Read More >>"> Ich Liebe Dich (Syair Dikara) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ich Liebe Dich
MENU
About Us  

   Dua sohib Kevin sudah pulang dulu beberapa menit tadi. Suasana di parkiran mobil sudah agak sepi. Kevin sedang berada di dalam mobil, tapi dia enggan menyalakan mesin kendaraan roda empatnya itu. Dia sedang tak ingin pulang ke rumah. Dia sudah terlalu bosan dengan segala suasana sepi dan dingin yang selama beberapa tahun terakhir ini menghiasi rumahnya.
   Dulu saat segalanya masih sempurna, rumah besar yang dihuni keluarga Kevin terasa damai dan hangat. Ada tawa ceria Alice, adiknya. Juga senyum hangat Mona. Candaan-candaan Radit, ayahnya, di saat mereka makan bersama atau sekedar berkumpul di ruang keluarga juga mampu menambah suasana akrab yang tercipta. Namun, sekarang semua hanya bisa Kevin kenang. Kebersamaan yang pernah terasa begitu indah kini tak bisa lagi dia rasakan. Yang ada kini hanya kesepian yang menciptakan lubang menganga di dadanya. Kesepian itu juga yang selama ini membuatnya bertingkah sesuka hati di sekolah. Sebenarnya dia tak pernah sengaja bertingkah seenaknya atau mengacau begitu saja. Dia hanya ingin melakukan hal-hal yang sekiranya bisa membuat lubang menganga itu tertutup kembali. Namun sejauh ini usahanya tak pernah berhasil. Semakin lama lubang itu justru semakin besar dan kesepian yang dia rasakan semakin mencekam.
   Sudah hampir setahun Radit jarang pulang ke rumah. Dalam seminggu pria itu pulang hanya dua atau tiga kali, itu pun selalu diwarnai percekcokan dengan Mona. Sementara itu, Alice sudah dua bulan ini dirawat di rumah sakit karena leukemia. Entah kapan adiknya itu bisa sembuh seperti sedia kala. Rumah besar yang Kevin tinggali dulunya begitu hangat, begitu hidup. Sekarang rumahnya hanya seperti bangunan gedung yang sepi, suram, dan kosong. 
   Kegembiraan yang dirasakan Kevin saat bersama dengan Ferro dan Dion selalu terasa singkat. Mereka mungkin bisa menemani Kevin di sekolah atau di rumahnya dalam beberapa jam. Namun, Kevin tak bisa meminta mereka untuk menemaninya lebih lama. Mereka bukan saudara kandungnya yang bisa selalu bersama dengannya seharian penuh. Mereka punya keluarganya sendiri di rumah. Dan Kevin tidak bisa egois. 
   Mungkin benar kata orang kalau harta paling berharga di dunia ini adalah keluarga. Segala hal kecil seperti kepribadian seseorang dibentuk pertama kali di dalam keluarga. Seseorang akan merasa hidupnya lengkap dan sempurna juga karena adanya keluarga.
   Hanya di sekolah Kevin merasa hidupnya berwarna. Ketika berada di rumah kehampaanlah yang akan datang menyergapnya. Kevin bisa saja pulang ke tempat Ferro atau Dion, tapi dia tak ingin merepotkan. Mereka berdua masih ada bersamanya setelah segala perubahan yang terjadi dalam hidupnya saja sudah bagus. Ya, kamu pasti pernah dengar kisah tentang teman yang menjauh ketika satu temannya jatuh miskin atau sedang terjebak masalah, kan? Tapi, untungnya Dion dan Ferro bukan tipe teman yang seperti itu. Dan Kevin bersyukur memiliki  mereka dalam hidupnya. 
   Entah sudah berapa menit Kevin menghabiskan waktu di dalam mobil ditemani lagu-lagu Maroon 5 yang mengalun dari tape. Parkiran sudah benar-benar sepi. Hanya ada beberapa mobil yang belum dibawa pergi oleh pemiliknya. Biasanya itu punya anak-anak yang sedang mengikuti ekstrakurikuler.
