Semalam Sofi nyaris tak bisa tidur karena memikirkan kalimat Kevin waktu di rumah sakit. Senyum cowok itu, yang begitu membekas di ingatannya, memperparah insomnianya. Keindahan sosok Kevin seperti terproyeksi berulang-ulang di matanya. Muncul begitu saja meski dia tidak ingin sengaja mengingat-ingat.
Biasanya Sofi tertidur sekitar jam sembilan malam. Namun, tadi malam Sofi baru bisa memejamkan matanya sekitar jam sebelas. Alih-alih mengantuk karea kurang tidur, paginya ketika akan berangkat ke sekolah dia malah merasa lebih bersemangat dari biasanya. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Sofi tak mengerti. Suasana di sekolah pun terasa berkali-kali lipat lebih menyenangkan dari biasanya.
“Kenapa, sih, kayaknya wajah lo cerah banget gitu hari ini?” tanya Jessie saat melihat wajah semringah Sofi. Raut wajah sahabatnya itu sangat berbeda dengan wajahnya yang masam karena pagi ini akan diadakan ulangan Bahasa Jepang.
“Nggak, ih, biasa aja perasaan,” elak Sofi.
“Biasa gimana? Enggak kali, Sof! Ada yang beda dari lo!” sanggah Jessie sambil terus menggerak-gerakkan kipas di tangannya. “Itu ... tuh liat, deh, wajah lo tuh kayak yang semringah banget gitu!” lanjut Jessie sambil menyodorkan ponselnya—yang sudah diaktifkan fitur kamera depannya—ke wajah Sofi.
Sofi tak ingin memakai layar ponsel Jessie untuk bercermin dan malah memalingkan wajahnya ke kiri. Ketika itu dia mendapati Edo berjalan masuk ke dalam kelasnya. “Itu cowok lo dateng tuh! Lo samperin dia sana! Berhenti, deh, ngisengin gue!” katanya.
Dengan cepat Jessie mengakhiri keisengannya lantas segera memasukkan ponselnya ke saku rok. “Pagi, Sayang!” sapanya. Dia berdiri menyambut Edo. “Tumben amat ke sini biasanya juga aku yang nyamperin kamu duluan,” lanjutnya sambil tersenyum cerah.
Edo tak membalas sapaan Jessie. Dia hanya tersenyum sebentar lantas segera berpaling pada Sofi.
“Sof, mendingan lo jangan deket-deket sama Kevin, deh! Dia tuh orang jahat!” kata Edo dengan raut serius.
Sofi jelas bingung mendengar larangan Edo itu. Dia tahu kalau Cowok itu dan Kevin sering ribut. Namun, menurutnya Edo tak perlu mengatur dirinya. Harusnya Edo tak perlu menyebarkan kebencian yang dia punya pada orang lain.
“Dari mana lo tahu ka—”
“Gue liat lo kemaren di depan rumah Kevin pas lagi mau naik bus,” sahut Edo cepat.
Sofi mengangguk pelan. Dia dengar rumah Edo dan Kevin memang berdekatan, jadi wajar kalau cowok itu tahu.
“Tunggu ... tunggu! Apa urusan kamu ngelarang-ngelarang Sofi, Yang?” tanya Jessie. Seketika itu Sofi merasakan ketidaknyamanan menyeruak ke udara.
Edo berpaling pada Jessie, tapi tak memberikan jawaban apa pun. Kesal, akhirnya Jessie menyeret Edo ke luar kelas untuk meminta penjelasan.
“Maksud kamu apa ngelarang Sofi deket ke Kevin?” tanya Jessie setelah berada di depan kelas.
“Nggak ada apa-apa,” balas Edo singkat. Dia tak pernah suka kalau Jessie sudah kumat begini. Penjelasan apa pun yang dia berikan tidak akan bisa gadis itu terima. Lagi pula ini menyangkut kebenciannya dengan Kevin. Dia tak mungkin menjelaskan apa pun pada Jessie kalau tentang itu.
“Nggak gimana? Jangan bilang kamu mulai naksir Sofi makanya kamu ngelarang dia deket sama Kevin?” tuduh Jessie.
“Nggak, Jes!” sergah Edo dengan nada yang mulai meninggi.
Kalau sudah menyebut nama begitu, biasanya Edo sudah mulai terpancing emosi. Namun, Jessie terus berusaha mencari tahu. “Terus apa?” desaknya tak sabar. Dia merasa yakin kalau kekasihnya itu sedang menyembunyikan sesuatu.
Edo mengambil napas dalam. Tatapan matanya menajam. Rahangnya mengeras. “KAMU ITU NGGAK PERLU TAHU TENTANG SEGALA URUSAN AKU DENGAN KEVIN NGERTI!” bentaknya sambil menunjuk wajah Jessie.
Kalimat Edo itu terdengar seperti petir yang menggelegar di telinga Jessie. Hatinya seperti kertas yang diremas hingga kusut. Dia tak percaya Edo tega membentaknya. Bahkan cowok itu seolah tak peduli meski ada beberapa murid sedang berlalu-lalang di sekitar mereka. Dengan mata yang mulai basah Jessie berlari menuju kursinya. Ternyata seseorang bisa berubah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan bagi orang lain ketika hati dan kepalaya panas. Bahkan terhadap kekasihnya sendiri sekalipun.
Sofi terkejut ketika mendapati Jessie kembali dengan tangis. Kalau sudah begini biasanya mustahil Edo akan menyusul. Dan dugaan Sofi itu terbukti benar. Beberapa menit setelah Jessie menangis sesenggukan sambil menyembunyikan wajah dibalik lipatan tangannya di atas meja, Edo tak juga muncul. Pasti cowok itu sudah kembali ke kelasnya.
Sofi semakin merasa bersalah saat melihat Jessie tak kunjung reda tangisannya. Bagaimanapun pertengkaran Edo dan Jessie terjadi karena dirinya. Well, sebelumnya mereka memang pernah terlibat keributan kecil beberapa kali. Meski demikian, biasanya Jessie tak pernah menangis sampai sehebat ini.
“Jes, gue minta maaf, ya, kalo lo sama Edo berantem gara-gara gue,” kata Sofi sambil mengelus punggung Jessie pelan. Tak ada suara yang keluar dari mulut Jessie selain isakan. Namun, akhirnya Sofi bisa bernapas lega karena beberapa detik berikutnya Jessie mengerak-gerakkan kepalanya naik-turun pelan, pertanda bahwa dia menerima permintaan maaf Sofi.
