi yang bisa Kevin lakukan selain tetap diam. Hatinya sudah tertaut pada Sofi dan apa pun yang Stela lakukan tak akan berpengaruh apa-apa baginya.
“Hidup ini seperti lembaran buku kosong yang terus diisi dengan tulisan. Setiap hari buku itu dibalik untuk menuju halaman berikutnya. Kita tak mungkin bisa kembali ke halaman belakang untuk bisa menulis lagi karena sudah penuh, iya, kan?” kata Ferro sambil berjalan mengitari Kevin dan Stela. ”Dan mantan adalah bagian dari lembaran yang sudah penuh itu,” lanjut Ferro. Langkahnya terhenti di samping Kevin. Dengan penuh intimidasi dia menatap Stela.
Stela tak terlalu bodoh untuk bisa mengerti kalimat bijak yang Ferro sampaikan. Dia adalah lembaran masa lalu Kevin. Sesuatu yang sudah sangat tidak penting untuk dibuka lagi. Tanpa menunggu lama gadis itu lantas membalikkan badan. Dia berjalan ke luar ruangan dengan raut kecewa terlukis jelas di wajahnya.
“Kalimat bijak lo mantap jiwa, Bro!” kata Kevin sambil mengacungkan jari jempolnya.
“Jelas, dong!” sahut Ferro sambil menyibakkan poni lemparnya dengan tangan kanan.
***
Lomba dalam memperingati hari olahraga nasional yang jatuh pada tanggal sembilan September akan dilaksanakan seminggu lagi. Sebelunya Kevin sudah berlatih dengan giat beberapa bulan lalu saat dia masih berada di bangku kelas sebelas. Dia ikut serta dalam lomba silat karena ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mengharumkan nama sekolah. Sebentar lagi dia sudah harus dipusingkan dengan bimbel untuk menyambut ujian nasional. Maka sekarang dia berlatih dengan sungguh-sungguh agar bisa memenangkan pertandingan.
Sekolah Kevin memiliki Indoor stadium. Di situlah dia melakukan latihan silat bersama puluhan adik kelasnya. Dia memang disuruh untuk ikut latihan bersama kelas sebelas agar pembina tak perlu repot-repot menyiapkan waktu latihan khusus untuknya. Meski Kevin adalah senior, dia tak pernah menciptakan jarak yang berarti dengan adik-adik kelasnya. Dia tak merasa harus dihormati, ditakuti, atau semacamnya. Kalau ada adik kelas yang menunjukkan sikap hormat atau terkesan tunduk pada Kevin, itu memang karena mereka sendiri yang sengaja menunjukkan sikap demikian. Bagi cowok itu semua murid di sekolah ini sama. Kelas berapa pun tingkatannya. Tak ada yang patut dijunjung tinggi atau direndahkan.
Latihan berlangsung selama dua jam. Dan selama itu juga Kevin tak melihat Sofi. Tadi siang Kevin sudah bilang pada Sofi kalau dia minta ditemani ketika latihan silat. Dan Sofi bilang dia akan datang. Namun hingga latihan berakhir dan Kevin telah mengganti pakaian silatnya dengan pakaian seragam, Sofi tak kunjung datang.
Kevin menunggu hingga hampir semua anak yang ikut latihan silat sudah keluar dari stadion. Mereka berpamitan pada Kevin sambil melambaikan tangan. Ada yang bertanya mengapa Kevin tak juga beranjak pergi. Dan Kevin hanya bisa menjawab kalau dia masih kelelahan dan ingin berhenti sejenak. Tak ada orang lain yang perlu tahu kalau dia tengah gelisah lantaran menunggu kekasihnya.
Tak ingin terus terganggu pikirannya, Kevin akhirnya memutuskan untuk menelepon Sofi. Teleponnya tersambung, tapi tak ada jawaban. Tepat ketika Kevin sedang memasukkan ponselnya ke dalam tas, dia mendengar langkah kaki seorang yang sedang berlari mendekat ke arahnya. Ketika menoleh ke belakang dia mendapati Sofi sedang berdiri tak jauh darinya dengan napas tersengal.
Kevin melihat ada yang lain dari raut wajah Sofi ketika dia berjalan mendekati pacarnya itu. Seperti ada keraguan, ketakutan, atau entah apa, dia tak bisa membaca dengan pasti. “Kamu kenapa?” tanya Kevin sambil menyentuh pipi Sofi lembut.
