Read More >>"> Ich Liebe Dich (Detak Asmara) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ich Liebe Dich
MENU
About Us  

Mendung menggantung di langit Bogor pagi ini. Gerimis kecil-kecil dan lembut turun dari tadi, sejak Sofi berangkat dari rumah. Ketika dia telah turun dari kendaraan umum dan telah  menapakkan kaki di depan gerbang sekolah pun gerimis itu masih setia jatuh menghambur. Menjadi pelengkap suasana pagi yang terasa syahdu baginya.
   Sofi suka mendung, juga gerimis. Namun, dia tak suka hujan lebat apalagi jika disertai angin dan badai. Baginya gerimis kecil-kecil lebih damai dan menenangkan. Beruntung dia tinggal di kota hujan. Jadi, dia bisa sering menikmati untaian gerimis kecil yang jatuh dari langit seperti ini. 
   Sofi tidak tahu kapan tepatnya dia mulai menjadi pengagum gerimis. Yang pasti sejak SD dia mulai sering suka keluar rumah kalau melihat titik-titik kecil air jatuh dari langit. Biasanya dia suka mendengarkan musik berirama melow saat melihat gerimis. Kadang dia juga suka menulis puisi saat melihat gerimis. Kalau sedang tidak ingin mendengarkan musik atau menulis puisi, dia akan keluar rumah dan merasakan tetesan kecil-kecil lembut itu menyapa kulitnya. Seperti saat ini. 
   Sofi sudah tidak tahu Jessie—yang tadi kebetulan bertemu dengannya di gerbang—sekarang sedang berada di mana. Entah sudah berjalan sejauh apa. Karena dia sedang menikmati tetesan lembut gerimis yang jatuh di telapak tangan kirinya sambil berjalan pelan dan sedikit memejamkan mata. Langkah Sofi terhenti ketika tubuhnya menabrak seseorang hingga buku-buku yang ada dalam rengkuhan tangan kanannya terjatuh ke tanah. Ketika membuka mata, dia melihat Kevin. Cowok itu tengah memperhatikannya sambil menahan senyum geli. Dengan gelagapan Sofi lantas meminta maaf. “Ma ... maaf, Kak ... saya jalannya meleng, ngasal, ngawur, nggak pakai mata,” cerocosnya penuh sesal sambil menyatukan kedua telapak tangan dan agak membungkuk. 
   Semua orang di sekolah juga tahu kalau sudah berurusan dengan Kevin segala masalah kecil pun pasti akan jadi runyam. Tak heran kalau Sofi meminta maaf sampai seperti itu. 
   Kevin tertawa mendengar ucapan Sofi tersebut. Terlebih saat melihat ada ketakutan dan rasa bersalah tampak di mata gadis itu. “Nggak apa-apa, kok! Nggak sakit,” balasnya. Cowok itu lalu berjongkok dan membereskan buku-buku Sofi.
   “Biar ... biar saya beresin sendiri, Kak,” kata Sofi. Namun belum juga Sofi sempat  menunduk dan berhasil mengambil bukunya, Kevin sudah selesai dengan aktifitasnya membereskan buku-buku yang jatuh itu. 
   “Ini buku lo. Lain kali hati-hati, ya!” kata Kevin ketika mengulurkan buku pada Sofi.
   Sofi masih memandangi Kevin ketika cowok itu telah berjalan menjauh. Ini aneh. Benar-benar aneh. Sebagai cowok bad boy—yang tentunya tidak terima kalau hidupnya diusik—Kevin seharusnya marah pada Sofi. Tapi ini bukannya marah, cowok itu malah tertawa bahkan membantu membereskan buku. Padahal jelas-jelas Sofi yang bersalah.
   “Sof, lo itu, ya, dicariin juga. Gue jadi kaya orang gila ngoceh panjang lebar sendirian!” Jessie berjalan cepat menghampiri Sofi yang masih berdiri membeku karena tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
   “Iya, maaf tadi gue keasyikan karena ada gerimis.”
   “Betewe, itu ngapain tadi si Kevin?”
   “Nggak ada, kok?” ceplos Sofi. 
   “Nggak ada? Apaan, sih, nggak nyambung banget!” omel Jessie. “Orang jelas-jelas tadi gue lihat dia ngomong sama lo!” 
   Sofi memilih mengabaikan pertanyaan Jessie dan terus melangkahkan kakinya.
   “Sof, tungguin, dong! Sejak kapan lo kenal sama dia?” Jessie terus mendesak. Dia berjalan cepat mendahului langkah Sofi kemudian ditahannya lengan gadis itu agar berhenti berjalan.
   “Nggak sejak kapan-kapan?” jawab Sofi asal.
   “Ih, lo kenapa, sih, nggak jelas banget gitu ngomongnya,” kata Jessie. Senyum jahil muncul di wajahnya. Dia merasa ada yang lain pada diri Sofi. Ada kecanggungan yang bisa Jessie tangkap pada Sofi ketika sahabatnya itu melontarkan jawaban-jawaban anehnya.
   “Oh, gitu. Mulai main rahasia-rahasiaan,” kata Jessie lagi ketika dia telah berhasil mensejajari langkah Sofi. “Orang jatuh cinta suka aneh kayak lo deh, Sof, biasanya. Jangan bilang lo beneran lagi jatuh cinta,” tebak Jessie sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Sofi.
   Bukannya menjawab pertanyaan Jessie, Sofi malah terus berusaha mejauh dengan berjalan lebih cepat. Dia tidak bisa menyimpulkan apa pun sekarang. Kalaupun dugaan Jessie itu benar, segalanya akan tampak terlalu sulit.
***
   Kevin sedang berjalan melewati studio musik. Pintu ruangan itu terbuka lebar. Ketika masuk, dia tak melihat ada satu pun orang di dalamnya. Itu berarti dia memiliki kesempatan Emas. Senyum liciknya mengembang. Dia yakin akan menemukan gitar Edo di sini. 
   Kevin terus berjalan melewati satu set drum besar dan piano yang berada di tengah ruangan. Di sekitar dua benda itu tidak tampak ada sebuah gitar. Pandangan Kevin lantas tertuju pada sudut ruangan, pada barisan gitar yang tertata rapi di tembok. Senyum leganya muncul ketika dia melihat benda incarannya ada di antara empat gitar itu. Satu gitar yang Kevin lihat itu adalah gitar akustik milik Edo. Sedangkan tiga lainnya dalah gitar milik personel band lain. Dengan segera dia ambil gitar Edo. Kemudian tanpa ragu dia menendang gitar itu hingga patah menjadi dua bagian. Sebelum keluar, dia menaruh gitar itu di dekat pintu. Sengaja, agar Edo tahu kalau dia telah membalas dendam atas pengeroyokan yang cowok itu dan dua temannya lakukan kemarin.
   Kevin sudah tak peduli lagi entah kapan permusuhan ini akan berakhir. Toh, seandainya dia tidak balas dendam pun Edo akan tetap menyerangnya. Setidaknya sekarang dia mendapat kepuasan batin.
   Jam pelajaran berikutnya sudah berlalu lima belas menit ketika Kevin sampai di kelasnya. Pintu ruangan itu telah tertutup. Dari jendela Kevin melihat Miss Andrea—guru Bahasa Inggris kelas dua belas—tengah menerangkan. Dia akhirnya membalikkan badan lalu melangkahkan kakinya menuju kantin. Kalau sudah begitu, memohon pun dia tetap tak akan diizinkan masuk. Sama seperti Bu Fatima, Miss Andrea juga terkenal pelit memberi izin masuk kepada semua murid yang datang terlambat ke kelas.
   Di kantin Kevin tak melihat seorang murid pun. Wajar kalau kantin tak berpenghuni karena jam pelajaran masih berlangsung. Untuk mengenyahkan rasa bosan, Kevin memutuskan untuk memesan batagor dan es teh manis. Setelah menerima pesanan, dia membawa makanannya itu ke sudut kantin. Dia memilih tempat itu agar dia bisa aman dari penglihatan  siapa pun karena letaknya yang tersembunyi di balik bangunan salah satu kios milik pedagang di kantin. Dengan begitu dia bisa leluasa merokok tanpa terlihat guru atau murid mana pun. 
    Para pedagang kantin sudah biasa melihat Kevin merokok di sana. Mereka enggan ikut campur dengan melapor ke pihak sekolah. Asal cowok itu tidak membuat onar saja sudah aman bagi mereka.
