Dua puluh tahun kemudian setelah peristiwa bayi misterius itu, di suatu kota di dekat pantai...
Seorang gadis manis berambut ikal sedang menghadiri permakaman mamanya. Gadis itu, Nania, terlihat begitu sedih, air matanya mengalir entah sudah berapa banyak, karena kesedihannya. Nania tidak tau, tapi dia merasa semua berjalan begitu lambat dan semu bagai sedang terjebak di dalam mimpi yang panjang dan menyakitkan. Mulai dari langkah kaki orang – orang yang mengusung keranda jenazah mamanya, prosesi pemakaman mamanya hingga satu demi satu sanak saudara dan teman – temannya pergi meninggalkan tanah pemakaman itu. Dipeluknya papan nisan mamanya yang baru dipasang itu erat – erat. Cuma tinggal dia sendiri disitu, tapi Nania serasa tak sanggup menggerakkan kakinya yang bersimpuh untuk meninggalkan tepi makam mamanya itu.
“Mama...Mama..Kenapa ma? Kenapa mama begitu cepat pergi meninggalkan Nania? Kenapa?” rintih Nania dalam tangisnya. “Nania pasti kesepian tanpa mama, tak ada yang menemani Nania lagi, tak ada yang mendengarkan curhatan Nania lagi...Papa selalu sibuk dengan pekerjaannya..Dan Joe..Joe..Dia lebih peduli dengan pacarnya ketimbang dengan adiknya sendiri...”
Nania mengusap air matanya yang meleleh untuk kesekian kalinya dengan sapu tangan. Rinai hujan yang mulai turun satu per satu membasahi tanah pemakaman itu seolah memaksa Nania untuk bangkit dari depan makam mamanya, seolah memaksa Nania untuk bangun dari mimpi buruknya. Nania mendongak ke atas membiarkan wajahnya dibasahi oleh titik - titik air hujan yang mulai melebat.
“Kenapa Tuhan? Kenapa?” tangis Nania. “Kenapa??”
Petir yang menyambar di langit membuat gadis berambut ikal itu tersentak dan kehilangan keseimbangannya, dia terjatuh, daun – daun basah yang berserakan di tanah permakaman itu mengotori tangan dan bajunya tapi Nania seolah tak peduli dan tak kuasa untuk segera bangkit. Gadis itu cuma bisa menangis dan menangis.
Sepasang kaki bersepatu kets hitam tiba – tiba datang mendekat dan berdiri di depannya membuat Nania terjengah.
Nania mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang datang dan matanya segera saja beradu pandang dengan sepasang mata elang abu – abu yang begitu jernih bagai kristal, sedang menatapnya di tengah hujan itu.
Pemilik mata abu – abu itu, seorang pemuda jangkung berpakaian serba hitam dengan geraian rambut hitam panjang yang menutupi hampir separuh wajahnya. Pemuda itu mengulurkan tangannya seolah ingin membantu Nania bangkit.
Nania terkesima memandang pemuda yang kira – kira sepantaran dengan Joe abangnya. Pemuda itu...Dengan wajahnya yang seolah begitu sempurna bagai wajah patung – patung Dewa legenda Yunani yang indah, kulitnya yang seputih salju serasi berpadu dengan semu merah jambu bibirnya yang tidak tersenyum ketika berpandangan dengan Nania. Tapi sorot mata elangnya yang berwarna abu – abu itu bersinar begitu lembut bagaikan bisa membius siapa saja yang membalas tatapannya.
“Maaf...Gue cuma ingin...” pemuda itu tampak sedikit gugup karena Nania begitu terpaku memandangnya. Bagaikan tersihir Nania menerima uluran tangan itu dan membiarkan pemuda misterius itu membantunya bangkit.
“Te...Terima kasih...” kata Nania ketika pemuda itu mengganti sapu tangan Nania yang sudah basah dengan menyodorkan sapu tangannya sendiri, untuk membersihkan tanah dan dedaunan yang menempel di tubuh Nania. Pemuda misterius itu mengangguk dan kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Nania tanpa berbicara apa – apa lagi.
