Malam itu Nania membiarkan saja, Winda dan Lusy yang asyik berkasak – kusuk mempermak lantai kamarnya menjadi arena permainan mistik, Jelangkung. Sejak mereka selesai menonton VCD film Jelangkung tadi siang, Winda dan Lusy tampaknya seperti terobsesi dengan permainan itu. Nania sendiri tak berminat untuk ikut bergabung. Dia cuma duduk di atas tempat tidurnya sambil memeluk lututnya, memandangi foto mamanya.
Biasanya kalau teman – temannya sedang berkumpul begini di kamarnya di hari libur, mama pasti datang sambil membawakan minuman dan kue - kue ringan untuk cemilan mereka, mama pasti datang dengan senyumnya, menasehati agar tidak tidur terlalu larut...Nania menghela nafas sembari membelai foto mamanya...Uh, kalo mama tau mereka bermain Jelangkung, mama pasti marah...Mama pasti...Air mata Nania meleleh di pipinya....
“Ah, mama....Seandainya mama masih ada...” rintih Nania di dalam hati, dia menggigit bibirnya kuat – kuat menahan tangis yang terasa begitu menyesakkan hendak keluar. Sekarang semua itu tak kan ada lagi...Tak kan pernah ada lagi...Pedih rasanya... Nania buru – buru menghapus air matanya yang mulai meleleh turun lagi untuk kesekian kalinya, gadis itu tak mau Winda dan Lusy tau dia menangis.
Jelangkung...Jelangkung
Disini ada pesta kecil
Datang tak dijemput
Pulang tak diantar
Nania mendengar rapal mantra itu masih terus berulang-ulang didengungkan Winda dan Lusy di lantai, diantara temaram cahaya lilin-lilin putih, diantara wewangian beraroma Lavender yang sengaja dipasang untuk menambah mistis suasana. Tapi boneka kayu berkepala tempurung kelapa yang digenggam erat oleh Winda keliatannya masih diam membisu. Walau rapal masih terus diucap, tapi sang boneka tetap diam, diam sunyi membisu.
Ah, biar saja mereka....Nania merasa tak punya semangat untuk memikirkan atau melakukan apapun sekarang...Tidak, sejak kepergian mama...Tidak ada satupun yang bisa membuatnya bersemangat....
“Ah kayaknya kita nggak berhasil deh...” terdengar keluhan itu spontan terucap oleh Lusy. “Win, kita berhenti saja yuk?”
“Jangan dulu, Lus...Sudah tanggung nih! Ayo kita coba sekali lagi....”balas Winda tak pantang menyerah.
“Gue capek...Sudah hampir pukul 2 neh...Tidur yuk, Win?” Lusy meregangkan otot-otot tangannya yang terasa kaku. “ Ngantuk nih....”
Lusy melirik jam dinding ‘Menyala-dalam-gelap’ yang ada di kamar Nania, jam itu terus berdetak menuju pukul 2 dini hari.
“Hey, Nania...Dari pada lo cuma bengong sendirian di situ...Ikutan yuk?” ajak Winda pada Nania ketika melihat Lusy mulai tak bersemangat lagi. Nania yang masih memandangi foto mamanya jadi terjengah.
“Ah, gue malas...” sahut Nania lesu.
“Ayo dong...Please?? ”bujuk Winda merayu. “Eh, justru pukul 2 begini lho yang paling manjur....Pukul 2 adalah waktu bertemunya gelombang dunia gaib dengan dunia kita sehingga pada waktu inilah mahkluk-mahluk gaib bisa menampakkan diri pada kita...”
“Ah lo bisa saja Win...”Lusy berkomentar sedikit menggidik ngeri.
“Hey gue serius!” Winda merengut.
“Waktu bertemunya gelombang dunia yang gaib dengan dunia kita??” tanya Nania meletakkan foto mamanya dan bergeser ke tepi tempat tidur, memandangi boneka kayu yang sedang di pegang Winda. “Apa benar?”
“Lha iya, benaaarrr, gue pernah baca dimanaaa gitu...Katanya sih begitu, pukul 2 dini hari adalah waktunya mahluk - mahluk halus bisa menampakkan diri...” Winda menjelaskan setengah bete karena Nania seperti meragukan ucapannya. “Nggak percaya ya?”
“Eh...” tiba – tiba Nania turun dari tempat tidur dan duduk di lantai bergabung dengan Winda dan Lusy. “Gue mau ikutan..."
“Nah gitu dooong...” Winda kesenangan melihat Nania mulai bersemangat menanggapi obsesinya dengan permainan Jelangkung itu, sehingga dia tak perlu membujuk Lusy yang kesannya cuma setengah – setengah mengikutinya itu.
“Kenapa lo tiba – tiba jadi kepingin gitu? Tadi kan katanya lo malas ikutan...” tanya Lusy heran melihat Nania berubah pikiran.
“Eh, permainan Jelangkung ini kan permainan untuk memanggil roh?” ide itu tiba – tiba saja terlintas dibenak Nania. “Bisa nggak kita memanggil roh mama?”