   Selama beberapa menit Kevin menikmati rokoknya dalam damai. Cowok itu duduk sambil menyilangkan kaki dan memandang lurus ke sebuah kios pedagang kantin. Namun, ketenangannya terganggu ketika dia melihat Stela berjalan mendekatinya sambil membawa segelas jus.
   “Hei, Vin! Boleh ikut duduk nggak?” kata Stela ketika langkahnya terhenti di depan meja Kevin.  
   Stela adalah mantan pacar Kevin. Mereka berpacaran selama kurang lebih satu tahun, sejak Kevin berada di antara kelas delapan hingga kelas sembilan. Selama satu tahun itu, mereka jalani setengahnya dalam hubungan jarak jauh. Stela harus pindah ke Semarang karena ayahnya yang merupakan seorang prajurit angkatan darat dipindah tugaskan ke sana. Kamu pasti penasaran menapa mereka putus? Mereka putus karena Stela ketahuan selingkuh. Suatu hari Kevin berniat memberikan kejutan pada Stela. Hari Minggu dia datang ke rumah Stela di Semarang tanpa memberi tahu gadis itu terlebih dahulu. Ketika tiba di rumah Stela, dia melihat pacarnya itu sedang bercanda dengan seorang anak laki-laki seumuran dengannya. Sebelum melangkah mundur dan berkata, “Setahu gue cowok lo itu cuma gue, Stel. Atau dia juga Kevin namanya,” Kevin sempat melihat Stela menyentuh wajah cowok itu dan mendekatkan wajahnya—seperti ingin mencium.
   Hati Kevin seperti terbakar ketika melihat kejadian itu. Padahal selama setengah tahun mereka berjauhan, Kevin selalu berusaha menghindari siapa pun gadis yang berusaha mendekatinya. Namun, pacarnya itu justru tengah bermesraan dengan cowok lain ketika dia berusaha menjaga hatinya. Waktu itu Kevin benar-benar marah hingga bunga dan cokelat yang yang ada di tangannya dia lemparkan ke tanah. 
   Ketika melihat Kevin, Stela segera berlari menghampiri cowok itu dan meminta maaf. Namun, Kevin sudah terlanjur terbakar amarah. Dia tak peduli lagi dengan cinta pertamanya itu. Dia membiarkan Stela menangis memeluknya bersamaan dengan terlontarnya kata putus dari mulutnya. 
   Sejak saat itu mereka sudah tak pernah berkomunikasi lagi. Kevin mengganti nomor teleponnya. Dia juga memblokir semua akun sosial media Stela agar gadis itu tak lagi bisa mengusik hidupnya. Dia berhasil move on dalam waktu hampir satu tahun. Namun, luka itu menganga lagi ketika Stela kembali dan pindah sekolah di sini sekitar tujuh bulan lalu. 
   Kevin masih ingat, di hari pertama Stela masuk sekolah yang gadis itu cari adalah dirinya. Waktu itu Stela menangis dan memohon agar mereka bisa kembali menjalin hubungan. Tentu saja Kevin menolak. Namun, Stela tak menyerah. Di hari-hari berikutnya gadis itu selalu mencari Kevin di jam istirahat. Lalu dia akan mengikuti kemana pun cowok itu pergi. Hal itu membuat para gadis yang menyukai Kevin jadi jengah. Mereka mem-bully Stela. Mereka menganggap Stela adalah anak baru tak tahu diri karena berani memuja dan mengejar-ngejar pujaan hati mereka yang dari awal masuk kelas sepuluh sudah menjadi incaran para kaum hawa di sekolah. 
   Pernah suatu hari Kevin melihat Stela ditampar seorang kakak kelas di samping gedung perpustakaan. Waktu itu Stela baru sekitar tiga bulan pindah ke sekolah Kevin. Dan masih seperti Stela yang dulu, dia tak pernah bisa membalas kekerasan dengan kekerasan. Gadis itu menangis sesenggukan. Tak tega, Kevin lantas meminta gadis yang menampar itu pergi. Sejak saat itu Stela mulai lebih gencar mendekati Kevin. Mungkin dia berpikir kalau cowok itu masih mempunyai rasa padanya. Karena merasa risih, Kevin akhirnya memutuskan untuk bersikap cuek pada Stela. Dia bersikap jutek dan hanya menjawab seperlunya bila gadis itu mengajak bicara. Saat ini pun begitu. Kevin sama sekali tak menolehkan kepalanya mendengar kalimat Stela.
   “Vin? Kamu denger aku, kan? Boleh aku ikut duduk?” 
   “Boleh, duduk aja,” jawab Kevin akhirnya. Pandangannya terus tertuju ke depan.
   Stela menggeser kursi yang ada di samping Kevin agar lebih dekat dengan kursi tempat cowok itu duduk. Gadis itu kemudian duduk di atasnya.
   “Lo ngapain di sini?” tanya Kevin sambil mengaduk-aduk minuman sebelum akhirnya diisapnya cairan teh itu.
   “Guru yang ngajar di kelas aku lagi berhalangan dateng. Jadi, aku keluar, deh,” jawab Stela sambil terus memandangi wajah Kevin. Senyum semringah tak henti-hentinya muncul di wajah gadis itu.
   “Kenapa lo malah ke kantin? Biasanya juga ngegosip sama temen-temen lo, kan, di kelas?”
   Meskipun ucapan Kevin itu terdengar seperti orang tidak suka dan berkesan ingin mengusir, tapi Stela tetap merasa sedikit senang. Betapa tidak, Kevin masih mengingat kebiasaannya kalau sedang jam kosong.
   “Ih, udah setahun lebih putus kamu masih inget aja, ya, kebiasaan aku,” kata Stela sambil meraih tangan Kevin. Dia letakkan telapak tangannya di atas punggung tangan Kevin lalu digenggamya tangan cowok itu erat.
   Kevin mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Stela. Dia menurunkan tangan kirinya yang tadinya berada di atas meja ke atas paha.
   “Vin, kamu tuh kenapa, sih? Apa memang udah nggak mungkin lagi buat hubungan kita jadi seperti dulu lagi?” tanya Stela. Masih dengan nada lembutnya seperti biasa. Salah satu dari beberapa hal yang membuat Kevin jatuh cinta dulu.
   Bukannya menjawab, Kevin malah beranjak dari duduknya. “Ongkosnya di meja, Pak!” teriaknya pada penjual batagor setelah meninggalkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan di meja. 
   “Vin, aku harus berapa kali sih minta maaf sama kamu? Aku nyesel, Vin? Aku cuma cinta sama kamu!” Stela ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu berjalan mengikuti Kevin. Dia memohon sambil menahan lengan Kevin.
   Ketika menoleh, Kevin mendapati Stela sedang menatapnya dengan memasang tampang melas. Tapi, pemandangan itu tak akan membuatnya luluh. Dia sudah tak mau peduli lagi. “Hidup ini seperti memutar sebuah video. Di mana bagian awal adalah masa lalu dan bagian akhir adalah masa depan. Kalau kita terus melakukan rewind gimana caranya bisa melangkah ke masa depan?” 
   Kevin lantas melanjutkan langkahnya. Sudah tak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dia mungkin sudah memaafkan kesalahan Stela, tapi bukan berarti hubungan mereka bisa diulang kembali. Hubungannya dan Stela berakhir karena sebuah kesalahan. Dan bagi cowok itu memberi kesempatan kedua pada orang yang sengaja melakukan kesalahan bukanlah sesuatu yang menguntungkan.
***
   Mobil Kevin baru sekitar lima ratus meter meninggalkan gerbang sekolah ketika dia melihat mobil Edo menghadangnya. Untuk menghindari tabrakan, dia refleks mengerem mendadak. Kevin tahu apa maksud Edo. Cowok itu pasti sudah melihat hasil karyanya di studio musik tadi. Maka ketika melihat Edo, Angga, dan Tommy turun, dia juga ikut turun. Ribut di jalan? Siapa takut! 
   “Lo, kan, yang ngehancurin gitar gue?!” Bentak Edo ketika dia telah berdiri tepat di hadapan Kevin.
   “Siapa yang ngehancurin, itu namanya gue modifikasi,” ceplos Kevin asal. Jawaban Kevin itu berhasil membuat suhu panas di dada Edo semakin meningkat.
   “BANGSAT LO!” teriak Edo. Cowok itu melepaskan tas punggunya lalu dia lemparkan ke wajah Kevin.
