Di malam hari, ketika aku bermaksud untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba aku melihat Ayah sambil menelpon (Bagiku ini adalah momen yang pas!), Perlahan aku mendekat, bermaksud untuk bisa mendengar percakapannya. Tanpa diketahui siapapun aku mengendap-endap melalui pintu sebelah. Namun entah mengapa Ayah masuk ke dalam mobil. Aku tak pernah tau apa yang ia bicarakan.
Sudah lima menit sejak Ayah berada diatas mobil. Suara mesin mobilpun terdengar yang artinya ia ingin keluar. Dengan cepat aku menuju kamar sambil berbisik dengan Raima. Kami pun segera bergegas mengambil motor dan berusaha mengejar Ayah.
Di tengah perjalanan kami sempat kehilangan jejak. Kami terus menelusuri kemungkinan jalan yang dilalui Ayah. Setelah beberapa menit mencari aku tersadar jika ternyata kami memakai kostum yang tidak semestinya. Aku memakai daster dan untungnya tertutupi dengan mukenah yang belum terlepas dari kepalaku namun anehnya aku memakai sepatu loh. Raima lebih parah lagi tanpa sadar ia hanya memakai daster langsung keluar kamar memakai helm kemudian naik ke motor, ia tak memakai alas kaki dan tanpa pakaian dalam (Breast Hold disingkat BH) beruntung di dalam sadel motor ada jaketnya Sophia.
Kami mengira betul-betul kehilangan jejak namun mata Raima begitu jeli dan akhirnya ketemu.
"Kak, itu... Mobilnya disana!" Tunjuk Raima dengan suara ajakan yang menggebu-gebu.
Dengan cepat aku menuju ke arah tersebut. Kami perlahan mengikuti kemana arah mobil Ayah pergi.
"Kak, sepertinya mobilnya akan masuk perumahan itu deh?" Bisik Raima.
"Iya, kita harus terus ikuti."
Bagaikan detektif di dalam film-film sebisa mungkin kami berusaha tidak terlihat.
"Tuh kan kak, dia masuk ke dalam perumahan!"
Kami ikut masuk ke dalam perumahan yang belum pernah kami masuki sebelumnya. Setelah melewati beberapa belokan (Kami tidak yakin bisa hafal jalan keluar) Akhirnya mobil Ayah terhenti di depan sebuah rumah tua yang sedikit tak terurus. Dari jarak lima rumah tepatnya di ujung lorong kami mengamati. Mesin motor sudah mati dan kami sebisa mungkin berlindung di balik mobil warga.
"Kak, Ayah turun dari mobil." Bisik Raima.
"Sstt... Kita lihat siapa yang ada disana?"
Kemudian pagar rumah tersebut terbuka. Seorang pria kira-kira umur 30 tahun mempersilahkan Ayah masuk. Kami tetap menunggu sampai Ayah keluar.
"Raima, nanti setelah Ayah pulang kakak mau kita masuk ke dalam rumah itu dan menanyakan tentang apa yang dilakukan Ayah disini." Bisikku kepada Raima.
"Iya kak, aku ikut rencana kakak!" Raima begitu bersemangat.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara.
"Maaf, Adek cari siapa?"
Kami berbalik, kemudian ada seorang pria paruh baya berdiri di depan sebuah rumah yang ada di belakang kami.
"Oh ini pak, saya mau tau rumah yang itu atas nama siapa pak?" Sambil ku tunjuk rumah yang disinggahi Ayah.
"Memangnya kenapa dek?" Tanya bapak itu.
"Cuma tanya pak, siapa tau itu rumah keluarga tapi aku salah alamat." Jawabku.
Untuk urusan seperti ini aku sudah biasa karena mencari alamat di tempat baru sering ku alami, Raima mengerti dan menyerahkan sepenuhnya padaku.
"Itu rumahnya Ibu Nurhaini, orang disini panggilnya Ibu Nur. Dia seorang janda, anaknya dua tapi kedua anaknya ikut ke suaminya. Kini dia tinggal dengan saudara laki-lakinya yang bernama Budiman. Bapak tau banyak disini karena kebetulan bapak disini sebagai RT." Jawab Bapak itu yang ternyata RT.
"Ohh begitu pak, kebetulan kami disuruh sama Ibu untuk bertanya sesuatu dengan Ibu Nur. Urusan keluarga pak. Hehehe..." Kataku dengan santai tanpa panik.
"Kalau begitu adek silahkan kesana, tapi Ibu Nur sepertinya lagi sakit, mungkin adiknya bisa mewakili kalau ada tamu." Kata Pak RT.
"Iya pak, nanti aku kesana kalau tamunya sudah pulang." Tamu yang ku maksud adalah Ayahku.
"Ya sudah, bapak masuk dulu yah, kalau mau sambil menunggu silahkan masuk ke rumah bapak." Ajak beliau.
"Iya pak terimakasih, kami menunggu disini saja." Jawabku kemudian Pak RT tersenyum dan masuk ke dalam rumahnya.
Tak lama setelah itu Ayah keluar kemudian ia pulang. Kami segera menuju ke rumah tersebut setelah sepuluh menit Ayah pulang.
"Assalamualaikum..." Teriak Raima.
"Iyaa, walaikumsalam..." Jawab seorang pria yang kemudian membuka pintu pagar.
"Cari siapa yah dek?" Tanya Pria yang membuka pagar.
"Ibu Nur ada?" Tanyaku yang sedikit judes.
"Ada dek tapi Ibu sedang istirahat karena dia sakit." Jawabnya lembut.
"Oh iya, silahkan masuk dulu siapa tau ada yang bisa saya bantu." Ajak Pria itu.
Karena penasaran aku menerima ajakannya dan kami masuk ke dalam rumah yang lampunya sedikit remang-remang. Di dalam rumah kami duduk di ruang tamu yang terlihat begitu tak terawat. Kursi dan barang-barang di rumah ini begitu kuno dan berdebu. Kami menunggu berharap Ibu Nur keluar namun ternyata Si Pria tadi itu ternyata membuatkan kami minuman berupa teh.
Aku mengetik chat ke Raima dengan berkata "Tehnya jangan diminum, nanti ada racunnya dan tetap waspada, siap-siap teriak keras jika ada yang mencurigakan." Raima hanya membalas dengan emoticon tersenyum dan menangis.
"Ada keperluan apa dek dengan Ibu Nur?" Tanya Pria itu.
"Begini pak, sebenarnya kami anak dari Pak Fahreza yang tadi datang kesini." Entah mengapa aku mengatakan yang sebenarnya.
"Ohh... Anaknya Reza... Sudah besar semua, cantik-cantik lagi... Ibu kamu apa kabarnya?" Tanya Pria itu seolah mengetahui banyak tentang keluarga kami.
"Aku itu sebenarnya Om dari Ayahmu, Ibu Nur dan aku dan Ibu Ayahmu itu masih sepupu. Aku anak terakhir jadi yang paling muda tapi Ayahmu sudah ku anggap kakak sedari dulu."
Hal ini membuatku semakin bingung. Aku ingin lebih tau siapa Ibu Nur itu?
"Oh maaf Om, kalau boleh tau Ibu Nur sakit apa?" Tanyaku yang penasaran.
Kemudian pria yang belum menyebutkan namanya itu mengantar kami menuju kamar Ibu Nur. Aku dan Raima melihat di dalam kamar terdapat wanita tua yang sangat kurus tertidur lemah. Aku begitu kasihan dan banyak bertanya tentang keadaannya.
Ternyata ada sesuatu hal yang menyedihkan yang disembunyikan Ayah kepada kami. Menurut pengakuan Om yang belum ku ketahui jelas namanya itu, ternyata selama ini Ayah sering menjenguk mereka dan memberi uang serta makanan. Ayah juga terkadang membawanya ke dokter dan membelikan obat. Sebagian besar biaya Ibu Nur dari Ayah namun mengapa Ayah tidak menceritakan ini kepada kami? Apakah Ibu tau semua ini?
Kemudian kami pamit pulang dengan rasa penasaran bercampur kesedihan yang memprihatinkan.
"Salam yah sama Ibu kalian, bilang dari Om Budi."
"Iya Om, ehh tapi Om... Kami sangat minta tolong jangan sampai Ayah tau kami pernah kesini. Kami takut Ayah marah sama kami." Pintaku.
"Iya Om... Plisss..." Lanjut Raima.
"Iya iyaa, jangan takut... Kalian juga harus sering-sering kesini. Hati-hati di jalan jangan balap-balap." Kata Om Budiman.
Kami akhirnya pulang dengan kenyataan yang berbeda.
"Kak, Ibu Nur itu berarti nenek kita yah? Berarti Om Budiman itu Kakek kita dong?" Tanya Raima.
"Iya juga sih, tapi untuk panggil Kakek ke dia apa kamu tidak merasa aneh sih?" Kataku.
Kemudian kami sampai di rumah namun mobil Ayah belum ada di rumah!
"Kak... Kita tertipu! Sebenarnya Ayah baru menuju ke tempat yang sebenarnya!" Kata Raima.
"Untuk sementara kita harus berpikir positif dulu sama Ayah. Tadi kita sudah lihat salah satu hal yang dirahasiakan Ayah ternyata sangat bermanfaat bagi sesama manusia dan keluarga." Jawabku yang mencoba menenangkan Raima.
Kami kemudian masuk ke dalam kamar dan menceritakan semuanya ke Sophia yang menanti dengan penasaran. Sophia memahami dan juga berusaha berpikir positif namun kami tetap akan menyelidiki Ayah.
Kami sepakat untuk saat ini tidak melakukan tindakan atau hal yang mencurigakan. Aku tetap menjadi komando dalam kasus ini, aku memerintahkan Raima dan Sophia untuk mengumpulkan bukti berupa foto dan video atau rekaman suara jika ada yang mencurigakan dengan Ayah. Untuk cerita malam ini kami juga sepakat untuk merahasiakan dari Ibu dan mereka sepakat jika suatu saat harus cerita ke Ibu maka yang harus bicara adalah aku.
Untuk malam ini tugas menjadi detektif selesai dan akan berlanjut sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Selamat malam dan selamat tidur.
Namanya sama Kak kayak temenku. Maratus sholihah. Hehe.
Comment on chapter 1 | Al-maratus Sholihah - Dibalik Sebuah Alasan!