Keyra melangkah malas memasuki rumah. Namun ia memilih ke belakang taman. Ia duduk di teras rumah pohonnya, sambil memandang bunga-bunga miliknya yang ia gantung dipenyanggah kayu dan ia letakkan di pot kemudian disusun rapi di sekeliling teras itu.
Keyra langsung masuk ke dalam rumah pohonya saat mendapati sebuah mobil fortuna berwarna putih memasuki gerbang. Seorang wanita tua renta keluar dari mobil, kemudian memanggil asistennya untuk mengecek cucu semata wayangnya di kamar. Gadis itu mengintip dari jendela, kemudian membaringkan tubuhnya di matras.
“Nggak ada bu, Non Key nya!” Asistennya berlari keluar, dengan mimik wajah cemas.
“Ke mana dia!” Tanyanya panik, kemudian memegang pinggangnya yang sudah terasa sakit sejak tadi malam.
“Apa mungkin di rumah pohon Bu?” Terka Anto.
“Mungkin saja, biar saya cek ke sana?”
“Jangan Bu, biar saya saja?”
“Tidak, biar saya saja yang ngecek. Kamu diam di sini!” Titah Sari kepada Asistennya, kemudian berjalan tertatih ke arah rumah pohon itu. Ia menoleh ke atas, kemudian memanggil-manggil cucunya. Tetap tak ada respon dari Keyra, ia pun berinisiatif naik ke atas pohon, namun pada tangga kedua, kakinya terpeleset dan ia terjatuh.
“Ibu!” teriak Anto Asistennya, membuat Keyra terlonjak dan keluar. Ia menoleh ke bawah, seketika tubuhnya membeku air matanya mengalir. Ia Shock melihat neneknya terbaring tak sadarkan diri di bawah. Tubuhnya gemetar saat menuruni tangga, tiba di bawah ia terduduk dan memeluk tubuh Sari. Pekikan tangisnya tak berhenti hingga Anto segera mengambil alih tubuh Sari dan membawanya ke mobil.
Gadis itu menangis memeluk tubuh Sari yang tak berdaya, Keyra terus menyalahkan dirinya atas apa yang sudah ia lakukan terhadap neneknya. Sesampainya di rumah sakit, Keyra hanya melamun seakan kejadian lima tahun yang lalu beroperasi di memori ingatannya. Membuat gadis itu spontan berteriak sambil memukul-mukul kepala.
“Lo pembunuh Key, lo yang udah ngebunuh papa, mama dan nenek. Lo harus dihukum, dan hukuman yang pantas bagi orang kayak lo adalah mati!” Kalimat itu ia tekankan di otaknya, tiba-tiba kakinya melangkah ke arah jalan raya, ia berjalan tanpa alas kaki dan dengan seragam sekolah yang masih melekat. Tatapannya kosong, ia terus berjalan dengan ekspresi seperti mayat hidup.
Tiba-tiba sebuah motor satria merah hampir menabrak tubuhnya, jika motor itu tak membanting setir ke arah trotoar bisa jadi Keyra akan tertabrak. Pengemudi itu terjatuh dan tubuhnya terpental hingga mengalami luka kecil pada bagian kakinya. Sementara Keyra tetap berjalan dengan pandangan kosong.
“Woi berenti lo. Gila lo ya, mau bunuh gue?” Teriaknya menghentikan langkah Keyra.
Gadis itu tak bergeming, tiba-tiba kata bunuh menggantung di otaknya Keyrapun berteriak sambil memegangi kepalanya. Sambil menyebut-nyebut kata bunuh “Bunuh…Bunuh..Bunuh gue pembunuh!” Teriaknya menangis kencang.
Pria itu yang ternyata Atlas, bingung dengan apa yang terjadi. Ia kemudian menghampiri gadis berseragam SMA seperti seragam yang dipakainya dengan menyeret kakinya yang terasa sakit. Ia terkejut saat gadis yang membuatnya celaka dan cendera pada kakinya adalah Keyra.
“Eh labil, kalau jalan itu pakai mata!” Pekiknya jengkel.
Keyra tak merespon, ia menangis sambil memukul-mukul kepalanya.
“Berhenti, lo mau bikin kepala lo geger otak! Kalau lo geger otak sih gue nggak masalah, tapi nanti aja habis lo tanggung jawab atas apa yang udah lo lakuin sama kaki gue!” Ketusnya.
Nangisnya semakin kencang, ia terduduk dan terus menyalahkan dirinya.
“Gue udah ngebunuh Mama, gue udah bunuh Papa, gue udah bunuh Nenek, gue pembunuh.” Teriaknya membuat siapa saja yang melihat miris.
Atlas terdiam menyaksikan apa yang terjadi dengan gadis itu. Niatnya untuk mengerjai Keyra, ia tidak tau kalau respon Keyra menjadi seperti itu. Atlas memiringkan kepalanya untuk melihat mata Keyra, namun tatapan gadis itu tetap kosong dan terus menangis sambil melanturkan kata-kata gue pembunuh. Membuat Atlas semakin bingung, gue pembunuh apa maksudnya? batin pria itu.
Atlas masih belum beranjak, ia sibuk menelusuri kondisi Keyra yang menurutnya sangat aneh. Padahal tadi di sekolah gadis itu baik-baik saja, tapi kondisi yang saat ini ia lihat berbeda jauh, pandangannya kosong, tidak memakai alas kaki dan kondisinya terlihat memprihatinkan. Atlas bingung apa yang harus dilakukan, ia tak jago dalam urusan membuat wanita berhenti menangis, karena ia lebih jago membuat wanita menangis. Pria itu mengacak-acak rambutnya, dengan situasi yang terjadi. Harusnya ia yang meminta pertanggung jawaban, tapi justru gadis itu yang membuatnya menjadi repot.
“Oke gue minta maaf, gue nggak ada maksud nuduh lo pembunuh. Jadi lo bisa diam sekarang,” Tukas Atlas, namun tangisan Keyra semakin nyaring.
“Kan udah gue bilang gue maafin lo. Bisa nggak lo berhenti nangis!” Perintahnya sekali lagi sambil mengorek-orek telinganya.
Atlas benar-benar kehabisan cara. Ia kemudian ikut berjongkok menopang kedua tangannya di lutut sambil memperhatikan Keyra yang terus saja menangis, ia bingung apa yang harus ia lakukan agar gadis itu mau diam. Tiba-tiba seorang ibu setengah baya beserta seorang laki-laki berseragam hitam mengikutinya dari belakang berlari memanggil-manggil nama Keyra.
“Non Keyra, Non di mana?” Teriaknya panik.
Tiba-tiba matanya beralih saat melihat seorang gadis menangis dengan seorang pria yang berjongkok menatap Nonanya. Minah bergegas menghampiri kemudian memeluk Keyra. Membuat Atlas berdiri dan terkejut.
“Ada apa dengan Non Keyra?” Tanyanya kepada Atlas.
“Tadi dia nyebrang jalan nggak liat-liat, jadi saya kecelakaan karena ulah majikan ibu,” Tukasnya membela dirinya, dari pada ia kena masalah sudah membuat anak orang menangis kesetanan seperti itu.
“Maaf Den, kalau begitu mari ikut ke rumah sakit. Kami akan bertanggung jawab, sebagai permintaan maaf atas nama Non Keyra,” Ucap Minah.
“Nggak usah Bu, saya obatin di rumah aja. Luka kayak gini juga nanti sembuh!”
“Nggak Den, itu lukanya parah harus segera diobati, Pak Anto bantu Masnya?” Pinta Minah sambil memopoh Keyra yang masih menangis, meski isakan tangisnya tidak separah tadi.
Atlas berjalan bersisihan dengan Keyra dan Bi Minah. Sementara Pak Anto mengiringi motor milik Atlas. Pria itu berjalan pincang sambil menahan rasa sakit pada bagian kakinya, sesekali melirik ke arah Keyra dengan segala asumsi yang kini beroperasi di kepalanya. “Gue pembunuh, Nangis, Pandangan Kosong, Nyeker. Apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis itu? apa ada yang aneh dengan otaknya?” batinnya.
Sesampainya di rumah sakit, Bi Minah Membimbing Keyra duduk di ruang tunggu rumah sakit, di depan ruangan tempat Atlas diobati. Gadis itu terus menatap bunga mawar yang ada di taman rumah sakit dengan tatapan kosong. Sementara Atlas yang sedang diobati menatap Keyra dari jendela yang terbuka, sehingga ia dapat melihat dengan jelas ekspresi kesedihan yang tergambar dari wajah gadis itu.
“Den tolong liatin Non Keyra sebentar ya. Saya mau nembus obat aden dulu, sekalian mau ngeliat kondisi Ibu Sari!”
Atlas hanya mengangguk.
Setelah selesai diobati, Atlas berjalan keluar kemudian duduk di samping Keyra. Ia menoleh kesamping memiringkan kepalanya seperti ingin memastikan gadis yang ada di sampingnya benarlah Keyra, gadis yang selalu bertengkar dengannya di kelas.
“Benar ah dia, tapi kok kayak mayat hidup ya,” Tukasnya, namun tak direspon sama sekali oleh gadis itu.
“Hei lo kenal gue kan? gue Atlas cowok paling ganteng dan paling Cool di SMA Taruna Bangsa.” kicaunya melambaikan tangan di depan wajah Keyra, gadis itu masih belum merespon.
“Lo lebih bagus cerewet sama ngomong deh, kalau diem kayak gini serem tau, kayak mayat hidup,” Cercanya lagi.
Atlas kehabisan cara untuk memancing gadis itu bicara. Ia menggaruk kepalanya, kemudian berusaha menggerakkan kakinya dan berdiri di depan Keyra, gadis itu belum bergeming. Minah yang baru balik menebus obat, kembali dan mencoba membujuk nonanya untuk terapi.
“Non kita terapi yuk, dokter Non Keyra sudah menunggu di ruangannya,” Tukas Minah memopong tubuh Nonanya berjalan ke arah ruang terapi tempatnya untuk cek-up setiap minggu.
Atlas yang bingung dan penasaran hanya mengikuti dari belakang.
Sesampainya di ruangan dokter Silva, gadis itu disambut. Lagi-lagi membuat pria itu semakin penasaran. Namun sayang Atlas tak boleh masuk karena hanya pasien dan dokter saja yang boleh berada di ruangan itu. Sementara ia hanya bisa menunggu di luar, sehingga Atlas tidak tau apa yang sebenarnya terjadi dengan Keyra sebenarnya.
“Den titip Non Keyra sebentar ya, bibi mau cek Ibu Sari lagi?” Pintanya yang dibalas anggukan oleh Atlas.
“Ini sebenarnya kenapa sih? Si labil jadi aneh gitu, pembantunya bolak balik ke ruangan Sari. Siapa Sari? dan ada hubungan apa si labil, ibu tadi, sama yang namanya Sari. Apa jangan-jangan itu cewek bikin gara-gara sama si Sari itu. Au ah pusing kepala gue,” Tukasnya mengeluarkan ponsel.
Tiba-tiba saja saat ia mengecek handphonenya sebuah pesan masuk.
Kak Lita: Las lo di mana? Papa nyariin lo, cepetan pulang?
Atlas menarik napas panjang, kemudian memasukan kembali ponselnya ke dalam saku bajunya. Ia tidak tertarik urusan di rumah, karena baginya pulang ke rumah sama saja masuk ke dalam kandang harimau. Ia terlalu lelah setiap hari harus dibanding-bandingkan dengan kakanya.
Baginya sikap membandingkan adalah sesuatu yang tidak wajar bagi orang tua terhadap pertumbuhan anaknya. Dan bagi Atlas Papanya telah berhasil membuat dirinya merasa terpojok, hingga ia merasa terjajah berada di rumah itu. Jika ia punya keberanian untuk melarikan diri, mungkin sejak awal Atlas memilih untuk meninggalkan rumah itu. Ia hanya tak ingin membuat Mamanya sedih.
Lagi-lagi ponselnya bergetar, sebuah pesan kembali masuk. Dengan malas ia mengambil ponselnya kemudian mengecek pemilik pesan itu.
Rio: “Lo di mana? Jadi nggak nih ngetrek?”
Atlas: “Oh iya gue lupa, gue OTW”
Saat ia hendak berlari, tiba-tiba Atlas terjatuh karena menahan rasa sakit. Kemudian berdiri sambil menepuk jidatnya. “Lupa gue, kan kaki gue cindera!” Dumelnya.
“Kenapa Mas?” Tanya Pak Anto membantu Atlas berdiri.
“Terima kasih. Pak saya pulang duluan ya, terima kasih sudah di bantu berobat. Salam buat silabil!”
“Si labil?” Tanyanya bingung.
“Eh salah, maksudnya salam buat Keyra Pak.”
“Oh Non Keyra. Siap Den nanti bapak salamin,” Ucap Pak Anto mengacungkan jempolnya.
***
Setelah satu jam lebih terapi, Keyra dituntun Dokter Silva keluar. Kemudian dibimbing oleh Minah menuju ruangan Sari. Setelah memasuki ruangan Sari, Keyra yang tak merespon siapapun langsung bersuara seketika, saat melihat neneknya membuka matanya. Ia berlari kemudian memeluk Sari.
“Apapun mau nenek akan Keyra turuti, asal nenek tetap hidup dan sehat. Jangan tinggalin Key Nek!” Tangisnya pecah.
Sari menatap cucu semata wayangnya dengan tatapan memprihatinkan, kemudian berulang kali mencium kening cucunya.
“Key berjanji sama nenek. Apapun yang terjadi Key harus ingat sama Allah, Key nggak boleh kehilangan iman, mengerti? Jangan putus asa dan jangan menyalahkan diri Key atas takdir yang menimpa Key?”
Gadis itu hanya mengangguk.
Mulai hari itu Keyra akan menuruti segala perintah Neneknya. Bagi gadis itu kebahagian Neneknya adalah satu-satunya harta paling berharga dalam hidup setelah ditinggal oleh dua orang yang ia cintai.
Gimana, masih mau lanjut nggak???