Read More >>"> The Diary : You Are My Activist (#Truth Or Dare) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Diary : You Are My Activist
MENU
About Us  

#Truth or dare
Kejujuran adalah bahasa paling mulia yang pernah ada
*Author*
*********


Siapa malam-malam begini menerorku dengan pesan menyebalkan itu? Ugh.. 
aku malas menanggapinya.. biarkan saja!
Aku hanya melihat nomor pengirimnya dan memperhatikannya secara serius, nomor yang benar-benar tak aku tahu.
Jam menunjukkan pukul 12 malam lebih dan aku harus segera tidur, aku menutup bukuku dan berhenti membaca, aku harus istirahat untuk Quis yang selalu diadakan sebelum perkuliahan dimulai besok.
******
Seminggu berlalu dengan cepat, aku memang tak pernah terlalu sibuk dengan hal-hal yang berbau organisasi atau apapun itu, aku hanya mahasiswa biasa yang kupu-kupu (kuliah pulang - kuliah pulang).
Sebuah pesan dari Juna masuk kedalam handphoneku, seperti biasa ajakannya untuk menghabiskan waktu bersama. Aku tersenyum dan segera membalas pesannya itu, ku terima ajakannya untuk malam ini.
Hampir 3 Bulan aku dan Juna menjalin hubungan ini, dan aku bahagia bersamanya.
Musik mengalun ceria di telingaku, sebuah headset menempel manja di telingaku menyanyikan lagu yang sama-sama menjadi favorit untukku dan Juna, Yui - Good bye Days.
Ddrrtt..... dddrrtt..
Sebuah pesan masuk, pesan yang tak berbeda jauh dengan pesan-pesan sebelumnya yang selama seminggu ini mengganggu pikiranku dan selalu muncul lagi dan lagi.
“Ada hubungan apa kau dengan Juna dasar gadis Jalang?!! Jangan pernah dekati juna!! Dasar gadis Gila!  Gadis tak tahu diri!  Gadis sialan! Pergi saja ke neraka! Kau pantas ke neraka!”
Hmm.. yaa, pesan yang sangat mengecewakan hatiku.
Terlebih lagi pesan itu sering menghiasi layar ponselku, pernah kutanya siapa orang yang aneh-aneh mengirim pesan itu namun tak ada jawaban yang pasti. Lalu kupikir biarkan saja.. jangan pedulikan, mungkin fans Juna. Dia adalah sesorang yang banyak dikenal, wajar saja bila banyak yang menyukainya.
Beberapa saat kemudian Juna mulai muncul di mataku, ia tersenyum dan berjalan menghampiriku.
"Hai" sapanya, seperti biasa tangannya menyapa tanganku dan menggenggamnya manja.
"Hai" balasku.
"Sudah lama menunggu??" Tanyanya.
Aku menggeleng.
"Jalan kemana Feb?" Tanyanya sembari mengajakku mulai berjalan.
"Hmm.. apa yang kamu suka?" Tanyaku balik.
"Banyak.." jawabnya, ia menyamakan langkahku dan tersenyum "aku suka jalan-jalan denganmu.." 
Aku tersenyum, ia berhasil membuatku berdebar "Yang kemarin.." aku mengingat ciuman singkatku pada Juna terakhir kita bertemu.
"Apa?" Juna menoleh padaku.
"Aku tak tahu harus berkata apa" ucapku serba salah.
"Ciuman itu?" Tanyanya seakan ia tahu apa yang aku pikirkan.
Aku mengangguk "Maaf jika aku lancang.." sesalku.
Dia terlihat menggeleng "Aku suka hadiah ulang tahun darimu itu.. terima kasih, akan ku simpan di hatiku baik-baik.." tuturnya.
Aku hanya terdiam, rasa malu itu hadir kembali. Mungkin kini pipiku memerah. Tangan besarnya mengelus rambut panjangku yang tergerai lembut, ia berhenti berjalan dan menarikku kedalam dekapannya, hangat.  Aku bisa mendengar deru nafasnya yang tenang dan detak jantungnya yang berirama, menenangkan.
"Sebenarnya.." Juna mengelus lembut punggungku "sebentar lagi akan ada pemilihan ketua BEM di fakultasku, dan aku mencalonkan diri.." katanya.
"Benarkah?" Tanyaku masih dalam pelukannya, kubalas elusan tangan besarnya di punggungku dengan mengelus punggungnya yang tegap.
"Yaa.." jawabnya, ia melepaskan dekapannya dan kembali berjalan seperti biasa "akan ku ceritakan nanti.. sekarang kita cari tempat untuk bercerita ya.." ajaknya
Aku mengangguk menyetujui "Baiklah, ayo kita jalan.." sahutku sumringah. Aku berdiri dan menggandeng tangan Juna "jangan jauh-jauh yaah.." pintaku.
"Iyaaa.." Juna tertawa dan segera meninggalkan daerah sekitar kampus itu.