   Konsentrasi Kevin pada musik yang dia dengar buyar ketika mendengar suara ketukan keras di kaca mobilnya. Ketika menoleh ke jendela mobil, dia mendapati Angga sedang menatapnya dengan tatapan tak bersahabat. Kevin mengembuskan napasnya kasar lalu mengalihkan pandangannya ke depan lagi. Ini bukan pertanda baik. Kedatangan Angga, Tommy, atau Edo selalu akan menghasilkan keributan. Sudah berkali-kali Tommy atau Angga, bahkan Edo sendiri muncul tanpa diduga-duga begitu. Namun, tentu saja Kevin tak akan menghindar. Dia tak suka dianggap pecundang oleh musuh bebuyutannya itu. 
   Kevin melirik malas pada Angga lalu mengalihkan pandangannya ke kaca depan mobil lagi. Entah apa lagi yang cowok berambut keriting itu inginkan. Yang pasti kali ini juga berhubungan dengan Edo.
   Karena Angga tak kunjung beranjak pergi dan ketukannya di kaca mobil semakin keras, akhirnya Kevin menurunkan kaca jendela mobil. Dengan gusar dia lantas bertanya, “Ngapain lo?”
   Angga tersenyum masam. “Dicariin Edo,” jawabnya.
   Akhirnya Kevin pun turun lalu mengikuti Angga berjalan ke mobil Edo. Dia disambut Tommy dan si pemilik mobil. Mereka berdua bersandar pada kap mobil sambil memasang tampang sengak yang menyebalkan.
   “Apaan lagi?” tanya Kevin jutek ketika dia telah berdiri tepat di hadapan Edo. 
   Bukannya menjawab, Edo malah berdiri tegak lalu melayangkan tinjunya ke perut Kevin. Kevin, yang memang memiliki refleks cepat terhadap serangan, segera membalas pukulan Edo dengan melayangkan bogemnya ke wajah cowok itu. Tak terima leader-nya diserang, Tommy ikut memukul Kevin. Dilayangkannya tinju ke wajah lawannya tersebut. Pukulan Tommy itu  membuat gejolak panas di dada Kevin meletup. Dia lantas balik memukul wajah Tommy. Tak mau kalah, Edo ikut menyerang. Dia menendang perut Kevin hingga cowok itu mundur beberapa langkah ke belakang. Namun seolah tak peduli dengan sakit yang dirasakan, Kevin maju beberapa langkah, bermaksud membalas Edo. Tetapi belum sempat dia melancarkan serangan, Angga lebih dulu memukul bagian punggungnya dengan kedua siku. Akibatnya dia menghentikan langkah dan mengerang kesakitan. Kesempatan itu Edo gunakan untuk menyerang Kevin secara bertubi-tubi. Dia layangkan tinjunya ke perut dan dada Kevin berkali-kali. Terakhir, dia menendang perut Kevin hingga cowok itu ambruk.
   Kevin pasti menang kalau berkelahi satu lawan satu dengan seseorang dari mereka bertiga karena dia punya ilmu silat. Pernah suatu ketika Edo datang sendirian dan menghajarnya seperti orang kesetanan. Namun, akhirnya tetap Kevin yang berhasil menang. Mungkin untuk mengantisipasi, jadi sekarang Edo selalu main keroyokan.
   Sebenarnya Kevin tak mengerti apa motif Edo melakukan semua ini padanya. Dulu waktu duduk di bangku SMP mereka adalah dua orang saudara sepupu yang sangat akrab. Tak ubahnya saudara kandung. Keadaanya mulai berubah sejak awal mereka duduk di bangku kelas sepuluh. Suatu sore ketika Kevin tengah bermain bola di halaman rumah, Edo menghampirinya dan menghajarnya habis-habisan. Tak hanya itu, Edo juga memaki Kevin dengan kata-kata yang menyakitkan. Dia bilang Kevin saudara bangsat. Saudara laknat. Bahkan kerapkali Edo berkata kalau dia ingin melihat Kevin mati. Waktu itu Kevin tak membalas perlakuan Edo. Cowok itu bahkan diam saja saat Edo menatapnya dengan tatapan seperti ingin membunuh.
