Read More >>"> You*re My Star
Loading...
Logo TinLit
Read Story - You*re My Star
MENU
About Us  

“Kamu ini ibu macam apa?! didik anak aja nggak becus!”
“Kamu pikir didik anak kayak tarik uang di ATM! Kamu sendiri kemana saja?!”
“Ya aku kerja cari uang! Kamu pikir aku hanya main-main?!”
“Sudah Pak... Bu... ini rumah sakit, silahkan selesaikan masalah kalian di rumah.”

Tes... air mata mengalir mendengar pertengkaran yang kenal waktu dan tempat, bahkan untuk istirahat pun aku tidak bisa. Mereka tidak pernah peduli! Kenapa aku tidak mati saja?!

*****

Pagi menyingsing, taman rumah sakit tidak begitu buruk. Dengan rakus aku menghirup udara pagi banyak-banyak, seakan kesempatan ini baru datang untuk pertama kalinya. Mengedarkan mata ke sekeliling, aku menangkap sesuatu yang mengalihkan perhatianku. Seorang dengan pakaian pasien yang memberikan sesuatu kepada orang-orang yang ia temui. Aku memperhatikannya dengan segala ekspresinya, senyum hangat dari bibir pucatnya, dia sangat cantik dan indah. Sampai Aku mengalihkan pandanganku saat baru saja melihat ia tersenyum kearahku. Dia menyadarinya? Ini gila!

“Hai! Mau permen?”

Aku merasa seseorang berbicara padaku, aku langsung mendongak, mataku membulat melihat orang itu, “Ka-kau? Ke-kenapa kau ada disini?”

Tanpa meminta izin ia duduk di sebelahku, seakan meneliti keadaanku lalu tersenyum “Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau memperhatikanku? Kupikir kau mau permen?”

“O-oh... tidak terima kasih aku tidak sengaja melihatmu saja” entah kenapa aku gugup, caranya yang memperhatikanku terlalu intens dan tajam dengan mata sayunya

“Benarkah begitu?” tanyanya penuh selidik yang seakan tau jika aku berbohong.

“Tentu saja! Tapi... tidak juga, kau sangat cantik dilihat dari sini, jadi-“

“Jadi kau menyukaiku?”

“Hi! Kepercayaan diri macam apa itu! Kau hanya lebih cantik jika dilihat dari jauh!” ketusku tidak terima. Rasanya kesal mendengar kepercayaan dirinya, kesan pertama yang aneh.

“Saat dari dekat, tampan?” dia menyibakkan poni rambutnya dengan narsis.

Aku tidak bisa bohong dengan pesonanya, “I-iya, hanya saat kau menyela rambut” jawabku gugup.

Dia malah terkekeh dan mengacak-acak rambutku. Kenapa dia sok akrab begini sih? Kenal saja tidak.

“Namaku Brian, kamu?” tangannya mengulur kearahku. Seakan dia bisa membaca isi pikiran ku, dia memang lelaki yang aneh.

Membalas uluran tangannya, ada perasaan hangat dalam hatiku, “Zora”

“Kau pasien kecelakaan?” tanya Brian menatap perban tebal di kakiku.

“Seperti yang kau lihat, kamu sendiri? Maaf, tapi kau sangat pucat” tanyaku penasaran.

“Aku pasien berpenyakit, karena kurang minum jadi pucat. Kalau boleh tau kecelakaan apa?”

“Mobil. Kakiku terjepit jadi tulangnya hanya retak.” seharunya aku mati!, batinku.

“Kau pasti cepat sembuh. Tadi kamu katakan kecelakaan mobil? Apa kamu bisa mengendarainya?” tanya serius.

“Tentu saja, aku kecelakaan mobil karena ikut lomba balap liar di jalan.” Jelasku acuh, rasanya menjengkelkan mengingat kecelakaan itu. Ekspetasi yang diinginkan tidak terjadi.

“Balapan? Huaaa, keren! Kamu belajar mengendarai mobil sejak umur berapa tahun? Bagaimana rasanya balapan? Pasti menyenangkan! Lalu apa kau sering menang? Pasti iya! Aku bisa membayangkan kau pasti sangat hebat saat di arena” ucapnya bertubi-tubi, dengan mata berbinar. Bagaimana bisa ia bereaksi berlebihan seperti itu? Hanya dengan balap mobil?

“Emm.... Bukankah ucapanmu terlalu berlebihan? Aku tidak sehebat itu, lagi pula rasanya sama saja seperti saat kamu menaiki mobil, hanya bedanya kamu yang mengendarainya dan melajukan mobilnya dengan kencang” jelasku.

Dia menunduk malu seperti anak kecil, memainkan ujung bajunya. “Maaf... Aku tidak pernah menaiki mobil sebelumnya, karena berisiko dengan kesehatan ku. Mungkin pernah saat masih kecil dulu, saat aku sehat. Tapi aku sudah lupa bagaimana rasanya menaiki mobil. Apa lagi aku tidak bisa membayangkan jika aku sendiri yang mengendarainya, aku hanya berpikir kesenanganku saja.” Ucapannya dengan lirih.

Aku merasa kasihan dengannya, sakit apa sebenarnya dia sampai tidak pernah naik mobil? Aku tidak bisa melanjutkan pembicaraan ini. Terlalu canggung.

Brian berdiri di hadapanku dan mengulurkan tangannya. “Mau ikut aku membagikan permen? ini pertama kalinya aku memiliki teman bicara yang sebaya denganku seperti mu, jadi mau ya?” tanyanya memecah kecanggungan kami.

“Sepertinya sulit, berjalan dengan tongkat dan berkeliling? Itu sangat melelahkan. Pergilah tanpaku” jawabku dingin. Tawarannya menjengkelkan, dia meledekku? Sudah tahu kakiku patah disuruh berkeliling? Lelucon yang menggelikan.

“Mau aku tuntun? Atau aku gendong? Apapun asal kamu ikut. Ayolah... Aku janji ini akan menyenangkan! Kalau tidak kamu boleh minta apapun padaku, termasuk meminta foto pada pria tampan ini” ucapnya narsis.

Aku tersenyum miring mendengar tawarannya, bukan karena aku boleh meminta fotonya, tetapi boleh meminta apa saja yang aku inginkan. “Baiklah, permintaanku adalah... Kamu harus jadi budakku besok seharian penuh! Tanpa keluhan dan bantahan!” Ucapku licik.

“Tapi jika sebaliknya, aku juga boleh meminta apapun padamu, bagaimana? Deal?”

Deal!”