******
Aku terdiam melihat apa yang aku saksikan di hadapan mataku, sebuah dataran rumput luas yang menjorok kebawah "Mm.. jadi..." aku menatap Juna.
Juna mengangguk "aku suka melihat langit.. seperti malam ini.."
"Langit?" Tanyaku. ia segera membawaku ke tengah rerumputan itu dan berbaring disana.
"Mm.. Juna?" Bingungku, aku duduk di sampingnya yang tengah berbaring.
"Coba lihat!" sahutnya, ia menunjuk pada salah satu bintang yang ada di langit malam itu.
"Apa?" Aku mengikuti arah telunjuknya, terlalu banyak bintang yang ada di langit yang maha luas itu.
"Anggap saja itu aku" katanya.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Dan itu yang ada di sebelahnya adalah dirimu" 
Aku tersenyum menanggapi celotehan Juna, banyak hal yang tersimpan pada diri Juna yang tak ku sangka.
"Ini tempat favoritku" katanya.
"Bukan sekre-mu?" Tanyaku menyindir, setiap kali aku melihatnya ia selalu ada di sekre, jadi ketika aku rindu padanya aku bisa saja pura-pura lewat ke sekrenya sesuka hatiku.
Juna hanya tersenyum, ia bangun dan ikut duduk di sampingku "ini rahasia.." katanya "rahasiaku" ia berbisik manja di telingaku.
Aku terkekeh namun detik itu juga aku berdebar, kulit hangat itu menyentuh telingaku sekejap. Aku menoleh kaget, wajahnya sangat dekat denganku hingga yang kulihat hanyalah matanya yang tajam dan membuatku meleleh.
Shhuufft
Sebuah ciuman singkat meluncur dari bibirnya yang penuh itu.
Aku terdiam mematung, dan aku tak tahu harus melakukan apa. Sebuah senyuman tersungging di wajah kalemnya, tangan besarnya menyapu pipiku dan mengelusnya lembut.
Deg deg... Deg deg ........ Deg deg......
Segera aku tundukan kepalaku merasa malu dan gugup, 
kenapa dia selalu melakukan hal yang mengejutkanku? Misalnya saja ciuman singkat barusan.
"Panggil namaku Bii.." bisiknya seduktif, ia mengelus rambut dan pipiku bergantian.
Aku menelan ludahku dalam-dalam, haruskah aku memanggil namanya seperti apa yang ia minta? 
"Febri Anastasya.." panggilnya "Bintangku.." Bisiknya.
"Mm.." aku menatapnya masih dengan jantung yang berdebar dan merinding tak karuan "J...Juna.." panggilku.
"Hmm?" Juna menatap mataku sangat dalam, hingga aku dapat melihat diriku ada di dalam bolamatanya yang bulat.
Cahaya temaram lampu jalan meliputi dataran rumput itu.
"Juna... Candra-ku.." panggilku dengan suara yang aku rasa tidak enak didengar karena aku sangat gugup.
Ia tersenyum dan mendekapku hangat, diusapnya punggungku dengan lembut dan ia bersandar di bahuku "Tetaplah seperti ini untuk beberapa saat.." bisiknya tepat di telingaku.
Aku merinding dan merasakan semuanya begitu intim, kucoba balas mengelus pundaknya seperti ia mengelus pundakku dengan lembut.
"Mmhh.." tanpa sadar, ia mendekap tubuhku lebih dekat lagi, ia membenamkan kepalanya di leherku.
Kucium aroma rambut klimisnya yang wangi, wangi yang lembut dan menenangkan. Kuelus tengkuk dan rambutnya perlahan hingga ia mengeratkan pelukannya lagi.
"Eungh.." Beberapa saat aku terdiam menikmati Juna yang memelukku erat dan manja, namun ponselnya bergetar dan membuatnya segera melepaskanku dan melihat ponselnya.
"Kenapa?" Tanyaku.
Dia menggeleng, dimasukkannya lagi ponsel itu dan ia kembali menatap langit malam itu. "Kau punya rahasia?" Tanyanya.
"Tentu saja.. semua orang pasti punya rahasia" jawabku.
"Mau menceritakannya?" Tanyanya, namun beberapa detik kemudian dia menggeleng "mm.. bagaimana jika main truth or dare?" Ajaknya.
Truth or dare? Permainan kebenaran dan keberanian itu? Duuhh.. ayolahh..
"Berani?" Tantangnya, ia menatapku dengan tatapan menantang, adrenalinku terpacu dan dengan spontan aku mengangguk.
Giliran pertama yang memilih adalah aku sebagai yang ditantang, dan aku harus memilih antara truth atau dare.
Dengan berat aku memilih truth.
"Baiklah.. karena nona Bintang memilih truth maka tuan Candra akan bertanya tentang....." Juna terlihat berpikir sebentar lalu mengeluarkan pertanyaannya "apa film favoritmu nona Bintang?" Tanyanya.
Hah? Pertanyaan yang mudah ternyata.. hahaa
