Read More >>"> Ich Liebe Dich (Sepasang Mata Indah) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ich Liebe Dich
MENU
About Us  

Seperti yang sudah Kevin duga, ketika mobilnya berhenti di depan sekolah, pagar besi tinggi itu sudah tertutup rapat. Dia sempat melihat seorang satpam yang berjaga di pos security depan gerbang menoleh padanya ketika menurunkan kaca mobil. Satpam itu memasang tampang datar sambil meliriknya, seolah sudah tidak heran melihatnya datang terlambat.
   Dulu Kevin selalu berhasil membuat satpam itu membuka gerbang dengan sogokan. Biasanya dia akan menyerahkan beberapa lembar uang kertas dengan nominal tertinggi yang dicetak Bank Indonesia. Atau beberapa kotak rokok merek favoritnya yang harganya di atas rata-rata rokok kebanyakan. Biasanya Kevin akan berkata, “Ini rokok favorit saya, Pak! Harganya lebih mahal dari punya, Bapak, pasti rasanya lebih enak juga,” dengan santainya atau bahkan sambil cengengesan ketika dia mengulurkan kotak rokoknya. Namun, sekarang kondisinya sudah berbeda. Dia tak bisa lagi menghambur-hamburkan uang seenaknya. Masih bisa bersekolah saja dia sudah untung.
   Kalau tidak ada sogokan, si satpam biasanya tak akan membukakan gerbang. Kevin yakin sekarang pun kejadiannya akan seperti itu karena dia tak punya apa pun untuk dipakai menyogok. Meski begitu dia tetap berusaha. Jadi, sekarang dia berniat melakukan negosiasi seperti seorang ibu-ibu yang sedang menawar pakaian di pasar tradisional.
   Kevin turun dari mobil dengan malas. “Pak, bukain, dong! Maaf, saya nggak bawa kado buat, Bapak, lagi bokek nih,” katanya ketika langkahnya terhenti tepat di depan gerbang.
   Si satpam tak menggubris. Dia tetap terduduk di posnya. Sibuk memerhatikan ponsel seolah sama sekali tak ada suara yang menyapa telinganya beberapa detik tadi. Meski begitu Kevin tak menyerah. Karena tak mungkin baginya untuk pulang dan membiarkan Mona, ibunya, tahu kalau dia diusir dari sekolah karena terlambat datang. Dia tak ingin membebani pikiran Mona lebih banyak lagi. 
   Dulu kalau si satpam tak mau membukakan gerbang seperti ini, Kevin akan segera hengkang dari sekolah lalu memacu mobilnya ke mana saja, tak tentu arah. Atau pergi ke tempat-tempat yang bisa membuat pikirannya senang dan baru pulang di jam-jam waktunya anak sekolah pulang. Dengan begitu Mona akan mengira kalau seharian dia bersekolah dan semuanya baik-baik saja. Namun, sekarang kondisinya sudah tak semudah itu. Mau pergi ke mana memangnya? Lagi pula mobil juga butuh bensin supaya bisa terus berjalan. Ujung-ujungnya uang lagi yang menjadi masalah. 
   “Pak, bukain, dong!” kata Kevin lagi kali ini sambil menggoyang-goyangkan pagar besi.
   Si satpam akhirnya keluar dari pos dan menghampiri Kevin. “Saya kira kamu sudah tobat. Sudah dua bulan lebih, kan, kamu nggak terlambat datang ke sekolah? Nggak tahunya kumat lagi. Memang ya penyakit badung itu susah sembuhnya,” katanya sinis.
   Kevin menggeram. Ekspresi santainya berubah menjadi ketegangan yang tergambar nyata di wajah. Cowok itu ingin mengumpat, tapi dia tahan. Emosinya terkumpul di ubun-ubun dan tak dia lampiaskan. Dia memohon dengan sopan saja si satpam tak mau berkompromi, apalagi mengeluarkan makian.
   Tak berapa lama seorang guru laki-laki datang dari kejauhan. Beliau melangkah dengan cepat mendekati gerbang. Sosok itu adalah Pak Sanjaya, wali kelas Kevin. Sekarang Kevin tahu, selama berada di pos tadi, selama memperhatikan ponsel tadi, si satpam pasti sedang mengirim pesan singkat untuk wali kelasnya itu. Kekesalan Kevin sudah menumpuk berlapis-lapis kini. Ternyata satpam itu suka mengadu.
