Angin dari pintu masuk tanpa permisi. Karena memang daun pintu ruang tamu membuka lebar keduanya. Angin dengan sengaja merambati kulit Aisha perlahan, yang sudah jelas terlihat tertutup kain. Yang nampak hanya muka dan telapak tangan Aisha. Lekuk tubuhnya sama sekali tak nampak. Benar-benar terbalut kain tubuhnya. Nafasnya sangat lamban, menahan rasa yang berantakan. Dadanya sedikit sesak. Semakin sesak tiap detiknya. Gawat!
***
Malam tidak ada yang sama. Selalu berbeda disetiap lagunya. Lirik-lirik malam selalu berbeda tiap detik perdetiknya. Intro untuk malam tak pernah akan sama setiap hari nya. Kadang hujan, kadang panas. Kadang bahagia, sering juga sendu. Kadang rindu, kadang juga makin rindu. Eh. Yang jelas setiap malam tidak ada yang sama.
Aisha lelah malam ini. Malam selalu tidak sama. Tapi ada yang sama di malam Aisha, Aisha masih setia merindu Rahman sejak 2 tahun belakang ini. Aisha melukis salam rindu dalam helai-helai olahan kayu dengan tinta-tinta penuh dengan harapan. Aisha selalu ingat Rahman. Aisha ingat rindunya harus benar, disampaikan pada jalannya. Setiap sujud disetiap ibadahnya, Aisha sampaikan kata-kata indah untuk Rahman kepada Sang Pencipta. Aisha yakin akan sampai.
***
Bintang yang menempel pada langit sepertinya, padahal dia terbang bebas jauh disana. Sepertinya bintang ingin selalu menghiasi malam, menemani tenangnya malam untuk beberapa hari. Tapi awan memiliki hak penuh untuk menutupinya. Suka-suka awan. Awan tidak bisa ditebak kapan ia akan memberi jarak antara bumi dan bintang. Awan benar-benar seenaknya. Tapi awan tidak pernah ada yang membenci. Karena mungkin awan adalah teman hujan yang bisa menyampaikan pesan ajaib didalam sujud.
Rahman adalah seseorang yang tidak lama dikenal Aisha. Tapi Aisha jatuh cinta pada suara pertama Rahman.
Dik
Itulah suara pertama Rahman untuk Aisha.
Aisha tidak pernah lupa. Suara itu tidak begitu indah, tapi Aisha menyukainya.
Aisha tidak mau salahkan siapa-siapa. Atas rasa yang tumbuh dalam suara. Aisha biarkan rasa itu menumpuk dalam dadanya, tersimpan rapat didalam perpustakaan hati. Dan biarlah sampai pada nantinya. Aisha ingin rasa yang ditumpuk pada perpustakaan hatinya suatu saat terbaca oleh Rahman. Bukan terbaca oleh mata yang dapat buta. Tapi oleh hati Rahman. Ini perpustakaan hati yang hanya bisa terbaca oleh mata hati.
***
Bulan sudah ditakdirkan kapan harus menggantung di langit bumi malam. Kapan harus hanya menggoreskan secarik kuning di tenangnya malam. Dan kapan harus bersembunyi dari malam yang makin tua makin jahat. Malam juga bisa tua? Bisa. Kata siapa? Kataku.
Aisha benar-benar lelah kali ini. Matanya ia gelapkan, sehingga tidak lagi memandang apa-apa. Gerbang kelopak mata Aisha tutup, taka da lagi sisi dunia yang fana terlihat oleh mata Aisha. Namun airmata perlahan menerobos gerbang kelopak mata yang Aisha tahan. Memanggil seluruh pasukan airmata yang semakin lama semakin banyak.
Aisha sesak dadanya. Padahal perpustakaan hati Aisha belum penuh, dia masih ingin mengisinya setiap waktu. Ada apa dihati Aisha? Apa yang membuatnya sejenak saja lalu menjadi sesak? Aisha mencoba menenangkan hati yang tiba-tiba benar-benar ingin membuat Aisha berteriak. Tapi Aisha malah berperang dengan penjaga perpustakaan hati. Sudahlah percuma, Sha. Menangislah saja.