"Mm.. apa ya? Mm.. 5 centimeter persecond.." jawabku.
"Film apa itu?" Tanyanya.
"Anime.." jawabku "tentang dua orang yang saling terpaut perasaan sejak kecil.. yaa.. gitu lah.. sedih" tuturku.
Juna hanya mengangguk dan tersenyum "nanti kita nonton sama-sama yaa.." ajaknya.
"Giliranku?" Pintaku, ia mengangguk "truth or dare?"
Juna terdiam, aku sudah berpikir dan menyiapkan apa-apa yang kemungkinan akan terjadi. "Dare" jawabnya.
"Oke.. karena pilihanmu adalah tantangan maka aku menantangmu untuk..." aku berpikir sejenak "lepaskan sepatu sampai nanti kita pulang" 
Tak ku sangka Juna melakukannya, ia menanggalkan sepatu dan kaus kakinya.
"Giliranku.." sahutnya bersemangat "truth or dare?"
Aku berpikir sejenak, jika aku memilih truth pasti pertanyaannya mudah lagi, dengan yakin aku memilih "truth"
Juna tersenyum, senyuman yang berbeda dari biasanya. Aku merasa berdebar entah kenapa.
"Bagaimana masalalu mu..?" Tanyanya.
Dhegh!
Masalalu?
Aku menatapnya dan ia tengah menatapku, menunggu jawabanku.
"Mm.. masalalu yaa? Seperti biasa" jawabku sedikit berkelit "masa remaja, masa puber, masa SMA, bully, dan yaa.. biasa saja" jawabku hambar.
"Who your first love?" Tanyanya.
"Mm.. waktu itu aku kelas dua SMP aku jatuh cinta pada kakak kelasku.." jawabku seadanya dan seingatku.
"Pacaran?" 
Aku menggeleng "selalu cinta bertepuk sebelah tangan.. hahaa.." jawabku.
"How about your family, Bintang?" Tanyanya lagi.
"Broke.." jawabku, entah mengapa ada setitik rasa sakit di hati kecilku jika mengingat keluargaku 
"I don't have a happy family I think.. I was life with my mother since I was 5 years old.. and I don't know where's my father honestly.. till now.. I has a horrible life.. I felt I was survived in the bad world.. but I tried untill I can be here.." jelasku, aku rasa aku akan menangis.
Sebuah tangan melingkar hangat di pinggangku, "sorry.." sesalnya "enough.."
Aku menatapnya dan tersenyum "sorry.." 
Dia menggeleng, "sudah, giliranku ya.." pintanya.
Aku mengangguk, "truth or dare..?" Tanyaku.
"Dare.." jawabnya.
"Mm.. aku bingung mau minta kamu lakuin apa?" Jawabku "aku gak bisa mikir" aku mencoba terkekeh.
"Itu hutang" katanya.
"Hmm?" Aku menatapnya, ia melepaskan pelukannya.
"Aku akan melakukan apa yang kamu minta jika kamu sudah memutuskannya" jelasnya "Giliranku lagi?" Tanyanya. Aku mengangguk.
"Truth or dare?" Tanyanya.
"Dare.." jawabku, aku belum siap menjawab pertanyaan Juna jika tentang sesuatu yang sensitive.
"Oke.. mm.." Juna menatapku yang masih sayu "tersenyumlah.." pintanya.
Aku menatapnya, aku berusaha untuk tersenyum.
"Aku sudah tersenyum.." jawabku.
"Tersenyumlah, dan berjanjilah kau akan menjadi orang yang kuat Bintang.. berlarilah kepadaku jika kau membutuhkan seseorang untuk melampiaskan semua getir dan perih di hatimu.."
Senyumanku luntur, itu adalah permintaan yang tak pernah terpikirkan olehku.
Tak terasa airmataku meleleh dan mencair melewati pipiku. Juna menyeka airmata itu dan membenamkan diriku dalam pelukan hangatnya.
"Sshh.. ada aku disini" bisiknya "maaf membuatmu jadi sedih" katanya.
Kubenamkan kepalaku di dada Juna, kubiarkan airmataku meleleh dan terisak di pelukannya. Sisi lemahku keluar begitu saja saat ini.
"Aku rindu ayah, Juna.. aku rindu" gumamku dalam tangis.
"Yaa.. aku tahu Bintang.. aku tahu" bisik Juna.
*
"Mm.. maaf yaa.. malam minggunya malah jadi kayak gini" sesalku "padahal aku berniat untuk menghilangkan penat"
"Hahaa.. iya gak apa-apa.. aku seneng bisa kenal kamu lebih deket lagi" gumamnya.
Tak terasa kami sudah dekat dengan tempat kostku dan Juna berhenti di depan pagarnya, dengan manja ia menggenggam tanganku dan pamit.
Aku tersenyum, aku melambai dan segera masuk ke dalam kamar.
Kurebahkan tubuhku dan kubenamkan kepalaku ke bantal. Beberapa saat kemudian ponselku bergetar, kubuka dan kubaca pesan yang ternyata dari Juna.
Malam ini aku mengenalmu lebih dalam, Bintangku..
Selamat beristirahat..