*****

Aku berjalan dengan tongkat yang menopangku, dan Brian juga menuntunku. Membagikan permen pada semua orang bukanlah hal yang mudah, berusaha terus tersenyum ditengah kesedihan? Kisah ini cukup klise, hanya saja aku bukan tipe yang mudah menyimpan perasaan dan menggunakan topeng kebohongan. Itu sebabnya aku lebih senang melampiaskan perasaan ku dengan banyak hal, termasuk ikut balapan liar, hingga membuatku kecelakaan seperti ini.

“Bukan seperti itu, Zora. Kamu harus memberikannya dengan ikhlas! Tersenyumlah dengan tulus” peringat Brian kesekian kalinya.

Memutar mataku malas, aku bosan dengan semua ini, apanya yang menyenangkan? “Mudah jika hanya bicara, aku tidak suka melakukan ini! Aku tidak mau melakukannya lagi!” Aku mengembalikan permen-permen yang ku pegang pada Brian. Ingin aku beranjak pergi, namun Brian berdiri di hadapanku menghalangi jalan. “Minggir!” perintah ku dingin.

“Jika memang ini membuat bosan, perjanjian kita masih berlaku bukan? Besok aku akan menjadi budakmu seharian bukan?”

“Karena aku sedang berbaik hati, kamu tidak perlu melakukannya” aku ingin segera menjauh darinya.

“Jangan! Aku mohon... Aku tidak masalah menjadi budakmu, please....”

Hah! Permintaan macam apa itu? Seseorang memohon untuk jadi budak? Apa lelaki ini sudah gila? “Kenapa hanya jadi budak kamu memohon seperti itu? Hi! Kau sudah gila? Apa tujuanmu sebenarnya? Jangan bilang kau mau macam-macam ya! Aku ini atlet karate sabuk hitam! Aku habisi kamu kalau berani macam-macam!” bentakku.

“Huaaa.... Kamu juga atlet karate? Sabuk hitam? Apa kamu sudah belajar dari kecil? Bisa kau peragakannya untukku? Atau ajari aku sedikit saja, aku-“

“STOP! Hah.... Sebenarnya apa maumu? Aku yakin kau ingin jadi budakku hanya alasan saja kan? Kau pasti punya tujuan tersendiri kan?” Brian memang laki-laki aneh. Sikapnya kekanak-kanakkan. Seperti anak kecil belum pernah melihat apapun, hal kecil yang aku katakan seakan hal baru untuknya. Aku harus terus waspada.

Brian menunduk menyesal, wajahnya yang muram menabah raut kesedihannya “Maaf... Aku tau permintaanku ingin jadi budakmu itu bukan niat yang baik. Tapi aku hanya ingin lebih dekat denganmu saja... Baru sedikit aku mendengar tentangmu, aku sangat tertarik. Semua yang kau katakan hal yang baru untukku. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Caramu marah, gugup, dingin, menunjukkan kebolehanmu seperti balapan dan karate, itu sangat mengagumkan dimataku dan aku jadi penasaran apapun tentang mu”

Mendengar pernyataannya jantungku berdegup kencang, aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Aku menunduk malu, takut degup jantungku bisa terdengar olehnya. Ini tidak benar. Apa Brian sedang menggoda ku? “Kamu hebat ya dalam menyusun diksi. Sayangnya aku tidak akan termakan dengan gombalanmu itu!”

“Apa yang aku katakan tadi sebuah gombalan? Apa seperti itu gombalan?” tanyanya polos.

Aku tidak mengerti dengannya. Dia ini bodoh, pembohong, atau benar-benar polos? Aku mulai lelah dengan perdebatan ini. Aku pergi begitu saja tanpa izin. Dan Brian sudah tidak menghalangiku lagi.

*****

Aku menuju ke kamarku. Sepanjang jalan banyak perawat yang tersenyum kearahku. Apa ada yang aneh padaku? Bahkan aku tidak kenal mereka, apa mereka terlalu ramah? Aku berusaha diam dan acuh, tapi tetap sama, senyum ramah itu jadi terlihat seperti ejekan di imajinasi ku. Aku kesal lalu menghentikan langkahku ingin memastikan jika aku tidak kegeeran atau ada salah apapun.

Bugh!

Saat aku mendadak berhenti, tiba-tiba aku terdorong ke depan. Ada yang menabrakku. Aku tidak sempat terjatuh karena ada yang menahan ku dengan melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku membalikkan tubuhku dan langsung berhadapan dengan lelaki pucat itu lagi!

“Brian!” aku langsung menjaga jarak darinya. Aku baru menyadari semua perawat tersenyum bukan padaku, tapi pada Brian “Kamu mengikuti sejak tadi?!”

Brian membekap mulutku karena aku berteriak di lorong rumah sakit “Ssttt... Maafkan aku.... Aku hanya ingin tau kamarmu, mungkin aku bisa berkunjung nanti.”

“Bagaimana bisa kau berbicara sepolos itu? Kau tau? itu namanya menguntit!” Aku melihatnya yang terus menatapku intens. Entah kenapa aku yakin berapa kalipun aku menolak dan menghindar, sepertinya Brian tidak akan menyerah, “Ok gini aja, ayo ke kamarku untuk membicarakan ini semua, aku juga harus ganti perban kakiku”

“Yes! Akhirnya... Mau aku tuntun?” ucapnya girang.

“Tidak perlu! Berjalanlah 3 meter di belakangku. Jangan mendekat!” Aku jalan mendahuluinya menahan rasa maluku. Jujur, pipiku memanas saat melihat wajah Brian yang begitu dekat saat ia menolongku tadi. Mungkin wajahku sudah memerah sekarang. Aku juga tidak bisa dekat-dekat dengannya, tidak sehat untuk jantungku. Lelaki aneh itu selalu saja bertingkah semaunya sendiri. Aku akan coba mendengarkan dan mengikuti keinginan, agar semuanya cepat selesai.

Saat sampai kamar, ternyata dokter dan perawat sudah menunggu di kamarku dengan cemas. Tapi saat tau aku datang bersama Brian, mereka malah meminta Brian untuk menjagaku. Siapa Brian sebenarnya? Anak pemilik rumah sakit? Tidak mungkin dengan pakaian pasien bukan? Lalu, pasien abadi? Seperti pasien yang tinggal di rumah sakit gitu? Entahlah untuk apa juga aku memikirkannya.

Setelah mengganti perban, dokter dan perawat pergi. Tersisa aku dan Brian di kamarku.

“Jadi apa yang kau inginkan?” tanyaku membuka penawaran.