   Refleks, Kevin memakai kedua tangannya untuk menutupi wajah. Kesempatan itu Edo pakai untuk menendang perut Kevin hingga cowok itu mundur beberapa langkah. Tak ingin menyerah, Kevin berusaha melawan. Dia maju kemudian menendang Edo balik. Akibatnya Edo terjatuh dalam posisi duduk. Tak terima Edo di serang seperti itu, Angga lantas ikut melawan. Ditendangnya perut Kevin. Usaha cowok itu gagal lantaran Kevin berhasil menangkis tendangannya. Dia dengan menahan ayunan kaki Angga memakai kedua tangannya. Melihat kegagalan Angga itu, Tommy giliran menyerang. Dia hantam wajah Kevin dengan kepalan tangan. Namun seolah tak merasakan sakit, Kevin mampu dengan segera membalas serangan Tommy itu dengan dua hantaman di wajah dan perut dengan kedua tangannya dalam waktu yang hampir bersamaan. Kevin kira perkelahian ini akan berakhir setelah dia berhasil menyerang Tommy. Namun, dugaannya itu salah. Edo—yang sudah berhasil menetralkan rasa sakitnya—menghantam tengkuknya dari belakang dengan batu besar  hingga dia ambruk dan terduduk lunglai di samping mobilnya.
   “Mana piloks yang tadi gue minta?” kata Edo sambil mengulurkan tangannya pada Tommy. Tommy mengambil piloks dari tasnya lalu dia serahkan pada Edo cat semprot itu.
   Angga dan Tommy masih sempat menendangi tubuh Kevin ketika Edo berkeliling mengitari mobil sepupunya tersebut dan mengecat Jazz merahnya hingga sebagian warnanya tertutup coretan piloks warna putih. “Cabut!” kata Edo setelah dia melempar kaleng piloks yang sudah dia habiskan isinya  itu ke trotoar.
   “Mau lo itu apa, sih, Do? Nggak capek apa berantem dan ribut terus sama gue kayak gini?” tanya Kevin lirih. 
   Edo hampir mencapai pintu mobil ketika dia mendengar pertanyaan itu terlempar dari mulut Kevin. Semakin dia mendengar Kevin bertingkah sok polos begitu semakin muncul keinginan pada dirinya untuk menghabisi sepupunya itu. Maka Edo berbalik. Dia bermaksud melayangkan tinjunya pada Kevin yang tengah terduduk, tapi gagal lantaran lawannya tersebut berhasil menahannya. “LO ITU PENGHANCUR! LO MANUSIA KOTOR! PENDOSA!” teriak Edo di dekat telinga Kevin, membuat cowok itu memiring-miringkan kepalanya karena telinganya sakit. Napas Edo naik turun. Gelegar amarah itu masih meletup di dadanya. “Dan asal lo tahu, ya! GUE NGGAK AKAN BERHENTI CARI RIBUT SAMA LO SEUMUR HIDUP LO!” baginya Kevin pantas mendapatkan itu. Bahkan menurutnya ini belum seberapa. 
   Beberapa pengendara yang melintasi jalan mulai tampak memperhatikan mereka. Sebelum ada lebih banyak orang yang melihat, Tommy dan Angga segera menarik tubuh Edo agar segera memasuki mobil.
   “Sial!” umpat Kevin ketika dia melihat mobil Edo menjauh. Kevin pastikan peperangan ini tak akan berhenti di sini. Dia tak terima. Dia berencana balas dendam lagi.
***
   Kevin sedang terduduk di ranjang kamarnya yang dilapisi seprai berwarna abu-abu. Pandangannya tertuju pada sebuah gitar mainan yang sedang dia pegang. Gitar mainan itu adalah milik Edo. Sepupunya itu adalah anak tunggal. Cowok itu tak mempunyai saudara kandung seperti Kevin dengan Alice. Jadi, dia menganggap Edo seperti saudara kandungnya sendiri. Dulu mereka sangat dekat. Setiap pulang sekolah mereka selalu menghabiskan waktu bermain di halam rumah Edo hingga petang datang menjelang.
   Gitar mainan itu Edo berikan pada Kevin ketika mereka masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Sore itu Kevin sedang bermain dengan Edo. Mereka berdua memanjat pohon jambu air yang ada di halaman rumah Edo. 
   “Do, suara lo nggak enak, cempreng! Gitarnya buat gue aja gimana?” protes Kevin mendegar suara sumbang Edo.
   “Enak tahu!” bantah Edo. Bocah itu terus melanjutkan permainan gitarnya yang terdengar tidak keruan. Suara nyanyian dari mulutnya juga terus dia lantunkan.
   “Hei, Ompongg! Turun lo!” teriakan seorang anak laki-laki bertubuh gendut di seberang jalan depan rumah Edo membuat cowok itu menghentikan nyanyiannya. 
   Bocah bertubuh gendut itu adalah teman satu sekolah sekaligus tetangga Edo dan Kevin. Edo dan bocah itu bermusuhan. Mereka bermusuhan karena bocah gendut itu selalu memanggil Edo dengan julukan “ompong”. Edo dijuluki seperti itu karena waktu masih balita dia doyan sekali memakan permen. Segala bentuk permen. Itu menyebabkan sebagian giginya keropos dan kehitaman. Edo tak pernah terima dengan julukan yang diberikan bocah itu karena sejak masuk sekolah dasar beberapa giginya sudah mulai tumbuh dengan gigi baru. 
   “Kenapa nggak turun? Lo takut sama dia?” tanya Kevin ketika melihat Edo hanya diam saja dan memandangi bocah gendut itu dari atas pohon.
   “Dia badannya gede, Vin. Nanti gue pasti kalah kalo dipukul sama dia,” kata Edo sambil terus mengintip dari balik ranting pohon.
   “Kalo gue bantu mukul gimana? Kita pasti akan menang,” tawar Kevin.
    Edo mengangguk. Mereka berdua lantas turun dari pohon. Edo yang berjalan lebih dulu mendekati bocah gendut itu. Dia mendorong tubuh bocah gendut itu. Tak terima, si bocah gendut balas mendorong Edo hingga terjatuh dalam posisi duduk. Melihat Edo mulai kalah, Kevin segera mengambil inisiatif untuk mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan orang dewasa. Dengan keras batu itu dia lemparkan ke pelipis si bocah gendut hingga darah segar keluar dari sana. Si bocah gendut lantas menangis keras. Karena takut, Edo lantas mengajak Kevin berlari ke belakang rumahnya untuk bersembunyi.
   “Makasih udah bantuin. Ini, gitar gue buat lo, deh,” kata Edo sambil menyerahkan gitar mainannya pada Kevin.
   Waktu itu sama sekali tak terlintas dalam pikiran Kevin kalau di antara mereka akan ada peperangan dan permusuhan seperti sekarang. Kevin tak ingin lagi menyimpan benda itu. Maka dibuangnya gitar mainan itu ke gudang. Tempat ibunya menumpuk mainannya dan mainan Alice yang sudah rusak.
   Perhatian Kevin kembali pada celengan tanah liat berbentuk sapi yang ada di bawah meja belajarnya ketika kembali ke kamar. Awalnya Kevin berniat mengambil dan memecahkan celengan itu untuk biaya pengecatan mobilnya. Namun ketika dia baru menarik sedikit benda itu, terdengar suara benda lain jatuh dari balik meja belajarnya. Benda itu adalah gitar mainan Edo tadi. Gitar itu membuat fokusnya pada celengan teralih sejenak. 
   Kevin menarik celengan berbentuk kambing berukuran sedang itu hingga keluar sepenuhnya dari kolong meja. Awalnya Kevin menabung pada celengan itu untuk membantu membiayai perawatan Alice. Sekarang dia terpaksa memakai uang itu karena mobilnya telah menjadi korban amukan Edo. 
   Kevin baru akan keluar kamar untuk mengambil palu ketika ponselnya berbunyi nyaring menggemakan lagu Animals dari Maroon 5. Ketika meraih ponsel, dia mendapati nama Ferro tertera di layarnya. “Ada apaan, Ro?”  katanya ketika menempelkan ponsel di telinga.
   “Sengak banget dialog lo, Vin!” protes Ferro dari seberang ketika mendengar sahutan Kevin yang terdengar kurang enak, seperti seseorang yang suasana hatinya sedang tidak baik. “Eh, gue cuma mau nanya, itu tugas Bahasa Inggris yang tadi dikasih Miss Andrea udah lo kerjain belom? Dari tadi susah banget ditelfonin!”
   Tugas? Kevin baru ingat kalau setelah dia kembali dari kantin dia diberi tahu Ferro jika Miss Andrea memberinya tugas karena tidak mengikuti kelas beliau. 
   “Tadi apaan tugasnya, Ro, gue lupa?”
   “Bikin narrative text.”
   Kevin mengerutkan keningnya bingung. Dia sama sekali tak punya gambaran tentang apa yang diucapkan Ferro. Sama seperti ketika diterangkan pelajaran lain, ketika diterangkan pelajaran Bahasa Inggris pun dia tak pernah bener-benar mendengarkan. Dia sudah terlalu malas untuk peduli dengan pelajaran apa pun.
   “Hawk, lo kenpa sih? Lagi ngak enak badan? DiWhatsApp dari tadi nggak lo respon!” tanya Ferro karena tak mendengar sahutan dari Kevin.
   “Nggak,” sanggah Kevin cepat, “jadi gini, Ro, pertama, badan gue itu lagi sakit semua makanya dari tadi gue nggak ngurusin hape. Orang nyampe rumah gue langsung ketiduran. Kedua, gue tuh belakangan ini sering kepikiran cewek kelas sebelas yang waktu gue dihukum ngepel dateng nolongin gue?”
   Sebelumnya Kevin memang pernah bercerita pada kedua temannya tentang Sofi. Namun, dia sama sekali tak pernah berpikir akan membahas tentang gadis itu dengan kedua temannya lagi dan lagi seperti ini. Dia takjub karena ada seorang gadis yang datang padanya bukan untuk menggoda, tapi justru tulus menolong. Kalau pun ada gadis yang datang pada Kevin di saat dia sedang kesusahan, pasti tetap ada unsur genit yang mereka tunjukkan. Seringnya mereka malah sambil merayu atau senyum-senyum tak jelas. Tetapi senyum Sofi berbeda. Senyum itu adalah senyum tulus. Senyum dari hati yang sepertinya biasa gadis itu berikan ketika berhadapan dengan siapa pun. Bukan senyum dibuat-buat yang sengaja dipakai untuk menarik perhatian seperti yang dilakukan gadis-gadis lain saat mendekati Kevin. 
   “Sakit semua? Si Edo Kampret itu ngeroyok lo lagi, Hawk?!” itu suara Dion. Kevin yakin Fero mengaktifkan fitur loudspeaker pada ponselnya karena suara dari seberang terdengar lebih keras. Refleks, dia menjauhkan ponsel dari telinga lalu ikut mengaktifkan fitur loudspeaker.
   “Iya. Mana mobil gue dia coret-coret pakai piloks lagi. Pokoknya gue kesel banget sama dia. Ya, maaf kalo jadi kebawa-bawa dan kata-kata gue kedengerannya agak nggak enak tadi!” sesal Kevin. Bagaimanapun dia tak bermaksud membuat kedua temannya tersinggung. 
   “Lo sih, Hawk, tiap gue sama Ferro usul buat balas dendam, lo selalu nolak. Itu anak harus dikasih pelajaran biar kapok!” sahut Dion berapi-api.
   “Api nggak seharusnya dibales pakai api, Yon,”  terdengar Ferro menyahut.
   “Alaaah! Bodo amat, Ro! Eh, Hawk, kalo lo terus nolak buat ngebales ngeroyok Edo, lama-lama panggilan lo gue ganti nggak hawk lagi, tapi chicken!” 
   Kevin tertawa renyah mendengar ancaman Dion. “Bukannya gue nggak mau bales, sih, gue udah bales kok pake cara gue sendiri. Lagian ini urusan pribadi gue sama dia. Gue nggak mau libatin kalian.”
   “Ck ... lo itu, Hawk, kita berdua lo anggep apa, sih, gue tanya?” terdengar nada kecewa dari suara Dion.
   Kevin tahu bagi Dion dan Ferro dirinya bukan lagi hanya sekedar teman. Dia dan dua orang temannya itu sudah seperti saudara. Masalah bagi yang satu adalah masalah bagi yang lain. Begitu juga dengan kesenangan. Mereka juga selalu saling berbagi.
   “Bukan gitu, Yon. Masalah gue sama Edo itu murni masalah keluarga jadi gue nggak mau kalian terlibat.”
   Hening sejenak. Kevin berharap Dion bisa mengerti. Kalau dia melibatkan dua temannya, permusuhannya dengan Edo akan semakin meruncing. Entah kapan akan berakhir. Dan Kevin tak ingin itu terus terjadi. Meski kesal dengan tingkah Edo, jauh dalam lubuk hatinya dia ingin hubungannya dengan sepupunya itu bisa membaik seperti ketika mereka masih sama-sama balita dulu.
   “Terus, tentang berita kedua tadi gimana?” suara Ferro terdengar dari seberang, memecah keheningan.
   “Oh soal Sofi. Mmm ....” Kevin menahan kalimatnya sejenak karena detik itu ingatannya tertuju pada kartu nama yang dia ambil tadi pagi. Selain itu dia juga sengaja memberi jeda pada kalimatnya agar Ferro dan Dion menunggu. “Gue mau kasih tahu ... kalo gue ....”
   “Lo kenapa?” sahut Dion tak sabar.
   “Gue sama Sofi itu ....” Kevin memutuskan sambungan telepon tanpa menyelesaikan kalimatnya. Tawanya kemudian pecah. Dia yakin di seberang sana Dion dan Tommy pasti sedang mengumpat kesal karena ulahnya itu. 
   Ingatan akan Sofi mendorong Kevin untuk mengambil kartu nama gadis itu di tasnya. Kartu nama itu dia ambil tadi pagi saat mereka tak sengaja bertabrakan. Mungkin kartu nama itu terselip di antara lembaran buku dan terjatuh. Pada kartu nama itu tertera nama lengkap Sofi, alamat lengkap, nomor ponsel, dan e-mail. Kevin mengambil lagi poselnya yang tadi telah diletakkan di ranjang lalu dengan wajah semringah dia mengetik pesan ke nomor ponsel Sofi.
   Sof, gue butuh bantuan lo. Gue jemput lo ke rumah sekarang, ya!
   Kevin menunggu pesan balasan dari Sofi. Lima menit. Sepuluh menit. Tak sabar, dia akhirnya memutuskan untuk mendatangi Sofi ke rumahnya. Dia mengembalikan celengannya ke bawah meja terlebih dulu kemudian menaruh ponselnya ke saku celana jins. Dalam ketergesaannya menuruni tangga kamar, ponselnya berbunyi lagi. Terdengar suara kicauan burung tanda notifikasi pesan. Wajah Kevin berbinar ketika mengambil ponselnnya dari saku. Dia berharap itu adalah pesan dari Sofi. Wajahnya berubah datar lagi ketika dia tahu kalau itu adalah pesan dari Ferro.
   Cinta itu diungkapkan jangan ditahan. Cukup kentut aja yang ditahan, cinta jangan.
   Kevin tersenyum geli membaca pesan Ferro itu. Kalimat bijak Ferro meski kadang agak ngawur, tapi tetap ada benarnya juga.
***
   Kevin datang ke rumah Sofi dengan menaiki kendaraan umum. Pulang sekolah dia langsung membawa mobilnya ke bengkel langganannya, jadi kemungkinann besok dia juga akan berangkat ke sekolah naik bus atau angkot.
   Kevin tiba di rumah Sofi setelah menempuh perjalanan selama kurang-lebih tiga puluh menit. Di depan rumah yang ukurannya jauh lebih kecil dari rumahnya itu dia sempat termenung sejenak. Dia baru sadar kalau rumah Sofi begitu sederhana. Beberapa hari lalu—ketika mengantarkan Sofi dari rumah tetangganya untuk mengantar kue—dia langsung menjalankan mobilnya setelah Sofi turun. Jadi, dia tak sempat memperhatikan.
   Rumah sederhana itu tampak asri dihiasi beberapa pot yang tergantung berjajar di teras. Pot itu berisi bunga lavendel yang segera Kevin yakini sebagai bunga kesukaan Sofi atau mungkin ibunya. Halaman rumahnya sempit dan ditumbuhi beberapa rumput kecil yang letaknya tak beraturan. Pemandangan itu sangat berbeda dengan pemandangan halaman rumah Kevin yang luas dan dipenuhi oleh bunga beraneka macam yang tertata rapi karena selalu dirawat oleh asisten rumah tangga keluarganya. Dalam hati Kevin memaki dirinya sendiri. Selama ini dia sering mengeluh dengan keadaan yang dimilikinya. Dia selalu merasa hidupnya kurang sempurna. Terkadang seseorang memang perlu melihat ke bawah dulu untuk melihat keterbatasan orang lain sebelum akhirnya bisa mensyukuri kelebihan yang dimiliki.