   Kevin berusaha menetralkan ekspresi wajahnya ketika gerbang dibuka atas permintaan Pak Sanjaya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut cowok itu ketika Pak Sanjaya menatapnya dengan tatapan datar. Dia menundukkan kepalanya. Dia benar-benar ingin diizinkan masuk.
   Pak sanjaya berdiri tepat di depan Kevin. Dia bersedekap sambil menatap muridnya tersebut dengan tatapan datar. “Sekarang kenapa lagi? Sudah lumayan lama saya tidak mendengar berita keterlambatan kamu? Kenapa sekarang diulang lagi?!” kata pria berkumis tebal itu dengan nada penuh penekanan. 
   Kevin yakin beliau pasti punya pemikiran yang sama dengan si satpam. Mengira bahwa dirinya mungkin sudah berubah, tapi ternyata tidak. Bedanya, tak ada nada mengejek pada kalimat Pak Sanjaya, hanya terdengar agak kecewa.
   “Saya minta maaf, Pak. Saya janji ini yang terakhir kalinya saya telat,” balas Kevin.
   Pak Sanjaya adalah satu dari beberapa guru yang mengenal bagaimana tabiat Kevin selama ini. Bagaimana latar belakang Kevin dengan segala tingkah menjengkelkan yang selalu dia lakukan. Dia tahu sejak duduk di bangku kelas dua belas tingkah buruk Kevin sudah mulai bisa diredam. Dengan keyakinan bahwa Kevin akan menepati janjinya, dia akhirnya mengizinkan anak didiknya itu masuk.
   Setelah berterima kasih pada Pak Sanjaya, Kevin segera memacu mobilnya pelan meninggalkan pelataran sekolah menuju tempat parkir.
   Dia sudah diizinkan masuk. Namun, masalah lain pasti akan muncul. Ya, hari ini, di jam pertama adalah pelajarannya Bu Fatima. Guru Sosiologi satu ini terkenal cerewet dan paling tidak bisa berdamai dengan siapa saja yang terlambat masuk kelas. Tak ada pilihan lain. Kevin akhirnya melangkahkan kakinya juga menuju kelas dengan risiko menerima hukuman dari Bu Fatima.
   Ketika kaki Kevin telah terhenti di depan pintu kelas, wanita berambut keriting sebahu tengah berdiri di depan papan tulis. Bu Fatima sedang menerangkan. Pelajarannya sudah berlalu sekitar dua puluh menit.
   Kevin mengetuk pintu, berusaha mengabaikan Ferro dan Dion yang sedang saling menunjuk padanya. Mereka pasti menunggu kedatangan Kevin sejak tadi. Sama seperti si satpam dan Pak Sanjaya, mereka mungkin tak menyangka kalau Kevin akan mengulang kebiasaan buruknya datang terlambat ke sekolah.
   Bu Fatima membetulkan letak kacamatanya dan menajamkan pandangan ketika menoleh ke pintu. Setelah sadar bahwa murid yang mengetuk pintu itu adalah seorang yang tidak ada di daftar absen, wajah beliau berubah tegang. “Dari mana saja kamu jam segini baru datang?!” kata beliau lantang setelah sempat melirik jam tangannya sekilas.
   “Maaf, Bu, tadi saya habis menyeberangkan nenek-nenek di lampu merah,” jawab Kevin asal. Tak mungkin dia menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Bu Fatima. Bisa panjang urusannya.
   Jawaban Kevin itu mendapat sambutan seruan riuh dari seisi kelas. Seorang teman laki-lakinya bahkan sengaja berkata, “Nenek-neneknya montok aduhai kayak Maria Ozawa, Vin, sampe lo mau nyeberangin dia?” 
   Sontak celetukan itu mengundang gemuruh tawa dari seisi kelas. Baik yang laki-laki maupun perempuan tertawa lepas, tak terkecuali Ferro dan Dion. Suara seruan terdengar lagi setelah suara tawa agak reda. Kebisingan itu otomatis membuat Bu Fatima murka. Penggaris kayu yang ada di meja beliau melayang dengan cepat ke tengah ruangan kelas diikuti suara teriakan, “Diam!” yang meluncur dari mulut beliau. Seisi kelas kemudian hening bertahap selama beberapa detik. Perhatian Bu Fatima lantas tertuju pada Kevin lagi setelah itu. “Kamu tidak usah ikut pelajaran saya! Kamu pel saja kamar mandi putra kelas dua belas sana! Jangan kembali sampai jam pelajaran saya habis!”  