“Nggak apa-apa. Ntar juga dia minta maaf ke gue,” balas Jessie. Suaranya terdengar kurang jelas karena teredam oleh meja.
***
Matahari sedang bersinar dengan teriknya ketika Kevin, Dion, dan Tommy duduk di tangga depan masjid sekolah untuk melihat beberapa murid yang sedang bermain bola. Jam istirahat sedang berlangsung dan Kevin sedang tak ingin pergi ke kantin. Dua sahabatnya mengajak dari tadi, tapi dia menolak. Dia sedang tak bernafsu makan. Begitu banyak hal berkelebat di kepalanya. Tentang Alice dan penyakit yang dideritanya, tentang perasaan ibunya, tentang ayahnya yang tak kunjung kembali normal sikapnya seperti dulu, dan terakhir tentang permusuhannya dengan Edo yang sampai sekarang tak pernah dia ketahui apa penyebabnya.
“Hawk, lo kenapa sih cemberut aja dari tadi?” tanya Ferro yang sudah mengalihkan pandangannya dari cermin kecil yang selalu dia masukkan ke saku seragamnya. Teman Kevin yang satu ini tak pernah jauh dari cermin. Sehari entah berapa kali cowok itu merapikan poni lemparnya.
“Iya lo, Hawk, kita mau bales dendam ke Edo, lo nggak mau. Sekarang kenapa tampang lo kusut gitu!” Dion ikut menyahuti.
“Sok care lo! Biasanya juga seneng banget liat gue susah,” balas Kevin tanpa mengalihkan pandangannya dari beberapa orang murid laki-laki yang sedang berebut bola di lapangan.
“Eh, gue tahu nih apa yang bisa bikin si Hawk senyum lagi,” ujar Dion sambil tersenyum cerah.
“Apaan emang?” tanya Kevin. Dia memandang Dion curiga. Membuatnya tersenyum itu biasanya merupakan konotasi halus yang sering cowok itu gunakan. Karena biasanya bukannya membuat suasana hatinya membaik, sahabatnya itu justru akan membuatnya mengumpat kesal lantaran dikerjai.
“Gue pinjem cermin, Ro,” kata Dion sambil mengulurkan lengannya menyeberangi Kevin yang berada di tengah. “Si Polem, ah! Lama banget lo! Poni lo tuh, ya, mau lo ngaca berkali-kali juga bentuknya tetep,” lanjut Dion. Dia kesal lantaran Ferro tak juga memberikan cerminnya malah keasyikan menata poni.
“Tetep apa?” potong Ferro penasaran.
“Tetep lepek! Kayak udah seminggu nggak keramas!” jawab Dion. Kevin tertawa mendenganya. “Udah siniin cerminnya!” lanjutnya sambil merebut paksa cermin dari tangan Ferro.
“Dari pada lo, rambut lo berdiriin semua kayak landak! Apaan, tuh!” balas Ferro tak terima.
Dion cuek saja mendengar balasan Ferro, karena sekarang tangannya telah mempermainkan cermin. Dengan lincahnya dia menggerak-gerakkan cermin itu ke kiri dan ke kanan. Dia mencari-cari pantulan cermin dan memastikan cahayanya sampai pada orang yang dituju.
Kevin mengikuti arah pantulan cermin itu. Setelah dia tahu siapa orang yang Dion incar, senyum di bibirnya terbit. Sofi dan Jessie sedang duduk di bangku panjang depan kelas mereka. Jessie sedang berceloteh sambil mengerak-gerakkan kipas di tangannya, sementara Sofi sedang mempelajari sebuah buku. Sesekali gadis itu mengangguk tanpa menolehkan kepalanya pada Jessie.
“Siapa sih, Yon?” tanya Ferro penasaran.
“Lo liat aja tuh,” kata Dion sambil terus menggerak-gerakan cermin.
Ferro mengikuti arah pantulan cahaya dari cermin yang dimainkan Dion. “Oh ... yang rambutnya diiket itu?” katanya ketika melihat Sofi. “Yang bawa-bawa kipas itu pacarnya si Edo, kan?”
“Eh ... eh, udah, Yon, tahan dulu. Ntar dia kabur lagi karena keganggu,” kata Kevin saat melihat Sofi mulai celingukan, mencari orang yang dengan isengnya memain-mainkan cermin hingga membuat matanya jadi silau.
“Ide lo mantep juga, Yon! Si, Hawk, bisa senyam-senyum sekarang,” kata Ferro sambil memperhatikan wajah semringah Kevin.
“Iya tuh, tapi ngliatinnya jangan sambil nyureng gitu juga kali, Hawk,” kata Dion saat melihat Kevin menajamkan pandangan matanya akibat silau oleh cahaya matahari.
“Kebiasaan buruk jangan dipelihara, pake topi tuh yang bener! Sekolah mau dua belas tahun, tapi tetep geblek aja lo!” Ferro ikut menimpali sambil membenarkan posisi topi Kevin yang dipakai secara terbalik.
Kevin nyengir. Matanya terus tertuju pada Sofi yang masih sibuk membaca buku. Sementara itu Dion kembali memain-mainkan cermin di tangannya. Dia gerak-gerakkan cermin itu dengan cepat ke kiri dan ke kanan sehingga cahaya yang mengenai wajah Sofi juga bergerak cepat. Akhirnya pandangan Sofi tertuju pada Kevin dan dua temannya juga. Cewek itu menatap Ferro, Dion, dan Kevin bergantian sebelum akhirnya tatapannya berhenti di Kevin agak lama. Kesempatan itu Kevin gunakan untuk melemparkan senyum indahnya. Kevin sempat melihat Jessie seperti mengatakan sesuatu sambil menyikut lengan Sofi sebelum akhirnya gadis itu masuk ke dalam kelas. Detik berikutnya Jessie ikut menyusul masuk. Dan seketika senyum Kevin lenyap melihat kejadian itu.
“Lo sih, Yon! Jadi ngambek tuh anaknya!” protes Kevin.
Sementara itu Sofi yang sudah ada di dalam kelas segera berjalan ke kursinya. Dia tak mempedulikan Jessie yang membututinya sambil mengucapkan kata maaf.