   Gerimis lembut dan kecil turun ketika Kevin berjalan melewati halaman rumah Sofi untuk mendekati pintu. Untuk mengecek keberadaan orang di dalam, dia ketuk pintu rumah itu pelan, beberapa kali. Hampir selama lima menitdia mengetuk pintu. Selama itu juga tak terdengar suara sahutan dari dalam. 
   Gerimis yang turun dari langit semakin lama semakin rapat frekuensinya. Meski masih dengan tetesan kecil dan lembut, tapi itu tetap saja mampu membuat sebagian kecil baju Kevin basah. Tak ingin tubuhnya lebih basah lagi karena lama menunggu, dia memutuskan untuk menelepon Sofi. Dia menunggu agak lama sebelum akhirnya nada sambung di seberang berganti dengan suara Sofi.
   “Halo ... ini siapa, ya?”
   Dari pertanyaan Sofi itu Kevin yakin bahwa pesan darinya memang belum sempat terbaca. “Ini Kevin, Sof! Tadi gue sudah SMS lo, tapi nggak lo bales,” sahutnya.
   Hening beberapa detik. Sofi tak langsung menyahuti Kevin. Mungkin gadis itu tengah memeriksa pesan yang Kevin maksud. “Maaf, Kak, saya nggak sempet baca. Tadi habis keliling jualan kue saya langsung ketiduran. Sekarang Kak Kevin lagi di mana?”
   “Depan rumah lo.”
   “Ya ampun, Kak. Kak Kevin tunggu bentar, ya! Saya ganti baju bentar aja. Habis itu saya ke depan buat bukain pintu.” Kevin mendengar kalimat bernada panik itu dari seberang sebelum akhirnya sambungan terputus.
   Kurang-lebih lima menit kemudian pintu rumah Sofi terbuka dan gadis itu muncul di baliknya. Kevin tersenyum samar ketika melihat penampilan Sofi. Perpaduan kaos putih dan rok selempang berwarna peach yang menempel di tubuhnya membuat penampilan gadis itu tampak kasual dan feminim. Rambutnya dikucir kuda. Wajah innocent-nya yang dihiasi poni miring tampak teduh meski tanpa polesan make-up.
   “Astaga, Kak Kevin basah! Mobil Kak Kevin mana? Ke sini naik apa tadi?” tanya Sofi panik. Bagaimanapun Kevin jadi basah oleh gerimis seperti itu karena menunggu dia.
   “Lagi di bengkel. Terus tadi gue naik angkot.” Kevin tersenyum dalam melihat wajah panik Sofi. “Ke rumah gue sekarang, yuk.”
   Sofi mengangguk. Setelah menutup pintu rumahnya dia lantas mengikuti langkah Kevin. 
   Setibanya di rumah Kevin, Sofi tampak agak terkejut. Dia takjub akan pemandangan megah rumah dua lantai yang berdiri di hadapannya. Halaman rumah Kevin begitu luas dihiasi oleh berbagai macam tanaman hias dalam pot yang tertata asri. Di samping rumah itu ada garasi. Sedangkan di teras rumah ada dua buah kursi dengan satu meja berada di tengah. Di bagian atas teras rumah itu ada balkon.  
    “Keluarga Kak Kevin pada ke mana, kok sepi gini?” tanya Sofi ketika mereka telah berada di ruang tamu.
   “Mama lagi di rumah sakit, nungguin adek. Kalo Bik Tini kayaknya udah pulang dari rumah sakit. Bentar, ya, gue cek ke dapur, sekalian supaya bikinin lo minum.”
   Beberapa detik usai Kevin melangkah ke bagian dalam rumah, Sofi terlarut dalam ketakjuban yang lebih besar daripada ketika dia berada di luar rumah tadi. Baginya tempat yang dia datangi sekarang ini bukanlah sekedar rumah. Tempat ini seperti istana. Sofi tak bisa membayangkan kalau dia bisa tinggal dalam rumah sebesar ini. Ruang tamu tempat dia duduk saat ini begitu luas, dua kali luas ruang tamu rumahnya. Satu set sofa berwarna merah marun menghiasi ruang tamu itu. Di tengah sofa ada meja pendek beralaskan karpet berwarna senada dengan warna sofa. Di tembok, tepatnya di atas salah satu sofa, terpanjang lukisan seekor burung elang sedang menyambar ikan di sungai. Dan pada pojok ruang tamu—di dekat celah menuju ruang bagian dalam—ada sebuah pohon imitasi dengan daun segi lima berwarna oranye.
   “Ditunggu, ya, Bik!” Suara Kevin itu terdengar dari bagian tengah rumah disusul dengan suara sahutan, “Iya, Mas Kevin,” yang terdengar agak samar di telinga Sofi. 
   Suara-suara itu membuyarkan Sofi dari kekagumannya terhadap ruang tamu. Sekarang rasa takjubnya teralih pada hal lain. Pada sosok Kevin yang sedang berjalan ke arahnya sambil bertelanjang dada dengan menenteng tas ransel. Di pundaknya tergantung sebuah kaos berwarna hitam. 
   Sofi tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Namun, yang pasti suhu tubuhnya naik dan mendadak dia kegerahan ketika matanya tertuju pada dada bidang dan perut rata Kevin. Terlebih saat tatapan matanya jatuh pada tato kepala burung elang yang terlukis pada perut Kevin, tepatnya di samping pusar. Tato yang letaknya tepat berada di atas celana yang selalu terpasang agak melorot itu terlihat artistik berpadu dengan kulit cerah Kevin. Saat itu Sofi merasa waktu seperti terhenti dalam beberapa detik.
   “Cewek bisa nafsu juga, ya, kalo lagi liatin cowok?” Kevin sudah berdiri tepat di hadapan Sofi ketika kalimat itu keluar dari mulutnya.
   Sofi gelagapan karena kepergok seperti itu. Seketika jantungnya bergemuruh. Wajahnya jadi memerah seperti kepiting rebus. “Nggg ... nggak. Saya ... saya takjub aja lihat tatonya. Bagus banget,” Sahut Sofi tergagap.
   “Ha ... ha ... becanda kali, Sof! Jadi tegang banget gitu mukanya,” kata Kevin sambil memakai kaosnya. 
   Sofi bisa mencium dengan jelas aroma vanila yang menguar dari tubuh Kevin. Mereka memang berdiri berhadapan dan hanya dipisahkan oleh meja yang lebarnya kurang-lebih satu meter. Aroma vanila dari tubuh Kevin itu tercium lebih tajam daripada tadi ketika mereka duduk berdampingan di dalam angkot, membuat Sofi yakin kalau cowok itu telah menambahkan parfum lagi ke tubuhnya.
   “Ngomong-ngomong Kak Kevin dapet nomor hape saya dari mana, ya?” tanya Sofi setelah Kevin duduk di hadapannya.
   “Pas bantu ngambil buku lo, gue nemu kartu nama lo jatuh. Terus gue ambil, deh! Maaf, ya,” jawab Kevin sambil tersenyum manis. 
   Senyum Kevin itu terlihat tulus. Namun, Sofi harus tetap waspada. Dia tak boleh terlena. Bukannya apa-apa, Kevin terkenal punya banyak penggemar di sekolah. Bukan tidak mungkin kalau cowok itu memang sengaja bertingkah manis ke semua gadis yang mendekatinya. Jadi, menjaga perasaan adalah jalan teraman agar Sofi tak terhanyut lebih jauh oleh pesona Kevin.
   Sofi ikut duduk. “Oh, terus Kak Kevin mau dibantu apaan jadinya?” tanyanya.
   “Gini nih ceritanya, tadi di sekolah gue nggak ikut pelajaran Bahasa Inggis. Terus dikasih tugas gitu deh, bikin narative text. Dan gue nggak tahu itu yang kaya gimana. Soalnya tiap kali ada pelajaran itu gue ngerasa kayak lagi ada di planet lain,” jelas Kevin sambil mengeluarkan buku tugasnya dari dalam tas.