   Kevin melangkah gontai meninggalkan pintu kelas dengan wajah tertekuk setelah mendengar perintah Bu Fatima itu. 
***
   Jam pelajaran sudah berlalu setengah jam dan belum ada satu pun penghuni XI-Bahasa 5 yang selesai mengerjakan tugas. Guru pengajar Bahasa Inggris berhalangan hadir. Jadi, sebagian besar penghuni kelas sekarang tengah sibuk mengerjakan tugas yang diberikan. 
   Sofi sudah hampir selesai dengan puisinya. Tinggal beberapa baris kalimat lagi. Sementara Jessie—teman sebangkunya—masih terlihat kebingungan. Hanya ada dua baris yang gadis itu tulis di buku tugasnya. 
   “Sof, bantuin gue, dong! Lo tuh kebiasaan, ya, kalo udah ngerjain tugas fokus banget. Kalo ada Rizky Nazar lewat juga pasti bakal lo cuekin, gue yakin!” keluh Jessie sambil mengipas-ngipaskan kipas kain yang berada di tangan kanannya. Gadis itu selalu saja begitu. Padahal kelas sudah dilengkapi dengan AC. Biar udah dingin nggak seger kalo nggak ada angin, katanya suatu hari ketika Sofi menanyakan alasan dari kebiasaannya itu.
   “Apaan sih, Jes! Itu lo udah nulis, kan? Tinggal lanjutin aja, waktunya juga masih agak lama. Lagian dari tadi ngapain aja baru dapet segitu?” kata Sofi tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun pada Jessie.
   “WA-an sama Edo,” jawab Jessie sebelum akhirnya nyengir tanpa dosa.
   Sofi memutar bola matanya lalu menggeleng-gelengkan kepala kesal mendengar jawaban Jessie itu. “Orang kalo punya pacar emang suka gitu, ya? Chatting lebih penting daripada ngerjain tugas?” cibirnya sambil terus menulis.
   Mendengar ocehan Sofi itu, rasa kesal Jessie muncul. Sebenarnya Sofi bukan tipe teman pintar yang pelit. Hanya saja gadis itu paling tidak bisa diganggu kalau sedang fokus mengerjakan sesuatu. Biasanya Sofi baru mau membantu kalau dia sudah selesai dengan tugas miliknya. Namun, kali ini Jessie sedang tak ingin bersabar. Kalau didiamkan saja, nanti sampai jam pelajaran habis puisi Bahasa Inggris miliknya tidak akan selesai. Karena puisi Bahasa Inggris termasuk tugas yang cukup sulit dikerjakan dan akan membutuhkan waktu lumayan lama untuk menyelesaikannya.
   “Sof, bantuin, dong!” rengek Jessie sambil menggoyang-goyangkan lengan Sofi. Namun, Sofi tak terpengaruh. Gadis itu hanya menjawab, “Kalo kamu masuk jurusan Bahasa, ya, harusnya siap, dong, dihadapkan dengan hal-hal yang berbau sastra gini,” tanpa sedikit pun menolehkan kepala.
   “Iya, ya. Kayaknya aku salah jurusan, deh,” balas Jessie. 
   Sofi hanya tersenyum kecil mendengar ucapan penyesalan Jessie. Kata-kata itu menurutnya sangat terlambat diucapkan.
   Jessie masih menunggu beberapa menit lagi. Berharap Sofi segera menyelesaikan tugas dan membantunya. Namun, tak ada pertanda yang menunjukkan kalau teman sebangkunya itu akan berhenti dari aktifitasnya. Sahabatnya yang satu ini kalau sedang merangkai diksi bisa lebih serius dari seorang bidan yang tengah membantu pasiennya lahiran. Katanya semua karya sastra yang dia buat harus sempurna. Akhirnya Jessie melancarkan aksi isengnya. Jurus pamungkas yang pasti akan membuat Sofi luluh. Dia keluarkan cokelat batangan yang dibelinya di koperasi sekolah tadi pagi.