“Roh mama lo??” Winda terbelalak.
“Iya...Kita coba yuk? Siapa tau bisa..Please?? Mumpung sudah hampir pukul 2, kan kata lo pukul 2 adalah waktu yang paling manjur?” ajak Nania dengan nada memohon.
Kata – kata Winda seolah memberi harapan baru pada keputus-asaan Nania akan kesedihannya. Seperti mencoba mengais mimpi semu antara mungkin dan tidak mungkin, Nania mendapat ide itu, ide untuk mencoba siapa tau dengan perantaraan permainan Jelangkung, dia bisa bercakap-cakap dengan mamanya lagi, mengusir rasa kehilangan akan kasih sayang mamanya yang sudah membuat sesak pikirannya.
“Hmm...Ya, ayo deh kalau begitu...” kata Winda akhirnya. “Yuk, kita mulai lagi...”
Jelangkung...Jelangkung
Disini ada pesta kecil
Datang tak dijemput
Pulang tak diantar
Rapal itu mulai lagi mereka dengungkan bersama – sama. Kali ini Nania yang memegangi Boneka Kayu berkepala tempurung kelapa itu.
Jelangkung...Jelangkung
Disini ada pesta kecil
Datang tak dijemput
Pulang tak diantar
“Eh...Nan...Nania...Lusy....Kalian dengar nggak?” Winda tiba-tiba tersentak.
“Shhh...Apa – apaan sih lo? Jangan berhenti dong baca mantranya, nanti nggak berhasil!“ desis Nania.
“Ada...Ada suara biola...” kata Winda dengan suara sedikit bergetar, teman Nania itu mengusap tengkuknya yang tiba-tiba merinding tak keruan.
“Suara biola?” Lusy terjengah.
“Eh iya...Ada suara biola..Darimana asalnya? Siapa yang memainkannya malam-malam begini?” tanya Nania yang akhirnya ikut mendengar. Lusy yang duduk tepat disamping Nania spontan memegangi tangan Nania. Sayup-sayup alunan biola itu terdengar mendayu-dayu memainkan musik klasik yang begitu lirih. Makin lama makin jelas, menyapu gendang telinga mereka.
“Apakah...Apakah suara biola itu...” Lusy menggidik ketakutan. Nania dan Winda saling bertukar pandang, mereka tau betul apa yang hendak dikatakan Lusy selanjutnya.
Mereka tak sempat berpikir lebih lama lagi karena mendadak mereka dikagetkan pada sesuatu yang lain, pada sang boneka kayu berkepala tempurung kelapa yang tiba-tiba bergetar halus.
Mata bulat Nania terbelalak panik. Tangan-tangan halusnya yang serasa mulai membeku dingin berusaha menggenggam erat kayu sang boneka yang kini bergetar semakin kuat.
“Eh...Rohnya datang!!...Datang!..Mama??!! Mama kah yang datang itu??!!” Nania setengah memekik histeris ketika melontarkan pertanyaan itu. “Winda, mana kertasnya?! Mama...Mamakah itu?!! Jawab ma?!”
Jam dinding berdentang di pukul 2 dini hari. Alunan biola yang lirih mendayu-dayu berhenti tepat dengan kemunculan sosok ke – 4 dari 3 gadis-gadis SMU itu. Nania yang pertama melihat terpekik kaget seraya menjatuhkan sang boneka kayu ke lantai. Boneka itu menggelinding dalam getaran hebatnya.
“Lusy!! Winda!! Awas...Dibelakang kalian!!” Pekik gadis manis itu, yang langsung disertai gerakan panik, kaget dan ketakutan Lusy dan Winda.
Ke- 3 gadis itu spontan bergerombol merapatkan diri disudut kamar, membeku menatap sang sosok ke – 4, sesosok tubuh berpakaian serba hitam yang tiba-tiba muncul entah darimana dan keliatannya begitu tersiksa, seolah seluruh persendiannya telah remuk, dengan amat perlahan berjalan dari cahaya temaram lilin-lilin putih yang memancang melingkar di kamar milik Nania itu. Hawa dingin menyapu tubuh gadis-gadis remaja yang semakin merapatkan diri satu sama lain karena tak dapat menahan ketegangan. Bunyi keretekan napas sang sosok mengerikan itu seolah ingin menghisap kehidupan yang ada didekatnya.
“Siapa? Siapa itu?” Suara Nania gemetar memberanikan diri bertanya. Lusy mendadak mencengkram lengan Nania kuat – kuat.
“Fairro!!! Nania...Dia Fairro...Fairro...Pemuda yang di pantai itu!” jerit Lusy histeris. Nania dan Winda terbelalak kaget, baru menyadari kalau sosok mengerikan yang ada di hadapan mereka itu adalah Fairro, pemuda bermata abu – abu yang ditemui Nania di pantai dan di pemakaman mamanya itu.
“Fairro??” Nania terperanjat. ”Mau apa lo ke rumah gue dini hari begini??!!”
Sia – sia Nania berharap menemukan sorot lembut mata abu – abu itu, sorot lembut mata abu – abu Fairro seperti ketika dia menolong Nania sewaktu di pemakaman mama Nania tempo hari. Sia – sia Nania berharap bisa mendengar lagi kata – kata hangat menghibur seperti yang pernah diucapkan pemuda gondrong itu ketika di pantai. Semua pupus malam ini, dini hari ini. Apa yang telah terjadi dengan Fairro sehingga dia jadi aneh seperti ini? Nania tiba – tiba teringat dengan kata – kata Abi, ‘kalau menurut gue sih Fairro itu rada- rada nggak waras...’ Se...Sepertinya Abi ada benarnya juga...
Sosok, yang ternyata adalah Fairro itu tiba-tiba membisu ditempatnya, dingin menatap ke – 3 gadis dengan mata elang abu-abunya. Perlahan, dengan gerakan sangat perlahan, dengan susah payah, Fairro mengangkat tangan kanannya keatas.
“A..Apa...Yang akan dilakukannya?” bisik Winda nyaris pingsan, memegang tangan dingin Nania erat-erat. Nania tak menjawab, gadis itu cuma terpaku menatap sosok gondrong Fairro didepannya.
Fairro tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya diudara, tepat disamping kepalanya. Dengan dua jarinya dia menodong pelipis kanannya sendiri seperti menodongkan pistol yang siap meletus. Rambut panjangnya tergerai jatuh menutupi mukanya mengikuti gerakan kepalanya yang sedikit menunduk ke depan.
DOR!!!!
Bunyi keras seperti letusan pistol tiba-tiba terdengar begitu mengerikan, berbarengan dengan pekikan histeris gadis-gadis itu.
Rambut panjang Fairro dibagian sebelah kirinya tersentak seolah ditebas angin keras yang meluncur dari dalam kepalanya serentak dengan semburan darah segar yang segera saja membasahi kepala, wajah dan leher pemuda bermata abu-abu itu. Darah itu begitu deras mengalir seolah hendak membasahi semua yang ada.
Disela pekik jeritnya Nania melihat Fairro diantara biasan cahaya lilin-lilin putih di kamar itu, Fairro mengangkat wajah putih pucatnya yang kini bersimbah lelehan darah. Wajah itu meringis seolah merasakan kesakitan yang luar biasa, tapi tak ada teriakan yang keluar dari mulut Fairro, cuma garis-garis urat yang menegang tersiksa tergambar di wajahnya.
Zreeett...Tiba-tiba gadis-gadis itu tersilaukan oleh cahaya terang benderang lampu kamar yang dihidupkan disertai dentaman pintu kamar yang dibuka dengan keras.
“Ada apa ini?! Apa yang terjadi?! Nania?!!” terdengar teriakan panik dari suara berat Joe abang Nania di depan pintu.
“Joe!!!” jeritan serentak Nania, Winda dan Lusy yang mendadak seolah diberi kekuatan, berlari berhamburan menuju Joe. Nania spontan menubruk abangnya dengan tetesan air mata ketakutan mulai mengalir.
“Nania??!! Ada apa?? Kenapa kalian tadi menjerit??!!” tanya Joe blingsatan
“Itu...Itu...Disana...” Telunjuk gemetar Nania mengarah pada tempat dimana Fairro tadi berada. Tapi sia – sia saja telunjuk itu mengacung, karena Fairro seperti musnah terbawa angin, lenyap, hilang tak berbekas! Bahkan lantai keramik putih itu pun tampak bersih, tanpa ada setitik noda darah pun disana.
“Disana apa? Apa sih sebetulnya yang sudah terjadi?” tanya Joe kebingungan. “Apa yang udah kalian lakukan sehingga kamar ini jadi seperti kapal pecah begini??!!
Pertanyaan Joe menyadarkan ke 3 gadis itu.
“Kamar gue??!!” baru terlihat oleh Nania betapa kacau dan berantakannya kamarnya saat itu. Nania mendekap mulutnya tidak percaya melihat kesekelilingnya. Kamarnya bagaikan kapal pecah, perabotannya jungkir - balik tak keruan, laci – laci dan pintu – pintu lemarinya terbuka dan isinya berserakan di lantai, seolah baru saja ada yang mengacak – acak dan membongkarnya secara membabi – buta.
Nania, Winda dan Lusy saling berpandangan tak mengerti. Sebetulnya apa yang sudah mereka alami tadi? Semuanya begitu mengerikan dan nggak masuk di akal! Apakah...Apakah. Fairro adalah hantu Jelangkung yang mereka panggil? Apakah Fairro yang sudah mengacak – acak kamar itu?? Apakah....
Pandangan mereka mengalih pada boneka kayu berkepala tempurung kelapa yang sekarang tergolek diam membisu di lantai seolah tidak pernah terjadi apa-apa.