Melawan Takdir
Cklekk... Clekkk...
Sara berusaha untuk membuka pintu kamarnya yang sedari tadi sulit membukanya. Ia juga teriak memanggil Rawnie dan orang tuanya. Tidak ada satupun yang datang menghampiringa padahal ia jelas-jelas mendengar ada suara dibalik pintunya.
"Kak Vara, kau sangat senang sekali memberiku hadiah" Desah Sara kesal.
Ia berdiri mondar mandir memikirkan cara untuk kembali kabur dari rumah. Namun kali ini dipastikan sulit. Kamarnya tidak lagi dilantai 2, ia biasanya melompat dari jendela ke pohon yang tidak jauh dari jendela kamarnya. Kamarnya sudah dipindahkan ke lantai 3, Pohon yang biasa ia gunakan untuk kabur tidak sejajar dengan jendela kamarnya.
Pikiran konyol menghampiri Sara. Setelah ia terbiasa menggunakan Pohon itu untuk kabur ia mulai membiasakan diri untuk meloncat langsung dari lantai 2 tanpa bantuan pohon dan kini Sara berusaha untuk lompat dari lantai 3, menurutnya itu tidak akan terlalu sakit. Sara membuka jendelanya, ia memperhatikan kesekeliling rumahnya dan memperkirakan ketinggian yang akan ia lompati. Seolah tahu sifat majikannya Rawnie sudah berdiri di bawahnya untuk memperingatkannya untuk tidak melakukan hal diluar nalar lagi. Dengan bahasa tubuhnya dan mulutnya yang komat kamit tanpa beesuara Rawnie berusaha menyampaikan untuk kali ini saja ikuti perintah Orang tuanya. Ekspresi Rawnie yang tidak biasa membuatnya mengikuti perintah Rawnie untuk diam didalam kamar, Sara menganggukan kepala setuju mengikuti sarannya. Setelah berdebat dengan Sara, Rawnie meberitahunya agar dia saja yang pergi menemui Pon.
Sara menatap kesekeliling kamarnya yang jarang ia sentuh keculi Ranjang, buku catatan dan baju. Semuanya masih nampak rapi dan tidak ada satupun yang bergerak dari tempatnya. Rumah ini baginya hanya tempat yang ia gunakan untuk menyandang nama keluarga Esvarat, walau hal itu sebenarnya tidak ia butuhkan juga. Ia terus berguling-guling dikasurnya dan menantikan hadiah yang dikatakan Isvara.
Tidak lama kemudian, pembantu rumah tangganya membukakan kunci dan mengetuk pintu meminta izin kepada Sara.
"Nona, anda diminta segera untuk keruangan kerja ayah anda" ujar pembantu itu.
"Ada apa lagi nek?" Tanyanya kepada pelayan rumah tangga yang mengurusnya sedari ia kecil.
"Sepertinya untuk hadiah yang dikatakan Non Isvara" senyumnya.
"Wah Nenek mendengar juga" ujar Sara tersenyum dan langsung menuju ruangan ayahnya.
Sara tetaplah Sara, dimanapun ia berada ia tidak ingin karena status yang dimilikinya membuatnya seperti orang yang harus dihormati, disegani apalagi harus diagungkan. Karenanya Sara juga mengatakan hal yang sama kepada para pembantunya untuk tidak terlalu formal kepadanya jika tidak ada anggota keluarga yang lain. Meski awalnya terlalu sulit namun ia tidak ingin membebankan mereka. Karena sikap Sara yang membuat para pelayannya merasa dihargai sebagai pegawai yang bisa dikatakan rendahan. Kedatangan pelayannya itu tidak hanya untuk menyampaikan urusan yang dikatakan tuannya melainkan ada yang ingin disampaikan secara pribadi. Pembantu itu tahu jika Sara yang dijadikan tumbal untuk pangeran yang dikutuk. Namun ia tidak berani mengatakan hal itu, ia tidak ingin sosok yang dikaguminya berubah menyedihkan walaupun pada akhirnya Nonanya pasti akan tahu.
Sembari menatap punggung sang Nona yang berlalu ia hanya bisa berdoa agar Nonanya diberikan yang terbaik dalam hidupnya. Cukup sudah ia mengalami perlakuan tidak adil dalam keluarga.
Sara mengetuk dan membuka perlahan pintu kayu nan besar, setelah suara dari dalam mengizinkannya untuk masuk. Sara sudah menyangka pasti hadiah iti bukanlah sesuatu yang kecil. Sang Ayah yang duduk tegap dengan wajah yang tegas memandangi kedatangan Sara, disana juga ada sang ibu dengan wajah Abstrak, kelembutan wajah sang kakak pertama Raveena yang bersedih dan kakak keduanya yang benar-benar menunjukkan keangkuhan seperti biasa.
