KALA PRAJINGGA
Keluargamu membuatku seakan-akan
hidup kembali setelah lama mati
ditampar sunyi.
-o-
KALA kembali memasukkan handphonenya ke dalam saku tanpa berniat menggeser gambar bulat berwarna hijau lebih dulu. Kala menatap Lula ketika perempuan itu menyentuh punggung tangannya.
Kenapa gak di angkat?
Kala menggeleng. "Teman sekolah,"
"kamu, masih sekolah?" tanya Kala setelah diam beberapa saat. Lula menggeleng.
Aku lulus tahun kemarin.
Kala menangguk-ngangguk kecil. Tak lama seorang pelayan datang membawa pesanan mereka kemudian menyajikannya di meja.
Kamu kelas berapa?
"Kelas 12."
Semangat! Bentar lagi UN.
Kala tersenyum dan mengangguk. "Iyalah. Terima kasih. Makan dulu." Lula mengangguk dan menikmati makanannya.
"Alvaro, mau abang suapin atau sendiri?" Kala menatap Alvaro yang dari tadi hanya diam.
"Sendili aja, bang."
Beberapa menit kemudian makanan Kala sudah habis tak bersisa, ia sedang asyik menatap Alvaro dan Lula yang mulutnya masih penuh mengunyah makanan dengan sesekali terkekeh.
"Pelan-pelan makannya, Alvaro," peringat Kala saat Alvaro tersedak oleh makanannya.
"Lula, boleh minta no handphone kamu?" tanya Kala setelah melihat Lula sudah menghabiskan makanannya.
Lula mengangguk, kemudian mengeluarkan benda pipih dari tas selempangnya yang tadi. Tangan Lula tampak menari-nari di layar ponselnya. Beberapa detik selanjutnya ia memberikan ponsel itu pada Kala.
Setelah mencatat nomer Lula dan menyimpan kontaknya sendiri di ponsel Lula, Kala kembali memberikan alat komunikasi itu pada sang empunya.
"Saya juga save nomer saya di kamu. Nanti kalo perlu bantuan saya, jangan sungkan. Oke?" Lula mengangguk meng'iya'kan.
"Mau langsung pulang atau ke taman lagi?"
Langsung pulang aja. Udah mendung.
Kala mengangguk, kemudian memanggil pelayan untuk meminta bill dan membayar semuanya. Meskipun Lula keukeuh mau membayar makanannya sendiri.
"Varo, kita antar dulu Kak Lula pulang, ya?" Alvaro mengangguk.
***
Kala melirik sekelilingnya. Menatap bingkai-bingkai foto yang menggantung di dinding maupun yang berada di atas meja. Menatap lekat seakan menyelidiki foto-foto itu sambil tersenyum kecut saat melihat foto keluarga yang terpampang di dinding hadapan dirinya duduk.
Ingatan Kala melayang pada beberapa tahun silam. Saat keluarganya masih baik-baik saja. Nyaman dan tentram. Saat dirinya baru saja masuk Sekolah Menengah Pertama, keluarganya hancur tidak berbentuk lagi.
"Kala kamu mau ikut siapa? Mama atau Papa?"
"Ikut mama saja Kala, kamu akan mama sekolahkan di luar negeri."
"Ikut papa! Papa akan membahagiakan kamu sama Alvaro."
Tiba-tiba tangan Kala mengepal kuat sampai buku-bukunya memutih saat suara demi suara itu terngiang di kepalanya.
Lalu berikutnya adalah suara teriakan Kala saat masih berusia 13 tahun itu yang menolak ikut kepada salah satu orang tuanya.
"Kala mau tetap tinggal disini! Mama sama papa pergi saja! Kala disini sama Alvaro!"
"Abang... Alvalo mau pipis.." suara rengekan Alvaro itu berhasil menarik Kala dari ingatan-ingatan yang menyakitkan itu. Kala menatap Alvaro lalu tersenyum.
"Bentar, kita tunggu kak Lula dulu ya."
Ya. Sekarang Kala sedang berada di rumah Lula, setelah tadi Kala mengantarnya, Lula memaksa Kala mampir untuk sekadar minum dan berkenalan dengan orang tua Lula.
Dan sekarang Lula sedang di dapur bersama ibunya. Lula memakai kursi roda jika berada di rumah, jadi tidak perlu merepotkan ibunya, katanya.
Beberapa saat kemudian, Lula dan Ibunya datang. Lula membawa nampan berisi minuman dan camilan sementara ibunya mendorong kursi roda Lula.
