Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sabtu Bersama Bapak
MENU
About Us  

Disclaimer: Sebelumnya sudah pernah aku publish di blog-ku dengan judul yang sama

 

Seungho kembali mengecek isi tasnya, biar bagaimanapun ia tidak ingin ada satupun barang yang tertinggal dan ia baru mengingatnya saat sampai di gunung nanti.

Hari ini ia akan pergi mendaki bersama teman-teman kampusnya. Akhirnya rencana yang sempat tertunda bisa terlaksana juga.

 

Ia tersenyum puas. Semua keperluannya sudah masuk ke ransel.Ia mencangklongkan tas carrier-nya ke pundak. Rona wajah girangnya tak bisa ia sembunyikan, saking girangnya membuat sang ayah yang sedang sibuk membersihkan alat pancingannya menatap heran.

 

“Mau kemana pagi-pagi sudah membawa tas sebesar itu?”

Ia bergabung dengan ayahnya di sofa. Mengamit tangan keriput sang ayah sambil menepuk-nepuknya. 

Dari jauh-jauh hari ia sudah mengatakan rencana kepergiannya hari ini pada sang ayah, namun ayahnya yang mengidap demensia akut sudah lupa hal itu. 

“Aku mau mendaki gunung dengan teman-teman,” kata Seungho dengan sabar.

Ayahnya hendak melayangkan protes, namun Seungho segera menggelengkan kepala sembari menenangkan ayahnya.

“Aku sudah memberitahu ayah, bahkan tadi malam aku juga mengatakannya. Ayah bahkan menyuruhku untuk hati-hati.”

 

Sang ayah termenung, berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi.

“Tapi ayah sudah menyiapkan peralatan memancing untuk kita berdua.Bahkan juga sudah membeli sosis kesukaanmu untuk perbekalan.”

 

 

Seungho menarik napas berat.Benar, ayahnya sudah menyiapkan semuanya.Ia melirik peralatan memancing yang tergeletak di atas meja di depannya. Ia kemudian beralih menatap wajah tua ayahnya yang memancarkan rasa kecewa.

 

Ia tahu seharusnya ia ikut ayahnya memancing seperti hari-hari sabtu biasanya. Ya, ia dan ayahnya memiliki semacam ritual khusus di hari sabtu. Entah memancing, pergi ke tempat pemandian air panas, atau memain baduk di rumah.

 

Ritual di hari sabtu yang mereka lakukan semenjak ibunya meninggal. Setidaknya setiap sabtu Seungho meluangkan waktunya untuk bersama sang ayah, mau apapun bentuk kegiatannya.

Tapi tidak untuk kali ini.Ia sudah berjanji dengan teman-temannya pergi ke Suncheon. Dan ini memang sudah ia rencanakan dari setahun yang lalu.

Kemudian ponsel di tangannya bergetar.Satu pesan baru dari temannya.

Hei,  sudah siap? Sampai ketemu di stasiun Incheon, ya.

 

Seungho merasa dilema. Ia tak ingin membuat ayahnya kecewa, tapi ia juga tak bisa membatalkan janji dengan teman-temannya. Dan lagipula, ia sudah mendambakan perjalanan ini sejak lama. 

 

Ia menatap ayahnya dengan perasaan setengah yakin. Minggu depan ia sudah pulang, dan ia akan menebus keabsenannya sabtu depan. 

Ya, lagipula ia sudah sering sekali menghabiskan waktu bersama ayahnya. Kini waktunya ia pergi untuk menikmati waktunya sendiri. Tak bisa ia membohongi dirinya sendiri kalau terkadang ia merasa bosan berpergian dengan ayahnya. Terlebih dengan kondisi ayahnya yang sangat pikun.

“Minggu depan. Aku janji.“ Ia bangkit dari sofa.

“Tapi hari ini aku harus pergi.Aku akan menghubungi Paman Ilbong untuk menemani ayah memancing, oke?”

 

 

*** 

 

Ada yang mengganggu perasaannya.Ia pikir perasaan itu akan menghilang atau terkikis oleh lamanya perjalanan. Tapi nyatanya ia masih duduk di dalam kereta tujuan stasiun Incheon dengan menanggung perasaan gelisah. 

Andai ia bukan satu-satunya anak yang dimiliki ayahnya. Ia mungkin tidak akan merasa gelisah seperti ini. Kalau ia memiliki saudara, pasti ayahnya tak akan terlihat sekecewa itu. 

Ia menoleh pada orang di sebelahnya yang baru saja menabrak punggungnya. Pria itu buru-buru mengangkat tangan sambil memasang wajah menyesal.

“Maaf, adikku memang suka anarkis,” katanya merujuk pada bocah gendut di sebelah kanannya.

