ALVARO PRASENJA
Kadang yang terlihat
kasar itu sebenarnya lembut.
Atau sebaliknya,
yang terlihat lembut itu
sebenarnya kasar.
-o-
TIGA tahun silam.
Seorang lelaki berusia sekitar 14 tahun tetapi dengan perawakannya yang tinggi dan dengan badan sedikit berotot tidak sebanding dengan usianya, keluar dari sebuah tempat hiburan malam.
Dengan perawakannya yang seperti itu ditambah kartu identitas palsunya berhasil membuat penjaga tempat hiburan malam itu tidak curiga dan mengizinkannya keluar-masuk dengan mudah.
Arloji hitam yang melingkar pas di pergelangan tangan kanannya sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi. Seharusnya lelaki itu sudah di rumahnya karena hari ini ia harus sekolah. Berhubung dirinya sedang melaksanakan Ujian Kenaikan Kelas jadi mau tidak mau ia harus sekolah.
----
Ini sudah pukul setengah sembilan, dan lelaki dengan rambut berjambul itu baru sampai di sekolahnya padahal ujian sudah berlangsung sejak satu jam yang lalu.
Beruntung gerbang sekolah terbuka dan tidak ada satpam yang berjaga disana. Lelaki itu masuk ke dalam kelas tanpa mengetuk pintu dan sukses membuat seluruh perhatian tertuju padanya.
"Kenapa kamu baru datang?!" tanya guru yang mengawas dengan menyentak.
"Telat."
"Saya tahu! Kenapa kamu bisa telat? Kamu tahu ini sedang ujian!" sentak guru itu lagi.
"Saya telat bangun."
"Memangnya tidur jam berapa kamu? Jam segini baru datang!"
"Jam empat."
"Kenapa tidur jam segitu, heh? Sudah tahu sedang ujian!"
"Main."
"Astaga, Kala!"
"Jadi, saya di izinin masuk gak?" tanya Kala akhirnya.
"Yasudah, cepat kamu duduk! Kerjakan soalnya."
Beberapa jam kemudian ujian selesai, semua murid keluar dari kelasnya dengan napas lega setelah dikejar waktu untuk mengisi beberapa lembar kertas yang cukup membuat kepala pening.
"Anjir, telat lu, Ka, gak nanggung-nanggung!" seru teman Kala, Ibrahim namanya. Kala hanya tersenyum miring.
"Main kemana lu sampai jam segitu?" tanya teman Kala yang lain, Okta.
"Main PS lah, apalagi?" jelas, Kala berbohong soal itu.
Ibra dan Okta tertawa. "Serius lu?"
"Emang gua mau kemana?"
"Iya juga, sih."
"Eh, lu mau ngikut ke rumah si Zul?"
"Ngapain?"
"Ada makan-makan, mau gak?"
Kala menggeleng pelan. "Gua harus antar barang dulu, lagian adek gua juga dititip ke tetangga. Gak enak kalo gua lama balik."
Ibrahim dan Okta mengangguk paham. "Gua duluan," pamit Kala.
Kala berjalan menyusuri koridor sekolahnya. Lelaki yang masih menggunakan seragam putih-biru itu tampak terburu-buru. Matanya sesekali melirik arloji hitam sama dengan yang dipakai tadi malam.
Setelah sampai di gerbang sekolahnya tanpa menunggu lagi Kala segera berlari kecil ke arah warung tak jauh dari sekolahnya. Warung itu adalah tempat dimana ia selalu memarkirkan motor sportnya karena tidak mungkin jika ia harus membawanya masuk ke area sekolah.
Kala masuk ke dalam warung, berhubung Kala sudah kenal dekat dengan sang pemilik dirinya menjadi tidak sungkan untuk keluar masuk.
"Kang, biasa, mau ke WC," ucap Kala tanpa basa-basi. Orang yang tadi Kala panggil Kang itu mengangguk.
Beberapa saat kemudian, Kala keluar dengan seragam yang sudah dilepas. Diganti dengan celana jeans selutut dan kaos hitam dipadu dengan jaket levis.
"Makasih, Kang!" Kala keluar dari warung dan langsung menaiki motor kesayangannya setelah ia memakai helm fullfacenya yang memiliki warna senada dengan motor, putih.
Kentara sekali perubahannya. Kala yang tadi memakai seragam putih-biru terlihat manis dan pendiam. Berbeda dengan setelannya yang sekarang, merubahnya menjadi seperti lelaki dingin dan tidak sama sekali menunjukkan bahwa dirinya masih anak SMP.
Motor yang dominan berwarna putih itu berhenti di depan sebuah rumah makan masakan Padang. Kala turun tanpa melepas helmnya kemudian berjalan menuju gang kecil yang berada di samping rumah makan itu.
Kala mengetuk pintu rumah yang ia kunjungi membuat sang empunya rumah keluar di detik berikutnya. Cepat sekali, seakan kedatangan Kala itu sangat ditunggu.
"Mana?" tanya sang pemilik rumah. Kala terlihat memberikan sebuah barang yang dibungkus oleh kertas berwarna coklat.
"Oke, thanks." Kala mengangguk dan pergi begitu saja.
-----
"Varo udah makan?" tanya Kala pada adik kecilnya yang baru berumur 3 tahun itu. Alvaro menggeleng dengan pipinya yang menggembung. Kala mencubit pelan pipi adiknya.
"Kenapa belum makan?"
"Valo mu sama bang!"
"Varo mau makan apa? Telur dadar mau gak?" Alvaro mengangguk semangat.
"Yaudah, ayo ke dapur." Kala menggendong Alvaro menuju dapur, kemudian mendudukannya di kursi meja makan.
"Bentar, abang buat dulu ya."
"Mau abang suapin?" tanya Kala setelah selesai memasak telur dadar.
"Bang, makan?" Alvaro balik bertanya.
"Nanti, mau di suapin gak?" Alvaro menggeleng.
"Bang, mama sama papa kapan pulang?" tanya Alvaro tiba-tiba. Kontan membuat Kala diam. Tak tau dan tak bisa menjawab. Suasana hatinya mendadak berubah. Perasaan sedih, rindu, marah, dan kecewa menyatu. Menelusup, seakan menusuk-nusuk hatinya. Perih.
Raut wajah Alvaro yang juga tiba-tiba muram sukses menambah kadar kebencian Kala pada mama dan papanya.
Kala susah payah membahagiakan adiknya itu, sementara orangtuanya ingat pun tidak. Memang, Kala yang meminta Alvaro disini bersamanya karena Kala tahu Mama dan Papanya itu tidak mau repot mengurus Alvaro yang masih berumur 3 tahun itu. Kala takut Alvaro tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya ia dapatkan.
Jadi Kala, walaupun umurnya pun belum genap 17 tahun ia berani bertaruh apapun demi adiknya. Termasuk menantang kehidupan masa depannya dengan apapun yang Kala lakukan sekarang. Tidak ada yang tahu dari mana Kala mendapatkan uang untuk biaya hidupnya, bukan? Mereka hanya menduga jika Kala menggunakan uang bulanan yang dikirimkan oleh orangtuanya. Padahal tidak sama sekali. Kala tak sudi memakai uang itu.
"Abang mau mandi dulu ya." Dan Kala, ia memilih menghindar dari Alvaro. Memilih mandi untuk mendinginkan kepala dan hatinya yang panas bukan main.
Inilah kehidupan sehari-hari Kala dan Alvaro setelah orangtuanya bercerai dan pergi entah kemana.
Jika Kala sekolah dari pagi sampai pukul dua siang, terpaksa ia harus menitipkan Alvaro kepada tetangganya. Untungnya, tetangga Kala berbaik hati untuk menjaga Alvaro selama Kala sekolah.
Bukannya Kala tidak ingin mempekerjakan seorang asisten rumah tangga, tetapi ia tidak memiliki banyak uang. Uang dari orangtuanya? Bukankah Kala sudah bilang jika ia tidak sudi untuk menggunakannya bahkan hanya untuk sepeser pun. Kala lebih memilih bekerja. Dan untuk sekarang uangnya belum terkumpul.
Kala melakukan apapun untuk mendapatkan uang. Ia ingin sekali mempekerjakan asisten rumah tangga untuk menjaga Alvaro juga membersihkan rumahnya karena tidak mungkin sekali jika Kala akan terus menitipkan Alvaro pada tetangganya.
----
Hingga ketika Kala sekarang duduk di kelas 3 SMA, Kala berhasil. Dia melakukan apapun untuk membuat adiknya bahagia. Termasuk mempekerjakan Asisten rumah tangga itu. Kala tidak perlu lagi menitipkan Alvaro, Alvaro juga tidak lagi-lagi makan dengan telur dadar.
ART itu bekerja paruh waktu. Datang pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan, membersihkan rumah dan menjaga Alvaro. Dan pulang ketika Kala sudah pulang sekolah.
Segala apapun yang Alvaro maupun Kala inginkan bisa terpenuhi oleh Kala. Kala bisa membeli mobil juga motor. Masalah biaya sekolah tidak pernah menunggak. Apapun itu. Kala hidup bahagia walau tanpa kehadiran orangtuanya. Kala juga memuluskan keinginannya untuk tidak memakai uang pemberian mama maupun papanya. Semuanya hanya ia simpan untuk Alvaro di masa depan. Jikalau ada sesuatu yang terjadi pada dirinya kelak.
Dan masalahnya, tak ada yang tahu dari mana Kala mendapatkan uang sebanyak itu. Lelaki bertubuh jangkung itu masih sekolah. Ada sedikit banyak rahasia yang ditutupi Kala. Termasuk kepada Ibrahim dan Okta.
-o-
@aiana fighting kak!
Comment on chapter Prolog