“Eh....Tunggu...” seruan Nania hampa tak terjawab.
Petir yang menyambar lagi, membuat Nania tersadar untuk segera mencari tempat berteduh.
Sesuatu yang berkilau di tanah membuat Nania tertegun, gadis manis itu membungkuk untuk memungutnya.
“Apa ini? Kalung? “ pikir Nania bingung. “Kalung siapa yang terjatuh disini?”
Seuntai kalung rantai mungil berbandul liontin berbentuk Pentagram. Kalung itu terlalu kecil untuk dikenakan oleh orang dewasa, itu kalung anak – anak!
“Nania...Hujan...Nanti lo sakit...” terdengar seruan Abi teman sekolah Nania yang datang berlari – lari kecil mendekati Nania sambil membawa payung. “Keluarga lo sudah cemas menunggu lo di mobil karena lo sudah terlalu lama di makam “
“Maafkan gue....” sahut Nania pelan, buru – buru diselipkannya kalung mungil itu ke saku roknya. Berpayung dengan Abi, gadis manis berambut ikal itu menembus rinai hujan dan menuju ke tempat keluarga dan teman – teman akrabnya menunggu.
Tak terlihat oleh Nania, ketika pemuda bermata abu – abu yang menolongnya tadi kembali lagi ke pemakaman dan sepertinya sedang kebingungan mencari – cari sesuatu yang tercecer.
Hari sudah malam. Walau orang ramai memenuhi rumahnya untuk Tahlilan, tapi Nania merasa sepi sendiri di dalam kamarnya tak ingin berbaur. Ada luka yang menganga di hatinya, ada sebagian dari jiwanya yang hilang terenggut paksa darinya, air mata Nania menetes lagi untuk kesekian kalinya. Dibelainya foto mamanya perlahan.
“Mama...Kenapa mama meninggalkan Nania? Kenapa?” tangis Nania sedih. Lusy, Winda dan Abi, teman – teman akrabnya masuk ke dalam kamarnya untuk menghiburnya, mencoba untuk meringankan kesedihannya.
“Nania...” tegur Winda sambil menyentuh pundak Nania pelan. Nania menoleh.
“Win...” tangis Nania meledak. Remaja – remaja belia itu saling berpelukan mencoba berbagi rasa.
“Yang tabah ya Nan...Yang sabar....” kata Winda berusaha menguatkan hati Nania.
“Iya Nan....” Lusy ikut berbicara. “ Lo kan masih punya gue, Winda dan Abi...”
Nania tak bisa berkata - kata, gadis berambut ikal itu hanya bisa memeluk teman – teman akrabnya lebih erat lagi.
Pagi itu sebetulnya sangat indah. Langit yang membiru mengarak awan putih, mempermainkan rambut ikal Nania dengan sejuk anginnya. Tapi keindahan itu tampaknya tidak mempengaruhi suasana hati Nania. Gadis manis itu membiarkan pasir putih menggesek – gesek kakinya yang tak bersepatu itu, menelusuri pesisir pantai mencari ketenangan hatinya yang gundah.
Sendiri.
Sepi rasanya.
Tapi Nania ingin sendiri, karena dia memang sudah sendiri, mama yang sangat dicintainya sudah tak ada. Tak ada lagi tempat dia bermanja dan merasakan belaian kasih.
Pantai itu masih sepi sepagi ini, tapi dimata Nania, pantai itu seolah ramai dengan gema suara tawa mamanya yang bercanda ria dengannya diantara deburan ombak pantai. Seolah tergambar lagi dimatanya, bayangan dirinya yang masih kecil menari – nari disekeliling mamanya di pantai itu. Tubuh mungilnya berlari – lari diatas pasir, bercanda bersama mama. Dia terjatuh, menangis dan mama datang memeluknya dengan penuh kasih, mengusap air matanya dan mencium keningnya.
“Ah mama...” rintih Nania di dalam hati. “ Nania kangen sama mama, kenapa mama begitu cepat meninggalkan Nania? Padahal 2 minggu lagi Nania ulang tahun yang ke-17...Padahal Nania ingin sekali merayakan ulang tahun yang sangat berarti itu bersama mama. Kenapa ma?...Nania...Nania ingin rasanya mama kembali lagi...Ingin sekali...”
Nania menghapus air matanya yang mulai menetes jatuh. Deburan ombak pantai menyapu kaki – kakinya. Airnya dingin menyejukkan.
Nania juga ingat, rasanya baru kemarin dia, Joe, papa dan mamanya sama – sama berlibur ke pantai. Nania ingat betapa mamanya cemas dan panik melihat dia terjatuh dari boncengan jetski Joe di laut. Mamanya langsung menghambur memeluknya ketika dia akhirnya berhasil kembali lagi ke darat bersama Joe.
Nania menghela nafas panjang. Gadis itu menebar pandangannya ke lautan. Birunya laut sebiru perasaannya saat itu. Perlahan dia meneruskan menelusuri pantai itu.
“Eh?...Ternyata ada orang disini selain gue!!” tiba – tiba Nania berhenti berjalan. Beberapa meter di depannya, dia melihat sesosok tubuh berbaring terlentang di atas pasir putih pantai itu. Deburan ombak pantai berulang – ulang menyapu tubuh itu, seorang pemuda bertubuh jangkung dan berambut panjang.
“Kenapa orang itu? Apa dia tak takut terseret ombak?” pikir Nania heran. “Atau....Jangan – jangan dia pingsan? Atau...Atau dia mau....”
Rasa penasaran membuat gadis berambut ikal itu perlahan – lahan mendekati pemuda itu.
Pemuda itu bahkan masih berpakaian lengkap. Air ombak mempermainkan celana panjang jeans dan kemejanya. Rambutnya yang hitam panjang menempel di pipinya, di lehernya dan dibahunya setiap kali ombak meninggalkannya, dan menguraikan kembali rambut panjang itu ketika ombak datang mengguyur tubuh jangkung itu dengan airnya yang dingin. Mata pemuda itu terpejam, seolah – olah dia sedang tidur.
Diam – diam Nania memperhatikan pemuda itu. Gadis manis itu mendekap mulutnya.
“Rasa – rasanya gue seperti sudah pernah melihat dia sebelum ini. Wajahnya yang spesifik...Rambutnya...Tapi dimana ya?” Nania menahan nafas memandangi pemuda itu, seolah takut pemuda itu tiba – tiba bangun.
Kulit pemuda itu begitu putih seperti salju, wajahnya pucat karena terbenam air ombak. Nania seperti sedang melihat patung lilin dari legenda dewa – dewa Yunani yang sangat indah, patung lilin yang seolah dibuat dengan sangat hati – hati dan sangat sempurna. Wajahnya yang specifik, hidungnya yang mancung, dan bibir merah mudanya yang bagus, lehernya, bahunya yang kokoh tersembul dibalik kemejanya yang sudah acak – acakan tak keruan terkena ombak...Tapi kenapa dia cuma diam tak bergerak begitu? Pingsan...Atau dia sengaja mau bunuh diri?
Nania nyaris terpekik kaget ketika tiba – tiba pemuda itu membuka matanya. Matanya berwarna abu – abu jernih, menatap Nania tajam – tajam, seperti mata elang yang berkilat lapar mengintai mangsanya.
Gadis berambut ikal itu termundur beberapa langkah ketika pemuda itu bangkit dari pasir.
“Maaf...Gue nggak bermaksud mengagetkan elo...” kata pemuda itu sambil masih menatap Nania dengan mata abu – abunya, tapi sorot matanya sudah mulai melunak. Pemuda itu mengumpulkan sepatunya yang berserakan dipermainkan ombak.
“Gue...” pemuda itu memperhatikan wajah Nania yang muram. “Kenapa lo keliatan sedih?....Lo...Masih mikirin ibu lo??”
Nania terkejut mendengarnya, pemuda itu seolah bisa membaca isi hati Nania. Gadis itu baru sadar dimana dia pernah melihat pemuda itu sebelumnya.
“Gue baru ingat, dia yang pernah menolong gue dan memberi gue sapu tangan ketika di pemakaman mama waktu itu....” kata Nania di dalam hati. “Kenapa dia bisa ada disini juga?”
Gadis manis itu terperangah ketika pemuda gondrong itu berjalan mendekatinya dan walau awalnya terlihat ragu – ragu, si gondrong itu tiba-tiba menyentuh pipi Nania perlahan.
“Asal lo mau tabah menghadapinya...Semua akan baik – baik saja...Percayalah...” kata pemuda itu lembut. “Ibu lo tidak pergi, tapi dia hidup di hati lo...Menyertai lo kemanapun lo melangkah...”
Nania baru hendak membalas kata – kata pemuda itu ketika dilihatnya pemuda itu buru – buru menurunkan tangannya dan wajahnya berpaling ke arah lain.
“Nania!! Naniaa!! Wah disini rupanya elo........Kami mencari lo kemana – mana!” terdengar suara Winda, Lusy dan Abi yang berlari – lari datang mendekat.
Nania menoleh. Teman – teman akrabnya itu ternyata risau mencari – cari dirinya yang memang menghilang tanpa sepengetahuan siapa - siapa sejak pagi – pagi sekali.
Teman – teman setianya itu menginap di rumahnya sejak dari pemakaman mama, mumpung liburan sekolah masih ada beberapa hari lagi, mereka memutuskan untuk menemani Nania yang sedang sedih atas kepergian mamanya.
“Nania, lo udah bikin kami cemas aja, pergi gak bilang – bilang!” omel Winda ribut.
“Iya nih...Tapi...Siapa sih dia, Nan? Yang bicara dengan lo itu? Wadduh...Cakep sekali diaaa...Seperti foto model!!” Lusy bicara tanpa malu – malu lagi. Nania menggerutu, temannya yang satu itu memang nggak bisa melewati yang cakep – cakep sedetikpun juga, radarnya pasti sudah menangkap dengan cepat.
“Oh dia...” Nania kecewa ketika melihat pemuda itu tiba – tiba saja pergi meninggalkannya begitu teman – temannya datang mendekat. Pemuda itu berlalu begitu saja tanpa ngomong sepatah kata pamitan sedikitpun. Nania bahkan belum sempat menanyakan namanya siapa. Gadis manis itu memandangi punggung pemuda gondrong yang sudah pergi menjauh dari situ. Pemuda aneh, dia datang dan pergi seperti hantu, seolah begitu tiba – tiba, muncul entah dari mana, dan menghilang begitu cepat entah kemana.
“Cakep apanya? Dia kan Fairro, temen satu kampusnya kakak gue!” kata Abi yang membuat Nania nyaris jantungan karena Abi ternyata mengenal pemuda gondrong itu. “Aneh gitu dibilang cakep? Nggak ngerti deh gue, kakak gue juga sampe tergila – gila dengan dia, kenapa sih? Apa karena dia pintar main biola?? Kalo menurut gue sih Fairro itu rada- rada gak waras...”
“Hus!!” Winda melotot mendengar kata – kata Abi yang mencerocos tanpa rem.
“Ya memang seperti itulah yang gue liat...” sahut Abi sambil nyelonong mendahului teman – teman wanitanya, ada nada iri di dalam suara Abi.
“Eh tunggu...Tunggu...Lo bilang namanya Fairro ya?” tanya Nania mengejar langkah Abi, diam – diam gadis berambut ikal itu tak dapat menahan rasa penasarannya tentang pemuda gondrong misterius yang ternyata bernama Fairro itu. “Dia temen sekampus kakak lo ya? Dia pinter main biola?”
“Ho oh!” sahut Abi.”Kenapa? Lo juga naksir??”
“Abi...Gue kan cuma nanya...Soalnya dia...”
“Soalnya dia kenapa?”
“Ah nggak...Nggak ada apa – apa kok...”
“Nania? Kenapa sih?” Abi gusar melihat sikap Nania, tapi gadis itu tak menjawab lagi.