"Sara menghadap ayah" Ujar Sara.
"Duduklah" Ucap ayahnya.
"Ayah tidak akan berbasa-basi. Ayah mendapat undangan dari Kerajaan. Undangan ini dimaksudkan untuk ayah yang memiliki anak perempuan. Putra mahkota sedang mencari tunangan dan ayah harus mengirimkan salah satu anak ayah" ujar ayah Sara, Ady Ardan Esvarat.
"Mengapa tidak pernah selesai mencari tunangan" celetuk Sara karena ia mengetahui jika putra mahkota itu selaku mencari tunangan, ia juga tahu jika pangeran memiliki kutukan namun kabar yang tersebar sangat bermacam-macam dan tidak ada yang tahu pasti.
"Ayah tidak punya kuasa untuk bertanya ataupun menolak, begitupun denganmu Sara. Kau yang akan pergi keistana 3 hari dari sekarang" tuntut Ady.
"Kenapa harus Sara yah, bukankah ada kak Isvara. Sara baru 15 tahun sedangkan kak Isvara sudah 22 tahun. Bukankah kak Isvara juga sudah saatnya untuk menikah" tolak Sara.
BRAAAKKK... Ady menggebarak meja. "Ayah sudah katakan tidak ada pertanyaan dan penolakan"
"Baik, lakukan apa yang ingin ayah lakukan" ujar Sara langsung pergi dengan mata berkaca-kaca dan iapun tidak kalah kencang menutup pintu ruang kerja ayahnya menbuat sang ibu terkejut.
Sara langsung menuju kamarnya ia menangis mengeluarkan kekesalannya. Setelah merasa cukup puas ia yang masih terbawa emosi mencari segela cara untuk keluar dari kamarnya dan ingin pergi menuju Pon, ia harus mengatakan yang sesungguhnya apa yang akan terjadi padanya. Ia tidak ingin mengecewakan temannya, bagaimanapun hanya mereka yang menganggapku seperti manusia pada umumnya. Bukan Esvarat sang keluarga bangsawan. Tidak hanya itu ia juga ingin rasanya membuat keributan untuk meluapkan kekesalannya.
Sara menggnti bajunya dan membawa baju untuk ia gunakan utnuk menyamar. Sara keluar dari kamarnya dan pergi mengikuti kata hatinya. Kini ia tidak menggunakan pintu tersembunyinya tapi ia langsung kekuar dari pintu utama.
"Mau kemana kau?" ujar Ady dengan tatapan tajam yang mengetahui jika anaknya ingin kabur kembali.
"Aku ingin keluar ayah" ujarnya dan langsung berjalan menuju pintu.
"Sa... " ucapan Ady terpotong
"Kau tidak perlu takut, aku memang membencinya, tapi aku tidak akan mempermalukan ayah setidaknya itu cukup untukku membalas budi karena ayah sudah mau menampungku. Aku sadar aku bukan keluarga Esvarat yang sah" ujar Sara dingin tanpa menoleh ke arah sang ayah dan langsung pergi darihadapannya.
Ady sangat terpukul mendengar ucapan anaknya yang selalu dingin setiap kali menjawab dan melihatnya. Ia juga sudah lupa kapan terakhir kali ia melihat senyum bahagia dari wajah Sara. Anak dari seseorang yang ia cintai namun tidak bisa ia miliki. Ady juga mengetahui jika ia bukan ayah yang baik dan adil namun ia tidak bisa berbuat banyak, hanya wajah sedihnya yang menghantar kepergian Sara.
Dengan tatapan penuh emosi Sara berjalan keluar dari rumahnya, para penjaga sudah menunggu untuk menghentikan Sara namun aura yang dikeluarkan Sara membungkam pergerakan mereka, mereka ingin melawan Nonanya tapi tidak berani. Mereka tidak berani bukan karena Sara adalah Nonanya melainkan mereka tahu kemampuan tersembunyi Sara yang pandai bela diri setiap kali mengejarnya. Para penjaga lega dan langsung membuka jalan untuk Sara setelah mereka melihat lambaian tangan Ady dari atas balkon rumahnya.
Sara berjalan tanpa gentar. Ia keluar dari gerbang kebesarannya. Ia bersyukur karena didepan rumahnya jarang ada orang berlalu lalang, ia mengerah ke hutan untuk melakukan aksinya dan ia juga bersyukur karena ia bisa leluasa melakukan apapun yang ia inginkan selama 3 hari kedepan. Kini tujuan utama adalah Pon dan kebetulan Rawnie ada disana Sara bisa sekalian memberitahu kebenarannya yang sudah bisa dipastikan ia tidak bisa lagi mengunjunginya jika ia sudah berada diistana.
Selain pasar dan perumahan, hutan adalah tempat sakral yang seharusnya jangan Sara singgahi, ia tidak boleh terlalu sering mengunjungi hutan yang merupakan kediaman Pon. Kediaman yang sengaja dibangun untuk tempat Pon dan yang lainnya bersembunyi.
Melihat kedatangan Sara dikediaman Pon penjaga gerbang Langsung memberi hormat kepada Sara. "Hormat kami kepada Nona Sara", Sara tersenyum lalu masuk dan diikuti kedua penjaga gerbang yang langsung menutup rapat pintu setelah memperhatikan sekelilingnya tidak ada yang mengikuti nonanya. Sara memasuki sebuah gua tempat persembunyian Pon dan juga dirinya. Gua itu memiliki pintu kayu yang terbuat dari semak-semak dan dijaga oleh dua orang.
Semua orang menyambut kedatangan Sara dan memberi hormat secara serentak "Hormat kami kepada Nona Sara". Itu merupakan sumpah yang dibuat oleh Pon untuk setiap anggotanya. Setiap kedatangan Sara semua obor yang terpasang rapi dari bibir gua sampai Paling dalam dinyalakan serentak. Gua yang biasa menyala remang-remang kini terlihat semua nampak dengan jelas, disana ada Pon yang merupakan ketua dan penanggung jawab, Rawnie dan anggota lainnya termasuk Affa yang merupakan anggota baru. Di gua itu ditempati sekitar 30an orang, 20an orang yang aktif bekerja dan sisanya merupakan anak yang masih dibawah umur. Mereka semua merupakan orang yang di tolong Sara dan memiliki nasib yang hampir sama. Rata-rata dari mereka berumur belasan tahun kecuali Pon dan 8 bawahan Pon.
"Hormat saya Affa kepada Nona Sara, saya bersumpah untuk melindungi anda"Ujar Affa melihat kedatangan Sara yang ia pikir Sara adalah Laki-laki. "Maafkan aku, karena telah lancang mengira anda adalah laki-laki"
"Kau tidak perlu sampai seperti itu. Terima kasih" ujar Sara
"Maaf, aku ingin bertanya apakah benar jika anda adalah Lingga" ujarnya mengejutkan Sara yang langsung memandang tajam Pon. Begitupun Pon dengan bawahannya yang langsung bersiap. "Maafkan aku"
Melihat reaksi wajah bengis Pon dan bawahannya Affa ketakutan. Sara yang melihat hal itu yakin jika Pon belum memberitahu tentangnya. "Mengapa kau mengira aku adalah Lingga?"
"Aku ingin berterima kasih karena jika anda memang Lingga. Aku pernah ditolong oleh laki-laki bertopeng dan semua orang hampir mengenalnya dengan nama Lingga, Bahkan banyak penjahat yang ingin bergabung dengannya" Affa masih tertunduk.
"Aku tidak mengingat semua kejadian itu. Suatu hari akan Pon beritahu kepadamu?"
Ucapan Affa yang mengejutkan membuat Sara melupakan tujuan utamanya datang ke gua ini. Pon, Rawnie dan anggota lainnya sudah menunggu apa yang ingin dikatakan oleh Sara.
"Aku Saralee Acelin Esvarat mulai hari ini memberikan tanggung jawab semuanya kepada Pon. Aku sudah tidak bisa lagi datang ketempat ini dan rasanya mustahil. Aku berterima kasih karena kalian sudah menerimaku sebagai teman" Ujar Sara.
Beberapa anggota baru yerkejut karena Sara yang mereka kenal adalah seorang bangsawan penguasa wilayah yang mereka tempati, termasuk Affa yang selalu saja dikejutkan oleh tingkah Nonanya ini. Ia tidak mengerti namun ia bersyukur telah bertemu dengan Sara dan kini Adik-adiknya hidup selayaknya manusia.
Setelah mengucapakan hal yang menurut Sara penting termasuk menjadi Wilayah Milanar, Wialyah kekuasaan keluarga Esvarat selama ia tidak ada. Lalu ia melanjutkan perbincangan dengan Rawnie, Pon dan bawahan Pon. Jika ia akan menikah dengan seorang pangeran. Melihat reaksi mereka tidak ada yang terkejut karena bagaimanapun hal ini pasti akan terjadi, hanya saja yang menjadi pertanyaan meskipun mereka tahu keadaan Sara tapi mereka tidak menyangka jika Sara yang akan menggantikan Isvara yang seharusnya menjadi calon yang layak.
Konsep ceritanya menarik dengan sudut pandang istana sentris. walaupun banyak typo. Aku suka, sukses untuk ceritanya. Kunjungi ceritaku juga ya... yang RARANDREW.
Comment on chapter 01. SI BUNGSU