“Aku sudah mengatakan sebelumnya, aku ingin dekat denganmu. Bagaimana kita mulai lagi dari membagikan permen”

“Lagi?! Tidak tidak tidak! Itu sangat membosankan”

“Kita buka perjanjian lagi? Aku perhatikan kamu sangat suka dengan tantangan. Kalau kamu mengikuti aturan mainku dan kamu merasa bahagia, kamu harus menuruti semua keinginanku. Tapi sebaliknya, jika kamu sudah mengikuti semua aturan mainku tapi tidak bahagia, maka kamu boleh meminta apa saja dari ku”

“Aku jadi tidak percaya padamu, cepat sekali kamu mempelajari hal tentangku. Walau kau terlihat polos, aku juga harus waspada padamu”

“Aku sudah mengatakannya. Kalau aku tertarik padamu, semua detail yang kamu katakan mengenai yang kamu suka dan tidak suka terekam jelas di otakku, anggap saja itu kelebihan ku. Dan untuk meyakinkanmu, ini... Peganglah. Ini adalah obatku, aku tidak boleh terlambat meminumnya, sekitar 6 jam sekali. Aku sudah memegang 3 obat untuk sampai aku besok bertemu dengan kamu lagi. Sisanya kamu yang memberikannya pada ku. Jika aku melakukan hal yang tidak kamu suka, kamu bisa tidak memberikan obatnya padaku, siklus waktunya setiap kelipatan 6 kok jadi mudah mengingatnya.” Jelas Brian panjang lebar, langsung memberikan botol obatnya di tanganku.

“Apa ini tidak berlebihan? Kenapa mempermainkan kesehatanmu? Tidak, aku tidak bisa”

“Aku mohon... Ini pertama kalinya aku mempercayai seseorang yaitu kamu. Aku percaya padamu karena aku bisa melihat kamu orang yang baik. Sudah ya... Istirahatlah, aku akan datang kesini lagi besok jam 6 pagi. Gws, Zora....” Brian mengacak-acak rambutku lalu melambaikan tangannya mengucapkan perpisahan, dan pergi begitu saja.

Aku memperhatikan botol obat yang berisi pil yang masih penuh. Semakin aku mempertanyakan tindakan Brian yang aneh membuatku semakin tidak mengerti. Obat macam apa ini sampai tidak boleh terlambat meminumnya?

***

Hawa dingin merambat kesela-sela jari, dari kaki hingga tangan. Reflek aku menekuk tubuhku, dan merasakan ngilu di kakiku yang tidak bisa aku tekuk. Mau tidak mau aku terbangun dari tidurku. Aku yang masih mengantuk merasakan hembusan angin dari belakang. Saat aku memutar posisi tidur ku, aku melihat Brian sedang melipat selimut di sofa dan jendela kamarku terbuka.

“Hi!” mataku seketika terbuka lebar, dan amarahku memuncak, bagaimana dia bisa masuk kamarku seenaknya?

“Pagi, Zora. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?”

“Bagaimana kau bisa masuk ke kamarku?!” aku melihat sekeliling memperhatikan barang-barang di kamarku “kau ingin mencuri?!” dan aku melihat diriku sendiri “atau kau ingin memperkosaku?!” tuduhku, menakuti salah satu hal itu terjadi.

“Heh? Kamu salah paham... Aku kesini bersama dokter jam 5 tadi saat dia ingin memeriksa kondisi kesehatanmu, dan aku memilih menunggu disini sampai jam 6 karena aku harus minum obat, obatkukan ada padamu. Tapi masih 15 menit lagi kamu sudah bangun” jelas Brian panik.

Aku mencoba berpikir positif, yang Brian katakan memang benar, obatnya ada padaku. Tapi masuk kamarku sembarangan?! Tapi ia datang bersama dokter. Sulit sekali menjatuhkannya. “Baiklah. Obatmu ada di laci nakas, ambillah jika waktunya kamu meminumnya. Rasanya aku tidak bisa tidur lagi jika ada kamu disini” aku mengambil ponselku dan memainkannya. Sedikit melirik, Brian memperhatikanku dengan tatapan tidak biasa, lebih tepatnya ke arah ponselku, apa dia juga baru pertama kali melihat ponsel?

“Ada apa? Kamu memperhatikan ponselku?” tanyaku.

Dia mengengguk antusias, “Bolehkan aku melihatnya? Aku hanya melihat dan memainkannya jika dokter membawakanya untuk terapi agar aku tidak bosan. Jadi aku boleh pinjam?”

“Boleh” Brian dengan cepat berada dihadapanku dan menengadahkan tangannya dengan mata berbinar “Tapi...” ucapku  menggantung, Brian mengangguk-angguk seperti anak anjing yang akan diberi makan. “tidak sekarang” tanganya langsung jatuh lemas, bahan bibirnya ikut melengkung kebawah. Sungguh ini pemandangan yang lucu menurutku.

“Hahaha... siapa yang mengajarkanmu bersikap seperti anak anjing seperti itu?” aku mengusap kepalanya gemas, sampai baru sadar dengan apa yang aku lakukan. “ma-maaf” aku menurunkan kembali tanganku dari kepalanya, namun tanganku lansung ditahan olehnya dan kembali di taruh di atas kepalanya.

“Tidak masalah meminjamnya sekarang atau nanti, bisakah lakukan seperti ini lagi?” tanyanya menuntun tanganku menusap kepalanya kembali.

Melihat kelakuannya entah kenapa jantungku berdebar sangat kencang, tubuh hingga ujung kepalaku memanas ditengah suhu AC yang rendah. Aku langsung menepis tangan Brian menarik kembali tanganku dengan gugup, tapi sepertinya terlalu kasar. Aku menunduk tidak tau apa yang harus aku lakukan dan harus bersikap seperti apa.

“Emm... Brian, bu-bukankah kau harus meminum obatmu? Aku tidak tau apa yang akan terjadi jika kau telat meminum obat, tapi aku tidak mau repot saja” alasanku mengalihkan perhatiannya.

“Baiklah aku akan meminum obatnya, terima kasih sudah mengingatkan”

***

1. Membagikan permen pada setiap orang yang lewat dengan tulus dan ikhlas
2. Selalu tersenyum minimal sampai permennya habis

Itulah aturan main Brian. Jika setelah aku melakukannya tidak merasa bahagia, maka aku bisa menyuruhnya pergi dan tidak menemuiku lagi. Ku rasa itu hal yang bagus, karena aku yakin ini akan sangat membosankan.