   Kejadian sore itu yang mencadi titik awal perkelahian Edo dan Kevin di hari-hari berikutnya. Awalnya Kevin selalu ingin bertanya apa motif Edo. Namun belum juga sempat berbicara, Edo selalu lebih dulu menyerang. Karena terpancing emosi, Kevin melupakan keinginanya mencari akar dari semua. Dia jadi ikut benci dengan Edo dan akan dengan senang hati melawan jika cowok itu mulai meyerangnya.
   Kevin mencoba bangun, mengabaikan rasa sakit yang dia rasakan di sekujur tubuh. Melihat lawannya belum menyerah, tendangan keras Edo layangkan ke perut cowok itu. Akibatnya tubuh Kevin terbaring lagi. Seolah tak puas, Angga menambahkan pukulan keras ke wajah Kevin. Tak mau ketinggalan, Tommy ikut melayangkan tendangannya ke perut Kevin.
   “Mau lo sebenarya apa, Do?” tanya Kevin pelan ketika Edo berlutut di sampingnya dengan senyum puas, senyum ejekan yang di dalamnya tersirat kebencian begitu besar. Mengapa hanya Edo yang Kevin beri pertanyaan? Karena Kevin merasa kalau ini merupakan dendam pribadi Edo. Setiap mereka berkelahi, tatapan membunuh itu hanya terpancar dari mata Edo, bukan dari kedua temannya yang lain.
  “Gue ... mau ... lo ... mati,” jawab Edo pelan dan penuh penekanan. Dia memberi jeda pada setiap kata ketika mengucapkan kalimat itu. Sengaja. Agar terdengar lebih jelas di telinga Kevin.
   “Apa salah gue ke lo?” tanya Kevin pelan. Dia berusaha mengabaikan rasa sakit yang menyergap tubuhnya.
   “Apa salah lo?” Edo tersenyum sinis sejenak kemudian melanjutkan kalimatnya dengan bentakan, “LO YANG MULAI SEMUANYA, VIN! LO YANG MULAI!” 
   Tatapan kebencian dan tatapan ingin membunuh itu lagi-lagi terpancar dari mata Edo. Dan Kevin tidak mengerti apa maksudnya. Memangnya dia sudah memulai apa? Selama ini setiap kali mereka ribut, Edo tak pernah mengucapkan kalimat apa pun. Baru kali ini cowok itu mengungkapkan kalimat demikian seolah Kevin adalah biang kerok dari permusuhan tak berujung ini. Padahal jelas-jelas dari awal Edolah yang mulai menyerang.
   Beberapa tinju Edo layangkan lagi di wajah Kevin—di pipi, mata, dan rahangnya—dengan kecepatan tak terkontrol. Menyadari Kevin mungkin bisa benar-benar mati atau masu rumah sakt kalau membiarkan Edo, Angga dan Tomi segera menarik tubuh leader-nya ke belakang. Alih-alih menurut, Edo justru memberontak tak terima. “Dia harus mati, Guys!” katanya di sela gerakan tangan dan tubuhnya yang terus berusaha melepaskan diri dari cekalan Tommy dan Angga.
   Kevin memejamkan matanya ketika Edo dan kedua temannya sudah pergi. Rasa nyeri luar biasa merambat di sekujur tubuh dan wajahnya. Jawaban Edo atas pertanyaannya tadi benar-benar tak bisa dicerna otaknya.
***
   Usai dikeroyok Edo dan dua temannya, Kevin baru bisa terbangun setelah terbaring selama lima belas menit lebih tadi. Dengan sedikit sisa tenaga yang dimiliki, dia berusaha menyetir meski dengan kecepatan yang bisa dibilang sangat pelan. 
   Sesampainya di rumah, Kevin terpikirkan Mona. Dia tak ingin ibunya tersebut tahu apa yang terjadi padanya. Wanita itu bisa kapan saja pulang dari rumah sakit dan datang ke rumah. Menyadari itu, Kevin memutuskan untuk mengurung diri di kamar.