***
"Aisha, apa ada yang bisa bunda bantu nak? Sudahlama kamu duduk diruang tamu dengan tatapan kosong. Biasanya kamu melukis rindu dalam kumpulan helai olahan kayu dan duduk dalam malam yang tidak pernah sama, dengan menatap bintang atau awan yang kita tidak pernah tahu kenapa mereka jarang datang bersama, atau kadang diiringi bulan yang datangnya tergantung jadwalnya. Kali ini malam indah, bulan menggantung dilangit hitam pekat, malam benar-benar indah lagunya. Awan sedang berramah kepada bintang, karena bintang ia ijinkan memperindah malam. Awan tidak mengajak hujan malam ini. Karena mungkin hujan sedang tidak menyampaikan rindu siapa-siapa malam ini."
Aisha tidak bergeming. Mata Aisha masih terpejam, dengan airmata yang terus mengirim pasukan untuk mendongkrak gerbang kelopak mata Aisha. Aisha bukannya tidak ingin menjawab bunda, tapi Aisha bingung karena tidak ada kata yang pas untuk menggambarkan perasaannya kini.
Lukisan rindu Aisha terancam, sebenarnya.
"Aisha, rindumu hanyalah tetap rindu. Dan akan selalu rindu. Karena kamu benar-benar rindu. Meski kamu sudah berada disamping yang kamu rindukan, rindumu akan tetap rindu. Karena rindu hanya akan berhenti bila hatimu mati, Aisha."
Bunda duduk disamping tubuh lunglai Aisha, dengan mengelus bahunya dengan halus. Aisha sontak membuka mata, sepertinya dia tahu apa yang harus dia sampaikan kepada bundanya. Bunda yang mengerti apa arti rindu, karena rindu bunda tidak pernah berubah meski rindu sudah sampai pada yang dirindu.
"Helai-helai yang melukiskan rinduku dengan tinta yang penuh harapan, entah Aisha jatuhkan dimana. Apa mungkin rindu itu hilang? Bagaimana jika rindu itu sampai ketangan yang tidak dibenarkan?"
Bibir Aisha tergetar, Aisha takut tinta-tinta rindu penuh harapan tidak lagi menjadi teman di malam harinya. Aisha takut perpustakaan hatinya terbongkar oleh orang yang bukan dibenarkan untuk tahu. Aisha juga takut tidak lagi rindu, kehilangan rindu, atau ditinggalkan rindu.
"Rindu tidak akan berubah, Aisha. Sejengkalpun tidak! Memohonlah kepada Sang Pemilik, untuk mengamankan rindumu itu. Meluruskan perasaan hancurmu saat ini."
Bunda menatap Aisha dengan sedih. Bunda mana yang kuasa melihat anak perempuan yang lahir dari rahimnya bersedih atas rindu. Atas beratnya rindu.
Beratnya rindu dalam malam tidak ada yang bisa menahan, kecuali yang punya kekuatan. Yang mampu menciptakan perpustakaan hati yang tidak berpengunjung. Yang mampu diam dalam malam. Yang mampu tenang saat rindu tak lagi bisa hanya sekadar dilukis.
Bunda benar-benar hancur, melihat sang puteri duduk tak menatapnya. Sang puteri sedang dirundung gelisah tentang lukisan rindunya yang selama dua tahun belakangan rajin dia lukis lalu tiba-tiba hilang atas kelalaiannya sendiri.
***
"Rahman, Rahman..."
Yusuf berlari mengejar Rahman yang akan memasuki kelas siang itu. Dengan terengah-engah Yusuf berlari, berusaha mendapatkan Rahman yang sedang berjalan menuju kelasnya. Mata Rahman menengok ke arah suara yang mengucap namanya tadi. Meski memakan waktu, tapi Rahman segera mendapatkan sumber suara itu. Rahman terus memandangi Yusuf yang berlari-lari dengan tatapan penuh simbol tanda tanya.
"Kamu kenapa suf? Tidak ada quiz dadakan kan?"
Rahman menatap Yusuf dengan heran dan geli. Sementara Yusuf belum selesai dengan nafasnya yang ter engah-engah.
"Rahman, Aisha..."
Yusuf masih belum bisa mengatur nafasnya yang berantakan, seperti rambut gimbal jika nafasnya ditransfer dalam gelombang cosinus. Namun, Rahman yakin hanya ada satu Aisha dikampusnya.
"Aisha, adik kelas kita? Kenapa?"
Rahman semakin dibuat ingin mengukir tanda tanya karena tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Yusuf.
"Dia ada rindu. Selama dua tahun rindu itu dilukis pada helai-helai olahan kayu. Kemarin kumpulan helainya jatuh ditemukan Almira di ujung jalan keluar kampus, dan inilah berita utamanya, kamu yang jadi lukisan rindu Aisha dalam kumpulan helai itu."
Yusuf mulai bisa mengatur nafasnya dengan perlahan. Sementara Rahman terdiam tenang menatap kosong yang tak jelas menatap apa. Lalu tidak ada percakapan apa-apa lagi kemudian.
"Suf, Pak Fadli sudah menuju kelas. Mari masuk."
Rahman mengayunkan langkah kakinya menuju ruang kelas, sementara Yusuf yang yakin dengan sifat khas sahabatnya yang pasti bijak, melangkah mengikuti Rahman memasuki ruang kelas.
***
Aisha belum mengerti, kemana lukisan rindu yang kemarin. Mengapa tiba-tiba siang merampasnya? Apakah karena siang iri, karena Aisha selalu melukis rindu dalam malam? Apakan siang marah sehingga merenggut lukisan rindu Aisha untuk Rahman.
Tok, tok, tok.
"Boleh bunda masuk kekamar, Aisha?"
Pintu putih kayu kamar Aisha diketuk oleh bunda. Bunda pasti ingin menyampaikan sesuatu penting. Tidak akan bunda ke kamar Aisha hanya untuk bercerita tentang tadi caranya memasak kue nastar yang sedikit gosong. Aisha dengan sopan dan santunnya membukakan pintu kamar yang tadi telah diketuk oleh bunda.
"Silahkan bunda."
Aisha tersenyum lembut dengan secercah rindu yang Aisha miliki. Diiringi milyaran cinta juga rasa hormat untuk sang bunda.
"Apakah kumpulan helai lukisan rindumu itu sudah kamu ketahui dimana?"
Bunda bertanya ketika masih di ambang pintu. Dengan muka datar menatap Aisha.
Aisha menunduk dalam karena Aisha takut air mata akan tiba-tiba datang disaat bunda mengajaknya berbincang. Padahal, bunda tadi tidak memanggilnya untuk berbincang bersama mereka.
"Ingat beberapa minggu lalu? Saat malam yang tak sama sangat tenang? Dengan ada bulan yang menggantung terang di langit malam dan bintang bertaburan menempel dilangit dengan disertai sedikit awan? Tapi dimalam yang tenang itu, kamu menangis karena kamu takut tentang rindumu kepada yang kamu rindukan. Ternyata malam itu memang sedang tidak menyampaikan rindu siapa-siapa."
Bunda berjalan masuk kedalam kamar dan duduk di ranjang kecil Aisha yang rapi, karena baru saja Aisha merapihkannya untuk tidur malam ini. Sementara Aisha menatap bunda dengan kening yang menciut, penuh tumpah dengan keheranan.
"Aisha, jangan buruk sangka pada siang. Justeru siang yang diutus malam untuk menjadi perantara rindu. Malam tidak lelah, hanya saja siang jauh lebih tepat, Aisha."
Ibu memandang Aisha dengan senyum merona dan penuh kebahagiaan. Aisha masih tidak mengerti apakah ini. Tumpang tindih apa yang tiba-tiba terjadi sebenarnya. Aisha berjalan menuju samping bundanya. Dan duduk disampimg bunda tercintanya.
"Siapkan dirimu untuk terkabulnya suatu yang kamu inginkan, Aisha. Bunda sudah meyakini saat ini pasti akan terjadi. Sang Pencipta punya malam yang tenang dan siang yang sibuk. Sang Penciptalah yang hanya boleh atas semua ini"
Bunda berjalan lagi ke ambang pintu lalu meraih ganggang pintu. Aisha masih bingung bengong belum mengerti menatap ibunya yang bersiap menutup pintu.
"Rahman"
Sebuah nama yang selalu Aisha rindukan dua tahun belakang ini. Sebuah nama yang hanya jadi rindu doanya. Sebuah nama yang selalu Aisha lukiskan dalam helai-helai olahan kayu, disebut oleh bunda. Orang paling disegani Aisha. Aisha kaget bukan kepalang, matanya terbelalak menatap bunda yang bersiap menutup pintu. Pipi Aisha merona, tapi Aisha masih bingung bengong.
"Rindumu terbalas, Aisha."
Lalu pintu kayu putih kamar Aisha, tertutup.