"Maaf, bu, ikut ke kamar mandi, boleh?" tanya Kala pada Ibu Lula sopan.
"Oh iya silahkan. Dari sini kamu lurus saja, nanti belok kiri." Kala mengangguk lalu mengajak Alvaro untuk mengikutinya.
***
Hari semakin larut, jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Dan Kala baru akan pamit pulang dari rumah Lula.
Kala lupa waktu. Dia terlalu asik bermain monopoli bersama Lula, Ganta dan Ayah Lula semenjak sore tadi hingga selarut ini. Sementara Alvaro sudah berada di alam mimpinya, dia tertidur pulas di sofa ruang keluarga rumah Lula.
Kala tidak menyangka bahwa keluarga Lula seharmonis ini. Bahkan ayah Lula tak tanggung-tanggung ikut bergabung dalam permainan monopoli itu. Dalam sekejap Kala sudah akrab dengan keluarga kecil ini. Bahkan, Kala dan Alvaro menyebut orang tua Lula dengan sebutan Ayah dan Ibu.
Kala larut dalam keluarga ini. Ia baru kali ini lagi merasakan hangatnya sebuah keluarga setelah beberapa tahun lamanya hidup mandiri bersama sang adik dengan hanya mendapat uang bulanan dari kedua orang tuanya dan sesekali pendapatan dari pekerjaannya.
"Kenapa tidak meenginap saja, nak? Sudah malam." tanya Ayah Lula saat Kala berpamitan.
Kala tersenyum lalu menggeleng. "Tidak enak, Yah. Bahkan Kala sudah merepotkan, jam segini baru pulang."
"Tidak merepotkan kok. Kamu jangan sungkan untuk main ke sini," ucap Ibu Lula lembut. Lagi, Kala tersenyum.
"Iya, Bu, terima kasih. Kalo gitu, Kala pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamit Kala, dia menyalami orang tua Lula. Kala tersenyum pada Ganta dan Lula kemudian masuk ke dalam mobilnya dengan Alvaro yang sudah ia pangku ke dalam mobil.
Tak butuh waktu lama, Kala sudah sampai di rumahnya. Sepi. Perasaan itu kini kembali merayap di hati Kala. Rasa hangat yang tadi menyelimuti hatinya itu langsung menguap saat Kala melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah Lula.
Kala menggendong Alvaro masuk ke dalam rumah yang dingin hingga menusuk hatinya. Kala membaringkan Alvaro di kasurnya setelah itu dirinya ikut berbaring di samping Alvaro.
Kala menatap langit-langit kamarnya, menerawang jauh lagi-lagi kembali pada masa lalunya. Baru menyadari bahwa keluarganya memang tidak pernah bahagia. Bahkan sebelum perceraian orang tuanya pun. Senyum dan tawa mama dan papa nya itu hanya sandiwara belaka.
Dari awal, mereka memang tidak pernah saling mencintai. Mereka bisa menikah karena perjodohan yang sudah direncanakan orangtua masing-masing. Karena orangtua mereka bersahabat. Hah! Lagu lama.
Keberadaan Kala dan Alvaro pun hanya didasari oleh nafsu semata. Bukan karena cinta. Dan Kala menyayangkan semua ini.
Kala selalu berandai-andai tentang kehidupan keluarganya. Ingin sekali merasakan kasih sayang mereka yang menurut orang tak terhingga besarnya. Halah, bullshit! Buktinya orangtua Kala tak terlihat lagi setelah mereka berpisah. Menghubunginya pun sesekali saja jika mereka ingat. Kala hanya mendapat uang bulanan sesuai kesepakatan mereka.
Jujur, Kala sangat merindukan orangtuanya. Walaupun dia membenci kedua orangtuanya. Bohong jika Kala berkata dia tidak merindukan orangtuanya. Bahkan, Alvaro, tak jarang adik kecilnya itu menanyakan orangtuanya. Berkata bahwa dia selalu di ejek oleh teman-temannya karena selalu diantar oleh Kala bukan ayah atau ibunya.
Hati Kala sakit luar biasa saat Alvaro datang kepadanya dan menangis karena ejekan itu. Membuat Kala terus saja memaki mama dan papanya yang tak bertanggung jawab itu.
Tapi hari ini dia senang bisa melihat Alvaro bahagia bersama orangtua Lula. Iya, orang tua Lula bukan oranngtua kandungnya.
-o-
@aiana fighting kak!
Comment on chapter Prolog