Siang itu Winda dan Lusy sibuk membantu Nania merapikan kamarnya yang semalam porak – poranda gara – gara permainan Jelangkung itu.
“Permainan Jelangkung itu...Kenapa jadi aneh diluar kendali seperti itu ya? Win, apa kita sudah salah merapalkan mantranya kemaren malam?” kata Nania sambil memasukkan buku – bukunya yang berserakan di lantai ke dalam rak lemari bukunya. Winda yang sedang sibuk membetulkan letak pigura – pigura foto yang ada di meja belajar Nania, mengangkat bahu.
“Kayaknya enggak deh, dan setau gue, Nan...Permainan Jelangkung itu adalah permainan memanggil roh dan rohnya cuma datang lewat perantaraan sebuah media. Bukannya membuat roh muncul sampai berupa sosok yang jelas banget begitu, seperti mahluk kasat mata...”
“Maksud lo...Membuat Fairro muncul...” sela Lusy mengoreksi kata – kata Winda.
“Ih Lusy...”
“Memang benar kan? Fairro datang kemaren malam? Si cakep itu...” suara Lusy terdengar getir karena gadis itu jelas-jelas merasa Fairro tidak cocok lagi di bilang ‘si cakep' setelah kejadian tadi malam.
“Iya sih....Tapi gue sama sekali nggak menyangka...Si Fairro...Yang temennya kakak Abi...Kenapa dia bisa jadi seram begitu?...Jangan – jangan...Jangan - jangan sebetulnya Fairro sudah mati....Jadi rohnya dia yang kepanggil oleh permainan kita...” kata Winda dengan tampang nggak enak.
Ke – 3 gadis itu saling berpandangan ngeri.
“Jadi....Jadi yang kita temui di pantai itu hantunya Fairro?? Dan gue juga, sebelum di pantai itu, pernah ketemu dia di pemakaman mama....Bahkan dia sempat memberi gue sapu tangan...” kata Nania dengan suara sedikit gemetar.
“Dia....Dia sempat memberi lo sapu tangan?? Nan...Hiiy...Buang saja deh sapu tangan itu...Serem!!” kata Winda spontan. “Nanti ada apa – apanya lagi..”
“Iya, gue juga sudah berniat begitu...Ini dia sapu tangannya....” Nania mengambil sehelai sapu tangan dari tumpukan baju – bajunya yang masih berserakan di atas tempat tidur. Gadis – gadis remaja itu menggidik memandangi sapu tangan itu.
“Eh...Apa lo-lo yakin Fairro tidak akan kembali lagi?” tiba – tiba Lusy berkata.
“Ih Lusy, jangan ngomong yang nakut-nakutin begitu ahh....”
“Ya abisnya kemaren kan kita membiarkan boneka kayu itu tergeletak begitu saja di kamar ini....”
“Lusy, sudah deh...”
“Siapa tau dia kembali lagi....Setau gue permainan Jelangkung itu kan.......”
“Lusy, pliiis?”
“Iya iya...Gue kan cuma ngingatin...Biar bisa diantisipasi...”
Sesaat kamar itu sunyi akibat perkataan si Lusy. Gadis – gadis itu mendadak bekerja dalam diam. Tiga – tiganya merasa seram membayangkan kemungkinan itu, membayangkan kalo Fairro datang lagi menghantui mereka. Lusy benar, malam itu mereka memang membiarkan boneka kayu media Jelangkung mereka itu tergeletak begitu saja di lantai kamar tanpa menutup ritual permainan jelangkung mereka dengan benar.
Bayangan Fairro yang berjalan terseret – seret mendekati mereka, bayangan wajah pucat Fairro yang bersimbah darah, dengan mata abu – abunya yang dingin menatap mereka. Semuanya berkelebatan begitu mengerikan dan begitu mengganggu pikiran mereka. Nania merasa bulu kuduknya berdiri, karena dia yang paling sering ketemu dengan Fairro.
“Padahal..Padahal gue ingin banget bisa berkomunikasi dengan mama lewat permainan Jelangkung itu...” kata Nania pelan. “ Tapi kenapa bisa kacau begitu ya jadinya? Kenapa justru Fairro yang datang??”
Winda dan Lusy memandang Nania dengan iba. Kedua teman akrab Nania itu sangat tau kalo Nania masih sedih dengan kepergian mamanya yang sangat dicintainya itu. Mereka tau Nania kecewa karena mereka tidak berhasil memanggil roh mama Nania tadi malam, yang ada malah terjadi kekacauan yang membuat Fairro datang.
“Permisiii...Wah disini toh cewek-cewek ini berkumpul...” sebuah suara tiba-tiba terdengar mengagetkan ketiga gadis itu. Seorang pemuda tanggung bertampang bandel yang memakai topi pet terbalik muncul di depan pintu kamar Nania yang terbuka lebar itu. “Tadi bik Inah bilang kalian ada di lantai atas, jadi gue pikir kalian pasti ada dikamar Nania...Makanya gue langsung saja ke sini...”
“Eh Abi...Yuk masuk deh....Nggak apa – apa kok..."
“Lagi pada ngapain nih? Asyik benar kayaknya ngobrol-ngobrol?” tanya Abi sambil duduk di tempat tidur Nania. “Lagi ngegosipin gue yaa?”
“Yeeiii...Ge-er lo....Siapa juga yang mau ngegosipin elo?” bantah Winda segera. Abi cengengesan jelek.
“Eh jadi nggak?? Kan katanya kita mau ke toko buku hari ini...Besok kita sudah mulai masuk sekolah lagi kan?” kata Abi. “Gue juga kayaknya perlu membeli beberapa alat tulis...Selama liburan, pena – pena gue, pinsil, penggaris...Seperti hilang entah kemana...Pusing gue mencarinya tadi malam....”
“Iya ya benar juga...Gue hampir lupa kita mau ke toko buku bareng hari ini...” kata Winda setengah merasa lega karena pembicaraan mereka yang tidak mengenakkan itu kini jadi berganti topik karena kedatangan Abi. “Yuk..Lagi pula kamar ini sudah rapi...Kita pergi sekarang yuk??”
Lusy segera mengangguk setuju.
“Nan...Lo ngapain lagi sih? Lo ikut kan??” Winda heran melihat Nania keliatannya masih saja sibuk berkutat di depan meja riasnya, seperti sedang mencari – cari sesuatu. “Nyari apa lo? HP Android lo? Tuuh...HP Android lo ada di atas tempat tidur tuuh.....”
“Bukan...Bukan HP...Tapi kalung....Ada yang liat nggak waktu kita membereskan kamar tadi??” sahut Nania dengan wajah kebingungan.
“Kalung??”
“Iya..Kemarin waktu di pemakaman mama, gue ketemu kalung tercecer...Unik banget...Entah siapa yang punya...Kalungnya mungil banget..Ada liontin Pentagramnya...Jadi gue simpan, karena siapa tau ada yang kehilangan...Jadi kan bisa minta ke gue...” kata Nania sambil mengaduk – aduk kotak perhiasannya tempat dia menyimpan kalung temuannya itu. “Tapi sekarang kok hilang ya? Gue ingat betul kemarin gue menyimpannya di dalam kotak ini....”
“Ah pasti terselip entah dimana waktu kamar lo berantakan semalam...Nanti saja kita cari lagi...” kata Winda.
“Ya mungkin saja ya? Mungkin terselip atau...Terjatuh ke bawah tempat tidur??” Nania dengan penasaran merangkak ke bawah tempat tidurnya mengintip kalau – kalau kalung itu ada disana. Tapi Winda segera menariknya dengan tidak sabar.
“Ayo ah!! Nanti saja kita cari...Yuk, kita pergi...Sekalian kita membuang boneka Jelangkung itu.......Dan sapu tangan itu...Mumpung kita memang mau keluar ini...”
“Oh iya...Usul bagus!!! Seram gue lama – lama, kalau boneka itu masih disini...” dukung Lusy.
Mata Abi membulat mendengar kata – kata boneka Jelangkung. Dia memang sama sekali tidak tau tentang kejadian yang menimpa teman – teman wanitanya, karena dia sudah pulang ke rumahnya sendiri tadi malam, tidak ikut menginap lagi.
“Boneka Jelangkung???” tanya Abi ingin tau.
“Ah iya si Abi nggak tau ya?”
“Gue nggak tau apa?? Emangnya ada apa sih??” desak Abi.
“ Ya sudahlah...Nanti gue ceritain di mobil aja deh..Yuk...” kata Winda sambil menggamit Abi agar meninggalkan kamar Nania mengikuti Lusy dan Nania yang sudah duluan turun ke lantai bawah rumah Nania.
Dengan menggunakan mobil Nania, ke empat remaja itu berangkat menuju ke sebuah toko buku besar yang cukup terkenal di kota mereka. Di tengah perjalanan ke sana, remaja – remaja itu menyempatkan diri membuang boneka jelangkung dan sapu tangan pemberian Fairro ke sebuah tempat pembuangan sampah yang mereka lewati, berharap mereka tidak terkena dampak apapun dari permainan Jelangkung itu.
“Hmm...kita cari apa dulu?” tanya Nania ketika mereka berempat sudah sampai di toko buku besar itu dan masuk ke dalamnya. “ Lo mau mencari alat tulis dulu, Bi? Eh Abi?...Winda? Lusy??”
Nania terbelalak. Dilihatnya teman – temannya tau – tau sudah menghilang dalam sekejap dari sisinya. Winda dan Lusy tau-tau udah asyik di Bagian New Entry, cekikikan melihat-lihat buku Novel Barbara Cartland yang baru. Sementara Abi, bukannya nongkrong di bagian alat – alat tulis melainkan sudah asyik menggoda gadis pramuniaga toko yang bertampang manis di bagian Buku Komik. Nania menggeleng-gelengkan kepala.
“Dasar...” keluh Nania dalam hati. “Ya sudah, nggak apa – apa..Gue sendirian saja cari buku buat pelajaran Bahasa Indonesia...Hmm....Gue harus cari Bagian Sastra...”
Nania sendirian mencari-cari deretan rak buku bagian Sastra.
“Dimana ya?..Ah itu dia!” Nania akhirnya menemukan plang nama ‘Sastra’ diantara sekian banyak deretan rak-rak buku di toko buku besar itu. Nania segera mendekatinya dengan penuh semangat.
BRAK!!
Nania tidak melihat ada orang yang berdiri di ujung rak buku-buku Sastra itu, dan menabraknya dengan sukses hingga buku tebal yang dipegang orang itu terjatuh karenanya.
“Sorry...” kata Nania spontan membungkuk untuk mengambilkan buku yang terjatuh itu. Tapi ternyata orang itu pun spontan berbuat yang sama. Tangan-tangan mereka beradu diatas buku tebal itu.
“Eeeh...” Nania terjengah menatap orang itu...Orang itu seorang pemuda bertampang indo, berambut panjang, bermata abu-abu, membalas menatap Nania.
“Oh...Tidaak!!...Fairro!!!” pekik Nania kaget bukan buatan, gadis manis itu nyaris jatuh terduduk akibatnya. Orang itu...Orang yang ditabraknya itu ternyata adalah Fairro, pemuda gondrong yang menyeramkan itu, hantu jelangkung itu!! Bagaimana mungkin dia bisa bertemu lagi dengan Fairro disini?? Kenapa harus dia??
Ini bagaikan mimpi buruk yang sangat mengerikan, Nania seolah merasa ada sepotong balok es yang begitu dingin mencelos hatinya saat itu. Gadis itu menggigil ketakutan sambil terpaku memandangi Fairro yang juga sedang memandanginya dengan mata abu – abunya. Nania merasa seperti dipaksa untuk melihat lagi pemandangan horror malam itu.
Bagaikan ada belenggu besi yang berat sedang memborgol kedua kakinya saat itu, Nania hampir menangis berusaha bergerak tapi tak bisa. Sementara Fairro...Mahluk bermata abu – abu itu justru bergerak, merangkak semakin mendekatinya, mengulurkan tangannya yang pucat kebiru-biruan itu, berusaha meraih Nania.
“Jangan...Tidaak...!!” jerit Nania sejadi - jadinya. Dunia disekitarnya serasa mendadak menjadi gelap, Nania nggak tau tapi sayup – sayup dia mendengar suara Winda dan Lusy.
“Nania? Ada apa?!!”
“Nania?!!”
Nania menubruk kedua temannya itu dengan sisa-sisa kekuatannya, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
“Fairro...Fairro...” Nania mengacungkan tangan gemetarnya ke arah pemuda bermata abu-abu yang ditabraknya tadi. Jeritan histeris Winda dan Lusy seolah menulikan seluruh pengunjung toko buku itu.
Entah bagaimana caranya akhirnya ketiga gadis SMU itu sudah berada di luar toko buku. Seolah lupa akan tujuan mereka semula ke toko buku itu, seolah tidak melihat Abi malang yang sia – sia berlari- lari mengejar mereka di tangga keluar toko buku, memanggil – manggil mereka. Ketiga gadis itu memburu masuk ke dalam mobil mereka yang terparkir dihalaman toko buku dan langsung tancap gas pergi. Raut ketakutan yang amat sangat tergambar jelas pada wajah gadis-gadis itu. Pikiran – pikiran mengerikan berkelebatan di benak mereka. Apakah...Apakah Fairro...Hantu Jelangkung itu mengikuti mereka? Apakah Fairro menhantui mereka karena mereka tidak mengembalikan dia setelah permainan Jelangkung kemarin malam itu??
Nania mengemudikan mobilnya bagaikan gila melaju meninggalkan toko buku. Ketika membelok di sebuah tikungan tajam, sebuah mobil Avanza tiba-tiba muncul dari arah yang berlawanan. Nania kaget dan spontan membanting stir ke kiri untuk menghindari Avanza itu. Winda dan Lusy menjerit ketakutan. Untung Avanza berhasil dihindari, mereka selamat dari tabrakan. Tapi akibat membanting stir dalam kecepatan tinggi, mobil Nania selip dan berputar gila-gilaan, sebelum akhirnya berhenti mendadak melintang di tengah jalan. Ketiga gadis itu terduduk lemas dengan wajah pucat pasi dan badan gemetaran. Lusy bahkan tampak berlinangan air mata di Jok belakang. Untung jalanan saat itu sedang sepi, sehingga mobil mereka tidak mengenai yang lain. Tapi bunyi klakson nyaring sebuah Bus besar segera mengagetkan ketiganya.
“Oh...Tidaaak!!” jerit Nania histeris melihat sebuah bus besar tengah melaju tepat menuju kearah mereka yang masih terperangkap di dalam mobil yang melintang di tengah jalanan itu. Ketiga gadis itu serentak serabutan berusaha keluar dari dalam mobil. Bus yang tampak bagai momok yang mengerikan itu terus melaju seolah tidak memberi kesempatan sedetikpun bagi gadis-gadis itu untuk keluar dari mobil, menyelamatkan diri. Rasa panik yang menyerang, membuat mereka semakin sulit untuk membuka pintu mobil yang seolah macet, tidak mau dibuka.
Pada saat yang begitu kritis, tiba-tiba aja sekelebatan bayangan sosok berambut gondrong tampak berlari melesat ke tengah jalan. Ketiga gadis itu tersentak dan hanya bisa melongo melihat sosok itu berhenti berlari tepat ditengah-tengah antara mobil Nania dengan Bus tadi.
Seolah semua waktu membeku dalam beberapa detik, seolah semua tiba-tiba jadi bergerak begitu lambat, sosok itu berdiri di tengah jalan, merentangkan kedua tangannya seakan dia ingin menantang bus itu. Sosok itu memejamkan matanya, membiarkan baju kemejanya yang berwarna hitam itu dan rambut panjang hitam lebatnya itu berkibaran dipermainkan angin. Bus berhenti dengan bunyi mendecit-decit mengerikan hanya berjarak beberapa senti dari tubuh sosok itu.
“Heh, mau mati ya??!! Dasar anak muda gila!!” sumpah serapah supir Bus itu menyembur pada sosok itu.
Tapi sosok itu cuma diam membisu sambil menatap supir bus itu beberapa saat sebelum kemudian melangkah pergi dari situ dengan gaya tidak peduli. Sekilas sosok itu menoleh pada ketiga gadis SMU yang masih melongo terpukau di dalam mobil.
Nania, Winda dan Lusy tersentak kaget. Sosok itu bermata abu-abu, bertampang indo, berkulit putih pucat, berambut gondrong...
“Itu...Itu...Fairro...” suara Nania terdengar begitu shock ketika mengucapkan itu. Winda dan Lusy cuma bisa saling berpandangan dengan lemas.
“Ta...Tapi Fairro menyelamatkan kita...” kata Lusy tiba-tiba seolah menyadarkan mereka bahwa ulah nekad yang telah dilakukan sosok bermata abu-abu itu telah menyelamatkan mereka dari hantaman bus besar tadi.