   “Masak, sih, Kak? Padahal Bahasa Inggris itu mudah loh pemahamannya. Apa lagi buat orang Indonesia. Abjadnya kan nggak beda, cuma pengucapannya aja.”
   Kevin tersenyum singkat menanggapi Sofi. Mungkin gadis itu berpikir kalau dia benar-benar payah dalam pelajaran tersebut. Padahal sebenarnya kemampuan Bahasa Inggrisnya tak seburuk itu. Dia hanya malas belajar. Malas memperkaya kosa kata. 
   Sebenarnya Kevin bukan tipe murid dengan IQ jeblok. Dia selalu mendapat peringkat lima besar dulu waktu duduk di bangku SD. Saat segalanya masih normal. Saat ayahnya masih sering di rumah dan setia memberikan pujian baginya setiap angka-angka indah muncul di lermbaran laporan hasil belajarnya. Keseriusan Kevin dalam mengikuti pelajaran di sekolah mulai berkurang saat dia berada di kelas sembilan. Saat segala keributan yang sering terjadi antara Radit dan Mona dimulai. Dia tak pernah serius mendengarkan para guru yang menerangkan di kelas. Kalau hanya untuk pekerjaan rumah atau ulangan, dia bisa mendapatkan nilai lumayan dengan mengancam bintang kelas untuk memberitahukan jawaban. Kevin selalu berpikir kalau segala yang dia lakukan saat ini sudah tak penting lagi. Untuk apa dia serius belajar? Mau menjadi apa? Toh keluarganya sudah hancur. Radit dan Mona seperti sudah tak mungkin disatukan lagi. Bahkan semakin hari tanda-tanda perpisahan antara keduanya semakin nyata terlihat. Lalu siapa yang akan peduli kalau dia menjadi seseorang yang baik atau bukan? Menjadi seorang murid yang berprestasi atau bukan? Semua orang di rumahnya seperti terpecah belah dengan ego masing-masing. Tak ada lagi yang peduli padanya.
   “Boleh saya lihat buku materi pendampingnya, Kak?”
   Kevin menyerahkan buku yang Sofi maksud. Hanya butuh waktu beberapa menit bagi gadis itu untuk memelajari bukunya. Dengan telaten dia lantas menjelaskan semua pada  Kevin.  “Narrative text itu teks atau cerita rekaan yang mengikuti alur. Kalo contohnya biasanya kaya cerita rakyat dan dongeng gitu, Kak. Misal cerita Malin Kundang dan Danau Toba. Atau kalo Kak Kevin mau ngarang cerita dongeng sendiri juga bisa,” katanya.
   “Kalo gue ngarang cerita sendiri terus lo yang terjemahin ke Bahasa Inggris gimana?”
   “Boleh-boleh.”
   Suasana jadi hening ketika Kevin mulai menulis karangannya. Cowok itu tenggelam dalam keseriusannya menggoreskan pena di atas kertas, sementara Sofi memperhatikan dalam diam. Tidak berapa lama, muncul seorang wanita berdaster dengan postur tubuh agak gemuk datang menghampiri mereka berdua. Dia membawa dua gelas minuman. Wanita itu adalah asisten rumah tangga Kevin. Wanita yang tadi menyahuti suara Kevin. 
   “Neng, pacarnya Mas Kevin, ya?” tanya wanita bercepol itu sambil tersenyum ramah ketika meletakkan gelas di atas meja.
   “Bukan, Bik, saya temannya,” jawab Sofi sambil tersenyum.
   “Iya juga nggak apa-apa atuh, Neng, kalian teh cocok, kasep sama geulis! Kasian Mas Kevinnya biar ada yang nemenin. Biar nggak suntuk-suntuk terus. Non Alice lagi sakit, tuan jarang pulang. Nyonya juga jarang ada di rumah, lebih sering nemenin Non Alice di rumah sakit,” cerocos wanita paruh baya itu dengan logat sunda yang sangat kental. Ceritanya mengalir seolah Kevin tak sedang ada bersama mereka.
   Sofi tersenyum sekilas sebelum akhirnya menjawab, “Masak, sih, Bik? Menurut saya, saya lebih kayak asisten yang jalan sama artis kalo jadi pacar Kak Kevin.”
   Bik Tini ikut tersenyum mendengar jawaban Sofi yang terkesan merendah itu. “Ih, si eneng mah kalo dibilangin suka nggak percayaan. Beneran cocok kamu jadi pacarnya Mas Kevin. kalo belum, yaudah jadian aja atuh sekarang juga. Lagian kasihan Mas Kevin, Belakangan ini dia suka galau. Kalau pulang ke rumah mukanya sering bonyok-bonyok. Nyonya sering marah-marahin dia kalo pulang bonyok begitu. Bibik teh suka nggak tega sama dia, Neng,” katanya sambil menarik nampan plastik yang tadi dia pakai untuk membawa gelas dari atas meja. Wanita itu tidak sadar kalau dari tadi orang yang dia bicarakan memperhatikannya.
   Sofi baru akan membuka mulutnya untuk membalas ucapan Bik Tini ketika wanita itu menoleh karena bahunya ditepuk Kevin. “Iya, Mas Kevin, ada yang bisa saya bantu lagi?” tanyanya.
   “Sekarang lagi tren ngomongin orang di depan orangnya langsung, ya, Bik?”
   “Eh, maaf atuh, Mas. Keceplosan,” kilahnya, “ya sudah atuh Bibik kembali lagi ke dalam.” Wanita itu kemudian berjalan menuju bagian dalam rumah dengan tergesa.
  Ketika sosok Bik Tini benar-benar telah menghilang, Sofi melepaskan tawanya yang tadinya sempat dia tahan. “Lucu banget sih, Kak,” katanya setelah tawanya reda.  
   “Dia emang suka nggak bisa ngerem ngobrol kalo ketemu orang. Kalo Dion sama Ferro ke rumah juga diajakin ngobrol melulu sama dia.”
   Bik Tini itu tetangga Kevin. Suaminya meninggal sekitar sembilan tahun lalu karena penyakit jantung. Dia punya seorang anak laki-laki yang saat ini bekerja sebagai admin di sebuah bank swasta. Dia sendiri yang meminta untuk menjadi asisten rumah tangga di rumah Kevin lantaran penghasilan suaminya sebagai ojek pangkalan waktu itu tak cukup untuk membiayai sekolah anak sematawayangnya. 
   Sudah lama Mona meminta wanita itu untuk berhenti bekerja padanya. Terhitung sejak Radit sudah tak pernah lagi menafkahi keluarga. Namun, wanita itu tetap memaksa untuk membantu urusan keluarga Kevin. Katanya dia prihatin dengan kondisi keluarga Kevin, jadi dia tak ingin begitu saja pergi. Niatnya tulus ingin membantu. Kalau hanya untuk makan dia masih dapat dari anaknya. Lagi pula dia sudah terlanjur nyaman katanya. Maklum, wanita itu sudah bekerja sejak Kevin masih balita. Karena sudah tak mungkin lagi memberi imbalan uang, Mona biasanya memberi Bik Tini imbalan berupa tas atau dompet hasil rajutannya sendiri.
   Kevin menyerahkan tulisannya pada Sofi ketika dia telah selesai mengarang. Sofi membacanya. “Bidadari Penyelamat dan Pengembara yang Tersesat”. Itu yang menjadi judul karangan Kevin. Bercerita tentang seorang pangeran yang kabur dari istana karena kondisi kerajaan yang hancur berantakan akibat perang saudara dan perebutan kekuasaan pasca ditinggal sang raja. Dalam perjalanannya pangeran itu diserang binatang buas. Dia tesesat dan kehabisan bekal. Sampai akhirnya dia bertemu seorang bidadari cantik yang menolongnya. Bidadari itu mengobati luka-lukanya serta memberinya banyak makanan dan minuman.
   “Ceritanya bagus, Kak,” kata Sofi setelah gadis itu selesai menerjemahkan karangan Kevin ke dalam Bahasa Inggris.
   Kevin tersenyum saja mendengar pujian Sofi itu. Kelak gadis di depannya itu akan tahu kalau cerita yang ditulisnya tersebut berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam.
   “Gue salin ntar aja, deh. Sekarang kita ke rumah sakit. Gue mau kenalin lo ke Mama, sekalian mau lihat Alice. Abis itu gue cepet-cepet anter lo pulang biar nggak kemaleman,” kata Kevin sambil merapikan semua buku yang berada di atas meja lalu dimasukkannya semua buku itu ke dalam tas. 