“Sof! Yaelah gitu aja ngambek sih lo! Eh, tau nggak, si Kevin itu beneran suka kali, Sof, sama lo! Lo liat nggak tadi senyumnya? Beh! Dalem banget!” seru Jessie heboh.
“Yakin banget lo! Gimana kalo ternyata dia sengaja tebar pesona? Dia kan punya banyak pengagum di sekolah. Mana mungkin dia mau sama gue? Secara gue bukan cewek tercantik di sekolah, bukan ketua cheers, dan bukan ketua OSIS,” cerocos Sofi masih dengan memajang raut kesal. Buku yang dia bawa diletakkannya di meja ketika pantatnya telah mendarat di kursi.
Sebenarnya Sofi tidak bermaksud pesimis. Meski tak tahu apa alasan tepatnya, dia memang menaruh perasaan suka pada Kevin. Dia suka pembawaan santai Kevin setiap menghadapi masalah atau hukuman apa pun yang diberikan para guru, seolah cowok itu yakin kalau segalanya akan bisa dilaluinya dengan mudah. Dia suka dengan rasa tanggung jawab yang Kevin miliki atas setiap risiko yang harus cowok itu tanggung untuk setiap ulah yang dilakukannya di sekolah. Dia hanya tak ingin berharap terlalu tinggi. Dia tak ingin hatinya terluka. Dilihat dari sekian banyaknya gadis di sekolah yang memuja Kevin, cowok itu berpotensi menjadi seorang player. Sofi tak yakin kalau Kevin adalah seorang cowok baik-baik yang hanya setia pada seorang gadis. Pernah kamu merasa ragu dengan perasaanmu sendiri ketika kamu suka pada seseorang? Perasaan seperti itulah yang saat ini Sofi rasakan.
“Ayolah, Sof! Lo itu harus pede! Nih, ya, cowok bad boy kayak Kevin itu susah dikendalikan, begitu juga dengan perasaannya. Biasanya sekali jatuh cinta mereka itu serius banget dan nggak akan main-main,” kata Jessie sambil terus berjalan. Dia lantas duduk di samping Sofi.
Sofi membiarkan wejangan Jessie itu melintas begitu saja di kepalanya. Kata-kata Jessie itu mungkin saja benar, tapi dia tak mau percaya begitu saja. Lagi pula menjadi seseorang yang spesial di hati Kevin adalah mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Mereka berdua adalah dua hal yang begitu berbeda. Betapa tidak, Sofi adalah murid normal yang kegiatan sehari-harinya di sekolah hanya belajar dan belajar untuk mendapatkan nilai terbaik di kelas. Sementara Kevin, alih-alih terlihat seperti murid normal, cowok itu lebih tampak seperti model atau selebriti di sekolah. Dia tak pernah terlihat begitu peduli dengan nilai-nilai pelajarannya. Setiap hari di sekolah dia hanya perlu datang dengan penampilan menawan, menarik perhatian para gadis, tak memusingkan tugas atau ulangan, dan ketika waktunya pulang dia akan tetap tersenyum cerah meski sedang diberi banyak tugas tambahan lantaran sering tak berada di kelas ketika jam pelajaran berlangsung.
Ketika Jessie dan Sofi masih berdebat, Kevin datang. Tanpa ragu cowok itu berjalan mendekati meja mereka. Melihat itu, Sofi segera mengambil buku yang sempat dia letakkan di meja tadi lalu ditaruhnya buku itu di depan wajahnya.
“Jes,” panggil Kevin.
Jessie mengalihkan pandangannya dari Sofi ke Kevin yang sedang berdiri di depannya. Cowok itu bersedekap sambil bersandar pada sebuah meja. “Apaan?” balasnya.
Meski Edo dan Kevin bermusuhan, Jessie tak pernah ikut-ikutan membenci cowok itu. Dia bukan tipe cewek buta yang serta-merta membenci musuh pacarnya. Terlebih dia tak pernah tahu apa alasan Edo memusuhi Kevin. Setiap kali dia bertanya apa alasan pacarnya itu memusuhi saudaranya sendiri, Edo selalu menolak memberi penjelasan. Lagi pula dia pernah dua kali melihat mereka ribut di depan mata kepalanya sendiri. Dan selama dua kali itu pula Edo-lah yang selalu memulai pertengkaran terlebih dahulu. Jadi, sekarang Jessie biasa saja menanggapi Kevin. Tak ada kebencian di matanya, pun tak ingin terlihat terlalu akrab.
“Lo ruqyah gih cowok lo! Biar berhenti cari ribut sama gue terus!”
“Ntar kalo ke rumahnya sekalian gue bawain orang pinter,” balas Jessie asal.
“Jes, cewek kelas lo ternyata cantik-cantik, ya! Terutama yang namanya Sofi,” kata Kevin dengan tenangnya seolah Sofi tak sedang ada dalam satu ruangan dengannya. Pandangan cowok itu terus tertuju pada Jessie.
Mata Sofi yang berada di balik buku melotot ketika mendengar kalimat Kevin itu. Dadanya berdesir. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, dia melirik Kevin dari balik buku. Ritme detak jantungnya jadi semakin cepat ketika dia melihat wajah Kevin yang semakin tampak rupawan dihiasi dengan senyum miring.
“Hah!” seru Jessie. Dia menoleh pada Sofi sekilas lantas memandang Kevin lagi. Sebenarnya dia gemas ingin menggoda Sofi. Namun, dia tak mungkin melakukan itu di saat seperti ini. Wajah sahabatnya sudah kemerahan seperti udang rebus. “Iya ...ya,” lanjutnya akhirnya. Senyum geli terukir di bibirnnya.
Kevin melihat sekilas pada Sofi yang wajahnya semakin dekat saja pada buku. “Salamin ke dia, ya! Bilang ‘Kevin kangen banget’ gitu!”
Jessie berusaha untuk menahan tawa. Dia melirik Sofi sekilas. Suhu tubuh sahabatnya itu pasti tengah panas-dingin sekarang.
Kevin melihat Sofi lagi. Gadis itu masih belum mau mengalihkan pandangannya dari buku. “Bilangin juga supaya jangan belajar terus. Udah pinter gitu. Ntar kalo dia kecapekan belajar dan sampe sakit, gue jadi ikut sedih,” katanya. Senyum geli terukir di bibirnya.