Selama berjalan, tentu Brian menuntunku. Pelan tapi pasti, setiap kami berpapasan dengan siapapun kami menawarkan permen-permen. Banyak yang menerima permen yang kami berikan, walau ada juga yang menolak. Aku terus tersenyum sepenjang jalan, sampai tanpa sadar, saat berbicara dengan Brian pun dengan senyumku. Entah aku mempertahankan senyum ini atau sudah mulai terbiasa, rasanya tidak seburuk yang aku kira. Saat rasa bosan dan lelah menghampiriku, perasaanku berubah memburuk, dan aku tidak bisa berbohong, senyum ku yang memudar kembali terbit saat melihat pesona Brian. Sejak awal aku memang mengaguminya. Walau rasanya aku menyesal mengaguminya saat mengetahui sifat kekanak-kanakannya yang menyabalkan.

Banyak hal yang aku lihat bersamanya, tersenyum pada orang di sekitar, seakan pelampiasan rasa sakit yang akurat, melebihi saat aku ikut balapan mobil. Aku anak broken home yang selalu mendapat pertengkaran orang tuaku setiap bertemu. Seakan semua beban kehidupan ada padaku dan aku sendirian, kesepian. Sampai pada akhirnya aku mengalami kecelakaan, orang tuaku hanya terus bertengkar dan saling menyalahkan, memalukan.

Sekarang kami istirahat. Duduk di salah satu banggu taman yang teduh.

“Ayo ke kamarku? Aku punya banyak mainan loh!” ajak Brian tiba-tiba.

“Apa? kau sedang bercanda?” tanyaku datar.

“Tidak, apa aku terlihat sedang bercanda?” tanyanya kembali.

“Terserah kau saja, bagaimana bisa kau mengundang seorang gadis ke kamarmu dengan santainya. Ingat! Bagaimanapun kita beda spesies, hal buruk bisa saja terjadi jika aku menurutimu ke kamarmu” jelasku acuh, aku yakin bahkan Brian terlalu polos dengan apa yang aku jelaskan.

“Memang apa yang akan terjadi? Aaa... jangan bilang aku akan memperkosamu lagi? Tenang saja aku tidak akan melakukannya, bisa-bisa jantung berhenti saat itu juga” ucap Brian santai.

Dan aku menjadi malu dengan ucapannya, aku pikir dia tidak mengerti, dengan menjengkelkannya dia bicara seperti itu. “A-aku tidak berpikir begitu! Bisa saja kau membohongiku mengajakku ke kamarmu, karena kamu mau membunuhku!” tuduhku gugup. “dan apa maksudmu, jantung berhenti saat kau melakukannya?! Dasar mesum!” aku kembali marah saat mengingat dia mengatakan kalimat itu, seakan ini kesekian kalinya aku menuduhnya seperti itu.

“Kamu menuduhku hal sama saat aku datang ke kamarmu tadi pagi. Aku heran kenapa kamu bisa berpikiran sejauh itu?”

Aarrghhh... Brian benar-benar menjengkelkan “bagaimana tidak?! Kau masuk kamarku tanpa izinku! Dan sekarang seperti anak tanpa dosa mengajakku ke kamarmu? Kita baru saja kenal, bagaimana bisa aku mempercayaimu begitu saja?”

Brian tampak berpikir, “Ya... yang kamu katakan benar. Baiklah, aku janji tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh, kita hanya bermain saja”

“lalu bagaimana dengan permennya? Ini belum habis” tanyaku.

Brian menaikkan alisnya, lalu tiba-tiba wajahnya mendekat, sangat dekat. “seperti perjanjian, aku rasa kamu berbohong jika menjawab tidak bahagia” ucapnya dengan senyum kemenangan.

Sial! aku tidak bisa mengelak. Aku terlalu bahagia hingga aku terus tersenyum seharian ini. “Ok, kamu menang. Jadi apa keinginanmu aku bermain ke kamarmu?” tanyaku malas.

“tentu! Itu salah satunya. Ayo ikut aku”

Aku tidak bisa membayangkan hari ini akan terjadi seperti apa. Mungkin nasib malangku harus mengikuti bocah besar ini seharian akan dimulai. Aku yang hanya mengikuti dan dituntun oleh Brian tidak tau sekarang aku sudah berada di bagian mana rumah sakit. Yang aku ingat aku berada di lantai tertinggi rumah sakit, karena aku melihat Brian menekan angka 6 saat menaiki lift. Sampai di depan ruangan yang mungkin inilah kamar Brian, tapi aneh, hanya ada satu pintu di lorong ini. Brian membuka pintu dengan kunci di sakunya. Dan...

“Ini kamarmu? Aku tidak percaya ini rumah sakit setelah melihat ini semua.” Kamar yang layaknya apartemen, dengan nuansa maskulin, namun banyak alat-alat rumah sakit lengkap.

“Tentu saja, aku tinggal disini sejak umur 4 tahun, aku sendiri yang mendekorasi kamarku. Jadi kita main apa? aku ada play stasion? Monopoli? Atau nonton film?” tanyanya semangat.

“Kenapa kau tinggal disini dari kecil?” lagi-lagi aku penasaran.

Bayu menunduk seakan menahan sesuatu. “Aku sudah bilang, aku pasien berpenyakit!” ucap Brian dengan nada tinggi.

Aku tersentak, terkejut dengan bentakannya, aku tidak mengerti, tapi kenapa dia marah? Melihat wajahnya yang merasa bersalah dan... Aku merasakannya. Tekanan yang sewaktu-waktu membuatnya hancur, sama seperti saat aku mengingat pertengkaran orang tuaku. Walau aku penasaran aku tidak berani bertanya lebih lanjut, “Ba-baiklah, kita punya banyak waktu bukan? Kita lakukan semuanya, dimulai dari monopoli” ucapku senormal mungkin, walau aku menjadi sedikit gugup.

“Ma-maafkan aku... aku tidak bermaksud membentakmu dan... bisa kau tidak mempertanyakan hal itu lagi? aku belum siap memberi tahumu” ucapnya menyesal, bahkan Brian menunduk dengan sangat sedih.

Entah keberanian dari mana aku mengangkat dagunya perlahan hingga mata abu-abunya bertemu dengan mataku. Dan aku bisa meliat wajah cantiknya dengan sangat jelas. Rasanya tidak adil jika seorang lelaki yang memiliki wajah seindah ini, “jangan murung... santai aja, kalau ada yang liat kau seperti ini dikiranya aku yang sedang membullymu. Jadi tenangkan dirimu, ayo kita mulai main saja dan aku juga akan meminjamkan ponselu” ucapku menenangkannya dengan senyumku.