   Kamar Kevin cukup luas. Ukurannya sekitar 4X5 meter. Di tembok bagian depan ada beberapa poster burung elang yang tengah mengepakkan sayap dengan ukuran beragam. Di tembok bagian kiri dan kanan ada beberapa poster film Thor. Sementara di bagian atas ranjang ada kumpulan foto dirinya yang ditata membentuk kata “KEVIN”. Di depan ranjang, tepatnya di bawah salah satu poster elang, ada sebuah televisi LCD. Lalu, di sudut kanan dekat pintu ada sebuah meja belajar dengan segala peralatan sekolah lengkap. Di samping tumpukan buku—pada meja belajar itu—ada patung burung elang yang telah diawetkan dengan dua sayapnya terkembang. 
   Kevin sendiri yang mendekorasi dan menghias kamarnya sedemikian rupa sejak kondisi keuangan keluarganya memburuk. Dia harus betah berlama-lama di kamar agar tak selalu keluyuran menggunakan mobil seperti dulu. Awalnya Kevin merasa jenuh ketika harus menghabiskan waktunya dengan nonton televisi atau main game saja di kamar. Namun, seiring berjalannya waktu dia terbiasa juga menjadi anak rumahan.
    Sekarang Kevin sedang mengompres lebam-lebam di wajahnya. Dengan bantuan sebuah cermin dia menempelkan kain basah itu ke wajahnya pelan-pelan. 
   Kevin masih tak mengerti apa maksud kata “memulai” yang diucapkan Edo. Dia merasa tak pernah memulai apa pun dan sama sekali tak berniat untuk bermusuhan dengan Edo. Dulu mereka berdua sangat Dekat. Perbedaan usia Edo yang hanya terpaut empat bulan di bawah Kevin membuat mereka memiliki banyak kesukaan yang sama. Entah itu pada mainan, film kartun kesukaan, baju, atau bahkan makanaan dan minuman kesukaan. Seiring mereka tumbuh dewasa bersama, Kevin sering menceritakan kegiatan dengan teman-temannya di sekolah pada Edo. Itu karena dulu waktu SMP mereka tidak satu sekolah. Sedangkan Edo agak lebih tertutup pada Kevin. Meski demikian, sifat Edo tersebut tak mengurangi kehangatan persaudaraan di antara mereka.
   Waktu Kevin duduk di bangku kelas sembilan dan kedua orangtuanya mulai sering ribut, dia dan Alice bahkan sering tidur di kamar Edo. Dia mengajak Alice mengungsi ke rumah sepupunya itu karena tak tahan dengan suasana berisik di rumah. Namun, sekarang mereka bukan lagi seperti saudara. Mereka saling bermusuhan dan hingga sekarang sepertinya tak ada tanda-tanda akan mereda.
   Kevin meletakkan baskom dan kainnya di meja belajar ketika dia mendengar suara deru kendaraan bermotor berhenti di depan rumahnya. Dari jendela dia melihat sebuah mobil pick-up di depan gerbang rumahnya. Dia mengerutkan kening heran saat melihat Mona turun dari mobil itu. Rasa ingin tahunya mulai muncul saat melihat si sopir dan tiga orang lain yang duduk di bagian belakang pick-up juga ikut turun.
   Penasaran, Kevin lantas keluar dari kamar. Masalah Mona kaget melihat kondisinya dia pikir belakangan. Dugaan bahwa ibunya tersebut akan mengambil sesuatu dari rumah untuk dijual mengajar kuat di benaknya. Maka dia harus mencegah. Kalau tidak, seisi barang di rumahnya lama-lama akan habis. 
   Ketika kakinya mencapai ruang tamu, Kevin segera berlari kecil mendekati Mona. Saat melihat kondisi wajah Kevin, mata Mona terbelalak. Dia tampak terkejut. Namun sebelum dia sempat menanyakan penyebab luka-luka di wajah Kevin, anak laki-lakinya itu sudah lebih dulu menyergapnya dengan pertanyaan, “Mama mau jual apa lagi?”
   Sebelumya Mona sudah pernah menjual satu set sofa di ruang keluarga ketika pertama kali Kevin melihat sebuah mobil pick-up berada di depan rumahnya. Sekarang entah perabotan apa lagi yang akan wanita itu jual. 