“Nggak,” jawab Sofi sambil menggelengkan kepalanya pelan. Napasnya perlahan kembali normal. “Maaf, aku telat. Tadi nyempetin ngerjain tugas.”
“Sini,” kata Kevin. Dia mengulurkan tangannya lalu mengajak Sofi untuk duduk di lantai stadion bersamanya.
Sofi menurut. Tatapan anehnya masih belum hilang. Dia tak terlihat rileks seperti biasanya saat bersama Kevin. Sebaliknya, dia terlihat kaku seperti seseorang yang sedang membatasi diri.
“Kamu kenapa, sih, Sof? Ada masalah? Cerita aja?” tanya Kevin akhirnya, mencoba membuat Sofi yakin kalau sebagai kekasih dia adalah tempat curhat yang baik.
“Nggak,” lagi-lagi Sofi hanya menjawab singkat.
Kevin menarik napas dalam. Dia memang sudah menjadi kekasih Sofi. Namun bukan berarti dia bisa memaksakan segala kehendaknya. Lagi pula, mungkin Sofi butuh waktu untuk percaya padanya.
“Kamu sempet ikut cari-cari biaya untuk pengobatan Alice nggak?” kata Sofi lagi. Pertanyaan itu sukses membuat Kevin mengerutkan keningnya bingung. Ya, bagi Kevin pertanyaan itu terdengar aneh karena kesannya menyelidik.
“Pernah. Dulu waktu pertama tahu kalo Alice sakit. Sekarang udah nggak. Kenapa emang?”
“Nggak kenapa-kenapa.” Sebenarnya Sofi ingin menggali lebih jauh, tapi dia tahu Kevin tak akan mengatakan yang sebenarnya.
“Beneran? Kenapa sih? Kayak ada yang aneh?” tanya Kevin lagi. Dia tak puas dengan jawaban Sofi.
Bukannya menjawab Sofi malah mengalihkan pembicaraan. “Eh, kayaknya aku perhatiin dari tadi penampilan kamu agak aneh, deh,” katanya sambil memperhatikan baju Kevin.
Kevin memperhatikan penampilannya sendiri. Hari ini untuk pertama kalinya selama hampir tiga tahun bersekolah di SMA, dia menggunakan ikat pinggang dan bajunya dimasukkan. Terakhir kali dia berpenampilan rapi begitu adalah ketika masih duduk di bangku kelas delapan. Saat segalanya masih baik-baik saja. “Kenapa? keliatan culun, ya? Dilepas aja kali, ya?” katanya sambil mulai merlepaskan ikat pinggangnya. Belum sempat ikat pinggang itu terlepas seutuhnya, komentar-komentar aneh datang dari empat anak yang baru saja keluar dari ruang ganti.
“Jangan dibuka dulu, Vin! Yaelah kita-kita belum keluar juga, gak sabaran amat lo?” kata seorang yang bertubuh tinggi.
Yang berpotongan emo ikut berujar, “Masukinnya pelan-pelan, Vin, jangan kasar-kasar. Soalnya kalo baru pertama suka sakit katanya. Udah gitu jangan lupa berdoa dulu!”
Ketika dua orang itu berceloteh, dua yang lain tersenyum-senyum mendengarnya. Mereka berempat lalu tertawa-tawa sambil terus berjalan menjauh. Memahami maksud mereka, Kevin juga ikut tertawa, bahkan sampai terpingkal-pingkal.
“Mereka ngomongin apaan, sih? Kamu juga ngapain ketawa?” tanya Sofi. Dia dihinggapi rasa kesal bercampur penasaran. Keningnya berkerut-kerut seolah anak-anak tadi mengucapkan bahasa alien atau bahasa planet lain yang tak dia mengerti.
Tawa Kevin masih belum sepenuhnya reda ketika dia menjawab, “Udahlah, orang gila nggak usah didengerin.”
“Nggak mau! Apaan, sih?” rengek Sofi sambil menarik-narik seragam Kevin. rasa cpenasarannya belum juga hilang. “Mereka aneh banget?”
“Nggak ada apa-apa,” kilah Kevin sambil tersenyum geli. Dia gemas melihat keluguan Sofi.
Kevin memasukkan ikat pinggangnya yang telah terlepas seluruhnya ke dalam tas kemudian dia keluarkan baju seragamnya seperti biasa lagi. “Eh, semalem aku belajar bikin puisi. Sekarang aku mau bikinin buat kamu, mau?” katanya kemudian untuk mengalihkan pembicaraan.