 

Seungho melirik bocah gendut di sebelah pria itu, kemudian mengangguk sambil tersenyum seadanya.Ya, ini bukan waktu yang tepat untuk mengumbar kekesalannya pada dua kakak beradik yang terlihat sedang berduka. Walau tak kelihatan seperti itu juga. Tapi kain dengan garis dua yang melingkar di tangan pria itu menjelaskan bahwa ‘sebenarnya’ mereka ingin mengunjungi sebuah pemakaman.

 

Untuk beberapa menit selanjutnya, ia sibuk mengecek kabar terbaru dari teman-temannya. Haneul sudah sampai di stasiun Incheon dan sedang mengeluh karena tak ada seorang pun bersamanya.Meski mereka semua bersemangat, namun tak ada yang bisa mengalahkan antusiasme Kang Haneul yang sampai bangun dari pagi buta.

 

“Hei, kau mau mendaki?”

Seungho mengalihkan pandangan ke arah pria di sebelahnya. Pria yang tadi tak sengaja menubruknya dan pria yang kelihatan serba hitam namun tak kelihatan berduka sama sekali.

“Ya. Chuncheon,” jawabnyasambilmenunjukkan brosur dengan gambar gunung pada pria itu.

 

Pria itu melirik sekilas kemudian menatapnya dengan antusias.“Pilihan yang bagus sobat. Aku sering ke sana dengan ayahku. Pemandangannya bagus sekali, apalagi air terjunnya.”

 

Meskipun merasa agak janggal, masalahnya Seungho bukan orang yang mudah akrab dengan orang baru, namun melihat kegirangan di wajah pria itu membuatnya lupa kalau mereka bahkan tak mengenal nama satu sama lain.

 

“Ngomong-ngomong namaku Yoohwan, Park Yoohwan. 23 tahun,” kata pria itu mengulurkan tangannya.

“Yoo Seungho, 23 tahun.” Seungho menjabat tangan itu dengan mantap.

“Bagus. Aku tadi khawatir harus bicara formal denganmu,” oceh pria itu dengan akrab.

“Oh ya, yang ini adikku. Namanya Hojoon. Jangan harap si gendut mau menyapamu.Dia punya hobi untuk bersikap tidak sopan.”

 

Ia tertawa rikuh sambil melirik adik Yoohwan yang sibuk menatap layar tabletnya. Terlihat jelas bahwaa kakak beradik tersebut memiliki kepribadian yang berbanding terbalik.

“Aku juga mau ke Chuncheon.”

“Dengan pakaian seperti ini?Kupikir kau mau mengunjungi makam seseorang,” sahut Seungho keheranan.

“Memang.Tapi aku tidak pergi ke gunung sepertimu, kok.Hanya mengunjungi makam yang berada di salah satu pedesaan di sana.”

 

Seungho mengangguk, kemudian melayangkan sebuah pertanyaan.

“Kau pergi ke Chuncheon hanya untuk mengunjungi sebuah makam?”

 

Yoohwan mengangkat bahu, “Ya, mau bagaimana lagi?Ayahku itu banyak maunya,” katanya sambil menghela panjang.

“Padahal tak seorang pun sanak keluarga kami tinggal di sana. Tapi ayahku bilang ‘makamkan aku di sana. Biar aku bisa setiap hari menikmati pemandangan indah itu. Aku akan menyatu dengan alam, gunung, dan air terjun’ dan karena kami tak ingin hidup tidak tenang karena digentanyangi arwah ayah, makanya kami tetap memakamkan jasadnya di sana,” jelasnya.

 

Seungho menelan ludahnya perlahan.Rasanya tak enak sudah menyinggung masalah itu.

“Tidak apa kawan.Tidak perlu merasa menyesal.Lagipula ayahku sudah meninggal lima tahun yang lalu.”

“Kami selalu mengunjunginya di hari sabtu pada musim panas,” kata Yoohwan lagi sambil menyengir.

Oke, ada apa sih dengan Hari Sabtu dan ikatan emosional antara anak dan ayah? Kenapa Yoohwan harus mengunjungi makam ayahnya di hari Sabtu?

“Ayahmu meninggal di salah satu sabtu pada musim panas?” tanya Seungho.

 

Yoohwan buru-buru menggeleng, “Beliau meninggal tanggal 1 Januari, waktu itu musim dingin.” Yoohwan menatapnya dengan tertarik.Pria itu pasti mengetahui kalau dirinya penasaran dengan korelasi antara hari sabtu, musim panas, dan pemakaman.

 

“Waktu mendiang ayahku masih hidup, kami sekeluarga biasanya pergi ke Chuncheon pada hari sabtu di musim panas kemudian baru pulang pada hari seninnya.”

“Alasan kami mengunjungi makam ayah pada salah satu hari sabtu di musim panas adalah karena perjalanan ini terasa seperti ayah ada bersama kami.Seolah kami ingin mengatakan pada ayah, walaupun beliau sudah tidak ada kami tetap menjalankan kebiasaan kami.Walaupun beliau sudah tidak ada di dunia ini, tapi ingatan tentangnya tetap hidup di hati kami.”

 

Seungho merasa tertampar mendengar penuturan Yoohwan.Ia tercenung dan merasa lemas. Tiba-tiba teringat wajah kecewa ayahnya.

 

“Dulu aku suka bosan pergi bersama mereka, tapi setelah ayah pergi aku baru tahu rasanya.Tiba-tiba perjalanan sabtu kami hilang dan aku merindukannya, merindukan ayah. Makanya aku selalu berusaha meluangkan waktu dan tidak pernah absen untuk menjenguk makam ayah,” sambung Yoohwan yang tengah menerawang jauh ke depan.

 

“Cengeng sekali memang, tapi kau baru akan merasakannya kalau orang tuamu sudah pergi ke tempat yang tidak bisa kau datangi.Jadi luangkanlah waktu untuk mereka, sebelum mereka kehabisan waktunya.”

Seungho merasakan sekujur tubuhnya menegang.Ia hanya tersenyum sambil mengangguk pelan begitu Yoohwan menepuk bahunya.

 

Ia janji ia akan menebus keabsenannya hari ini. Ia akan pergi bersama ayahnya, kemanapun yang ayahnya inginkan. Tuhan, berikan ayah dan  aku umur yang panjang agar kami bisa mengukir banyak kenangan bersama.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dear You
15876      2728     14     
Romance
Ini hanyalah sedikit kisah tentangku. Tentangku yang dipertemukan dengan dia. Pertemuan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku. Aku tahu, ini mungkin kisah yang begitu klise. Namun, berkat pertemuanku dengannya, aku belajar banyak hal yang belum pernah aku pelajari sebelumnya. Tentang bagaimana mensyukuri hidup. Tentang bagaimana mencintai dan menyayangi. Dan, tentang bagai...
Metafora Dunia Djemima
155      127     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Warna Jingga Senja
4396      1214     12     
Romance
Valerie kira ia sudah melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan hubungan dengan Ian, namun sayangnya rasa sayang yang Valerie berikan kepada Ian tidaklah cukup. Lalu Bryan, sosok yang sudah sejak lama di kagumi oleh Valerie mendadak jadi super care dan super attentive. Hati Valerie bergetar. Mana yang akhirnya akan bersanding dengan Valerie? Ian yang Valerie kira adalah cinta sejatinya, atau...
Unframed
1298      753     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Baniis
678      424     1     
Short Story
Baniis memiliki misi sebelum kepergian nya... salah satunya yaitu menggangu ayah nya yang sudah 8 meninggalkan nya di rumah nenek nya. (Maaf jika ada kesamaan nama atau pun tempat)
The Future Husband Next Door
309      238     4     
Romance
Ketika berjuang merebut hatinya bertahun-tahun.. Namun, ternyata perjuangan mu sia-sia.. Karena, nyatanya kamu bahkan tidak perlu berjuang untuk merebut hatinya...
Kafa Almi Xavier (update>KarenaMu)
766      454     3     
Romance
Mengapa cinta bisa membuat seseorang kehilangan akal sehatnya padahal prosesnya sesederhana itu? Hanya berawal dari mata yang mulai terpikat, lalu berakhir pada hati yang perlahan terikat. °°°°##°°°° Berawal dari pesan berantai yang di kirim Syaqila ke seluruh dosen di kampusnya, hingga mengakibatkan hari-harinya menjadi lebih suram, karena seorang dosen tampan bernama Kafa Almi Xavier....
Kebahagiaan...
595      418     4     
Inspirational
Apa arti sesungguhnya dari bahagia? Dapat menghabiskan banyak waktu menyenangakan bersama orang yang kita sayangi dan bisa terus bersama adalah salah satu dari kebahagiaan yang tidak ternilai....
Because Love Un Expected
21      18     0     
Romance
Terkadang perpisahan datang bukan sebagai bentuk ujian dari Tuhan. Tetapi, perpisahan bisa jadi datang sebagai bentuk hadiah agar kamu lebih menghargai dirimu sendiri.
Simbiosis Mutualisme
315      208     2     
Romance
Jika boleh diibaratkan, Billie bukanlah kobaran api yang tengah menyala-nyala, melainkan sebuah ruang hampa yang tersembunyi di sekitar perapian. Billie adalah si pemberi racun tanpa penawar, perusak makna dan pembangkang rasa.