Katanya, dalam sebuah hubungan, komunikasi dan kepercayaan adalah kunci paling utama. Tentu saja, tanpa komunikasi yang baik, hubungan bisa menjadi renggang.
Sudah beberapa bulan aku tak pernah pulang ke rumah. Komunikasi dengan kedua orangtuaku juga sangat jarang baik itu melalui chat atau telepon. Aku biasa menanyakan kabar mereka melalui adik-adikku melalui grup WhatsApp yang kami buat bertiga.
Agar supaya hubunganku dengan kedua orangtuaku tidak begitu renggang makanya libur akhir pekan ini aku pulang ke rumah.
Seperti biasa kehebohan kedua adikku membuat diri ini selalu rindu pulang ke rumah. Di rumahku hanya ada dua kamar, satu kamar orangtuaku dan satunya lagi adalah kamar kami. Kamar yang tak begitu luas namun mampu menciptakan keceriaan, kesedihan dan perang saudara.
Di dalam kamar, kami bercerita dan berbagi kisah. Aku dan adikku memiliki jarak usia 8 dan 9 tahun, yang artinya yang satu umurnya 17 tahun dan yang satunya lagi 16 tahun. Jarak kelahiran mereka cuma setahun namun banyak yang mengira mereka kembar karena sedari kecil hampir semua pakaian mereka selalu sama bahkan tak jarang cowok (Biasanya Artis Korea) yang mereka suka juga sama.
Kedua adikku menyukai warna pink. Oh iya, nama mereka adalah Raima dan Sophia. Raima yang artinya kebahagiaan, sedangkan Sophia artinya kebijaksanaan. Sifat dan watak mereka sesuai dengan arti namanya, Raima memang selalu terlihat bahagia sekalipun hatinya terluka sedangkan Sophia sendiri agak cengeng meskipun demikian tapi terkadang dia yang selalu memberi solusi yang begitu bijaksana.
Tapi suatu hari kami membahas sesuatu yang membuat kami terluka dan rapuh. Yah, itu karena Ayah! Bagi kami Ayah adalah cinta pertama kami. Dia adalah pahlawan sekaligus idola kami. Namun kali ini kami kecewa dengan sikap Ayah. Ayahku selingkuh! Hatiku benar-benar rapuh tak berdaya...
Semua berawal dari cerita Raima yang tanpa sengaja mendengar Ayah menelpon sambil berbisik di balik sebuah mobil yang terparkir di garasi rumah.
"Kak... Aku mau ngomong sesuatu." Kata Raima yang perlahan mendekati ku.
"Mau ngomong apa? Apakah ini ada hubungannya dengan perasaan?" Tanyaku yang penasaran ingin mendengar curhatan wanita remaja yang sedang dalam masa pubertas.
"Sebenarnya ini mengenai perasaan kita bertiga Kak." Jawabnya pelan sedikit sedih.
Kemudian Sophia juga perlahan mendekat dengan penuh penasaran.
"Apaan sih? Coba cerita sama kakak."
Hal semacam ini biasanya membuat pikiranku kembali berkhayal yang tidak semestinya. Lagi-lagi aku berpikir jika adikku hamil. Mataku begitu jeli memperhatikan perutnya. Namun sangat jelas jika adikku ini masuk dalam kategori kurus walaupun makannya kadang kelewatan.
"Aku ingin cerita tentang Ayah." Jawabnya dengan raut wajah sedih bercampur takut.
Sophia sepertinya begitu heran sambil menatap wajah Raima.
"Ayah kenapa dek? Sophi tolong pintu kamar dikunci!" Tanyaku yang juga dengan tegas memerintahkan Sophia.
Dengan cepat Sophia mengunci pintu kamar kemudian kembali duduk di sebelah ku.
"Ayah... Selingkuh kaak!" Jawab Raima cepat dengan suara kecil.
Untuk pertama kali selama Raima remaja aku melihatnya begitu ketakutan, kecewa bahkan menangis. Sepertinya ini sebuah kenyataan, bukan saatnya aku menghibur atau mengalihkan pembicaraan.
"Kamu tau darimana dek?" Hatiku mulai tak terkontrol, aku ikut panik.
"Aku mendengar Ayah menelpon seseorang sambil berbisik. Dia sangat perhatian bahkan diakhir pembicaraan Ayah mengucapkan kata sayang! Bagaimana ini kaak??"
Kemudian tanpa ada isyarat, Sophia meneteskan air mata sambil memelukku erat. Bagaimanapun situasinya aku harus tetap terlihat tegar di hadapan adikku yang ketakutan karena kekecewaan.
"Nanti biar kakak yang selidiki. Kakak butuh bantuan kalian, untuk saat ini biarkan kakak memikirkan rencana agar kita tau siapa orang yang Ayah telepon!" Aku berusaha meyakinkan mereka sambil memeluknya.
Bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja sangat sakit dan kecewa. Hatiku begitu terluka jika ternyata semua ini benar.
"Kak... Sebenarnya Sophia juga pernah lihat mobil Ayah singgah di suatu rumah dan turun dari mobil seorang wanita dengan seragam kantor." Kata Sophia yang menangis dalam pelukanku.
"Semuanya tenang dulu sampai kakak perintahkan kalian melakukan tindakan. Jangan ada hal yang bisa membuat semua orang malu terutama Ayah dan Ibu." Aku masih tetap menenangkan mereka.
Setelah mendengar laporan dari mereka, hatiku yang awalnya sedih menjadi tambah sedih namun kali ini ada suatu rasa kebencian yang timbul di hatiku. Aku begitu menggebu-gebu ingin mengetahui semua ini, rasa emosiku membuat pikiranku ingin melakukan sebuah kekacauan besar. Ingin rasanya diri ini bertemu dengan wanita yang ditelepon Ayah, bibir ini ingin berucap kata kasar, tangan ini juga rasanya ingin menyakiti wajahnya! Namun hatiku begitu lemah dan rapuh untuk bisa melakukan semua itu.
Tanpa kepercayaan, hubungan seolah tak ada artinya lagi. Apalagi bila sudah berjuang menjaga kesetiaan mati-matian, namun salah satunya dengan tega berkhianat. Aku sangat kasihan dengan Ibuku yang begitu setia serta lembut kepada Ayahku. Aku mengerti perasaan Ibuku jika aku berada di posisinya disatu sisi aku sangat kecewa dan rapuh mengetahui jika seorang pahlawan yang ku Kagumi tega berkhianat!
Bagaimanapun itu aku masih punya waktu untuk menyelidiki kebenaran ini. Untuk sementara aku harus menenangkan diri dan menenangkan adik-adikku. Aku akan memikirkan strategi demi mengungkapkan semuanya dan memikirkan cara untuk menyampaikan kepada Ibu dengan bahasa yang tidak begitu membuat perasaanya terluka.
Namanya sama Kak kayak temenku. Maratus sholihah. Hehe.
Comment on chapter 1 | Al-maratus Sholihah - Dibalik Sebuah Alasan!