   Radit tak pernah lagi memberikan nafkah kepada keluarganya sejak setahun yang lalu. Untuk membiayai sekolah Kevin dan Alice, Mona merajut dompet-dompet dan tas yang kemudian dia jual melalui akun jejaring sosial. Penghasilan yang Mona dapatkan lumayan banyak. Kalau untuk makan sehari-hari juga cukup. Namun dia butuh uang lebih untuk membiayai perawatan Alice di rumah sakit. Itu yang menyebabkan dia menjual perabotan rumah.
   “Mama mau jual apa lagi, sih?” ulang Kevin lantaran tak ada jawaban dari Mona. Sebelum ada sahutan dari Mona, Kevin telah mendapat jawabannya lebih dulu. Dia melihat empat orang pria yang turun dari pick-up tadi mengangkat sebuah almari besar dari bagian dalam rumahnya. Almari itu adalah almari pakaian yang ada di kamar orangtuanya. 
   “Ma, kenapa Mama nggak jual mobil aku aja? Mama akan dapet uang yang lebih banyak dengan itu?” protes Kevin sambil terus mengikuti Mona yang tengah berjalan ke luar rumah untuk  melihat orang-orang yang sedang menaikkan almari ke mobil pick-up.
   “Nggak, Kak! Kalau Mama jual mobil kamu, nanti kamu berangkat sekolahnya gimana?” balas Mona ketika membalikkan badan. Wanita itu kemudian melangkahkan kakinya ke dalam rumah lalu duduk di salah satu sofa ruang tamu.
   “Kevin bisa naik kendaraan umum, Ma.” Kevin mengikuti Mona lalu duduk di samping wanita itu.
   “Nggak, Kak. Itu mobil kedua yang dibelikan Papa kamu, kan?” Mona terdiam sejenak.  Masih melekat jelas di ingatannya bagaimana keceriaan di wajah Kevin ketika melihat mobil lama yang baru dia pakai dua kali diganti oleh Radit selepas kejadian mengerikan itu. Lagi pula Mona juga tahu segala passion Kevin tentang mobil dan kecepatan. Tak mungkin dia menjual kendaraan favorit anaknya itu. “Lagian menurut Mama naik kendaraan sendiri lebih efisien. Kamu bisa berangkat kapan pun kamu mau tanpa takut telat karena menunggu kendaraan umum,” lanjut Mona.
   Kevin tak membantah lagi lantaran apa yang Mona katakan memang ada benarnya.
   Kadang Kevin heran bagaimana Mona masih bisa mementingkan dirinya di tengah kondisi  keluarga yang serba sulit seperti sekarang. Padahal sebenarnya dia sama sekali tak keberatan kalau mobilnya harus dijual untuk biaya perawatan Alice di rumah sakit. Kesembuhan adiknya itu jauh lebih penting baginya. Kalau hanya untuk menuruti kehausan akan mobil dan kecepatan, dia bisa meminjam kendaraan Ferro atau Dion.
   “Itu wajah kamu kenapa lebam-lebam?” Mona akhirnya meloloskan pertanyaan yang dari tadi berputar-putar di kepalanya. Dia memperhatikan wajah Kevin dengan teliti.
   “Berantem sama temen,” jawab Kevin sekenanya.
   Dulu Mona pernah bertanya mengapa Edo sudah tak pernah lagi datang ke rumahnya untuk bermain dengan Kevin. Dan Kevin hanya bisa memberi jawaban palsu atas pertanyaan ibunya itu. Dia bilang sejak duduk di bangku SMA mereka mulai sering diberi banyak tugas, tak seperti dulu waktu masih SMP. Tugas-tugas itu yang menyebabkan mereka tak punya banyak waktu untuk bermain bersama lagi. Untungnya jawaban itu cukup membuat Mona percaya. Kalau sekarang Kevin berkata jujur, maka kebohongannya akan sia-sia.
