Loading...
Logo TinLit
Read Story - SWORD
MENU
About Us  

SWORD

 

 

“Kapan telinga Boni berhenti untuk tidak mengacuhkan bermasalah!? Kalau aku adiknya, kujewer telinganya!”

“Katakan padanya langsung, Gerald!” 

“Tapi aku bukan adiknya.”

“Sudah kubilang, ingusan dua puluh tahun sepertimu, jadi seniman kampung saja. Kau juga akan punya banyak waktu pacaran. Heh, untung kau masih hidup.”

Aku tidak jadi ‘ngambeg’ ke Kryos yang berlagak tahu selera seniku sebenarnya. Saracen segera mengepung, mereka tahu kalau kami tidak akan berkembang biak secepat mereka yang hampir menutup semua jalur pelarian. Sial! Gara-gara bualan pidato sialan Bonifacius menelantarkan kami yang secuil, ditugaskan mengairi tanah Acre dengan ribuan liter darah Saracen. Sedangkan Bonifacius sendiri, bersama temannya pecinta anggur ekor ayam, bawa lebih banyak unit berlibur ke Konstantinopel untuk beberapa bulan ke depan.

Karena situasinya jadi begini, sekarang, segera mundur atau percaya diri dengan konyol sampai mati kelelahan. 

“Dobrak satu jalur pelarian, atau kalian akan menangis darah!” 

Sepakat dengan Kyros, pedang Frank -kami- biasanya semakin tajam jika ingin pulang. Kryos pikir leluconnya lucu.

“Jangan lamban sambil tertawa, Pak Tua! Pedang kita tidak semakin panjang saat Saracen membasmi kita di gang sempit tadi,” kataku ke Kyros, komando unit kami, usia empat puluhan dan paling tua, paling kami percaya pengalaman perangnya. 

“Kita akan tetap satu setengah lusin sampai pulang!!!”

Hanya semangatnya lebih muda dari kebungsuanku di Frank.  Haa, dia benar lagi. Kami tetap satu setengah lusin unit invader Acre yang tersisa, sampai Venesia. 

Kompensasi ketenanganku baru dua hari di basis militer, hanya sore ini saja aku iseng ikut bermain bersama anak-anak. Mereka sama denganku, anak-anak laki-laki di bawah tiga belas tahun, sebagai budak rampasan perang dari beberapa kota luar yang dilatih menjadi prajurit penerus, sebagaimana aku yang sekarang. Hanya saja, asalnya aku gelandangan Venesia waktu kecil, sebelum diculik kemari. Rona-rona mereka, nyata memperjelas dilemaku dalam seminggu ini. 

Kasihan, aku pikir mereka memang ingin pedang mainan, seperti yang kupakai sekarang untuk melatih, tapi yang lebih lunak. Pedang latihan mereka yang sungguhan terlalu menakutkan. Terhadap anak yang sedang berlatih denganku, dengannya aku sepaham. Perang sungguhan tidak menarik. Kebijaksanaan lugu dari hati kecilnya sepadan juga denganku, prajurit diperlukan untuk stabilitas perdamaian dalam negeri, dengan tidak serta-merta mengacungkan pedang terhunus ke langit.

Pikirku, pedang yang lebih utama diperlukan justru sama sekali tidak terasah, kebijaksanaan. Kebijaksanaanku yang juga tidak terasah, atau karena aku pasrah dan masa bodoh saja pada akhirnya. Lihat hasilnya, seperti tugasku invasi Acre, teman-temanku bunuh sipil, anjing pasar, lansia, tidak hanya fokus ke Saracen. Memperjuangkan hak prerogatif atas kekudusan Jerusalem? Kalimat kbijaksanaan tercurah dari dalam jiwa sialan Bonifacius? Pahamku selama ini, duniaku dan peradaban dimana aku hidup banyak yang gila. Kelembutan dan kewarasan hanya kujumpai dari segelintir warga sipil dan beberapa pembantu istana. 

Banyak orang dinastia bicara soal ketuhanan dan mendefinisi agama dengan kejam, juga ngawurnya seperti Kyros walaupun sebenarnya dia Pak Tua yang pintar. Aku sendiri di Frank, meski dengan simbol -salib merah- ini, sebenarnya tidak berkultus dengan ritual agamis apa pun, tidak gemar ke gereja atau masjid. Sepaham saja dengan Plato, tuhan itu ada dan absolut, satu dan kuasa tanpa batas. Tidak mendilemakan soal kekultusan, tapi soal nasibku pribadi sebagai seorang pembunuh. 

Aku muak dengan perang, lebih muak pada ngawurnya alasan tidak mendasar untuk itu. Masalahnya, budak penculikan tidak diperkenankan mengundurkan diri. Begini nasibku. Mungkin Pak Tua itu benar, andai aku bisa jadi seniman kampung dan punya pacar. 

“Gerald!” anak itu mengajakku bicara, "Aku tidak benci mati. Aku benci pedang dan perang," dengan tidak kehilangan konsentrasi mengatur gerakannya.

"Aku juga. Aku benci diriku."

"Kapan lagi kau akan ditugaskan, bisa rekomendasikan aku?"

Selundupkan? Oh, aku paham. "Ide bagus, tapi tidak akan berhasil aku pikir."

"Kenapa kau tidak berpikir untuk pergi saja daripada kembali, kemarin?"

"Aku pikirkan itu. Tapi, tidak ada kuda, tidak ada uang untuk roti. Bahkan aku tidak tahu harus ke mana waktu itu. Lagipula Pak Tua itu sangat merepotkanku sepanjan jalan."

“Gerald!” 

Kedengarannya suara Pak Tua, memanggilku. Kujatuhkan dulu bocah itu dengan teknik pamungkas, kubiarkan tersungkur, lalu pedang kayu ini kutancapkan terbalik ke tanah.

“Ada apa, Pak Tua?”

“Jangan menggerutu lagi kalau kau mau ikut berlibur ke Konstantinopel!” Dia menghampiriku. “Ingin menjewer Boni?”

“Aku masih lelah,” jawabku.

“Sebaiknya jangan! Kau tahu? Perjanjian dengan Alexios batal.”

“Apal!?”

“Ya, karena dia sudah mati.”

“Mati!? Bagaimana?"

“Dia diguilngkan rakyatnya sendiri, dalam pemberontakan besar, hahaha... Lupakan dulu soal Jerusalem!”

“Lalu kenapa?”

“Kita akan taklukan seluruh Bizantium.”

“Melawan warga!?”

“Terdengar mudah, kan? Telinga Boni menunggu kita.”

Apa boleh buat, karena Pak Tua, terutama karena telinga Boni. 

"Gerald!"

Oh, ya, bocah itu. "Maaf, Rodas tidak kali ini. Ini sangat buruk."

Jadi aku tergabung dalam unit Frank setengah raksasa ke Konstantinopel. Setengahnya lagi -mereka yang lain- menyebar ke beberapa kota wilayah Bizantium.

Karena perbuatan hina ini, mungkin aku jadi semakin terkutuk bersama para terkutuk ini -teman-temanku yang menikmati pertumpahan darah seperti melawan prajurit asli. Kepalaku terlalu penuh membayangkan, bagaimana aku menghabisi -sudah puluhan- nyawa warga sipil. Apakah kakek tangguh yang barusan aku jungkirbalikkan -dengan tameng- ini juga? Aku memang terpana melihatnya.

"Apa? Kau ingin berbelaskasihan kepadaku? Tidak benar, kan bocah?"

Orang tua ini sepertinya mantan prajurit. Boleh juga upayanya mengimbangi gerakanku dengan insting dan keluwesan teknik kuat yang berapi-api. Aku merasakan seberapa kuat pukulan-pukulannya yang dibuat badan tuanya. Hampir saja dia berhasil menusuk pangkal leherku dengan ujung mata pedang saat aku melembek, -karena desakan daya tarungnya- spontan aku buat dia terpelanting setelah kubuat pedang dan tamengnya terlepas dri genggaman.

Kuperhatikan sekali lagi rahasia yang terlukis pada wajah keriputnya. Dia kakek yang keras, tapi sorot matanya tidak memiliki kejahatan dan ambisi hidup sejahtera di hari tua. Ya, sorot mata itu...

"Apa maksudmu?" Tentu dia bertanya kenapa pedang yang kulempar tidak memotong leher atau menusuk kepalanya saja, bukannya sia-sia menusuk tanah kuning becek darah.

Aku tarik sebuah dagger atau pedang pendek, modal senjataku yang lain. "Kau tahu maksudku. Sekarang aku serius."

Aku beri kesempatan orang tua itu bangkit dengan geram.  Tidak kulihat otot-ototnya keluar saat mencabut dengan ringan pedang yang kupinjamkan. "Jadi kau dari tadi mengajakku bermain-main, bocah?"

Dia menghampiriku saat aku perlu mengatasi serangan-serangan dari beberapa prajurit sipil lain. Tapi dari kakek ini aku tidak peduli, meski pun aku sangat kesal merasakan sensasi sesak dan sangat menyakitkan pada ulu hati, sampai asamnya darah kurasakan tidak bisa aku telan, malah kumuntahkan.

"Apa yang kau pikirkan?"

 "Lebih baik kau yang membunuhku, pak tua."

Dia keluarkan pedangnya dari ulu hatiku. Bangsat! Aku sangat menderita dengan sensasi ini. Entah kenapa orang tua itu menopangku, bukannya membiarkan aku ambruk.

"Terima kasih." Rasanya mataku mulai berat, otot-otot tangan dan kaki juga. Kakek ini tetap begitu. Kurasakan keberadaanku seperti memudar, atau menipis, atau mulai berubah seperti khayalan. Masih sempat terasa kerasnya tanah dengan punggungku saat ambruk ke belakang. Sedikit sisa kesadaranku mengetahui, entah kenapa kakek ini tetap begitu. Dia ambruk tengkurap menindihku. Sial! Sepertinya dia memuntahkan darah ke wajahku... dan batuknya ke dalam hidungku.

 

DA_Prantoko

Batam, 13 Juli 2019

 

Note: Saracen (sebutan muslim oleh orang Kristen Eropa), Frank( istilah untuk prajurit Crusade/Perang Salib, Bonifacius (dari sejarah, Bonifacius I), Alexios (dari sejarah Alexios Angelos)

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Triple A (Remake)
4376      1478     5     
Mystery
Tim SMART telah kembali. Dengan misteri dan kasus yang baru. Lebih menantang! Lebih menegangkan! Bersiaplah untuk misteri yang akan menggugah pikiranmu!
Melody of The Dream
650      418     0     
Romance
Mungkin jika aku tidak bertemu denganmu, aku masih tidur nyenyak dan menjalani hidupku dalam mimpi setiap hari. -Rena Aneira Cerita tentang perjuangan mempertahankan sebuah perkumpulan yang tidak mudah. Menghadapi kegelisahan diri sendiri sambil menghadapi banyak kepala. Tentu tidak mudah bagi seorang Rena. Kisah memperjuangkan mimpi yang tidak bisa ia lakukan seorang diri, memperkarakan keper...
Good Art of Playing Feeling
413      306     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
IMAGINE
390      279     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Alliya si anak istimewa
559      373     3     
Short Story
\"Ketika ketidakadilan selalu terjadi pada anak berkebutuhan seperti Alliya,mereka tetap ikhlas menjalani hidupnya . Seharusnya mereka dicinta bukan dihina. \"
Catatan Takdirku
1704      930     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
Camelia
600      339     6     
Romance
Pertama kali bertemu denganmu, getaran cinta itu sudah ada. Aku ingin selalu bersamamu. Sampai maut memisahkan kita. ~Aulya Pradiga Aku suka dia. Tingkah lakunya, cerewetannya, dan senyumannya. Aku jatuh cinta padanya. Tapi aku tak ingin menyakitinya. ~Camelia Putri
Syahadat & Seoul
351      245     2     
Romance
Lee Jeno, mencintaimu adalah larangan bagiku, dan aku sudah melanggar larangan itu, patut semesta menghukumku ... Diantara banyak hati yang ia ciptakan kenapa ada namamu diantara butiran tasbihku, dirimu yang tak seiman denganku ...
Meta(for)Mosis
11409      2372     4     
Romance
"Kenalilah makna sejati dalam dirimu sendiri dan engkau tidak akan binasa. Akal budi adalah cakrawala dan mercusuar adalah kebenaranmu...." penggalan kata yang dilontarkan oleh Kahlil Gibran, menjadi moto hidup Meta, gadis yang mencari jati dirinya. Meta terkenal sebagai gadis yang baik, berprestasi, dan berasal dari kalangan menengah keatas. Namun beberapa hal mengubahnya menjadi buru...
Ballistical World
10156      1999     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.