***

Berjalanya detik dengan tiga nol di belakang desimalnya, bergerak dengan kecepatan yang tidak adil. Malam sudah tiba, bersama dengan akhir 5 film yang Brian putar. Brian bilang, ini pertama kalinya ia nonton selain bersama perawat atau dokter di rumah sakit. Aku bisa melihat kebahagiaan Brian yang membuatnya sangat indah dengan senyumnya itu.

“Lagi-lagi kau memperhatikanku seperti itu, aku tau aku sangat tampan, jadi jangan membuat jantungku berhenti dengan tatapanmu itu” ucapnya menutup mataku dengan tanganya.

“Ok aku ngaku, kau sangat tampan-“

“AKH!” aku terkejut melihat Brian kesakitan memegang dada sebelah kirinya dengan kuat.

“Kamu kenapa, Ian?” tanyaku khawatir. Suara kesakitan itu terdengar nyata di telingaku

“Jantungku sempat berhenti mendengar pujianmu” ucapnya dengan nada menggoda dan tertawa.

Aku melemparnya bantal dengan keras karena kesal “Aku belum selesai bicara! Aku mau bilang, kau sangat tampan saat dilihat dari lubang sedotan!” tawanya semakin kencang. Membuaku mendengus kesal.

Lalu ia berhenti dan menatapku dengan sangat intens, menatap tepat pada mataku hingga aku bisa melihat jelas mata tajam abu-abunya. “Melihat matamu jadi ingat sesuatu. Ayo ikut” lagi-lagi ia menarikku seenak jidatnya. Dan aku harus mengikutinya, karena ini masih bagian dari perjanjian..

Brian membawaku ke balkon kamarnya. Terlihat kerlap-kerlip kota di tengah malam “Lihatlah, jernih matamu sangat berkilap seperti itu” ucapnya mengadahkan kepalanya.

“Benar, kota ini ternyata sangat indah, aku baru menyadarinya.” Ucapku mengagumi cahaya lampu kota.

“Kau lihat apa sih?! Bukan pemandangan kota! Tapi disana” tunjuknya ke langit. “Warna matamu segelap malam, dan jernih bagai bintang yang bersinar”

“Kamu sedang menggombal? Sayangnya itu tidak akan mempan.” Ucapku datar.

“Apa itu terdengar seperti sebuah gombalan? Jadi gombalan itu sebuah pujian? Aku masih tidak mengerti gombalan yang kau maksud dari kemarin.”

Aku tidak percaya mendengar pertanyaan polosnya itu “Lupakan saja, jadi kau memujiku?” tanyaku cuek.

“Iya. Kau tau, Ini semua pertama kalinya bagiku. Aku juga ingin merasakan seperti anak-anak usiaku, merasakan duduk dibangku sekolah, memiliki teman, merasakan jatuh cinta.” aku merasa arah pembicaraan ini menjadi serius.

Aku semakin penasaran dengan penyakit Brian, yang mungkin membuatnya terkurung di rumah sakit ini. Tapi aku tidak berani menanyakannya, aku harus bersabar sampai ia sendiri yang mengatakannya, “Semua ada waktunya, kau pasti akan merasakanya.” Ucapku yang mungkin bisa menenangkannya.

Mataku membuat sempurna dengan satu tarikan Brian langsung mengecup bibirku, dan menjadi sebuah ciuman yang hangat.Berlangsung cukup lama dan semakin dalam, seakan Brian sangat menikmatinya. Aku terpaku merasakan benda kenyal yang seakan menari-nari di dalam mulutku. Kejadian yang berlangsung cukup lama sampai aku pun kehabisan napas Brian melepaskan pautan kami tanpa melepaskan jarak yang sangat dekat dengan kening kami yang masih menempel, napas kami beradu satu sama lain. “Aku harap besok kita bertemu lagi,” suaranya serak.

Seakan baru tersadar dengan apa yang terjadi, aku menjaga jarak darinya. “Ciuman pertamaku.... KAU!” aku berteriak dan memukul-mukul bahunya, kesal.

“Hahaha... hentikan. Tadi juga ciuman pertamaku, jadi kita sama” katanya dengan polos.

“Bagaimana kau sepolos ini setelah melakukannya! Kau menyebalkan Brian!” Teriakku.

“Kau tau aku juga memperhatikanmu saat di taman” wajah Brian kembali serius, “Dan yang bisa aku rasakan. Kau sedang banyak pikiran dan masalah”

Aku menunduk. Seharian bersamanya membuatku lupa jika sejak kemarin aku masih ingin mengakhiri hidupku. Apa sangat terlhat jika kemarin aku sangat frustasi? Sampai-sampai rasanya aku ingin gila? Kemarin adalah hari terkacauku, dan Brian hadir dengan senyum indah dan tingkah konyolnya yang membuatku jengkel... bukanlah hal yang buruk.

“Kenapa kamu tampak murung? Tapi juga tersenyum?” tanya Brian memecah lamunanku.

Aku memejamkan mataku memikirkan jawaban apa yang harus aku katakan dari pertanyaan Brian Tapi malah air mataku menetes membasahi pipiku. Usapan terasa menghangatkan angin malam yang menimpanya membuatku membuka mata.

“dan sekarang kenapa menangis? Kau selalu berhasil membuatku penasaran, bahkan dengan emosimu yang sangat cepat berubah” ucapnya yang seperti anak kecil, sangat menggemaskan. Hatiku yang sudah ku bangun tembok untuk selalu waspada... rasanya mencair. Aku akui, seharian bersamanya sangatlah menyenangkan.

Aku menggelang menjawabnya, memegang tanganya untuk terus berada di pipiku yang terasa hangat, “Terima kasih, terima kasih untuk hari ini. Kau berhasil membuatku bahagia saat mengikuti semua aturanmu. Bersama mu membuatku melupakan masalahku. Aku selalu terkekang dengan semua larangan ayah dan ibuku, mereka selalu saja melarangku ini dan itu, dan mereka hanya sibuk dengan pertengkaran mereka, tidak hal besar atau hal kecil, tidak kenal waktu dan tempat mereka terus saja bertengkar. Itu membuatku semakin lama muak untuk hidup. Aku melampiaskan semuanya dengan melewati batasan-batasan yang ada. Aku belajar karate hanya karena aku ingin bisa bertarung dan ikut anak laki-laki bad boy di sekolahku tauran. Aku belajaran mengendarai mobil karena aku ingin bisa ikut balap liar. Dan kau liat sekarang? Sebenarkan aku ikut tauran dan balap mobil hanya ingin mengakhiri hidupku. Aku tidak sanggup dengan semuanya. Tidak pernah ada yang memperdulikanku. Tidak ada yang pernah memperhatikanku. Dan hanya aku sendiri yang mengasihani diriku sendiri”

Tangisanku pecah dengan semua unek-unek yang aku telan sendiri. Rasanya sakit melihat aku curhat tidak berarti pada orang yang baru saja aku kenal. Tapi Brian bisa memposisikan dirinya dan membuatku merasa nyaman. Brian memelukku menenangkanku. Aku semakin sedih jika mengingat Brian hanya orang asing. Dan aku sudah menceritakan semua masalahku pada orang asing itu dan membuatku merasa aman.