   “Kamu itu kenapa sih, Kak, kerjaanya berantem melulu? Nggak capek apa? Nggak suka, ya, hidup normal yang damai-damai aja gitu?” tanya Mona. Ada nada khawatir terselip dalam suaranya. Nada yang selalu muncul setiap kali dia melemparkan protes di saat melihat luka-luka yang muncul pada diri Kevin akibat berkelahi. Ya, sudah bukan sekali atau dua kali Mona melihat Kevin pulang sekolah dengan beberapa luka lebam begitu. Layaknya ibu-ibu yang lain, Mona tak pernah suka melihat pemandangan itu. Meski Kevin adalah anak laki-laki dan sudah biasa dengan perkelahian, tetap saja ada rasa tidak rela di hatinya mendapati fakta bahwa anaknya tersebut disakiti orang. 
   Masa remaja memang tahap di mana seorang anak berada dalam kondisi labil. Mudah terpancing emosi. Namun, menurut Mona perkelahian bukanlah jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah. Selama ini dia selalu mengajarkan Kevin untuk mengendalikan amarah. Karena setiap pekerjaan apa pun yang dilakukan dengan mengikuti amarah tak akan menghasilkan kebaikan. Kerapkali penyesalan yang datang menyertainya. Menuruti amarah  akan selalu menghasilkan kekacauan dan kerugian.
   “Bukan Kevin yang mulai, Ma,” Kevin menjawab malas. Sebenarnya dia tak ingin Mona membahas ini. Dia tak ingin ibunya itu khawatir. Lagi pula dia yakin kalau dirinya akan baik-baik saja. Luka seperti itu sudah biasa baginya.
   “Ya, tapi nggak usah diladenin, dong, kalau nggak mau punya musuh.”
   “Terserah mereka kalo mau nganggep Kevin musuh. Kevin ngelawan karena nggak mau disebut pecundang.” Kevin beranjak dari duduknya tanpa ingin lagi mendengar kalimat yang akan keluar dari mulut Mona. Ibunya itu tak akan mengerti kalau Edo tak bisa diajak berdamai. Melawan atau tidak, Edo tetap saja akan terus memusuhi Kevin dengan segala dendam yang tak pernah dia mengerti.
***
   Sudah hampir dua tahun Tiara menekuni pekerjaan membuat kue-kue basah dan menjahit. Semenjak suaminya meninggal dialah yang membiayai semua kebutuhan keluarga, termasuk biaya sekolah Sofi. Biasanya sepulang sekolah—setelah beristirahat sejenak—Sofi  akan membantu menjajakan ku, sementara Tiara akan menyelesaikan jahitan di rumah. Kalau ada pesanan tetangga biasanya gadis itu tak perlu berkeliling. Dia hanya perlu mengantarkan kue ke rumah tetangganya yang memesan itu. Seperti hari ini.
   Sofi sedang menata kue-kue ke dalam keranjang ketika dia melihat Lyra, tantenya, sedang duduk di tangga depan rumah. Wanita itu sedang memakai sepatu hak tingginya. Baju yang dia kenakan tak biasa. Gaun berwarna hijau muda selutut ditutupi dengan blazer—seperti seseorang yang akan pergi ke pesta.
   Rumah Lyra berada tepat di samping rumah Sofi. Jadi, gadis itu bisa melihat tantenya dengan jelas dari jendela rumahnya yang terbuka. 
   “Tante mau ke mana coba, Bu, sore-sore gini?” kata Sofi pada Tiara yang tengah memasukkan benang ke dalam jarum mesin jahit.
   Tiara mengalihkan pandangan dari mesin jahitnya ke jendela. Dia melihat adik iparnya sedang bertelepon dengan seseorang. “Nggak tahu, sejak om kamu sakit, tantemu itu sering keluar rumah sore-sore begini. Ada bisnis mungkin.”
   “Bisnis apaan, Bu, aneh-aneh aja.” Sofi masih memperhatikan Lyra. Wanita itu beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju jalan raya.
   “Ya siapa tahu. Nggak salah, kan, kalau wanita punya penghasilan sendiri?” balas Tiara sambil mengayuh pedal mesin jahit. Wanita yang selalu menyanggul rambutnya itu tak ingin berpikir macam-macam. Karena selama ini adik iparnya itu memang dia kenal sebagai wanita yang aktif. Wanita itu lebih sering melakukan kegiatan sosial di luar rumah. Dia tidak terlalu suka diam-diam saja di rumah dan melakukan pekerjaan menjahit seperti yang Mona lakukan.
   Sofi berhenti memperhatikan tantenya saat menata beberapa kue terakhir pada keranjang. “Sofi berangakat dulu, Bu,” pamitnya sambil mencium tangan Tiara setelah  keranjang terisi penuh dengan kue.  
   Rumah tetangga Sofi itu berjarak sekitar empat ratus meter dari rumah Sofi. Gadis itu memutuskan untuk berjalan kaki karena baginya jarak itu lumayan dekat. Dia baru beberapa puluh meter berjalan menjauhi rumah ketika sebuah mobil berwarna merah berhenti di sampingnya. Sofi terus berjalan karena merasa tak mengenali mobil itu. 
   Melihat Sofi terus berjalan, Kevin akhirnya turun. Dari belakang dia menahan lengan Sofi. “Lo cewek yang nolongin gue di sekolah, kan?” tanyanya.
   Sofi menoleh dan memandang wajah Kevin dengan tatapan tak biasa—karena tak menyangka. “Iya,” jawabnya singkat. Dia terdiam sejenak—memandangi luka-luka di wajah Kevin itu—sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya dengan pertanyaan, “Kakak dari mana? Terus itu wajahnya kenapa penuh luka gitu? Habis berantem?”
   “Nggak apa-apa, kok, udah biasa?” jawab Kevin. Seulas senyum dia lemparkan pada Sofi seolah berusaha meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja dan luka itu sama sekali tidak memiliki pengaruh apa pun padanya. “Lo mau ke mana? Gue anterin, yuk!” 
   “Mau anterin kue pesenan tetangga. Nggak usah, Kak, deket banget kok rumahnya,” tolak Sofi. Bukan dia bermaksud mengabaikan niat baik Kevin. Hanya saja dia tak ingin merepotkan. Baginya berjalan ratusan meter itu sudah biasa.
   “Nggak apa-apa kali. Sekalian balas budi.”
   Akhirnya Sofi ikut masuk ke dalam mobil Kevin. Mobil itu berjalan pelan dan baru berhenti ketika Sofi meminta Kevin menghentikanya di depan sebuah gang sempit. Setelah  turun dari Mobil Kevin, Sofi memasuki gang itu. Dia berhenti di depan sebuah rumah berpagar lalu memberikan kue pesanan ibunya kepada wanita dengan rambut bercepol yang membukakan pagar. Setelah menerima uang dari wanita pemilik rumah itu, Sofi segera berpamitan pulang. Gadis itu terkejut ketika dia keluar dari gang dan mendapati mobil Kevin masih berada di sana.
   “Kakak kok masih di sini, sih? Nggak pulang?”
   “Gue anterin lo pulang dulu gimana?” tawar Kevin. Sofi membalas tawaran Kevin itu dengan anggukan. Tadi dia sudah sempat menolak, tak enak kalau sekarang mau menolak lagi.
   “Ngomong-ngomong dari tadi kita belum kenalan, ya. Kalo boleh tahu nama lo siapa?” tanya Kevin sambil mengulurkan tangannya pada Sofi.
   “Sofi. Sofia Reyna Alika,” jawab Sofi ketika menjabat tangan Kevin.
   “Kalo gue ... pasti lo udah tahu dong siapa namanya?” kata Kevin sambil menyunggingkan senyum percaya diri. Ada getar aneh merambat di dada Sofi ketika dia memperhatikan senyum Kevin itu. Dia seperti terjebak dalam gelembung hampa udara selama beberapa detik saat tangannya bertautan dengan tangan Kevin. “Tapi nama lengkapnya belum, kan, ya!” kata Kevin lagi, memecahkan gelembung yang tadi membungkus Sofi.
   “I ... iya,” balas Sofi canggung. 
   “Kevin Atharva Shankara,” kata Kevin. 
   Sofi tampak terkejut, tapi kemudian dia tersenyum. Bukan apa-apa, dia hanya tak menyangka. Nama itu terdengar begitu indah di telinganya. 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • nuratikah

    si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
    berkunjung balikke ceritaku ya.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags