08. SUARA HATI.
Mereka semua serentak memasuki kelas, teriakan semua murid menjadi lantunan lonceng masuk sekolah. Murid bolwakar masuk saling berebut masuk ketika melihat kedatangan sang ito datang.
"Louin, aku dengar kakakmu bekerja sebagai pelayan dikerajaan" tanya miroka sesampainya di tempat duduk.
Dengan nafas yang masih terengah-engah louin menjawab, "ya kau benar, kakakku memang hebat, apapun yang ia inginkan pasti ia akan dapatkan".
"O ya, kakakmu hebat sekali, tapi kakak sepupuku juga tak kalah hebat, dia juga menjadi pelayan dikerajaan" ucap dellio membanggakan hirsh.
"Kakakku memang sangat dekat dengan sepupumu"
"Apa mereka pacaran?" Tukas dellio.
"Bisa saja" mereka bertiga tertawa terbahak-bahak membicarakan sang kakak.
Mereka menjadi pusat perhatian karena tiba-tiba tertawa dengan sangat memuaskan. Terutama runos yang selalu ikut campur dalam urusan orang. Ia tak ingin kalah dengan louin, ia pun menjadikan dirinya pusat perhatian, tak lain dengan menggunakan kakaknya yang juga sebagai pelayan kerajaan namun louin tak menghiraukannya. Runos yang melihat louin tak tertarik sama sekali mencari jalan lain untuk mengganggu perhatian louin yaitu menggunakan deki sebagai bahan penarik perhatiannya yang kedua.
Ia terus menyiksa deki, louin melihatnya namun ia tahu runos hanya menginginkan perhatian darinya. Ia membiarkan runos meskipun ia tak tega melihat deki, tapi ia terpaksa karena ia takut seperti pertarungan sebelumnya bisa terjadi kembali. Miroka yang melihat tatapan louin yang selalu mengarah ke deki membuatnya turun tangan, miroka mengerti dengan keinginan louin tapi ia tak ingin mencari ribut dengannya.
"Aku akui kau memang lihai dariku dalam bermain pedang, tapi kau tak sekuat otot-ototku" miroka yang sebelumnya tak pernah mengusik runos turun tangan.
"Apa yang ingin kau lakukan?" Runos melepaskan deki dan menyuruh teman-teman sekelompok mengelilingi miroka.
"Kau benar! disini aku tidak diizinkan bermain senjata bahkan dirumahpun aku hanya diperbolehkan membuat sarungnya tapi tidak jika aku sedang sendiri" miroka menantang runos dalam permainan pedang kembali seperti dengan louin.
"Dia bisa bermain pedang!" tanya louin pada dellio mendengar ucapan miroka barusan.
Dellio yang tidak mengetahuinya hanya mengangkat kedua bahunya.
"Apa yang sedang kalian lakukan!" Kedatangan ito sheki membuat suasana kelas menjadi hening.
Semua murid duduk ke tempatnya masing-masing, ito sheki langsung membuka pelajaran tentang petualang dunia luar. Murid-murid sangat asyik sekali mendengarkan cerita ito sheki kebahagiaan, penderitaan dan lainnya ketika seorang diri ataupun bersama teman-teman.
Mereka begitu menikmati perjalanan demi perjalanan seorang ksatria yang sedang ito itu ceritakan. Mereka juga berlomba-lomba ingin menjadi seorang pahlawan dan mengajukan begitu banyak pertanyaan.
"Untuk tugas Hari ini kalian buatlah kerajaan seperti apa yang paling kalian inginkan, lusa kumpulkan dengan hadiah yang lebih bagus" ucap ito sheki setelah memberikan cerita sang pahlawan.
"Apa hadiahnya ito" teriak salah satu murid.
"Kita lihat esok lusa, pastinya kalian akan senang dan tak terlupakan" ito sheki membuat muridnya semakin penasaran dengan hadiah yang diberikan.
Sang ito mengakhiri pelajaran dengan memberikan tugas yang dengan hadiah yang membuat muridnya sumeringah dan penasaran, meskipun terkadang mengecewakan karena tak sesuai yang diharapakan.
"Louin, bagaimana jika kita buat bersama kerajaannya" ajak dellio.
"Boleh saja kita kerjakan bersama-sama, ayo kita kerjakan?" louin sangat semangat dan langsung mengajak mereka berdua.
"Aku tidak bisa sekarang, aku harus membantu ayahku membuat senjata" tolak miroka.
"Kau dizinkan memegang senjata, bukankah itu tak boleh" dellio tak mengerti.
"Tidak, aku bukan membuat senjata. Tapi... Sekarang kerajaan sedang membutuhkan persediaan senjata banyak jadi ayahku memberikan tugas yang mudah untukku" sahut miroka.
"Aku juga tidak bisa, karena aku harus banyak mengumpulkan bahan pembuat kertas dan tinta" ucap dellio yang juga tak bisa melakukan tugasnya hari ini.
"Ya sudah, kalau begitu besok. Aku tunggu di dekat danau disana, kalian tahu tempat itukan" louin pergi lebih dulu meninggalkan teman-temannya yang sangat sibuk.
Louin berjalan ke tempat biasa ia menghabiskan waktu sore, tak lain adalah dermaga dekat danau yang biasa gunakan untuk menggambar dan lainnya seorang diri. Louin mengetahui nasehat kakaknya untuk menemani ibunya jadi ia tak bisa berlama-lama disana dan menikmati matahari terbenam seperti biasa, tapi tetap saja disana tempat yang paling tenang dari semua semua tempat baginya.
Sesampainya disana louin melihat seseorang yang sudah lama sekali tak ia jumpai karena tiba-tiba menghilang begitu saja. Dari kejauhan punggung dan cara duduk ketika memancing yang sudah tak asing lagi bagi louin. Paman yang dulu sering sekali memberikan ikan pancingannya untuk dibakar dan dimakan bersamanya
"Paman..." Teriak louin mencoba melihat wajah yang didepannya untuk memastikan kebenarannya.
"Kau..." Ucapnya melihat kedatangan louin.
"Paman agu, kemana saja kau selama ini? Kakek agma selalu menunggumu bersama denganku" ucap louin yang tak percaya melihat paman yang sudah dua tahun tak bertemu.
"Kau masih sering disini?" Tanya paman yang bernama agu itu.
"Ya, aku sangat senang berada disini. Setelah kau tak ada hanya kakek agma yang menemaniku disini itupun hanya sesekali" ucap louin memelas.
"Kau sedang menggambar apa lagi, sepertinya itu sebuah atap" tanya paman agu melihat coretan pensil di buku gambarnya.
"Ya aku sedang menggambar tugas dari ito" jawab louin.
"Owhhh..."
Paman yang telah pergi secara tiba-tiba setelah 2 tahun kini datangpun secara tiba-tiba. Sang paman yang ia kenal karena kebiasaan louin yang selalu datang kedanau mempertemukan seseorang yang kini ia anggap sebagai paman dan ayah sang paman yang mengantikan posisi setelah kepergiannya.
Selama ini paman agu yang ia kenal adalah teman dari dari sang ito sheki dan lestiw yang juga sebagai seorang famin, karena identitas yang sering disembunyikan diantara famin membuat louin tak mengetahui pertemanan yang dijalani oleh paman agu dan ito sheki, bahkan diantara faminpun mereka tak mengenal keluarga, pekerjaan dan lainnya jika mereka menjadi rakyat biasa. Paman agu sangat mengerti pekerjaannya sebagai famin. Menurutnya famin adalah perkerjaan yang mulia namun berbahaya. Ia membahayakan nyawanya hanya untuk mencari informasi demi melindungi tanah airnya dan keluarganya yang ada didalamnya.
"Ada apa denganmu? Mengapa kau memperhatikanku seperti itu?" Tanya paman agu yang aneh melihat mimik wajah louin.
"Paman, maaf sebelumnya. Apa yang sedang kau lakukan?"
"Apa maksudmu? Aku yang bertanya padamu" paman agu yang asyik memancing kesal karena louin bertanya balik.
"Aku melihat celanamu selalu berkibar seperti bendera. Apa yang sedang kau lakukan dengan kakimu?" Louin menungging mencoba memperhatikan celana sang paman anh terbawa angin danau.
Paman agu hanya tertawa melihat wajah polos anak yang kini ada didepannya. Ia sedih jika ada orang yang membahas tubuhnya karena tugas yang telah ia pilih. Louin anak yang sedang nungging melihat kakinya di sebelahnya hanyalah anak biasa yang tak mengetahui apapun, tak adil baginya jika paman agu harus marah karena kejadian yang telah ia alami. Tak hanya louin yang membuatnya sedih karena pertanyaan itu, tapi orang dewasapun menanyakan hal yang sama sepertinya. Ia marah dan kesal karena orang dewasa melihatnya sebelah mata dan seperti orang jijik. Padahal secara tidak langsung ia telah melindungi mereka. Akan tetapi Agu pun tak bisa mengatakan hal itu yang membuatnya tak bisa melakukan balasan terhadap mereka.
Lagipula menjadi seorang famin harus karena keinginannya sendiri. Meskipun agu tak menampik tentang kesedihannya tapi itu adalah resiko menjadi seorang famin. Oleh karena itu, yang telah memilih perkerjaan seorang famin, ia harus menerima resiko dan mempertanggungjawabkan kerahasiaannya. Memang berat ia rasakan tetapi ada kenikmatan yang berbeda yang telah ia dapatkan dan itu membuatnya senang dan puas.
"Ini karena paman terjatuh dan membuat kaki paman hilang, kau ingin melihatnya?" paman agu membuka kain celananya yang terus berkibar.
"Tidak, itu sangat menyeramkan. Maafkan aku paman" Louin merasa sedih dan ketakutan langsung menutup matanya tak berani melihatnya lebih lama.
"Kita tak tahu seberapa besar angin bertiup kencang, air hujan yang deras dan api yang tiba-tiba membesar melahap semuanya. Rasa takut pasti ada ketika melihatnya tapi disitu seperti memberikan cermin kepada kita untuk melawannya atau berdiam diri sampai ia datang menghampirimu" ucap paman agu.
"Aku tak mengerti maksudmu paman?" Louin mengaruk-garuk kepalanya.
"Kau akan memilih yang mana?" Tanya paman agu.
"Karena aku sudah melihat yang terjadi didepan, jadi aku hanya menunggu saja sampai datang" ucap louin dengan teguh.
"Kau yakin, kau tidak ingin melawannya? kau hanya ingin menunggunya? Memangnya kau tahu bencana itu akan datang cepat atau lambat?" tanya kembali paman agu.
"Ia juga" angguk louin. "Berarti aku bisa tidak tidur semalaman jika terlalu lambat, dan jika cepat aku belum tentu bisa langsung membuat persiapannya"
"Akhirnya kau mengerti!"
"O ya paman, kakimu yakin itu hanya terjatuh. itu seperti gigitan hewan kecil dengan kecepatan dan kekuatan yang hebat" komentar louin dengan semangatnya melihat luka di kaki paman agu.
"Kau ini anak kecil, tahu apa kau tentang hal itu!" paman agu mengelus rambut louin.
Mereka bercanda tawa berdua mengenang masa lalu ketika mereka belum terpisahkan, paman agu yang suka bermain lempar batu dan mencari ikan mejadikan temannya yang selalu menemaninya hampir setiap sore, meskipun mereka tahu disana tak banyak ikan yang lewat. Jika hampir malam tiba paman agu selalu mengantar louin pulang kerumahnya, hal itu juga yang membuat ibu louin merasa tenang meninggalkan louin didanau karena ia tahu ada orang dewasa yang menemaninya didanau itu dan louin tidak seorang diri. Tapi sang ibu tidak tahi jika agu pamannya telah pergi selama 2 tahun daj meninggalkan louin didermaga seorang diri.
Ketika sedang asyik bermain bersama, paman agu diteriaki oleh sang ayah dari rumahnya, suaranya yang serak parau karena sudah tua membuatnya harus meneriaki anaknya dengan sekut tenaga. Louin merasa kasihan melihat kakek agma, namun kakek agma tak ingin dianggap orang tua yang tidak berguna. ia seperti anak muda dalam keadaan tua. Meskipun sering diperingati untuk tidak berteriak atau bekerja berat kakek agma selalu marah dan tak terima, namun akhirnya pasti ada yang menuntunnya ketika ia pulang kerumahnya.
Bagi louin kakek agma seperti pahlawan meskipun sudah tua ia selalu merasa muda. Louin yang tidak pernah sama sekali melihat wajah ayahnya bahkan tidak bisa mengingat ayahnya seperti apa membuat kakek agma seperti cerminan dari ayahnya yang pasti tidak akan mudah menyerah dan selalu berusaha meskipun terlihat memaksakan diri, tapi bagi louin itu seperti semangat masa tua bagi pemuda seperti louin.
"Paman akan kembali" paman agu mengambil tongkat untuk membantunya berjalan lalu menghampiri kakek agma.
Louin sangat perihatin dengan keadaan pamannya, namun lukanya tak seperti orang yang terjatuh ataupun oleh senjata. Lukanya sangat jelas seperti gigitan hewan kecil namun punya kekuatan dan kecepatan. Louin terus memperhatikan perjalaan paman agu dari danau menghalau alang-alang sampai menghampiri rumah yang lumayan jauh namun masih terlihat jelas dari danau. louin juga melihat sosok yang ia kenal meskipun samar-samar. Louin kembali menggambar dan tidak memperdulikan hal itu.
"Sampai kapan kau akan terus berdiam diri?"
Louin yang sedang asyik menggambar langsung terkejut dan terpingkal mendengar suara yang sangat jelas terdengar ditelinganya. "Siapa itu?"
"Sudah cukup lama kau bersembunyi"
Louin semakin ketakutan dan berdiri memutarkan kepalanya melihat kesegala arah.
Argghhhhhhhhh... teriak louin ketika pundaknya disentuh seseorang dari belakang.
"Ada apa denganmu?" tanya paman agu.
"Paman! aku takut" louin yang masih gelisah memeluk paman agu, ia sangat bersyukur dengan kedatangan paman agu yang tepat waktu.
"Ada apa?" paman agu masih penasaran.
"Aku tadi mendengar suara wanita" ucap louin ketakutan dalam pelukannya.
"Wuahhhhahhh..." Paman agu menakuti louin.
"Pamannnnnnn!" teriak louin.
"Mari, paman antar kau pulang. Rasanya sudah lama paman tak kerumahmu?"
Louin yang masih ketakutan terus memeluk paman agu yang menambah kesulitan paman agu berjalan, selain ia harus kuat memEgang tongkat untuk memapah kakinya, ia juga harus menerima pelukan erat louin yang sangat ketakutan. Sepanjang perjalanan kerumah louin tak melepaskan pelukan dari sang paman.
"Ada apa ini? Tanya ibu louin ditengah perjalanan pulang.
"Ibu Mourize" Sapa paman agu.
Melihat kedatangan sang ibu, louin langsung melepas pelukannya dan berpindah ke ibunya.
"Ada apa denganmu sayang?" tanya ibu.
"Dia mendengar suara perempuan ketika didanau sana" Jelas paman agu.
"Maaf telah merepotkanmu, mungkin dia sedih karena harus berpisah dengan kakaknya" sahut ibu.
"Owh... Mourine" ucap paman agu.
"Ya, dia harus menjalani pekerjaannya sebagai pelayan kerajaan?" Jelas ibu mourize.
"Pelayan kerajaan, mourine tak mengatakan yang sesungguhnya pada ibunya" desah paman agu dalam hati.
"Ayo kita pulang kerumah"
Paman agu dan louin berpisah ketika dalam perjalanan mereka bertemu dengan ibu mourize, ibu dari louin dan mourine. Ia lalu berjalan pulang kerumah bersama-sama. louin masih ketakutan dan tak melepaskan pelukannya dari ibunya.
"Kau akan terus membiarkanmu terkurung?"
Pelukan louin semakin erat dan gelisah.
"Mau sampai kapan kau akan memeluk ibu?" sudah sampai rumahpun louin masih enggan melepaskan pelukan dari ibunya.
Louin yang mendapatkan amanat dari sang kakak untuk menjaga ibunya justru sebaliknya sang ibu yang harus melindunginya.
"Sini ibu yang yang akan memegang tanganmu, dan kau boleh tidur bersama dengan ibu malam ini"
"Benar bu"
ibu mengaggukkan kepalanya.
Louin tersenyum mendengar ajakan dari ibu yang sangat menenangkan hatinya. Namun ia juga malu karenania sudah besae untuk tidur bersama ibunya.
"Sebentar lagi aku akan kembali" ucap louin dengan wajah menunduk dan tatapannya ketika membuka pintu dengan cahaya dimatanya dan lukisan di wajahnya.
QARINA R
JAKARTA, 08 DESEMBER 2015
LULLABY ( THE LEGEND OF MYTH )