“Oh, ya? Beneran bisa?” balas Sofi antusias.
“Bisa, dong! Tunggu, ya!” kata Kevin sambil mulai mengambil bolpoin dan buku tulis. Beberapa detik kemudian bolpoin di jarinya menari lincah di atas kertas.
Sofi menunggu Kevin menulis dengan sabar. Dia memandangi cowok yang sedang sibuk menggoreskan pena ke kertas itu lamat-lamat dari samping. Rambut harajukunya yang ditutupi topi terbalik, wajah ovalnya, alis tebalnya, hidung mancungnya, mata tajamnya, bibir penuhnya, semua tampak begitu indah. Kevin terlihat sangat menawan kalau sedang serius begitu.
Kevin sedang berpikir dan berhenti menggoreskan penanya ketika Sofi mengambil topi dari kepala cowok itu. “Kenapa?” tanyanya.
“Nggak, suka aja lihat rambut kamu tanpa topi,” jawab Sofi sambil merapikan beberapa helai rambut Kevin.
“Udahlah, aku jadi nggak konsen ntar nulisnya,” kata Kevin sambil tersenyum genit.
Sofi lantas menarik tangannya. “Iya, deh!”
Kevin mengambil topinya dari tangan Sofi kemudian menggantinya dengan buku yang sudah dia tulisi dengan puisi.
“Aku baca, ya!” kata Sofi ketika menerima bukunya. Kevin mengangguk. Dan Sofi-pun mulai membaca puisi itu.
Aku Mencintaimu
Aku mencintaimu dengan penuh kerelaan
Seperti mentari yang rela hilang ditelan malam
Seperti terangnya senja yang rela terkikis gelap
Aku mencintaimu dengan sepenuh hati
Seperti tetes hujan yang jatuh tanpa mengeluh
Seperti desir angin yang berbisik tanpa berisik
Aku mencintaimu dengan tulus
Seperti serpihan salju yang jatuh terurai
Seperti bintang yang menghambur di langit malam
“Kok bagus, sih,” kata Sofi sambil tersenyum. Kevin merasa lega lantaran akhirnya dia bisa melihat senyum itu muncul di wajah Sofi. Cowok itu lantas ikut tersenyum.
“Aku nggak nyangka kamu bisa so sweet juga ternyata,” kata Sofi lagi.
“Bad boy juga manusia. Segarang-garangnya, dia tetap akan bersikap manis di hadapan cewek yang disayang.”
“Percaya, deh!” kata Sofi sambil tersenyum dalam. Dia begitu bahagia. Tak pernah terbayang sedikit pun di benaknya kalau dia akan dipuja oleh seorang cowok yang cukup di segani di sekolah seperti Kevin.
“Selain puisi aku punya sesuatu lagi buat kamu?” kata Kevin sambil menggeledah tasnya. Setelah menemukan benda yang dicari, dia berikan benda itu pada Sofi.
Sofi memperhatikan benda pemberian Kevin itu dengan saksama. Benda itu adalah sebuah kalung yang terbuat dari tali hitam dengan bandul sehelai bulu unggas.
“Ini bulu apa?” tanya Sofi sambil mengangkat kalung itu ke hadapan Kevin.
“Elang,” jawab Kevin. Kevin membuat kalung itu sendiri. Bulu itu dia ambil dari burung elang yang terpajang di meja belajarnya.
“Kenapa, sih, kamu suka sama Elang?”
“Elang itu binatang yang kuat. Dia tetap terbang gagah di tengah kondisi alam yang tak pernah bisa ditebak. Seperti elang yang selalu terbang tinggi dengan tangguh, manusia juga harus bisa menghadapi dunia yang serba tidak pasti ini dengan penuh keberanian,” kata Kevin sambil tersenyum kecil karena gemas melihat ekspresi serius Sofi yang sedang mendengarkan jawabannya. “Satu lagi. Elang itu adalah binatang yang setia. Meski begitu kuat dan hebat, dia hanya menikah sekali seumur hidup dengan pasangannya itu. Manusia yang merupakan mahluk yang lebih mulia dari binatang harusnya bisa sama atau bahkan lebih baik dalam hal kesetiaan. Bukannya malah serakah dengan memilih untuk memiliki beberapa pasangan ketika mereka telah memiliki tahta dan harta yang melimpah.”
Sofi mengangguk-angguk mendengar penjelasan Kevin. Perlahan bibirnya membentuk seulas senyum kagum. Dia tak menyangka kalau Kevin yang kelihatannya badung dan begajulan seperti itu bisa mengungkapkan kata-kata filosofis yang maknanya begitu dalam.
“Kamu bisa tahu dari mana kalo cuma nikah sekali?” tanya Sofi setelah hilang rasa kagumnya. Sambil menunggu jawaban Kevin, dia memasukkan kalungnya ke dalam tas.
“Tahulah! Orang penghulunya tetangga aku. Udah gitu KUA-nya juga deket rumah aku,” jawab Kevin asal. Beberapa detik kemudian tawanya pecah lantaran melihat wajah cemberut sofi akibat jawaban ngawurnya.
“Ditanya serius juga!” rajuk Sofi.
“Maaf, habisnya kamu tanya-tanya terus,” kata Kevin setelah tawanya reda.
Wajah Sofi masih cemberut. Gadis itu lantas berdiri, hendak meninggalkan Kevin.
Kevin manahan tangan Sofi. “Aku ceritain kamu dongeng gimana? Biar nggak ngambek lagi.”
Sofi duduk lagi. Raut cemberutnya sedikit pudar. “Dongeng apa?” tanyanya.
“Dengerin aja!”
Sofi mengangguk. Dia lantas mendengarkan Kevin dengan serius.
“Pada suatu hari ada seorang pengembara yang tersesat di hutan. Dia jatuh cinta pada seorang bidadari yang datang menolongnya.”
“Oh, ya? Apa yang bikin pengembara itu suka sama bidadari,” sela Sofi.
“Pengembara itu suka dengan tawa si bidadari, suka dengan rambut si bidadari,” kata Kevin sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Sofi perlahan. Sofi merasakan wajahnya menghangat ketika wajah Kevin hanya berjarak sekitar tujuh atau delapan senti di depannya.
“Terus suka apanya lagi?” tanya Sofi pelan. Tabuhan genderang di dadanya mulai tak bisa dia kontrol.
“Suka rambutnya ... alisnya ... matanya ... hidungnya ....” kata Kevin pelan sambil memperhatikan bagian yang dia sebut itu di wajah Sofi. Cowok itu semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Sofi hingga hidung mereka nyaris bersentuhan. “Dan bibirnya,” bisiknya pelan ketika pandangannya jatuh ke bibir Sofi. Dia menyentuh perlahan bibir gadis itu dengan ujung jari jempolnya.
Tubuh Sofi membeku mendapat perlakuan seperti itu dari Kevin. Otot-otot serta tulangnya terasa lemas semakin dia menatap iris mata Kevin. Bersamaan dengan itu ada euforia yang meledak-ledak di dadanya. Tak hanya itu, perutnya pun terasa geli seolah digelitiki ratusan tangan dari dalam. Kalau kekasihnya itu berniat menciumnya atau melakukan hal yang lebih jauh, Sofi yakin dia tak akan mampu menolak dan cenderung pasrah. Maka sebelum Kevin bertindak terlalu jauh dan mereka terjebak dalam perbuatan yang nantinya berdampak negatif, Sofi memalingkan wajahnya.
Kevin tertawa kecil. “Oh gitu? Ngehindar?” ujarnya dengan masih ada sisa tawa. “Awas ya kapan-kapan aku curi!”
Wajah Sofi memerah. Kepalanya sedikit tertuduk, sementara bibirnya menyunggingkan senyum malu-malu.
“Kenapa menghindar?” tanya Kevin penasaran.
Sofi menggelengkan kepalanya. “Nggak tahu,” jawabnya. “Lemes aja kalo kamu deketin pelan-pelan gitu. Lagian aku takut kalau nantinya kita sampe ngelakuin hal yang melewati batas”
Kening Kevin berkerut. Dia lantas tertawa lagi. Kali ini tawa lepas. “Cuma ciuman, Sof,” katanya, “Ehm, tapi nggak apa-apa kok kalo kamu belum siap.”
Bukannya merasa kecewa, Kevin justru merasa lega. Akhirnya dia tahu kalau Sofi memang berbeda dengan gadis-gadis yang selama ini mendekatinya. Kekasihnya itu seperti berlian di tengah pasir. Langka, sulit ditemui, dan wajib dipertahankan untuk dimiliki.
si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
Comment on chapter Prologberkunjung balikke ceritaku ya.