   “Sof, liat apa yang gue bawa!” kata Jessie sambil mengangkat cokelat itu. Jessie tahu kalau Sofi paling tidak tahan melihat cokelat. Awalnya dia bermaksud memberikan cokelat itu pada Sofi pada jam istirahat. Sekarang dia terpaksa menggunakan cokelat itu sebagai senjata untuk mendesak Sofi.
   Seketika itu juga Sofi menghentikan aktifitasnya menulis. “Mau, dong!” katanya sambil berusaha meraih cokelat di tangan Jessie. Sebelum Sofi benar-benar berhasil meraih cokelatnya, Jessie segera berdiri dan memalingkan tubuhnya. Dia lantas memanggil si Cungkring. Nama aslinya sebenarnya Johan. Julukan “cungkring” diberikan oleh seisi kelas karena si ketua kelas itu bertubuh kurus dan tinggi.
   “Kring ... tangkep, Kring,” kata Jessie saat melemparkan cokelat pada Cungkring. Sofi berlari mendekati Cungkring. Dia berusaha meraih cokelat sambil melompat-lompat, tapi gagal karena cowok itu telah lebih dulu melemparkan cokelatnya pada Jessie lagi.
   “Awas lo nggak gue bantuin bawa buku tugasnya anak-anak ke ruang guru entar!” ancam Sofi sok galak. Gadis itu kemudian berlari mendekati Jessie. 
   “Iya deh, iya, gue bantuin ngerjain puisinya,” kata Sofi akhirnya. Beberapa detik usai berkata seperti itu cokelat di tangan Jessie berpindah ke tangannya.
   “Makasih, ya, Kring! Ntar gue salamin lo ke anak Bu Minah, deh!” kata Jessie sebelum duduk lagi di kursinya. Bu Minah itu adalah salah satu penjaga kantin. Kata beberapa teman sekelas, Cungkring menaruh hati pada anaknya. 
   Sofi lantas kembali mengerjakan tugasnya. Dia berusaha tetap fokus meski kali ini harus mendapat sedikit gangguan dari Jessie. 
   “Bahasa Inggrisnya jiwaku apa, Sof?”
   “My soul,” jawab Sofi tanpa menolehkan kepalanya pada Jessie. 
   “Iya, ding, jiwa itu soul,” ujar Jessie sambil meringis. “Kalau gemericik air apa, Sof?” tanyanya lagi.
   “Gurgling water,” jawab Sofi masih tanpa menoleh pada Jessie.
   “Kalo terjerat?”
   “Enmeshed,” jawab Sofi lagi. Spontan, seolah semua kata itu telah dia hafal di luar kepala.
    Kadang Jessie heran mengapa Sofi bisa begitu mudah mengingat kata-kata Bahasa Inggris yang dilihat hanya dalam sekali gadis itu membuka kamus. Tak seperti dirinya yang harus berkali-kali mengingat kata dalam Bahasa Inggris. Biasanya kalau hanya sekali melihat arti dari sebuah kata di kamus, besok-besoknya lagi dia pasti sudah lupa. Mungkin tingkat IQ Sofi memang lebih tinggi darinya. 
   Awalnya Jessie masuk ke jurusan Bahasa karena dia suka membaca puisi. Menurutnya puisi-puisi yang ditulis dalam Bahasa Indonesia itu indah. Dia tak berpikir kalau setelah dia masuk akan mendapat pelajaran beberapa bahasa asing. Termasuk Sastra Inggris yang sulit ini.
   Detik-detik waktu terus berlalu sampai akhirnya jam pelajaran Bahasa Inggris selesai. Tadi Sofi memang sudah mengancam Cungkring, tapi ketika melihat ketua kelas itu kewalahan membawa buku tugas milik seisi kelas, dia tak tega juga. Dengan langkah cepat dia berjalan mendekati Cungkring lalu mengambil sebagian buku yang dibawa cowok itu. 
   Sebenarnya Sofi memang tak benar-benar niat ketika mengancam Cungkring. Lagi pula sudah menjadi tugasnya sebagai wakil ketua kelas untuk membantu ketua kelas. Tak mungkin dia menjadi egois dan membiarkan Cungkring melakukannya sendiri.
   Sofi tak berlama-lama di ruang guru. Setelah meletakkan setumpuk buku di Meja Bu Syifa  dia segera beranjak keluar. Cungkring sudah menghilang ketika Sofi berada di luar ruang guru. Langkah lebar dari kakinya yang panjang membuat cowok itu berjalan beberapa kali lipat lebih cepat dari Sofi. Dari tadi juga Sofi berada jauh di belakang ketika berjalan menuju ruang guru. Maka ketika kembali dari ruang guru gadis itu hanya berjalan sendirian.