Pada akhirnya Jessie tak bisa terus menahan diri untuk tidak tertawa. Dia menutupi mulutnya agar suara tawanya tidak terdengar terlalu keras sehingga Sofi tidak merasa seperti sengaja dipermalukan.
“Yaudah gue ke kelas dulu, ya!” kata Kevin sambil berjalan mundur. “Eh, bilangin juga ke Sofi kalo sejak dari rumah sakit kemarin gue jadi suka deg-degan tiap liat dia!” lanjutnya dengan suara agak lantang lantaran langkahnya telah mencapai pintu kelas.
Jessie menyingkirkan tangannya dari mulut sehingga tawa lepasnya terdengar keras ketika sosok Kevin telang menghilang. Merasa kesal, Sofi mencubit pinggang Sahabatnya itu sambil berkata, “Diem Jessie, ih!”
“Ampun, Sof!” kata Jessie dengan masih diiringi tawa, “gila tuh si Kevin, padahal ada orangnya juga di samping gue, tapi malah pura-pura nggak lihat.”
Sofi tersenyum tipis. “Apaan, sih!” katanya sambil menundukkan kepala. Wajahnya bersemu merah.
“Ciyee! Beneran, kan, lo suka sama Kevin!” seru Jessie sambil mengarahkan telunjuknya ke wajah Sofi.
“Nggak, Jes!” sanggah Sofi. Meski begitu senyum malu-malu tak henti muncul di wajahnya.
“Nggak kok senyam-senyum!” Jessie terus menyudutkan Sofi. Tak terima, Sofi lantas menggelitiki pinggang sahabatnya itu.
Meski mulut Sofi berkata tidak, tapi hatinya tak bisa memungkiri kalau perkataan Jessie tentang perasaannya pada Kevin memang benar. Dari sekian banyak hari yang pernah dia lalui di bangku SMA, ini adalah hari terindah baginya. Mungkin nanti akan ada hari-hari indah lainnya kalau dia diberi kesempatan menghabiskan waktu lebih lama untuk dekat dengan Kevin.
***
Hampir seluruh penghuni sekolah telah pergi, tapi Sofi masih berdiri di depan gerbang, tepatnya di pinggir jalan raya. Dia sedang menunggu angkutan umum sendirian. Jessie sudah pulang lebih dulu. Gadis itu menghampiri Edo ke kelasnya lantaran ingin pulang bersama. Mungkin Jessie sedang ingin memperbaiki hubungannya dengan Edo pasca ketegangan yang terjadi di antara mereka tadi pagi.
Jessie memang bukan tipe cewek yang terlalu suka menempel-nempel pada Edo. Meski mereka berpacaran, tidak setiap hari mereka berangkat dan pulang sekolah bersama. Edo masih suka menghabiskan sedikit waktu yang dia miliki dengan teman-temannya. Begitu juga Jessie. Mereka bukan pasangan kekasih ala-ala amplop dan perangko. Mereka masih punya sebagian dunia dan kebebasaan masing-masing untuk dimiliki sendiri.
Sofi suka pada sikap Jessie yang masih bisa menjadi gadis mandiri meski telah memiliki Edo bersamanya sebagai seorang kekasih. Kalau kebanyakan gadis di sekolahnya yang punya pacar selalu menghabiskan waktu bermanja-manja dengan pacarnya ke mana saja di setiap sudut sekolah, Jessie tidak seperti itu. Meski begitu ada juga satu hal yang Sofi tak suka dari Jessie. Cara gadis itu memuja Edo menurutnya terlalu berlebihan. Ya, Jessie selalu bersedia melakukan apa pun yang Edo minta. Dia pernah diminta mengerjakan tugas Edo, diminta membelikan makanan, bahkan menyuapi kekasihnya itu di hadapan teman-temannya padahal tidak sedang sakit. Selain itu Jessie juga selalu menjadi orang yang paling mau menekan Ego. Dia juga selalu menjadi orang pertama yang memastikan bahwa hubungan mereka akan tetap baik saja setelah sekian banyak kesalahan dan keegoisan yang Edo tunjukkan. Seringnya dia yang meminta maaf lebih dulu, bahkan di saat Edo yang memulai pertengkaran. Mungkin itu wujud nyata dari kalimat yang sering orang-orang katakan. Bahwa cinta itu buta. Tidak bisa diterjemahkan secara logika. Hanya mengandalkan naluri dan rasa. Begitu saja dia menyerang syaraf manusia. Membuat beku akal dan pikiran. Namun, kebahagiaan yang sebenarnya justru bisa dirasakan ketika seseorang tidak sedang berpikir bukan? Menyadari itu, Sofi lantas melepaskan segala pikirannya tentang Jessie. Dia yakin Jessie dan Edo pasti sudah berbaikan kembali besok.
Kulit Sofi sudah semakin terasa panas akibat terpapar sinar matahari. Angkot yang gadis itu tunggu belum datang juga. Sekolah sudah semakin sepi. Tak ada seorang pun yang ada di sekitarnya kecuali seorang satpam yang sedang berjaga di posnya.
Ketika mendengar langkah seseorang mendekat, Sofi cuek saja. Pandangannya tetap tertuju ke kanan, waspada kalau-kalau ada angkot yang mendekat. Namun, akhirnya dia memutuskan untuk menolehkan kepalanya ke kiri ketika orang itu berhenti di sampingnya. Terlebih aroma vanila yasng menguar dari tubuh orang itu adalah wangi yang cukup dia kenal.
“Kak Kevin ngapain? Kok belum pulang?” tanya Sofi heran ketika mendapati Kevin berdiri di sampingnya.
“Sengaja,” jawab Kevin santai. Dia melemparkan senyum manis sembari menatap intens wajah Sofi.
“Maksudnya?” tanya Sofi heran. Dia mencoba mengabaikan getaran halus yang muncul di dadanya akibat senyum memabukkan Kevin. “Sengaja gimana?”
“Dari tadi tuh aku ngebuntutin kamu. Kamunya aja nggak nyadar. Dari tadi aku sembunyi di balik pohon itu,” kata Kevin sambil menunjuk pepohonan perdu yang terpangkas rapi di depan ruang staf TU. “Karena capek nunduk terus, jadilah aku keluar dan datengin kamu ke sini,” lanjutnya sambil tersenyum-senyum.
Sofi terdiam sejenak. Sejak kapan Kevin mulai suka menyebut dirinya dengan sebutan “aku” bukan “gue” seperti biasa?
“Ngapain ngikutin saya?” tanya Sofi. Rasa heran mulai muncul di benaknya. Cowok di sampingnya itu ternyata punya sikap yang sulit ditebak. Baru tadi pagi dia pura-pura tidak kenal dan tidak ngeh dengan keberadaan Sofi yang jelas-jelas duduk di samping Jessie, sekarang cowok itu malah sengaja membuntutinya. Maksudnya apa?
“Aku mau ngikutin kamu sampe rumah tadinya,” jawab Kevin. “Cuma kayaknya sekarang aku punya rencana lain?”
Kening Sofi mulai berkerut. Omongan Kevin benar-benar tak bisa dia cerna. “Rencana? Rencana apa, sih?” tanyanya.
Kevin sengaja tak membalas pertanyaan Sofi. Perhatiannya sudah tertuju pada sebuah angkot yang berjalan mendekati mereka. “Nah, itu dia angkotnya,” katanya sambil menarik tangan Sofi untuk ikut naik angkot bersamanya.
“Kak Kevin gimana, sih! Saya mau pulang, Kak! Dan biasanya saya nggak naik angkot ini!” protes Sofi. Urat-urat wajahnya menegang. Menampakkan ekspresi kekesalan.
Angkot yang sedang mereka naiki sekarang rutenya tidak melewati rumah Sofi. Dan bisa-bisanya Kevin seenaknya saja mengajak gadis itu ikut dengannya. Cowok itu benar-benar ngawur!
Senyum geli Kevin muncul melihat ekspresi wajah Sofi. “Kenapa, sih? Takut dimarahin ibu kamu? Tenang aja, nanti aku tetep anterin kamu pulang kok! Atau sekalian aku bantuin jualan kue gimana?”
“Kalo jualan kue sih masih nanti sore, paling habis ashar. Tapi belajarnya itu loh, mana sempet kalo saya harus ikut Kak Kevin? Lagian kita mau kemana sih, Kak?” cecar Sofi.
Kevin tersenyum sekilas. “Entar juga kamu tahu,” sahutnya enteng. “Kalaupun diajak baik-baik kamu belum tentu mau, Sof. Makanya aku culik aja kayak gini.”
Sofi akhirya berhenti protes. Percuma saja debat dengan Kevin. Cowok itu tak terlihat ingin memberi tahu tempat tujuannya pada Sofi.
Angkot yang mereka tumpangi ternyata berhenti di Taman Kencana. Suasana di taman ini tak terlalu ramai seperti di malam hari. Meski begitu Sofi tetap merasa kurang nyaman. Ya, dia memang tak terlalu suka menghabiskan waktu di tempat seperti ini. Kalau akhir pekan dia lebih suka menghabiskan waktu untuk belajar di rumah daripada nongkrong-nongkrong tak jelas atau sekedar berfoto seperti yang kebanyakan teman-teman seusianya lakukan.
Kevin terus mengajak Sofi berjalan mendekati taman. Melewati tulisan “TAMAN KENCANA” di bagian depan taman. Tulisan itu kalau malam hari disorot dengan lampu yang menyala warna-warni. Banyak sekali orang yang berfoto di depan tulisan itu biasanya. Bahkan seringnya tempat itu menjadi spot terfavorit untuk berfoto bagi pengunjung yang datang ke Taman Kencana. Di depan tulisan itu ada air mancur kecil. Sofi baru akan menyentuh airnya dengan tangan kiri ketika Kevin menarik lengan kanannya sambil berkata, “Jangan berhenti di sini! Kita mojok aja sana di dalem. Kalo di sini keliatan orang,” sambil tersenyum jahil.
“Maksudnya?” tanya Sofi. Alisnya berkerut. Dia memandang Kevin dengan tatapan curiga.
Tawa Kevin pecah melihat ekspresi Sofi. “Becanda kali, Sof. Aku cuma mau cari tempat yang teduh aja.”
Langkah mereka berdua terhenti di bagian tengah taman. Kevin duduk di atas batu yang disusun sebagai pemagar sebuah pohon yang besar dan rindang. “Duduk, Sof. Ini bersih, kok. Tadi aku sudah SMS petugasnya supaya khusus dibersihin buat menyambut kedatangan kamu,” katanya sambil tersenyum geli.
Sofi geleng-geleng kepala. Meski demikian dia ikut duduk juga akhirnya.
“Aku punya sesuatu buat kamu,” kata Kevin. Cowok itu mengeluarkan seikat bunga lavendel dan sebatang cokelat dari dalam tasnya lalu diberikannya dua benda itu pada Sofi.
“Buat saya?” tanya Sofi. Jari telunjuknya menunjuk dirinya sendiri. Kevin membalasnya dengan anggukan.
Sofi tak perlu menanyakan dari mana Kevin tahu kalau dia suka cokelat dan lavendel. Cowok itu sudah pasti punya banyak mata-mata. Mudah baginya untuk mengetahui berbagai macam informasi tentang gadis incarannya.
“Kalo boleh tahu kenapa kamu suka lavendel?” tanya Kevin saat Sofi sedang mengirup aroma bunga lavendel di tangannya.
Sofi menjauhkan lavendel dari hidungnya. “Kenapa, ya?” bukannya langsung menjawab dia malah sengaja membuat Kevin menunggu. Sambil tersenyum geli, dia kembali menciumi bunga lavendel di tangannya.
Gemas, Kevin lantas berusaha merebut lavendel Sofi. Dia tak ingin perhatian gadis di sampingnya itu terfokus pada bunga berwarna violet tersebut. Tak ingin menyerah, Sofi menarik tangannya. Dia tak ingin Kevin berhasil melancarkan aksinya.
Akhirnya Kevin berhasil mendapatkan bunga lavendel itu setelah melalui proses tarik-menarik melawan Sofi selama beberapa detik. Dia lantas menyembunyikan bunga tersebut di balik punggungnya. Tak terima, Sofi berusaha merebut. Dari depan dia berusaha menjangkau bagian belakang tubuh Kevin. Akibatnya wajah mereka jadi saling berdekatan. Jaraknya kurang dari sepuluh senti, membuat mereka saling tatap dalam beberapa detik. Deheman Kevin akhirnya yang membuat Sofi mundur. “Maaf,” gumam gadis itu.
Kevin mengembalikan lavendel ke pangkuan Sofi. “Jadi apa alasan kamu suka lavendel?” ulangnya, mencoba menetralkan kecanggungan yang ada.
“Lavendel itu, selain wangi dia punya banyak manfaat,” jawab Sofi, “aromanya bisa mengusir nyamuk. Minyaknya mengandung linalool asetat yang mampu melemaskan urat syaraf sehingga lavendel biasa dipakai untuk aroma terapi. Selain itu dia punya warna ungu yang melambangkan keanggunan.”
Level perasaan Kevin naik berkali-kali lipat usai mendengar jawaban Sofi. Jawaban itu berhasil membuat rasa sukanya bercampur dengan rasa kagum. Ternyata Sofi tak hanya pintar pelajaran bahasa saja. Gadis itu juga tahu hal yang berhubungan dengan hal yang berbau IPA.
“Sof, aku mau kasih kamu pertanyaan dan jawabannya adalah pilihan ganda. Kamu harus janji jawab pertanyaan aku itu dan mau ngelakuin, ya!” kata Kevin sambil tersenyum dalam.
“Tanya apaan?” tanya Sofi tak sabar.
“Janji dulu, dong!” kata Kevin sambil mengacungkan jari kelingkingnya di hadapan Sofi.
“Janji,” balas Sofi sambil menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Kevin.
“Kalau detik ini juga Kevin minta kamu jadi pacarnya apa yang bakal kamu lakuin? Pilihan A, kamu menolak, tapi harus manjat pohon di belakang kita ini,” kata Kevin sambil menunjuk pohon rindang tempat mereka berteduh. “Pilihan B, kamu terima tapi, kamu harus cium pipi Kevin,” lanjut Kevin sambil tersenyum geli.
Kening Sofi berkerut. “Hah! Pertanyaan apaan kayak gitu? Aneh banget?”
“Eits, nggak boleh protes dan harus dijawab, kan, tadi udah janji!” desak Kevin.
“Karena nggak bisa manjat, jadi saya pilih jawaban B,” jawab Sofi akhirnya. Dia tak menaruh rasa curiga sedikit pun pada Kevin.
“Yes!” kata Kevin sambil mengepalkan kedua tangannya. “Sekarang lakuin, dong!” lanjutnya sambil tertawa kecil.
“Hah!” seru Sofi. Matanya membelalak. Dia baru sadar kalau Kevin mengerjainya. “Nggak mau, ih!”
“Nggak bisa gitu,” sanggah Kevin. “Inget, kamu udah janji!”
Janji? Sofi menyesal karena dia mau dengan mudah berjanji menuruti kata-kata Kevin. Seandainya dia tahu kalau cowok itu akan menggunakan janjinya sebagai ancaman, pasti Sofi tak akan setuju.
Sebelum menuruti permintaan Kevin, gadis itu melihat depan, ke belakang, ke kanan, lantas ke kiri. Setelah memastikan tak ada orang yang melihat mereka, Sofi menempelkan bibirnya di pipi Kevin sekilas.
“Yah, itu mah bukan cium pipi, orang cuma nempel doang!” Kevin masih bisa memprotes padahal wajah Sofi sudah kemerahan seperti udang rebus. Dan bukannya berhenti menggoda, dia malah semakin mendekatkan wajahnya pada Sofi yang sedang menunduk dalam-dalam. Cowok itu malah terkekeh ketika menyadari wajah Sofi jadi kelihatan semakin merah saja.
“Oke ... oke, nggak apa-apa nempel doang. Yang penting kita udah resmi jadian!” kata Kevin. Tawanya sudah reda digantikan dengan senyum dalam. Perlahan diangkatnya dagu Sofi sehingga dia bisa melihat wajah gadis yang sekarang telah dia akui sebagai pacar itu dengan jelas. “Maaf udah ngerjain.”
Sofi membuka mulutnya untuk melontarkan protes atas kalimat Kevin. Jadian? Itu bagi Kevin, tapi baginya tidak. Semua terjadi karena unsur tidak sengaja lantaran cowok itu telah mengerjainya. Namun belum sempat Sofi mengeluarkan suara, Kevin sudah lebih dulu meletakkan telunjuknya di bibir Sofi. “Dilarang protes, atau aku cium” katanya sambil tersenyum jahil.
Mata Sofi melebar mendengar ancaman Kevin itu. Dengan patuh dia lantas mengatupkan bibirnya lagi. Keinginannya membantah pernyataan Kevin dia tekan dalam lalu dia biarkan menghilang.
Awalnya Sofi memang sempat ragu dengan perasaannya sendiri. Tak hanya itu, dia juga sempat ragu dengan perasaan Kevin. Namun, sejauh ini dugaannya pada Kevin terbukti tidak benar. Cowok itu bukanlah tipe cowok yang suka sengaja tebar pesona pada banyak gadis. Para gadis itulah yang datang dengan sendirinya pada. Lagi pula dari apa yang Sofi lihat di rumah sakit, gadis itu bisa menyimpulkan kalau Kevin adalah sosok penyayang keluarga. Itu terlihat dari caranya menyayangi Alice dan sikap hormatnya pada Mona. Beberapa fakta itulah yang akhirnya membuat Sofi menerima Kevin.
“Sekarang kamu jangan nyebut diri kamu dengan sebutan saya,” ujar Kevin.
“Terus apa, dong?” tanya Sofi.
“Aku, lah!” jawab Kevin sambil tertawa kecil.
“Nggak bisa gitu, kali!” bantah Sofi. Baginya sebutan itu terdengar terlalu akrab untuk dia pakai ketika berbicara dengan Kevin.
“Kenapa? Udah pacaran masak pake saya-saya. Kayak guru sama muridnya aja,” balas Kevin tak mau kalah.
Tak ingin berdebat, Sofi lantas menganggukkan kepalanya sambbil berkata, “Oke,” untuk menyetujui permintaan Kevin.
Mereka menghabiskan waktu selama beberapa menit memandang pepohonan rindang yang ada di Taman Kencana sebelum akhirnya Kevin meraih tangan Sofi untuk diajak berdiri lantaran cahaya matahari sudah meredup menandakan hari mulai sore. Meski hanya hening yang tercipta selama itu, tapi hati mereka masing-masing disisipi kedamaian.
“Tunggu, aku punya persyaratan buat Kak Kevin,” kata Sofi sambil melepaskan tangannya dari genggaman Kevin.
“Syarat apaan?”
“Aku mau Kak Kevin berhenti berkelahi, merokok, dan melakukan kebiasaan buruk lainnya,” kata Sofi. Sebenarnya dia tak ingin mengatur-atur Kevin. Dia haya ingin Kevin menjadi seorang yang lebih baik. Dia ingin Kevin terhindar dari hal-hal negatif yang bisa merugikan diri cowok itu sendiri.
Kevin tak langsung mengiyakan permintaan Sofi. Cowok itu bisa menerima persyaratan lain yang Sofi minta, kecuali berkelahi. Edo tak mungkin berhenti menyerangnya. Dan kalau cowok itu menyerang, Kevin tak mungkin diam saja.
“Kenapa, kok diem?” desak Sofi. “Bisa apa nggak?”
“Iya, deh,” jawab Kevin akhirnya. Urusannya dengan Edo akan dia jelaskan pada Sofi nanti. Dia yakin nantinya gadis itu akan mengerti bahwa perlawananny pada Edo semata-mata hanya untuk melakukan pertahanan.
“Ngomong-ngomong, pas di sekolah kenapa Kak Kevin nggak ngomong langsung ke aku, tapi malah ngomong ke Jessie? Padahal aku, kan, ada di situ juga!” kata Sofi ketika mereka mulai berjalan lagi.
“Oh, waktu itu aku lagi ketularan penyakitnya Bik Tini,” jawab Kevin asal sambil tersenyum geli.
“Kak Kevin iseng banget, sih!”
“Eh, nggak boleh panggil gitu juga kali?” kata Kevin. Dia menghentikan langkahnya. Sofi mungkin sudah mau mengganti sebutan “saya” dengan “aku”, tapi Kevin masih keberatan kalau gadis itu memanggilnya dengan sebutan “kak” bukannya “kamu”.
“Habisnya apa, dong?”
“Ayang,” ceplos Kevin sambil tersenyum jahil, membuat wajah Sofi seketika menghangat.
“Apaan, sih! Alay tahu!” bantah Sofi, salah tingkah.
Tawa Kevin seketika pecah mendengar protes Sofi itu.
Sofi menikmati keindahan tawa makhluk di sampingnya itu dengan senyum kagum. Sekarang Sofi mengerti kalau ternyata kebahagiaan dalam cinta itu begitu sederhana. Tak perlu uang, berlian, emas, atau barang mahal lainnya. Hanya dibutuhkan dua orang yang saling memberi dan menerima rasa agar kebahagiaan itu bisa dirasakan.
Sofi tak menyesal meski baru bisa merasakan kebahagiaan itu sepenuhnya sekarang. Untuk kamu ketahui, Kevin bukanlah cinta pertama Sofi. Waktu kelas delapan dia pernah suka pada kakak kelasnya. Cowok itu adalah anak seorang guru. Dia cukup pintar dan lumayan tampan. Ada beberapa gadis lain di sekolah Sofi yang suka juga pada cowok itu. Dan hal itu membuat Sofi hanya bisa memendam perasaannya selama beberapa bulan. Hampir setiap hari—selama beberapa bulan itu—Sofi selalu menyempatkan waktunya di jam istirahat untuk menghampiri tetangganya yang sekelas dengan cowok itu. Modus itu Sofi lakukan agar dia bisa dengan mudah memperhatikan cowok yang disukainya dari dekat.
Sofi masih terus menyimpan harapan kalau suatu hari nanti dia bisa menjadi kekasih cowok itu selama berbulan-bulan. Namun harapanya hancur ketika suatu hari dia melihat cowok yang disukainya sedang berpelukan mesra dengan seorang gadis di pojok depan ruang gudang. Mungkin terdengar ironis. Anak seorang guru melakukan hal seperti itu di sekolah. Tapi anak guru juga manusia bukan? Lagi pula, ada terlalu banyak hal di dunia ini yang tak bisa Sofi kendalikan. Termasuk perasaannya pada seseorang yang dia sukai itu.
Sejak saat itu Sofi tak pernah lagi merasakan kehangatan cinta. Baru hari ini keindahan dan kehangatan cinta bisa dia rasakan lagi.
Sofi pernah dengar beberapa orang berkata kalau cinta itu rumit. Cinta itu susah dimengerti. Benarkah begitu? Atau hanya kita yang terlalu munafik untuk mengakui? Terlalu terlambat untuk menyadari. Padahal ketika seseorang merasakan getaran di dadanya saat menatap mata lawan jenis, saat itulah sebenarnya sayap cinta tengah membelai hatinya.
Rintik gerimis kecil dan rapat tengah turun ketika Sofi dan Kevin telah berada di bagian depan Taman Kencana. Mereka terus berjalan melewati trotoar Jalan Ciremai Ujung sambil bergandengan tangan. Sofi sengaja memelankan langkahnya agar dia bisa menikmati setiap titik halus dari gerimis itu di atas kulitnya.
“Sof, kalo aku perhatiin kamu tuh suka banget, ya, sama gerimis, kenapa, sih?” tanya Kevin. Dia penasaran lantaran melihat Sofi memejamkan mata sesekali selama gerimis turun.
“Suka aja. Gerimis itu damai, teduh. Daripada Kak Kevin sukanya rokok, padahal rokok kan bahaya buat kesehatan!” ledek Sofi dengan sengaja.
Sofi pernah dua kali melihat Kevin merokok di sudut kantin. Pertama, bersama Dion dan Ferro sedangkan yang kedua, seorang diri di sudut depan ruang gudang ketika Sofi hendak mengumpulkan buku tugas teman-temannya di ruang guru. Waktu itu Sofi masih kelas sepuluh dan belum terlalu ngeh dengan keberdaan Kevin. Dia hanya sebatas tahu kalau Kevin adalah seorang murid kelas sebelas yang terkenal dengan segala tingkah badungnya.
Pertama kali Sofi melihat Kevin merokok adalah ketika dia masih duduk di bangku kelas sepuluh. Pagi itu dia ke kantin karena diajak Jessie yang merengek minta ditemani makan karena belum sarapan di rumah. Di hari yang sama, siangnya Sofi melihat Kevin di hukum berjemur di lapangan bertiga dengan Ferro dan Dion. Mungkin ada murid yang melapor ke guru BP. Sofi masih ingat betul dia sampai memalingkan wajahnya karena tak tega melihat tiga orang cowok itu mendapat tampolan di pipi oleh Pak Dahlan. Waktu itu Sofi berpikir bahwa dia tak ingin punya pacar yang seperti itu. Namun, sekarang dia malah merelakan diri dengan senang hati untuk terjebak dalam cinta Kevin. Ya, cinta memang selalu datang di saat yang tak terduga. Begitu menyerang, racunnya akan cepat menyebar dari hati ke otak lalu ke seluruh sel, tak bisa dikendalikan.
“Masak sih? Padahal menurut aku kamu jauh lebih berbahaya, loh!” balas Kevin. Cowok itu menghentikan langkahnya lantas menatap Sofi sambil tersenyum jahil.
“Maksudnya?” tanya Sofi.
“Kamu itu kayak narkotika, bikin aku kecanduan! Sekali ngelihat maunya ngelihat lagi dan lagi. Nggak mau dan nggak bisa berhenti,” jawab Kevin. Senyumnya makin lebar.
Wajah Sofi menghangat mendengarnya. Dan seketika pipinya merona.
Langkah Sofi dan Kevin sudah semakin jauh dari Taman Kencana. Rintik gerimis belum juga reda. Sofi masih ingin menikmatinya berdua dengan Kevin. Namun keinginannya itu terabaikan karena beberapa detik setelah melancarkan rayuan mautnya wajah Kevin jadi tegang. Cowok itu memandang ke belakangnya dengan tatapan yang begitu aneh, seolah tengah melihat sesuatu yang sangat tidak ingin dia lihat.
“Ada apa?” tanya Sofi ketika menyadari keanehan Kevin.
“Kita lari, Sof,” kata Kevin sambil mengeratkan genggamannya di tangan Sofi. Dia lantas menarik tangan gadis itu untuk berlari bersamanya.
“Kenapa, sih?” Sofi mulai disergap rasa ingin tahu saat menoleh ke belakang dan mendapati dua motor melaju mendekat padanya dan Kevin. Salah satu motor dinaiki seorang bertubuh kekar, sementara motor yang lain dinaiki seseorang yang posturnya lebih kecil dengan banyak tato di bagian tubuhnya.
“Hei! Kunyuk, mau kemana lo?” kata seorang yang bertubuh kekar. Mereka berdua menghentikan motornya di pinggir jalan sembarangan kemudian berlari ke trotoar mengejar Sofi dan Kevin.
Berbagai macam pertanyaan muncul di benak Sofi. Menyatu dengan perasaan waswas, takut, dan curiga. Dua orang yang mengejar mereka itu terlihat seperti bukan orang baik-baik. Dan mereka mengincar Kevin. Itu berarti Kevin pernah berurusan atau ada masalah dengan mereka. Namun, Sofi menahan diri untuk tidak mengutarakan pertanyaannya tentang dua orang itu pada Kevin. Tidak sekarang di saat mereka berada dalam suasana yang menakutkan seperti ini.
Kevin dan Sofi tak menoleh, meski mereka yang ada di belakang itu terus memanggil berkali-kali dengan sebutan asal. Mereka hanya terus berlari. Ketika berada di Jalan Pangrango mereka berbelok dengan cepat menuju sebuah tempat makan. Di balik sebuah mobil yang terparkir di halaman tempat makan itu, mereka berdua bersembunyi. “Mereka masih cari kita, Kak,” bisik Sofi pelan ketika mereka mengintip ke jalan.
Dua orang yang mengejar mereka berhenti berlari. Yang bertubuh kekar berdiri. Napasnya tersengal. Sementara itu yang bertato membungkuk seolah telah kehabisan tenaga untuk berlari. Napasnya putus-putus.
“Mereka kabur ke mana, ya?” kata yang bertubuh kekar sambil celingukan.
“Sudah, Bos, posisi kita lagi nggak aman, kan? Nggak nyaman lama-lama ada di tempat terbuka begini!” kata yang bertato.
“Yaudah, kita cabut!” kata yang bertubuh kekar.
Sofi dan Kevin keluar dari tempat persembunyianya setelah dua orang yang mengejar mereka menghilang dari sekitar Jalan Pangrango. Tanpa menunggu lama lagi Sofi lantas mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang dari tadi berkeliaran di kepalanya. “Mereka siapa? Kak Kevin ada urusan apa sama mereka? Kenapa mereka ngejar-ngejar Kak Kevin?” cecarnya.
Selama ini Sofi hanya melihat Kevin di sekolah. Dia sama sekali tak tahu bagaimana tabiat Kevin di luar sekolah. Dia tak tahu kelakuan buruk lain yang cowok itu lakukan di luar sekolah selain berkelahi dan merokok. Bukan tak mungkin Kevin punya masa lalu yang buruk yang melibatkan dua orang tadi.
“Nggak, mereka itu ...,” Kevin memutus kalimatnya. Bola matanya berputar, berpikir untuk mencari alasan yang tepat. “Jadi gini, aku pernah nendang bola ke kepala salah satu dari mereka pas main bola. Kebetulan waktu itu mereka lagi lewat di jalanan sekitar rumah aku. Ya nggak sengaja sih akunya, tapi mereka marah. Sejak saat itu mereka berdua kalo ketemu aku bawaannya suka ngejar-ngejar melulu!” bohongnya. Hanya alasan itu yang terlintas di pikirannya. Dia tak mungkin menceritakan kebenaran pada Sofi. Bisa kacau urusannya. Kedua sohibnya saja mungkin bisa menjauh darinya kalau tahu yang sebenarnya tentang dia dan dua orang itu, apalagi Sofi.
Jawaban Kevin tak membuat Sofi puas. Gadis itu merasa ada yang Kevin tutupi darinya. Tapi mau bagaimana lagi? Dia khawatir Kevin akan marah padanya kalau memaksa ingin tahu. Itu bisa mengacaukan hubungan mereka yang baru saja dimulai. Maka akhirnya Sofi memutuskan untuk diam. Namun, bukan berarti dia tidak akan mencari tahu.
si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
Comment on chapter Prologberkunjung balikke ceritaku ya.