Aku tersenyun dan membalas pesannya segera.
Aku juga mulai mengenalmu lebih..
Terima kasih sudah mengizinkanku masuk..

Selain pesan dari Juna beberapa pesan memenuhi kotak masuknya, pesan teror yang isinya hampir sama dengan pesan-pesan yang pernah dikirim kemarin-kemarin.
"Arrggh.. menyebalkan!!" Geramku, kuhapus semua pesan teror itu dan kusimpan ponsel itu dalam laci. Kata-kata yang tak pantas itu kenapa selalu ditujukan untukku? Ada yang salah jika aku dekat dengan Juna?
Kucoba memejamkan mataku, mengistirahatkan tubuhku dan merelaxasikan otot-otot yang sempat menegang tadi.
 

Ddddrrrtttt ddddrrrrttttt
Ponselnya bergetar lama tanda panggilan masuk, mungkin dari Juna pikirku. Kuambil ponsel itu dari dalam laci dan kulihat, ternyata panggilan dari nomor tak dikenal yang aku yakin adalah nomor yang selama ini mengirim pesan teror padaku.
Mungkin ini penting? Tapi untuk apa?
Ku terima panggilannya dan ku dekatkan ponsel itu ke telingaku.
Aku mengerutkan dahiku, suara diseberang adalah suara perempuan.
Dhegh!
"Heh Anj*ng! Udah gue bilang jangan deketin Juna.. ngeyel banget sih hidup lu.." teriaknya dari seberang.
Suaranya sebenarnya lembut namun kata-kata kasar dan teriakkan itu membuatnya hancur. Aku hanya terdiam.
"Heh cewe murahan! Jauh-jauh dari calon suami gue!!" 
"Maaf dengan siapa?" Tanyaku berusaha sopan.
"Gue bilang ya sama lu.. Juna itu punya gue! Kalo lu masih aja deketin Juna, gue bakal hancurin hidup lu!!" Kata-katanya sangat menusuk dan membuatku muak.
Kututup panggilan itu dan kumatikan ponselnya. Gadis gila!
Aku terdiam mengatur nafasku, Juna.. siapa sih dia?? Aku menggaruk kepalaku kesal.
******

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (3)
  • nuratikah

    Romantiiiiiiissssss si Juna itu ya....
    Berkunjung balik ke ceritaku juga ya.

    Comment on chapter #Prolog
  • Chaelma

    @Ardhio_Prantoko wahhh makasih kak, aku juga kemaren udah ikutin saran kakak, dan ngedit banyaaak hehe.. makasih saran waktu kmaren ya kak 😊

    Comment on chapter #Flashback
  • Ardhio_Prantoko

    Kayak kisah nyata ya. Save dulu, mau aku baca habis. :D

    Comment on chapter #Flashback
Similar Tags