   Ketika Kevin masuk, Sofi menunggu dengan kebingungan yang menggantung di kepala. Selama ini dia tak pernah dikenalkan dengan orangtua teman laki-lakinya secara pribadi. Biasanya dia mengenal orangtua teman-temannya secara spontan, karena sering bermain ke rumah mereka. Itu pun hampir semuanya perempuan karena kebanyakan teman yang dia datangi rumahnya memang teman perempuan. Kalaupun ada teman laki-laki, pasti tak seorang diri dia datang. Dia selalu datang berama-ramai dengan beberapa temannya yang lain, itu pun pada saat belajar kelompok.
   Kevin keluar lagi sepuluh menit kemudian.  Celana selututnya kini telah berganti dengan jins panjang. “Ayo,” katanya sambil mengulurkan tangannya pada Sofi yang masih duduk di sofa. Sofi hanya memandangi tangan Kevin tanpa bermaksud meraihnya. “Maaf,” kata Kevin lagi. Cowok itu lantas melangkah lebih dulu ke luar rumah. 
   Sebelum mengikuti Kevin, Sofi melangkah menuju bagian dalam rumah. Dia berhenti pada celah lebar yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah. Sambil menolehkan kepala ke kanan lalu ke kiri dia berkata, “Bik ... Bik Tini!” pelan, tapi tak ada sahutan dari dalam. Dia berharap bisa menemui Bik Tini untuk berpamitan. Ditunggu beberapa detik, wanita itu tak kunjung tampak batang hidungnya. Tak ingin Kevin menunggu, dia lantas membalikkan badan lalu berjalan mendekati pintu. Ketika Sofi keluar dari rumah Kevin, dia mendapati cowok itu sedang berdiri di depan seorang pria. Pria itu mengenakan kemeja, dasi, dan celana rapi seperti orang kantoran. Di belakangnya terparkir sebuah mobil jenis sedan.
   “Ngapain Papa ke sini?” tanya Kevin jutek pada pria di depannya itu. Ekspresi tidak suka tampak jelas di wajah cowok itu.
   “Dasar anak tidak tahu sopan santun! Siapa yang ngajarin kamu kayak gitu sama orangtua, hah! Mama kamu, iya?!” pria di depan Kevin membalas dengan nada tinggi.
   “Bukan Mama yang ngajarin, tapi Papa sendiri yang ngajarin!” bantah Kevin lugas dan tegas. 
   Balasan selanjutnya dari pria itu bukan kata-kata lagi, melainkan sebuah tamparan keras di pipi Kevin.
   Sofi membelalakkan mata melihat pemandangan itu. Selama ini dia tak pernah melihat seorang ayah memukul anaknya secara langsung di depannya seperti sekarang. Kedua orang tuanya pun kalau marah hanya mengoceh dengan nasihat panjang lebar. Bukan melakukan kekerasan fisik.
   “Dasar kamu anak tidak tahu diuntung! Tidak tahu terima kasih sama orangtua!” bentak Radit.
   “Kevin akan hormat dan patuh sama Papa kalau Papa pantes dihormati! Papa jarang pulang ke rumah dan nggak pernah lagi kasih nafkah buat Mama. Menurut Papa, Papa pantes gitu disebut sebagai ayah yang baik? Nggak, Pa!” desis Kevin. Napasnya bergemuruh oleh amarah yang meluap. Jeda yang ada diantara mereka membuat suasana terasa begitu hening. Sang ayah menatap anaknya tajam, sementara sang anak juga tak mau kalah. Dengan segala keberanian yang dipunyai, Kevin melepaskan semua rasa kesalnya selama ini. “Papa itu ada tapi kayak nggak ada. Hidup, tapi seperti mati. Nggak ada gunanya sama sekali dalam hidup Kevin!”
   Mendengar itu Radit semakin terbakar amarah. Dia tampar lagi wajah Kevin hingga tubuh cowok itu mundur beberapa langkah ke belakang. Sofi tidak sanggup lagi melihat pemandangan di depannya itu. Gadis itu ingin memisahkan pertikaian antara ayah dan anak tersebut, tapi dia merasa tak punya hak. Kelegaan merayap di dada Sofi saat dia melihat Bik Tini muncul dari celah di samping garasi rumah bersama seorang laki-laki. Laki-laki itu sudah berjalan dulu mendekati Kevin dan Radit ketika Sofi berkata, “Bik, Kevin ...,” dengan raut cemas. Bik Tini hanya mengangguk pelan. Dia lantas mengajak Sofi mendekat pada majikannya. Tak ada rasa takut atau ekspresi terkejut seperti yang tampak di wajah Sofi muncul di wajah wanita itu. Dia seperti sudah terbiasa dengan keributan dan pertikaian yang terjadi.
   “Pak Radit, sudah, Pak! Kenapa, sih, ribut-ribut terus? Malu didengar tetangga.” Kata pria berpeci yang tadi berjalan bersama Bik Tini pada Radit.
   “Pak RT jangan ikut campur urusan keluarga saya, ya!” bantah Radit tak terima.
   Beberapa warga mulai berdatangan ke sekitar rumah Kevin. Mungkin karena malu, akhirnya Radit memilih untuk masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Kevin yang masih berdiri dengan rasa sakit hati bercampur amarah. 
   Kevin tidak pernah menyangka Radit bisa berubah seperti ini. Mona selalu bilang kalau Radit jadi begitu karena terlalu sibuk memikirkan pekerjaan. Namun, Kevin bukan bocah TK yang terlalu polos untuk bisa percaya omongan ibunya. Dia tahu betul sifat Radit. Laki-laki itu berubah pasti karena hatinya telah terisi oleh sosok wanita lain. Bukan ibunya lagi.
   Kevin dan Sofi berpamitan pada Bik Tini dan Pak RT setelah semua tetangga membubarkan diri. Tak lama kemudian bus yang mereka tunggu melintas. Ketika telah berada di dalam bus, Sofi tak berani berkata-kata. Dia hanya memperhatikan lamat-lamat Kevin yang tengah tertunduk lesu. Dia memang menyimpan banyak pertanyaan tentang kejadian yang tadi dia lihat. Bagaimana awalnya hubungan mereka bisa seperti itu? Mengapa Kevin terlihat seperti begitu membenci ayahnya? Dan banyak lagi pertanyaan lain. Namun, Sofi tak berani membuka mulutnya. Dia tak ingin memperkeruh suasana hati Kevin.
   Bus yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah sakit. Kevin masih membisu selama berjalan di pelataran rumah sakit. Sofi akhirnya mengeluarkan sebuah pertanyaan dari mulutnya untuk memastikan kalau cowok itu baik-baik saja. “Are you okay, Kak Kevin?”
   Kevin menoleh pada Sofi sambil tersenyum samar. Sofi bisa melihat kalau senyum itu dipaksakan. Kevin tidak baik-baik saja. Ada luka yang tersirat pada mata itu. Dan itu membuat rasa prihatin menggelayut di hati Sofi.
   Mereka berdua terus berjalan menyusuri beberapa lorong sebelum akhirnya berhenti di sebuah kamar pasien. Belum sempat Kevin menyentuh gagang pintu, papan kayu itu sudah lebih dulu terbuka dan dari dalam ruangan keluar seorang wanita. Wanita itu matanya memerah. Ada cairan yang sedang ditahan untuk tidak jatuh dari kelopak matanya.
   “Mama mau ke mana?” tanya Kevin sambil menatap wanita itu penasaran. 
   “Mau ke depan sebentar,” Jawab Mona sambil mencoba memperlihatkan seulas senyum di wajah. “Kamu jagain adek bentar ya, Kak!” lanjutnya. 
   Kevin mengangguk patuh. Dia biarkan ibunya itu berjalan menjauh.
   Di dalam kamar pasien ada sebuah ranjang dan satu meja. Di atas meja itu ada air minum, mangkuk, sendok dengan sisa makanan, satu kotak martabak telor yang sepertinya sudah dimakan separuhnya, dan tas rajut separuh jadi dengan jarum yang masih melekat. Sementara itu di atas ranjang terbaring seorang gadis. Badannya kurus. Wajahnya pucat. Gadis itu melihat Kevin sebentar lalu beralih pada Sofi dengan tatapan penuh tanya karena merasa asing.
   Kevin melangkah lebih dekat pada gadis yang berbaring di ranjang itu, sementara Sofi berdiri agak jauh. Dia diam dan memperhatikan saja ketika Kevin mengelus rambut Alice lembut. Alice tak berbicara. Dia malah menangis. Lelehan air mata itu keluar begitu saja dari kedua kelopak matanya.
   “Kamu kenapa nangis, Dek?” tanya Kevin.
   “Alice ... nggak mau mati, Kak,” jawab Alice lirih. 
   Seperti ada tombak yang dilempar ke dadanya ketika Kevin mendengar kalimat Alice tersebut. Adiknya yang masih duduk di bangku kelas tujuh itu terlalu dini untuk memikirkan tentang hal yang berkaitan dengan kematian atau sejenisnya. Dia hanya harus tahu tentang kebahagiaan. Dia masih harus menghabiskan waktu yang lebih lama lagi untuk tumbuh dan bermain bersama teman-temannya. 
   “Kenapa kamu ngomong gitu? Kamu akan sembuh, oke!” Kevin mencoba menenangkan sambil mengusap air mata di pipi Alice.
   “Tadi ... Alice dengar ....” Kalimat Alice terhenti sejenak. Tertahan oleh napas sesak karena tangis. “Tadi Alice ... dengar dokter bilang sama Mama kalau sakit Alice udah nggak bisa disembuhin. Tadi Alice pura-pura tidur, Kak, padahal Alice ... dengar semuanya.” Air mata Alice semakin deras setelah kalimatnya itu selesai dia ucapkan. Sofi mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh dan keluar dari kelopak mata mendengarnya.
   “Alice ... Alice nggak mau mati, Kak! Alice ... takut,” kata Alice lagi. Suaranya masih terdengar lirih. Air matanya juga belum surut.
   Alice tak pernah mengeluh apa pun sebelumnya. Sakit yang dideritanya mulai terdeteksi sejak setahun lalu, ketika dia pingsan di sekolah saat upacara bendera. Sejak saat itu dia mulai rawat jalan. Puncaknya adalah dua bulan lalu. Saat kondisi fisik gadis itu sudah dinyatakan terlalu lemah oleh dokter. Akhirnya ranjang rumah sakit inilah yang menjadi tempatnya menghabiskan hari-hari yang menjemukan.
    “Nggak, Alice, kamu pasti sembuh,” kata Kevin, lagi-lagi sambil mengusap air mata yang ada di pipi adiknya itu. Kevin tak pernah suka melihat orang yang disayanginya menangis. Terutama ibu atau adiknya. 
   Alice terdiam selama beberapa detik. Tangisnya belum reda. Dia tenggelam dalam pikiran-pikiran mengerikan yang membuatnya merasa semakin takut. Dia tahu Kevin hanya bermaksud menghibur. Dokter tadi itu tak mungkin sedang bercanda. Apa yang dikatakan pria itu bukan main-main. 
   Sofi sudah berhasil menetralkan wajah sendunya ketika dia berjalan mendekati Kevin dan Alice. Air mata yang tadi hampir jatuh dari kelopak matanya sudah keluar kemudian dia usap dengan jemari tangan. “Alice nggak boleh ngomong gitu ya, Dek,” katanya sambil mengelus kepala Alice lembut. “Alice pasti sembuh. Alice punya Kak Kevin, Mama yang bakalan nemenin Alice. Dan sekarang Kak Sofi bukan cuma jadi temennya Kak Kevin, tapi juga mau jadi temen kamu. Jadi, kamu nggak perlu sedih lagi, ya!” 
   “Kakak bohong!” kata Alice pelan sambil menggelengkan kepalanya. Air matanya keluar lagi. Dia masih lebih percaya ucapan dokter daripada Sofi. Dia tahu Sofi hanya bermaksud menghiburnya, sama seperti Kevin.
   “Dengar, Dek, dokter itu manusia dan bukan manusia yang bisa menentukan seseorang itu bisa sembuh atau tidak. Bukan manusia yang bisa menentukan seseorang itu akan tetap hidup atau tidak. Cuma Tuhan. Dan Alice harus percaya kalau Tuhan pasti akan memberi Alice kesembuhan, ya,” kata Sofi. Alice terdiam sejenak, memastikan kalau kata-kata Sofi itu memang benar. Beberapa detik kemudian dia mengangguk lemah.
   “Senyum, dong! Jangan nangis lagi, ya!” kata Sofi lagi sambil mengusap air mata di pipi Alice. Alice mengangguk lagi kemudian tersenyum. Sofi ikut tersenyum. Dia lantas membungkuk, melingkarkan satu tangannya ke badan Alice, lalu diciumnya pipi gadis itu.
   Gumpalan daging di dada Kevin seperti meleleh melihat adegan di depan matanya tersebut. Alice bukan tipe anak yang mudah akrab dengan orang baru. Dia juga tidak bisa terlalu dekat dengan teman-temannya di sekolah. Namun dengan Sofi, adiknya itu bisa mudah luluh. Sikap manis dan lembut Sofi ternyata tak hanya berhasil menarik perhatian Kevin, tapi Alice juga. Dan itu semua sama sekali bukan rekayasa. Bisa Kevin lihat kalau Sofi tulus peduli pada adiknya. Tentu saja dia semakin tersanjung dan takjub pada gadis itu sekarang. Sofi dengan segala kelembutannya bagaikan rintik hujan yang menyapa hati gersang Kevin
   Dulu Stela tak pernah sedekat itu dengan Alice. Gadis itu bahkan pernah merajuk pada Kevin karena dia terlalu sibuk mengurus Alice di awal-awal adiknya tersebut sakit. Ya, sebelum penyakit Alice separah sekarang, Kevin memang selalu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengurus adiknya itu. Dia tak ingin Alice kurang mendapatkan perhatian dari keluarga. Apalagi waktu itu Radit dan Mona sudah mulai sering ribut-ribut. Stela bukannya mendukung Kevin, tapi malah memprotes cowok itu. Stela bilang dia kesal karena waktu mereka bersama jadi berkurang. Sekarang Kevin sadar satu hal, bahwa meski Sofi dan Stela sama-sama memiliki sikap manis dan lembut yang membuatnya jatuh hati, tapi mereka mempunyai perbedaan. Stela hanya peduli pada dirinya, sedangkan Sofi tidak. Sofi juga menyayangi Alice. Dan Kevin yakin kalau Sofi juga bisa dekat dengan anggota keluarganya yang lain.
   “Siapa, Kak? Temen kamu?” Mona masuk ke dalam ruangan dengan kondisi wajah yang lebih segar dari tadi saat pertama kali wanita itu keluar dari kamar rawat Alice. Ada senyum di wajahnya ketika memandang Sofi. Mata merah serta air mata yang nyaris jatuh di kelopak matanya sudah tak tampak lagi.
   “Iya, Ma. Sof, kenalin ini mama aku. Ma, ini Sofi, temen aku.”
   “Sofi, Tante,” kata Sofi sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum santun.
   “Kamu anak baru ya di sekolah? Kok sebelumnya tante nggak pernah lihat kamu main ke rumah?” tanya Mona setelah menyambut uluran tangan Sofi.
   “Nggak, Tante. Saya adik kelas Kak Kevin.”
   “Oh, adik kelas! Kok bisa kenal sama Kevin?” tanya Mona. Dia melirik Kevin sekilas. Dalam hitungan detik dia segera mengerti kalau ini bukan sesuatu yang biasa. Dia yakin kalau ada cerita khusus di balik perkenalan mereka yang mungkin sengaja direncanakan sedemikian rupa oleh Kevin. “Oh, sekarang ngincer adik kelas, Kak?” lanjutnya.
   “Ceritanya panjang, Ma! Kalo diceritain bisa jadi novel lima ratus halaman.” Kevin tersenyum pada Mona lantas melirik Sofi sekilas. “Kalo beneran jadi, Kevin pasti bakal cerita deh,” lanjutnya. Mona tersenyum tipis menanggapi celoteh anak laki-lakinya itu.
   Sofi tak benar-benar mengerti apa maksud Kevin. Dia tak ingin berprasangka apa pun. Namun, dengan pasti dia bisa merasakan getaran samar di dadanya ketika melihat Kevin tersenyum dalam padanya sesaat setelah cowok itu membalas ucapan Mona. Senyuman itu terlihat manis sekali di matanya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • nuratikah

    si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
    berkunjung balikke ceritaku ya.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags