Loading...
Logo TinLit
Read Story - FLOW in YOU (Just Play the Song...!)
MENU
About Us  

ALUNAN piano berhenti terdengar.

            Jemari Allexa mengambang beberapa senti di atas deretan tuts piano di hadapannya. Ia  berhenti dalam permainan pianonya—lagi. Tatapannya masih tertuju pada deretan tuts berwarna hitam putih selama beberapa saat. Berikutnya perhatiannya terjatuh pada repertoir di hadapannya.

Sonata No. 14, 'Moonlight' Op. 27, No. 2— judul yang akrab selama setahun ini.

3rd Movement— dimainkan dalam tempo yang cepat.

Ludwig Van Beethoven— komposer terkenal dengan karya-karyanya yang melegenda.

Deretan notasi balok menghiasi repertoar ini. Garis para nada yang seakan saling berpasangan. Enam baris pertama sebagai deret notasi yang dimainkan tangan kanan— bagian rigth hand – memainkan nada dasar G. Enam baris kedua yang terletak di bawah  deret garis paranada bagian rigth hand – bagian left hand— bagian nada yang dimainkan tangan kiri—

memainkan notasi balok dengan nada dasar F. Dua akord yang akan selalu dimainkan dari awal sampai akhir lagu Moonlight.

            “Mis...

            Suara lirihnya memecah keheningan.

            “Tidak apa-apa. Ayo lanjutkan. Jangan ragu-ragu.”

            Allexa menoleh. Melihat wajah Ibu gurunya tengah menatapnya penuh harap. Dalam benaknya ia bertanya-tanya mengapa wanita paruh baya ini masih saja bersi keras mengajarinya berlatih piano.  Sementara sedari tadi ia tak berhasil menunjukkan kemajuan dalam latihannya.

            “Asalakan tekun dan sabar, sesulit apapun lagunya pasti bisa. Kamu ikut kompetisi tahun ini kan?”

            Seketika itu, mata Allexa benar-benar menatap mata ibu gurunya. Penuh harap dan keyakinan bahwa anak didiknya ini pasti bisa mengikuti semua keinginan sang guru. Apa hanya itu yang selalu beliau pikirkan. Jauh di lubuk hati, Allexa ia selalu memprotes agar beliau juga mau mendengar dan memahami bagaimana motivasi anak didiknya yang telah kehilangan kepercayaan diri hanya untuk berdiri di atas panggung kompetisi. Meski sudah setahun berlalu, tapi kenangan itu begitu menyayat rasa percaya diri dalam dirinya. Ia tidak selalu sependapat dengan kompetisi piano yang selalu menjadi kebanggaan ibu gurunya ini.

            “Tidak bisa. Saya tidak bisa ikut kompetisi lagi. Selalu saja ada mis. Selalu ada kesalahan.” Ungkap Allexa mencoba jujur pada kelemahannya.

            “Kamu memang bukan pencipta lagu ini. Terjadi mis atau semacamnya itu wajar Allexa.” Bu Risa tersenyum berusaha menghibur. “Siapapun pasti pernah melakukan kesalahan seperti itu. Nah, tugasmu adalah belajar dari kesalahanmu agar tidak terulang lagi. Mengerti?” ucap Bu Risa masih berusaha menasihati.

            Bosan mendengar nasihat yang terlanjur sering didengarnya itu, Allexa mengalihkan perhatiannya pada grand piano hitam model S—baby grand piano di hadapannya. Benar. Sejak kecil Papa sudah mengenalkannya pada alat musik ini. Tapi kenapa dia masih melakukan kesalahan-kesalahan. Bahkan di bagian yang sama. Apa itu tidak keterlaluan namanya? Mendadak ia bangkit dari duduknya.

            “Maaf, tapi tahun ini saya memutuskan tidak mengikuti kompetisi piano.” ucapnya

Mulus. Bahkan telinganya tak percaya ia benar-benar mengatakan keputusan ini.

Hening tidak ada tanggapan dari sang guru. Mendadak suasana ruang kelas musik terasa begitu hening. Atmosfer kaku dan berat semakin menjalar di sini.

            “Bulan Januari kau sudah melewatkan Famous Music Competition. Bulan Maret kau

juga melewatkan kompetisi piano Yamaha. Kau akan melewatkan kompetisi YMI meski ini

kesempatan terakhirmu?” desak Risa. Ia berharap anak didiknya akan berubah pikiran. Nyatanya tidak sama sekali. “Baiklah aku tidak bermaksud memaksamu untuk mengikuti kompetisi piano.” Ucap Bu Risa seraya menepuk bahu Allexa. Ia menghela napas dalam. Beranjak menuju meja di seberang untuk mengambil beberapa buku panduan di sana. “Sampai di sini dulu latihan untuk hari ini.” Ucapnya membuat Allexa menoleh padanya. Ia tersenyum ramah seperti biasa. “Keputusan ada di tanganmu Allexa. Dan jika kamu berubah

pikiran, temui Ibu di kantor,  kita akan berlatih lagi, mengerti?” tambahnya lagi.    Satu anggukan kecil yang ditunjukkan Allexa cukup membuatnya lega. Ia lekas meninggalkan ruang kelas seni. Namun sebelum ia benar-benar melewati pintu keluar, jari telunjuknya terangkat. Ia kembali menoleh pada anak didiknya yang masih mematung.

            “Satu lagi,” ia menurunkan jari telunjuknya. “Dari yang sudah-sudah, kau selalu mengikuti gaya bermain komposernya. Itu bagus tapi kau juga harus memiliki karakter permainanmu sendiri.” Terangnya dengan nada memberitahu.

            “Karakter?” ulang Allexa ingin memastikan.

Bu Risa tampak berfikir sejenak. Ia mencoba mencari kalimat yang tepat agar Allexa memahami perkataannya. “Dalam memainkan piano, kau pasti memiliki alasan dan tujuan. Misalnya memainkan piano membuatmu merasa senang, atau kau ingin agar semua orang bisa mendengarkan lagu yang kau mainkan. Itulah yang akan membentuk karakter pada permainan pianomu.” Ucapnya seraya membetulkan kacamata tak berbingkainya.

            Allexa mengangguk. “Baiklah. Saya mengerti.” Jawab Allexa sekenanya.

Guru kelas musiknya benar-benar mengakhiri latihan hari ini. Beliau berbalik lalu melangkah keluar. Perhatiannya masih tertuju pada ambang pintu yang terbuka. Ia terududuk di kursinya. Waktu serasa berjalan amat lambat. Seperti biasanya, hanya ada dia dan piano. Perasaan gamang dan takut kembali merayapinya. Ketakutan akan melakukan mis, lupa notasi, sering  membuat kesalahan, semakin membayang. Lebih baik menyerah saja dari pada dipermalukan di atas panggung. Toh untuk memenangkan sebuah kompetisi usaha keras saja tidak cukup. Bukan hanya motivasi, tapi juga butuh faktor “x”, dan keajaiban dari langit. Ia meraih ponselnya. Menge-play ulang sebuah permainan piano seorang pianis yang di-download-nya dari sebuah situs internet. Menunjukkan sebuah permainan pianoo dari seorang pianis dengan kesan kuat dan akurat.

Valentina— sang pianis yang memberi kesan permainan piano yang hebat dan akurat. Apa ini yang disebut karakter? Bagaimana agar musikku berkarakter?

Allexa menekan tombol stop. Permainan piano berhenti. Suara alunan piano yang dimainkan dalam tempo yang cepat dari pianis bernama Valentina pun berakhir. “Keputusanku sudah bulat.” Ia menghela napas. Bersamaan dengan hal itu sesuatu berdebam dari arah pintu.

            “Menyebalkan!”

            “Misca?!” Allexa terkejut melihat kehadiran Misca yang tiba-tiba di sana. Tangan kanannya mengepal di atas daun pintu. Wajahnya cemberut dan terlihat kesal. Tanpa melepas sepatunya, ia berjalan memasuki ruang kelas musik dengan langkah cepat. Selanjutnya, Misca terduduk di salah satu deretan kursi yang biasanya digunakan untuk duduk para pemain cello.

            “Menyebalkan! Menyebalkan! Pembohong! Pembohong!” Misca merengek seperti anak kecil kehilangan mainannya sambil memukul-mukulkan tangan ke tas di pangkuannya.

            “Eh? Siapa yang menyebalkan dan siapa yang pembohong?” selidik Allexa hati-hati.

            Misca menoleh ke arahnya dengan wajah menahan emosi.

            “Dia bilang akan meminjamiku CD rekaman Lollipop! Nyatanya, dia justru meminjamkannya pada orang lain!”

            Allexa mengerjap-ngerjapkan matanya. Siapa gerangan yang dibicarakannya.

Mengapa mengatakan hal-hal yang membuatnya bingung. “CD rekaman Lollipop?” tanyanya dengan nada memastikan.

            Misca menganggku seraya bangkit dari aktivitas merengeknya. Ia berdiri seraya melipat kedua tangan di depan dada. Dalam sepersekian detik, ia melompat dan lekas menempatkan diri untuk duduk di kursi empuk di sebelah Allexa. Ia mengangkat kedua tangannya kemudian menghujamkannya di atas tuts piano tanpa memperdulikan bunyi tak karuan yang diakibatkan dari ulahnya itu.

            Allexa kelabakan mencoba menghentikan aksi mengerikan sahabatnya yang satu ini. “Jangan memainkannya dengan sembarangan. Tutsnya bisa bermasalah.” Ucapnya mencoba menghentikan aksi Misca. “Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyanya lagi.

            Misca menoleh seketika itu juga. “To much…” desisnya. Ia kembali menghujamkan jemarinya di atas tuts piano seakan tengah memukulinya tanpa ampun tanpa memperdulikan suara berisik yang ditimbulkan membuat Allexa menutup kedua telinganya menggunakan telapak tangannya. Melihat Allexa yang ketakutan, iapun menghentikan tindakan kasarnya pada piano ini. “Kau tahu, hari ini aku ulangan tanpa belajar dari buku catatan.”

            “Kenapa tidak pinjam catatanku saja?” Protes Allexa masih dengan telapak tangan menempel di telinganya. Wajahnya masih ketakutan.

            Misca menundukkan kepalanya. Mengamati deretan tuts piano.  “Catatanmu berbeda dengan catatanku. Aku punya cara belajar sendiri dengan membuat catatan yang berbeda dengan yang diterangkan guru.” Ia meghela napas panjang. Jari telunjuk kanan saja yang masih menekan tuts B minor seolah mengiringi ceritanya hari ini. “Kemarin aku pinjamkan buku catatanku padanya dengan imbalan dia akan meminjamkan CD rekaman Lollipop padaku. Nyatanya aku tidak bisa belajar karena ada ulangan dadakan hari ini. Dan siang ini dia dengan seenaknya mengatakan kalau CD itu sedang dipinjam temannya.” Jelasnya dengan volume suara makin merendah.

            “Wow. Kedengarannya masalah yang serius.” komentar Allexa.

            Misca mengangguk menyetujuinya. Ia melihat wajah Allexa menatapnya khawatir.

            “Tumben latihanmu sudah selesai?” Tanya Misca seakan mengalihkan pembicaraan.

            Refleks Allexa menoleh ke arah jam dinding di atas sana. Pukul 2 lewat sepuluh menit. “Ya. Latihannya sudah selesai.” Jawabnya singkat.

            Misca mengangguk-anggukan kepalanya. Ia meraih selembar kertas print-out yang cukup menarik perhatiannya. Rupanya berisi pengumuman kompetisi piano. “Dulu waktu masih SMP kau pernah memenangkan kompetisi—“

“FMC—Famous Music Competition,” potong Allexa seraya menoleh padanya.

“Ya itu dia! Apa tahun ini juga dari kompetisi yang sama?” selidiknya ingin tahu.

Allexa menggeleng. “Tahun ini dari YMI—Young Music Indonesia.Ia menoleh pada lembar pengumuman di tangan Misca. Itu salah satu kompetisi besar karena tingkat nasional. Akan banyak peserta hebat di sana.” Ucap Allexa dengan nada merendah. “FMC berbeda dengan YMI.” Tambahnya.

Misca mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia tak begitu memahami tentang macam-macam jenis kompetisi seperti yang dibicarakan Allexa namun ia selalu penasaran dengan hal ini. “YMI? Bukankah tahun lalu kau juga mengikuti kompetisi itu?” Tanya dengan nada mengingat-ingat. “Kalau tidak salah kau masuk 10 besar kan? Itu hebat kan?!” tanyanya berusaha memastikan.

“Jangan berlebihan. Sampai saat ini aku merasa itu hal yang wajar karena aku selalu

berlatih.” Jelasnya membuat Misca menatapnya penuh ironi. Misca ternganga mendengarnya. Bagaimana mungkin sahabatnya bisa meremehkan hal semacam itu. Alih-alih sudah seharusnya ia merasa bangga atas prestasinya. “Ya. mungkin bagimu itu wajar.” Protesnya. “Lalu kapan kompetisi piano—Young—MusicIndonesia dimulai?” tanyanya terbata seraya membaca dengan teliti judul pengumuman print-out di tangannya.

            “Akhir Mei.” Jawab Allexa pendek.

            Misca membelalak kaget. “Sekarang bulan April, sebentar lagi Mei, apa kau sudah mendaftar?” tanyanya terdengar panik. Hening selama beberapa saat. Misca melirik Allexa yang masih menatapnya dalam diam. “Allexa Haruna? Kau sudah mendaftar ke kompetisi YMI?“ ulang Misca terdengar heboh.

            “Tidak.” balas Allexa dengan nada memaksa. “Sudah ku putuskan. Tahun ini aku tidak

ikut kompetisi piano—lagi. ” ucapnya mulus.

Misca bangkit dari duduknya. “Tidak ikut kompetisi? Kenapa?!” protesnya bingung. “Siapa tahu tahun ini kau dapat juara 1?!” tanyanya dengan nada hiperbola seperti biasanya.

Allexa heran mengapa reaksi Misca membuatnya seolah melakukan kesalahan atas keputusannya ini. Ia terkekeh. “Sepertinya aku mulai—bosan.” Balasnya sekenanya.

Misca tiba-tiba bangkit dari duduknya. “Apa kau sadar apa yang baru saja kau katakana?!” Dia mencubit kedua pipi sahabatnya membuatnya memekik kesakitan.

“Akh! Sakit tau!” Allexa mencoba menghindar. Ia berhasil dan segera mengusap-usap pipinya.

“Kau itu memiliki faktor-x, you know?!kedua alis Misca terangkat.

Allexa ternganga mendengarnya. “Aku memutuskan untuk fokus belajar. Sebentar lagi kenaikan kelas. Apa itu salah?” keluhnya masih mengusap pipinya.

“Jangan banyak alasan! Jangan menyia-nyiakan kesempatan. Yang penting ikut

kompetisi. Siapa tahu tahun ini kau bisa menang!” celoteh Misca keukeh.

Allexa menghela napas. “Aku tidak mencari kemenangan. Ditambah lagi menang dalam kompetisi tidaklah mudah. Lagi pula bermain piano adalah hobi. Bukan tujuan utamaku.” Dia menyipitkan matanya. “Sesuatu yang lebih berharga dari sekedar kemenangan. Apa kau tahu itu?” tanyanya pada dengan nada menantang.

Mendengar hal itu sukse membuat Misca kehilangan kata-kata. Pertanyaan yang cukup sulit rupanya. Ia hanya mengedikkan bahu. Detik jam dinding bergema di ruang kelas musik. Keheningan tercipta karena keduanya tidak ada yang angkat bicara.

Allexa hanya mengedikkan bahu. “Alasan dan tujuan. Untuk saat ini aku juga masih memikirkan dua hal itu.” gumamnya seraya menerawang ke dalam ingatannya sendiri. Apa alasanku memainkan alat musik ini? Tanda tanya besar muncul dalam benaknya. Percakapan ini menuntunnya pada sosok papanya, yang seorang dosen salah satu univeritas seni di Tokyo.

Misca mendecakkan lidah keheranan. Ia bangkit dari duduknya. Kali ini ia menyambar sebuah gitar akustik yang diletakkan di atas meja tanpa pembungkus hitamnya. “Aku ngefans sama Kak Davine vokalis Lollipop, dan aku juga suka memainkan gitar. Hehe…” Terangnya seraya memetik senar gitarnya perlahan. “Tujuanku sebenarnya, aku ingin suatu saat bisa memenangkan sebuah kompetisi.” Jelasnya tanpa menunggu pertanyaan dari Allexa. Ia kembali meletakkan gitar akustik ke atas meja. Di saat bersamaan ia menyadari sebuah ide terbesit di kepalanya. “Mm, begini saja, kalau kau tidak mau ikut kompetisi piano, bagaimana kalau kau ikut kompetisi musik yang diadakan School Art?!”

Allexa menoleh. Meski ia tak lagi memiliki minat dengan kata kompetisi musik, ia mencoba mencari tahu.Kompetisi musik School Art? Apa itu? tanyanya penasaran.

Misca masih bergumam tidak jelas. Ekspresi wajahnya kembali berubah cemberut. “Event-nya akan segera dibuka. Mungkin pertengahan Mei. Tapi—kenapa orang itu selalu

saja mendahuluiku.” Gerutu Misca sembari melipat kedua tangannya.

“Orang itu? Dari tadi membicarakan orang itu, siapa sebenarnya orang yang kau bicarakan itu?” kejar Allexa berusaha mencari tahu orang yang sedang diceritakan Misca,  orang yang telah membuat sahabatnya kesal seharian ini.

“Okka.

“Okka?” ulang Allexa menautkan kedua alisnya.

“Orlando Karimanan. Disingkat Okka. Dia anak kelas XI IPA 3.”

Mendengar hal itu, Allexa hanya ber-Oh ria. Jadi Misca cukup mengenal cowok populer itu rupanya.

Hai girls... Orang tampan yang kalian bicarakan ada di sini. He he ...”

Keduanya sama-sama berpaling menatap pintu. Seorang cowok bertubuh tinggi, berkulit putih, berhidung mancung, beralis tebal, tengah tersenyum lebar pada keduanya.

“Okka! Mana CD Lollipop-nya?!!” jerit Misca dengan suara melengking bercampur

kesal. Ia lekas bangkit dari kursinya. Berjalan dengan langkah cepat menuju sahabatnya bernama

Okka bersiap mengomel atas segala kekesalannya.

Namun sebelum itu terjadi, Okka tampak ingin mengatakan sesuatu.

“Daripada nonton CD rekamannya, bagaimana kalau kita ketemu saja langsung dengan mereka?” tanyanya dengan nada sangat meyakinkan.

Kedua mata Misca melebar. “Bertemu langsung dengan mereka? Maksudmu?” ia menurunkan kedua tangannya yang sudah terangkat dengan masing-masing mengepal kuat.

“Kita akan me-ngin-tip.” Bisik Okka.

Okka lekas menghindar saat Misca hendak memukul ke arahnya.

“Dasar Okka!” jerit Misca. Ia kesal bukan main saat cowok ini lagi-lagi mengatakan hal yang tidak berguna. Sayangnya cowok ini berhasil menghindar dari pukulannya dan kini sudah ada di belakangnya. Berdiri di sebelah piano dengan wajah ketakutan.

“Tunggu dulu!” Sergah Okka merasa terpojok saat Misca kembali mengancamnya. “Maksudku kita akan ke School Art. Aku dengar malam ini ada pembukaan event. Ada sebuah petunjukkan di auditorium School Art. Para juara tahun lalu akan tampil malam ini. F-five, Lollipop, Quartet, semua pasti di sana. Kita temui mereka sekarang!Jelasnya berharap Misca akan menyetujui sarannya kali ini. Ia mengangkat kedua tangannya berusaha meminta ampun saat kepalan tinju Misca yang siap di arahkan ke arahnya.

“Serius?!” tanya Misca seraya melirik pada Allexa di sebelahnya. Namun wajah Allexa masih nampak bingung dan kelihatan tidak begitu tertarik.

Okka melihat kedua mata Misca berbinar. Ia lekas mengangguk. Kini ia beralih ke sisi lain. Beralih pada satu orang lagi yang sejak tadi memperhatikan kehadirannya di ruangan ini.

“Oya,” Okka mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. “Kak Rehan titip ini untukmu.” Ia memberikan sebuah kertas HVS terlipat ke hadapan Allexa.

Allexa menatap bergantian kertas di hadapannya dan cowok bernama Okka ini. Selama beberapa saat ia masih mengamatinya dengan ekspresi bingung. “Dia menitipkan ini padaku?” tanyanya seraya menaikkan sebelah alisnya.

Okka mengangguk. “Kau Allexa bukan?” tanyanya berusaha memastikan. Ia tampak berfikir sejenak kemudian menggelengkan kepalanya tiba-tiba. “Dia bilang agar aku memberikannya pada Allexa kelas XI yang pinter main piano. Kau kan orangnya?” tambahnya lagi seraya menatap wajah gadis bermata coklat di hadapannya seraya meletakkan telapak tangannya di atas grand piano di sebelahnya. Ia kemudian melihat Allexa

mengangguk sekilas. “Yap!” Okka berjingkrak kegirangan “So elegant.” Tambahnya saat mengamati piano di sebelahnya.

Allexa memutuskan untuk membuka lembaran kertas di hadapannya. Sebuah daftar pertanyaan untuk sebuah wawancara tersusun rapi di sana. Dalam benaknya ia masih bertanya-tanya. Saat kelas X dia memang pernah tergabung dalam redaksi majalah sekolah. Dia juga pernah melakukan wawancara ke beberapa guru dan siswa. Tapi siapa Rehan yang dimaksud Okka? ada dua orang bernama Rehan dalam redaksi waktu itu. Sekarang dua-duanya sama-sama kelas XII sama seperti kakaknya.

Allexa masih terdiam seraya mengamati kertas di tangannya.

            “Ayo kita berangkat!” ajak Okka.

            Allexa mendongakkan kepalanya yang semula tertunduk membaca isi kertas di hadapannya. Cowok bernama Okka yang baru ia kenali tengah berdiri di ambang pintu seraya menatapnya dengan wajah ceria penuh semangat. Misca di sebelahnya juga tengah menatapnya dengan wajah ceria dan senyum ramah seperti biasanya. Misca tampak menggendong tas selempang warna biru tuanya. Sementara Okka, menggendong tas ransel hitam di punggungnya. Keduanya tampak begitu akrab. Allexa justru sibuk memberikan penilaian pada dua orang ini. Alih-alih sesuatu terlintas di benaknya saat Okka dan Misca kembali mengajaknya untuk ikut serta dalam misi mereka hari ini.

            “Aku juga?” ulang Allexa terdengar ragu. Perhatiannya terjatuh pada kertas berisi daftar

wawancara di tangannya. Benar juga, ia menjadi bagian dari misi kedua orang ini. Meski ini

terasa asing karena awalnya ia bukan bagian dari misi ini, tapi bagaimanapun sebuah tugas wawancara telah diserahkan padanya meski tanpa alasan yang jelas.

“Ya! Ayo ikut! Di sana pasti akan menyenangkan!” Misca segera menarik tangannya.

“Baiklah.” Ucapnya akhirnya. Benar saja, mungkin ini akan berguna untuk melepas

penat setelah seharian berkutat dengan latihan piano yang membuatnya jenuh dan bosan.

            Ketiganya berjalan beriringan menyusuri lorong gedung kesenian, kompleks gedung kesenian, sebuah studio band di sudut kiri, lalu mereka melewati pagar pembatas antara gedung laboratorium dan perpustakaan sekolah. Sepanjang perjalanan menuju gerbang sekolah, Okka dan Misca melanjutkan pertengkaran kecil mereka dengan aksi saling mengejek. Allexa berusaha menghentikan pertengkaran itu dengan menanyakan tentang kompetisi musik School Art. Barulah Okka mau menghentikan pertengkarannya dengan menjelaskan terlebih dahulu apa itu School Art yang merupakan sebuah perusahaan dengan backround yayasan yang bergerak dalam bidang seni terutama seni musik. School Art mewadahi setiap siswa dari sekolah yang ingin mengembangkan potensi dan bakat mereka di bidang musik.

Tujuan utama mereka yaitu mengembangkan dan menggali bakat seni setiap peserta didik yang terlibat di dalamnya. Para peserta didik yang tergabung akan memilih jadwal les sesuai jam sekolah masing-masing yang kemudian dijadikan satu menjadi sebuah kelas. Di sana ada kegiatan les musik dan pertunjukkan-pertunjukkan di setiap akhir semesternya. Okka juga menjelaskan tenang Lollipop  yaitu sebuah band yang berhasil menjadi juara dalam kompetisi musik yang diadakan School Art setahun yang lalu. Hal yang istimewa di sini adalah  Lollipop berasal dari SMA yang sama dengan mereka bertiga, SMA 21. Mendengar nama Lollipop disebut-sebut, membuat ingatannya kembali pada kejadian setahun yang lalu saat perpisahan sekolah. Benar sekali, nama itu seharusnya tidak asing dalam ingatannya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • kania_young

    @yurriansan Hallo kak, maaf kalau cuma menemukan prolognya saja. Karena novel ini sudah terbit. Next aku unggah beberapa BAB nya ya.. Terima kasih sudah membaca :)

    Comment on chapter PROLOG
  • kania_young

    @yurriansan wkwk... biar penasaran dulu... 😆

    Comment on chapter PROLOG
  • yurriansan

    Aku sedih. Cma dpt prolog di sini 😖😖

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
BISIKAN ASA DI TENGAH BADAI
79      69     2     
Inspirational
Setiap langkah dalam hidup membawa kita pada pelajaran baru, terkadang lebih berat dari yang kita bayangkan. Novel ini mengajak kita untuk tidak takut menghadapi tantangan, bahkan ketika jalan terasa penuh dengan rintangan. Di dalam setiap karakter, ada kekuatan yang tersembunyi, yang hanya akan terungkap ketika mereka memilih untuk bertahan dan tidak menyerah. Cerita ini mengingatkan kita bahwa ...
F I R D A U S
736      488     0     
Fantasy
P.E.R.M.A.T.A
1865      930     2     
Romance
P.E.R.M.A.T.A ( pertemuan yang hanya semata ) Tulisan ini menceritakan tentang seseorang yang mendapatkan cinta sejatinya namun ketika ia sedang dalam kebahagiaan kekasihnya pergi meninggalkan dia untuk selamanya dan meninggalkan semua kenangan yang dia dan wanita itu pernah ukir bersama salah satunya buku ini .
Khalisya (Matahari Sejati)
2769      934     3     
Romance
Reyfan itu cuek, tapi nggak sedingin kayak cowok-cowok wattpad Khalisya itu hangat, tapi ia juga teduh Bagaimana jika kedua karakter itu disatukan..?? Bisakah menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi..?? Semuanya akan terjawab disini. Ketika dua hati saling berjuang, menerobos lorong perbedaan. Mempertaruhkan hati fan perasaan untuk menemukan matahari sejati yang sesungguhnya &...
A - Z
3016      1031     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Lusi dan Kot Ajaib
8353      1458     7     
Fantasy
Mantel itu telah hilang! Ramalan yang telah di buat berabad-abad tahun lamanya akan segera terlaksana. Kerajaan Qirollik akan segera di hancurkan! Oleh siapa?! Delapan orang asing yang kuat akan segera menghancurkan kerajaan itu. Seorang remaja perempuan yang sedang berlari karena siraman air hujan yang mengguyur suatu daerah yang di lewatinya, melihat ada seorang nenek yang sedang menjual jas h...
Hati Langit
8063      2165     7     
Romance
Ketika 2 orang teman yang saling bertukar pikiran mengenai suatu kisah sehingga terciptalah sebuah cerita panjang yang berwujud dalam sebuah novel. Buah pemikiran yang dikembangkan menjadi suatu kisah yang penuh dengan inspirasi dan motivasi dalam menghadapi lika-liku percintaan. Persembahan untuk mereka yang akan merengkuh jalinan kasih. Nani Sarah Hapsari dan Ridwan Ginanjar.
Premium
RESTART [21+]
9270      3229     22     
Romance
Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.
Pulpen Cinta Adik Kelas
487      286     6     
Romance
Segaf tak tahu, pulpen yang ia pinjam menyimpan banyak rahasia. Di pertemuan pertama dengan pemilik pulpen itu, Segaf harus menanggung malu, jatuh di koridor sekolah karena ulah adik kelasnya. Sejak hari itu, Segaf harus dibuat tak tenang, karena pertemuannya dengan Clarisa, membawa ia kepada kenyataan bahwa Clarisa bukanlah gadis baik seperti yang ia kenal. --- Ikut campur tidak, ka...
Daniel : A Ruineed Soul
559      327     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...