“Awalnya, aku tidak ingin tahu, karena aku tidak akan bisa membantumu, tapi kau sendiri yang bisa keluar dari masalahmu. Ingatlah, tetaplah bersinar di tengah gelapnya malam, karena kaulah langit malam yang indah itu sendiri. Aku lebih dari apapun senang bisa merasakan hidup dengan menghabiskan satu hari bersamamu, merasakan hangatnya pertemanan dan indahnya cinta pertama, terima kasih kembali, Zora.” Ucapnya yang penuh kelembutan dan memelukku.

***

Malam itu aku terus menangis di dalam pelukan Brian hingga tertidur. Malam yang cukup panjang untuk kami berdua. Semakin larut angin malam membawa kami ke dalam sebuah mimpi. Mimpi yang indah. Rasanya tidak ingin aku terbangun. Bahkan aku menyesal malam itu aku mulai menutup mata. Rasanya aku ingin terus menikmati hari dan berdebat dengan makhluk indah dan cantik yang tuhan kirimkan sebagai penerang hidupku.

***

Pagi hari saat aku membuka mata. Aku sudah berada di kamarku dengan ibu yang duduk dan tertidur di samping ranjangku dengan tangan yang erat memegang tanganku. Sedangkan aku melihat ayah yang sedang tidur di sofa. Bagaimana ini bisa terjadi? Dengan gelisah aku melihat ke arah jam, sudah jam 10 pagi. Bukankah seharusnya Brian datang dan meminum obat? Aku memeriksa laci nakas sudah tidak ada obatnya. Mengingat kembali, kemarin aku menyurahnya mengambilnya sendiri. Mungkin saja Brian mengambil semuanya?

Seakan merasakan pergerakanku. Ibu terbangun dari tidurnya, begitu ayah yang berada di sofa.

“Ada apa, Nak? Kau sudah bangun?” tanya ibu.

“biar ayah panggilkan dokter” Ayah langsung beranjak.

“Tidak ayah. Kenapa kalian disini? Bukankah kalian akan datang saat ingin menjemputku pulang? Dan kalian berdua?” ini aneh. Kenapa ayah dan ibu terlihat kompak?

Ayah kembali menghampiriku dan mengelus kepalaku. “kenapa? Kami merindukanmu tentunya. Maaf kami meninggalkanmu begitu saja kemarin. Kami sengaja membiarkanmu istirahat, sepertinya sekarang kamu sudah membaik. Ayah bisa meminta dokter untuk membawamu pulang”

“Tidak! Tidak tidak tidak, ini ada yang salah ayah! Jelas-jelas setelah kecelakaan itu aku mendengar kalian bertengkar. Dan kakiku masih terasa sakit. Da aku-“ aku terpotong saat merasakan kedua kakiku bisa di gerakan, bahkan seperti tidak ada perban. Aku menyibak selimut, dan benar. Tidak ada lagi perban di kakiku bahkan luka goresan sedikit pun. “tidak, ini tidak mungkin. Ayah, ibu , kemarin kakiku masih diperban, bahkan saat aku bermain dengan Brian dia selalu menuntunku”

“Brian? Siapa itu, Nak? Kamu jangan bercanda. Dokter sendiri yang melaporkan pada kami kalau kamu hanya istirahat seharian. Dan pertengkaran? Kapan kami bertengkar? Di rumah sakit?” bantah ibu.

“tenangkan dirimu, Nak. Apa masih ada yang sakit? Kami akui kami salah selama ini, karena kami selalu bertengkar di depanmu. Tapi setelah kecelakaanmu ini kami sadar, jika kamu membutuhkan kami. Maafkan kami, Nak. Selami ini kami kurang memperhatikanmu” jelas ayah yang semakin tidak masuk akal.

Aku sudah tidak suka dengan perdebatan ini. Aku langsung turun dari ranjang dan berlari keluar. Tidak perduli dengan panggilan ayah dan teriakan ibu yang terdengar isakannya. Ini bukanlah drama, bahkan tidak mungkin ini mimpi. Aku sangat merasa ini nyata. Brian nyata. Ada apa sebenarnya denganku? Tidak. Lebih tepatnya, apa yang terjadi tadi malam? Aku sangat ingat, kami ketiduran di balkon kamar Brian setelah aku menangis. Dan aku terbangun di kamarku dengan drama yang diciptakan ibu dan ayah? Jangan konyol. Aku bukan gadis bodoh yang mudah menganggap kejadian nyata hanya sebuah mimpi.

Semakin lama aku berjalan terseok-seok, menahan rasa sakit serta ngilu yang sangat amat. Aku ketaman yang kemarin aku bertemu dengan Brian dan membagikan permen disana. Tapi tidak ada Brian, yang ku cari. Lalu aku menelusuri jalan yang kemarin aku lalu bersama Brian, sampai pada gedung belakang rumah sakit dengan satu lifs. Inilah yang jalan ke kamar Brian. Aku menaiki lifs itu dan menekan nomer 6 di tombol yang ada. Aku ingat persisi kamar Brian, satu-satunya ruangan di lorong itu. tapi ada dua pria dengan badan kekar disana. Apa peduliku? Aku melewatinya begitu saja sampai mereka menghalangiku.

“Maaf nona ini, anda siapa? Ini kamar khusus pemilik rumah sakit ini” ucap salah satu pria itu.

“Aku ingin bertemu Brian, panggilkan dia. Cepat minggir, aku ingin bertemu denganya!” teriakku, namun tetap di halangi dua pria itu.

“Tidak bisa nona, kamar ini harus disteril-“

“Masuklah” suara wanita yang memotong ucapan pria itu. dia membuka pintu sangat tepat waktu.

Tapi... siapa dia? Apa ibunya Brian? Dia sangat mirip dengan Brian, sangat cantik. Wanita itu menuntunku masuk ke dalam kamar dengan sangat lembut. Aku rasa dia wanita yang baik. Memasuki kamar, suasana menjadi berbeda walau tidak berubah. Hanya saja tidak ada lagi peralatan rumah sakit di dalamnya, tapi masih ada kasur yang sama, sofa yang sama, tv yang sama. Tanpa sadar air mataku mengalir. Jantungku berdetak sangat kencang, tubuhku gemetar hebat dengan napasku yang mulai sesak. Aku kembali menatap wanita itu dengan seksama. Kilasan-kilasan itu menghantam kepalaku dengan tajam. Hingga wanita itu mopang tubuhku yang sudah lunglai lemas. Aku dibawa duduk di sofa dan diberikannya minum,

“Zora, ada apa, Nak. Tante harus membersihkan ruangan ini untuk mengalig fungsikannya.” Ucap wanita itu lirih.

"Tidak Tante. Bagimana dengan Brian? apa Brian dipindahkan ke kamar lain? apa Tante tau kamarnya ada dimana? aku ingin menemuinya, Tante"

"Nak, apa kamu lupa kejadian semalam? Kamu harus mengikhlaskannya, terima kasih kamu sudah membuatnya merasa senang. Tapi inilah jalan yang terbaik, Brian sudah bahagia di sisi Yang Maha Kuasa."

Lupa? tidak mungkin. jelas aku ingat semalam aku tertidur di pelukan Brian, dan... aku terbangun saat... “Brian...” nama itu lolos dari mulutku dengan tetesan air mataku.

Flashback On

“apa maksudmu cinta pertamamu? Jangan bilang kau mengatakannya hanya agar aku tidak menangis?” tuduhku.

“apa hanya hal buruk yang kau pikirkan tentangku? Apa aku menyatakannya kurang romantis? Dari awal kau memang perempuan yang sulit ditebak. Kenapa juga aku bisa mencintaimu begitu cepat? Tapi hanya memikirkan kamu saja bisa buat jantungku berdetak kencang sampai kencangnya aku tidak bisa merasakan dentak jantungku lagi, seakan jantungku berhenti. Bahkan aku sampai bertanya kemarin malam pada perawat dan dokter, dan mereka bilang aku sedang jatuh cinta dan aku harus mengatakannya padamu dengan cara yang romantis.” Jelas Brian panjang lebar.

“Kau bertanya pada dokter dan perawat?” tanyaku diangguki Brian dengan cepat. “Bodoh! Mau taro dimana mukaku jika bertemu mereka nanti? Kenapa kau sangat mudah sekali mengatakannya? Ah... kau ini polosnya keterlaluan!”

“tenang saja, aku tidak menyebut namamu kok. Aku hanya menagatakan keluhanku, saat mereka bertanya siapa namanya. Aku pun malu mengatakannya.”

“syukurlah, kau masih punya malu.”

Aku tenggelam dalam pelukan Brian. Kami pun ternggelam dalam kesunyian malam. Mengeratkan pelukan dengan memejamkan mata menikmati momen yang ada, seakan tidak ada hari esok untuk melakukannya lagi. Semakin lama, rasa kantuk menyerangku, hingga terlelap dengan sendirinya.

Dalam tidurku aku merasa terganggu dengan suara erangan dan napas pendek seseorang, entah siapa itu. Awalnya aku tidak perduli, tapi merasakan posisi tidurku yang tidak seharusnya membuatku mengingat jika aku masih berpelukan dengan Brian. Apa suara itu suara Brian?

“Zora” panggil Brian melemah.

Semakin lama aku merasa tubuhku semakin berat. Aku pikir Brian menumpukan tubuhnya padaku, tapi...

“Ian? Brian? Kau... masih tidur? Atau pingsan?” aku merasa tidak enak saat tidak mendapatkan respon yang baik darinya. Brian hanya terdiam bahkan tubuhnya semakin menimpaku dalam pelukannya.

Aku melepas pelukan itu dan Brian tidur terjatuh bergitu saja. Aku yang sudah panik hanya terus memanggil namanya, menggoyangkan tubuhnya memintanya bangun. Aku harus bagaimana? Angin malam yang semakin menusuk tulungku pun membuatku tidak bisa menangis saat ini. Otakku bekerja mencari cara meminta bantuan. Aku mengangkat tubuh Brian yang jauh lebih besar dariku kembali ke dalam kamarnya. Aku ingat tombol yang menghubung  pada dokter seharusnya ada seperti di kamarku. Bahkan dinginnya malam tidak bisa membuatku berkeringat. Aku takut, bahkan tanganku bergemetar hebat tidak terkontrol. Berkali-kali aku memencet tombol itu tapi tidak ada yang datang. Aku bergegas keluar, tidak sengaja menabrak wanita cantik yang terlihat cukup dewasa. Aku yang sudah tidak terkendali hanya menumpahkan air mataku. Bahkan wanita itu terlihat sangat cemas melihat keberadaanku yang hanya mengucapkan nama Brian.

“Nak, tenangkan dirimu... katakan ada apa dengan Brian anak saya?”

“I-ibu, ibunya Brian? Brian pingsan, bu... aku tidak tau harus apa? tadi dia sehat sekarang sangat pucat dari sebelumnya.... maafkan aku bu...” aku menangis sejadi-jadinya. Rasa takut menyerangku hingga ubun-ubun. Bahkan aku tidak berani membayangkan hal buruk sedikit pun.

Wanita itu memelukku, “apa kau yang bernama, Zora?” Aku hanya mengangguk lemah.

Wanita itu menelepon seseorang. Tidak lama rombongan dokter dan perawat memasuki kamar Brian. Dadaku terasa sesak. Karena aku tidak tau apapun tentang Brian. Kenapa pingsannya membuat rombongan dokter berdatangan? Sakit apa dia sebenarnya?

“Sayang... tenangkan dirimu. Brian sudah terlalu lama bertahan. Jadi kamu harus kuat, dan terima kasih membuat anakku bahagia di hari-hari terakhirnya.” Ucap wanita itu lirih.

Apa maksudnya?

Lalu para dokter itu keluar dengan menundukkan kepalanya.

“Nyonya, kau sudah tau semuanya?” tanya dokter. Wanita itu pun mengangguk. “Maaf Nyonya kami sudah berusaha semaksimal mungkin inilah jalan yang tuhan berikan kepada Brian.”

Kakiku melemas. Seakan dunia runtuh menimpaku. Aku baru menganalnya. Dan dia datang dan pergi begitu saja dengan caranya yang menyebalkan? Bersama dengan napasku yang semakin berat dan pendek. Semua menjadi gelap dan aku pun terlelap.

Flashback Off

Wanita itu mengangguk menyeka air matanya menatap foto lelaki cantik dengan senyum indah dengan bibir pucat itu. Menegakkan tubuhnya menguatkan diri menerima semua kenyataan yang ia tanggung selama ini. Kekayaan miliknya, rumah sakit yang aku pijak pun miliknya. Tapi putranya, anak semata wayangnya tidak dapat ia selamatkan dengan apa yang ia miliki.

“Tante... maafin Zora... seharusnya Zora tidak membiarkannya terus bermain seharian. Seharusnya Zora tidak membuatnya kelelahan. Seharusnya Zora tidak membuatnya merasakan... perasaan yang hebat dengan jatuh cinta pada Zora. Mungkin tidak akan secepat ini...” aku pun kembali menangis dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Brian, kehangatan yang sama aku rasakan, hingga aku merasakan kehadiran Brian di sisiku.

Ya... aku sangat menyesalinya, perasaan yang Brian miliki untukku terlalu berat ia tanggung di akhir hidupnya, Selama ini Brian terkekang membatasi diri dengan semua emosi yang ia miliki, agar reaksi jantung milik Brian yang lemah tidak membuat Brian kesakitan. Tapi pada akhirnya Brian memutuskan dirinya untuk merasakan yang namanya cinta. Saat ia pertama kali melihatku dan menyukaiku, Brian tidak pernah menjauh, tapi mendekat. Brian mengatakan pada ibunya, bukan untuk menyerah dengan penyakitnya, tapi tidak mau menyesal dengan rasa yang tuhan anugrahkan, bernama cinta, tidak Brian perjuangkan.

“Tidak Zora, itu keputusan Brian. Dan itu juga anugrah untuk Brian bisa merasakan jatuh cinta pada gadis sepertimu. Jangan sesali apa yang terjadi. Ingat semua pesan Brian, Tante yakin, Brian tidak mungkin salah memilih seorang gadis yang ia cintai. Kamu mau ikut Tante ke makam Brian? Brian sangat membutuhkan doamu.”

*****

Disinilah aku sekarang. Di balkon kamarku menatap kelangit memandangi bintang. Sudah 3 tahun berlalu. sebuah kecelakaan kecil, pertemuan kecil, pengalaman kecil, peristiwa kecil, kejadian kecil, yang tidak pernah aku lupakan. Rasa itu setiap detiknya masih terkam jelas dan detail di ingatanku.

Hari itu. Malam itu. Aku tidak pernah menyangka menjadi pertemuan pertama dan terakhir kita. Dalam sehari aku merasakan kehangatan yang tidak pernah aku rasakan. Jika kau tau Brian, semua juga pertama kalinya bagiku, kita sama. Teringat pesan terakhirmu, aku akan melanjutkan hidupku dan bersinar di tengah gelapnya malam, karena aku langit malam yang berkilap. Dan kaulah bintangku, penerang hidupku, yang pernah hadir dengan sejuta keindahanmu. Aku menyesal tidak mengungkapkannya setelah ciuman pertama kita. Aku mencintaimu Brian. Dan tidak akan pernah melupakanmu.

Tamat.

~ 24 Agustus 2019 ~

Tags: teenlit

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Unexpected You
347      245     0     
Romance
Pindah ke Indonesia dari Korea, Abimanyu hanya bertekad untuk belajar, tanpa memedulikan apapun. tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang diinginkannya. kehidupan SMA terlalu membosankan jika hanya dihabiskan untuk belajar saja. sedangkan Renata, belajar rasanya hanya menjadi nomor dua setelah kegemarannya menulis. entah apa yang ia inginkan, menulis adalah pelariannya dari kondisi ke...
KUROTAKE
3648      1576     3     
Romance
Jadi pacar ketua ekskul tapi hanya purapura Hal itu dialami oleh Chihaya Hamada Ia terpaksa jadi pacar Mamoru Azai setelah foto mereka berdua muncul di akun gosip SMA Sakura dan menimbulkan kehebohan Mamoru adalah cowok populer yang menjadi ketua klub Kurotake klub khusus bagi para otaku di SMA Sakura Setelah pertemuan kembali dengan Chihaya menjadi kacau ia membuat kesepakatan dengan Chih...
Konstelasi
741      369     1     
Fantasy
Aku takut hanya pada dua hal. Kehidupan dan Kematian.
Dunia Saga
3278      1009     0     
True Story
There is nothing like the innocence of first love. This work dedicated for people who likes pure, sweet, innocent, true love story.
Ketos pilihan
441      293     0     
Romance
Pemilihan ketua osis adalah hal yang biasa dan wajar dilakukan setiap satu tahun sekali. Yang tidak wajar adalah ketika Aura berada diantara dua calon ketua osis yang beresiko menghancurkan hatinya karena rahasia dibaliknya. Ini kisah Aura, Alden dan Cena yang mencalonkan ketua osis. Namun, hanya satu pemenangnya. Siapa dia?
Katamu
2630      968     40     
Romance
Cerita bermula dari seorang cewek Jakarta bernama Fulangi Janya yang begitu ceroboh sehingga sering kali melukai dirinya sendiri tanpa sengaja, sering menumpahkan minuman, sering terjatuh, sering terluka karena kecerobohannya sendiri. Saat itu, tahun 2016 Fulangi Janya secara tidak sengaja menubruk seorang cowok jangkung ketika berada di sebuah restoran di Jakarta sebelum dirinya mengambil beasis...
Lost In Auto
1173      415     1     
Romance
Vrinda Vanita, adalah seorang remaja putri yang bersekolah di SMK Loka Karya jurusan Mekanik Otomotif bersama sahabatnya Alexa. Di sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki, mereka justru suka pada cowok yang sama.
I'm Growing With Pain
11456      1690     5     
Romance
Tidak semua remaja memiliki kehidupan yang indah. Beberapa dari mereka lahir dari kehancuran rumah tangga orang tuanya dan tumbuh dengan luka. Beberapa yang lainnya harus menjadi dewasa sebelum waktunya dan beberapa lagi harus memendam kenyataan yang ia ketahui.
House with No Mirror
305      225     0     
Fantasy
Rumah baru keluarga Spiegelman ternyata menyimpan harta karun. Anak kembar mereka, Margo dan Magdalena terlibat dalam petualangan panjang bersama William Jacobs untuk menemukan lebih banyak harta karun. Berhasilkah mereka menguak misteri Cornwall yang selama ini tersembunyi?
Melting Point
4930      1025     3     
Romance
Archer Aldebaran, contoh pacar ideal di sekolahnya walaupun sebenarnya Archer tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan siapapun. Sikapnya yang ramah membuat hampir seluruh siswi di sekolahnya pernah disapa atau mendapat godaan iseng Archer. Sementara Melody Queenie yang baru memasuki jenjang pendidikan SMA termasuk sebagian kecil yang tidak suka dengan Archer. Hal itu disebabkan oleh hal ...