   Awalnya Sofi berjalan dengan cepat menuju kelas karena khawatir guru pengajar jam pelajaran berikutnya akan segera datang. Namun, langkahnya jadi pelan setelah mendengar suara benturan seperti orang yang terjatuh berasal dari toilet putra kelas dua belas. Ketika Sofi mengalihkan pandangannya ke toilet itu dia melihat Kevin. Cowok itu sedang meringis kesakitan. Meski agak ragu, tapi akhirnya Sofi mendekat juga untuk melihat keadaan Kevin.
   “Habis jatuh, ya?” kata Sofi sambil memerhatikan Kevin yang sedang memegangi sikunya. Siku cowok itu terkelupas kulitnya. Darah segar keluar dari sana. Mungkin saat terjatuh tadi sikunya membentur lantai dengan keras.
   Bukannya menjawab, Kevin malah mengalihkan pandangannya pada Sofi dan menatap gadis itu lamat-lamat seperti sedang berusaha mengenali.
   Tak sadar diperhatikan, Sofi justru berlutut lalu megedarkan pandangannya ke sekeliling Kevin. Di sekitar cowok itu ada sebuah ember dan alat pel, pemandangan yang membuat Sofi yakin kalau cowok itu sedang dihukum. Sofi sudah tahu beberapa hal tentang Kevin selama setahun dia duduk di bangku kelas sepuluh. Sudah pernah dengar juga tentang segala tabiat buruknya. Tanpa Sofi minta kepada teman-temannya juga ada saja informasi tentang Kevin yang tak sengaja terdengar di telinganya. Kebanyakan gadis di sekolah suka sekali membicarakan Kevin memang. Kevin dengan segala tingkah bandelnya. Kevin dengan segala pesonanya. 
   Sebenarnya tidak semua gadis di sekolah mengagumi Kevin. Ada sekitar sepuluh persen dari mereka yang tidak suka dengan kelakuan cowok itu. Terutama the smart girl penghuni kelas-kelas MIA.
   Sofi sendiri tidak termasuk ke dalam para gadis yang anti Kevin. Namun, dia juga tidak termasuk ke dalam barisan para gadis pemuja Kevin. Bisa dibilang netral.
   Selama ini Sofi tak pernah benar-benar bertegur sapa dengan Kevin. Hanya sesekali dia melihat cowok itu di beberapa tempat di sekolah. Itu pun kalau jam istirahat. Baru kali ini dia berbicara langsung dengan Kevin. Jadi, wajar kalau Kevin merasa agak aneh dengan kedatangan Sofi dan pertanyaannya yang menunjukkan perhatian itu.
      Karena tak ada jawaban dari Kevin, pandangan Sofi yang tadinya tertuju pada keadaan sekitar beralih pada wajah cowok itu. Menurut Sofi sosok Kevin tak semengerikan seperti apa yang teman-temannya pernah ceritakan. Penampilannya seperti murid sekolah pada umumnya, bukan seperti preman yang selalu malak di pasar. Meski ekspresi wajahnya terlihat agak kaku, tapi kalau diperhatikan matanya begitu teduh, bening, dan indah. Sama sekali tak ada kesan garang atau menakutkan. Rambut harajukunya tertutup topi yang dipasang terbalik. Baju seragamnya terseterika rapi. Aroma wangi vanila menguar dari tubuh cowok itu, membuat kesan indah semakin kental tercermin di mata Sofi. Hanya bagian seragam yang keluar dari celana melorotnya itu yang membuat kesan rapinya agak berkurang.
   Sofi segera mengambil tisu dari saku roknya ketika sadar bahwa dia harus segera kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran berikutnya. “Saya bersihin dikit, ya, lukanya. Nanti habis ini Kakak ke UKS sendiri soalnya saya harus buru-buru balik ke kelas,” kata Sofi ketika mulai membersihkan darah di siku Kevin. 
   Ketika itu Kevin tertegun beberapa detik. Cowok itu merasa tak biasa mendengar sebutan “saya” yang Sofi pakai. Dia tersenyum samar saat menyadari kalau sebutan itu sengaja Sofi pakai untuk menunjukkan kesan hormat padanya.
   Selama ini ada begitu banyak gadis yang mendekati Kevin. Namun, mereka datang hanya untuk menarik perhatiannya. Kalau pun ada di antara mereka yang datang ketika Kevin dalam kondisi seperti ini, tentu mereka tak hanya berniat tulus menolong. Akan tetap ada unsur menggoda. Atau bisa-bisa mereka malah overacting. Tapi, Sofi tidak seperti itu. Apa yang gadis itu lakukan berasal dari hati. Seolah gadis itu memang terbiasa melakukannya pada siapa pun. Kevin yakin seandainya yang jatuh dan terluka bukan dirinya, gadis itu tetap akan menolong. Di mana dalam kondisi yang sama, gadis lain mungkin akan memilih untuk mengabaikan.
  “Kok, bisa dihukum ngepel gini, sih? Kenapa?” tanya Sofi mencoba meloloskan hatinya dari rasa penasaran.
   “Telat, nggak tahu, tuh, guru-guru itu suka ngeselin. Salah dikit hukum. Apa-apa hukum. Hobi banget menghukum murid,” jawab Kevin. Matanya tak lepas dari wajah Sofi.
   Sofi bisa membaca dengan jelas kekesalan pada diri Kevin ketika cowok itu mengucapkan kalimatnya tadi. Dia lantas tersenyum sekilas kemudian berkata, ”Guru menghukum bukan karena mereka benci. Mereka begitu karena peduli. Hukuman diberikan agar kita berhenti menjadi pelanggar peraturan dan dengan begitu kita akan menjadi murid yang lebih baik.”
   Sofi sama sekali tak bermaksud menjadi sok bijak. Dan dia berharap Kevin tidak tersinggung atas ucapannya. Memang itulah yang dia pahami. Segala hukuman itu diberikan untuk kebaikan para murid juga. Bukan karena mereka benci. Kadang para murid-lah yang tidak bisa mengerti bahwa mereka—para guru itu—datang ke sekolah bukan hanya untuk sekedar datang dan mengajar. Namun, mereka dibebani tanggung jawab oleh setiap orangtua murid yang menitipkan anak-anaknya di sekolah.
   Sementara itu Kevin hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Sofi. Tidak terlalu penting argumen itu baginya. Entah apa pun alasannya, menurutnya semua hukuman dan aturan itu menyebalkan. Terlebih di sekolah ini. Lagi pula dia yakin kalau sebenarnya di dunia ini tak ada satu pun manusia yang suka diatur. Sebagian mereka patuh pada aturan karena terpaksa lantaran untuk menghindari sanksi.
   Pada detik-detik terakhir Sofi berada di depannya, yang Kevin perhatikan adalah raut cerah gadis itu. Seperti ada keteduhan yang menyapa dadanya semakin dia memperhatikan rupa gadis di depannya tersebut. Senyum samar yang selalu muncul di wajah Sofi terasa begitu menenangkan baginya.
   “Saya balik ke kelas dulu, ya, Kak. Kalau kurang bersih Kakak bersihin lagi aja,” kata Sofi setelah darah di siku Kevin bersih. Gadis itu kemudian mengambil tisu baru dari saku kemejanya lalu diberikannya tisu itu pada Kevin.
   “Nggak usah. Pake yang ini aja,” balas Kevin sambil mengambil tisu bekas yang masih ada di tangan kiri Sofi.
   “Oh, yaudah. Saya permisi dulu, Kak,” ujar Sofi sambil tersenyum manis sebelum akhirnya berdiri.
   “Makasih,” kata Kevin sebelum Sofi membalikkan badannya dan melangkah pergi. Sofi menanggapi ucapan Kevin itu dengan anggukan dan senyum hangat.
   Kevin bukan tipe cowok manis yang mudah mengucapkan terima kasih pada siapa pun ketika diberi sesuatu atau bantuan apa pun. Tidak kepada kedua sahabatnya. Tidak juga kepada para gadis yang datang membawakan minum padanya ketika dia megikuti ekstra kulikuler pencak silat tanpa diminta. Apa yang Sofi lakukan benar-benar menyentuh hatinya. Maka dari itu dia berterima kasih.
   

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • nuratikah

    si Kevin ni badboy ya sampe dikejar-kejar orang gitu. BTW arti dari judulnya apa?
    berkunjung balikke ceritaku ya.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags