Hiruk-pikuk kota jakarta tampak memukau bila dilihat dari atas. Kemacetan kota jakarta seakan tak hilang dari trending topik pemberitaan televisi swasta. Macet—adalah suatu hal khasnya daerah ibukota jakarta. Nampak terlihat dari atas Cafe Mouris, gedung yang hampir setara dengan monas. Cafe Mouris— Cafe tertinggi dan cukup terkenal di jakarta ini. Cukup diminati oleh orang-orang bergengsi, artis-artis papan atas dan bahkan banyak orang-orang turis yang ingin menyempatkan untuk berkunjung ke Cafe ini. Hanum melirik Raffa yang terus-terus saja menatap jalan tanpa mau menatapnya. Hanum terus mengikuti arah tatapan Raffa yang menatap kota Jakarta sambil sesekali menyesap caramel macchiato. Hanum terus saja menatap Raffa lalu menatap lagi ke bawah yang di bentengi oleh kaca bening. Memangnya, apa yang membuat Raffa sebegitu tertariknya untuk melihat jalan?
"Fa.., " panggil Hanum, "cobain, deh. Lasagnanya enak tahu." Rayu Hanum, karena itu adalah salah satu caranya biar Raffa menoleh padanya. Tapi tetap saja, Raffa tidak menoleh padanya.
"Kamu makan saja sendiri." ucap Raffa datar. Hanum mengerucutkan bibirnya. Tapi Hanum tidak akan pernah menyerah untuk menerobos hati Raffa yang sebeku bongkahan es di kutub Utara."Ayo dong, Fa. Cobain sedikit aja. Kamu dari tadi minum caramel macchiato melulu."
"Aku lebih baik meminum caramel macchiato, karena aku suka rasa manis di awal dan rasa pahit di akhir."
Raffa bangkit dari kursinya, meninggalkan Hanum dan Raffi.
"Sabar yah, Hanum. Kak Raffa memang seperti itu."Raffi terkekeh. Raffi—kembaran Raffa yang hanya terpaut empat menit."Tapi, dia baik kok orangnya. Semangat Hanum." Raffi selalu menyemangatinya, untuk tetap terus menghancurkan es bekunya hati seorang Raffa.
"Makasih ya, Fi. Kamu selalu support aku." Hanum tersenyum merekah.
"Sama-sama kakak ipar. Raffi akan selalu support Hanum buat hancurin hati bekunya kak Raffa."
Raffi berbeda dengan Raffa. Raffi yang selalu tersenyum ramah, tidak irit bicara, blak-blakkan dan selalu riang gembira. Berbeda dengan Raffa, Datar, jarang tersenyum, bicara singkat, padat dan jelas. Tidak pernah ada sinar mentari dari wajahnya selalu awan gelap yang menyertai mimik wajahnya.
Hanum menyukai Raffa. Sangat menyukai Raffa. Meski Raffa selalu saja bersikap jutek padanya. Hanum tidak peduli. Hanum tahu, di balik dinginnya Raffa, di balik diamnya Raffa, dibalik sifat datarnya Raffa, Raffa pria yang baik. Bukan sekedar baik. Namun, Raffa berbeda dari semua pria yang pernah Hanum kenal di muka bumi ini. Ada dalam diri yang menghangat ketika Hanum bersama Raffa. Entah apa. Yang jelas, Hanum senang di dekat Raffa. Hanum nyaman jika setiap kali bersama Raffa. Meski seribu kali Raffa tak mengacuhkannya. Hanum akan tetap menyukai Raffa.
**
Pulang sekolah Hanum langsung bergegas berganti pakaian. Hanum membuat nasi goreng special untuk Raffa. Hanum memang selalu begitu, setiap harinya ia selalu kerumah Raffa sambil membawa makanan hasil kreasinya sendiri. Hanum memang hobby memasak. Karena cita-citanya adalah menjadi Chef terkenal di seluruh mancanegara. Hanum baru saja mengikuti lomba memasak tingkat provinsi. Alhasil, ia pun menjadi juara satu. Berkat support mama dan papanya serta support dari mama dan papanya Raffa dan Raffi juga. Berkat do'a dan dukungan mereka, Hanum menjadi seperti ini. Sebenarnya yang paling membuat Hanum semangat empat lima adalah ketika Raffa bersama Raffi datang ke acara lomba memasak. Hanum sangat ketika Raffa bela-bela hadir di acara lomba memasak. Hanum yakin, bahwa Raffa diam-diam memedulikannya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Eh Hanum." Sapa mama Raffa dan Raffi sambil tersenyum ramah.
Hanum menyalimi tangan Luna. "Tante, Raffanya ada?"
"Ada di kamar. Masuk aja."
"Iyah, Tante. Makasih."
Ada raut wajah yang aneh, saat Hanum menatap Tante Luna. Wajahnya begitu pucat dan pasi saat aku menanyakan keberadaan Raffa. Raffi pun begitu, setiap Hanum menanyakan soal Raffa padanya. Dibalik tawa cerianya, ia seperti menyimpan luka, menyimpan rahasia yang selama ini belum Hanum ketahui. Sebenarnya ada apa dengan mereka?.
Raffa sering di rumah. Jarang keluar rumah. Tetapi ia tetap homeschooling. Tapi, yang menjadi pertanyaan Hanum kenapa Raffa tidak bersekolah bareng Raffi dan kenapa lebih memilih homeschooling?. Raffa tidak mempunyai teman, ia lebih memilih menyendiri. Hingga sampai waktu itu, Hanum tidak sengaja bertemu dengannya di sekolah. Hanum kira waktu itu orang itu adalah Raffi. Karena wajahnya sangat mirip sekali. Ternyata ia adalah kembarannya Raffi, Raffa namanya. Sikap dinginnya membuat Hanum greget. Dari situlah, Hanum mulai tertarik Raffa.
Tok..Tok..Tok.
"Siapa?" Sahut Raffa dari dalam kamar.
"Ini Hanum."
"Masuk."
"Hai, Raffa." Sapa Hanum. Hanum membuka pintu dan melihat Raffa sedang asyik bermain komputer.
"Ngapain kamu kesini?" Cetus Raffa.
"Eum... mau Kasih ini." Ucap Hanum sembari menyodorkan tupperware yang berikan nasi goreng.
"Apa itu?"
"Ini nasi goreng. Buatan aku. Buat ucapan terimakasih aku ke kamu. Karena kamu sudah menyempatkan datang ke lomba memasak tempo hari itu."
"Oh."
"Kamu terima yah. Please."
"Yaudah, sini aku makan nasi gorengnya."
Hanum tersenyum merekah, memerhatikan Raffa yang dengan antengnya memakan nasi gorengnya dengan lahap. Sampai tak tersisa sedikitpun. Hanum senang, akhirnya sedikit demi sedikit, ia bisa mencairkan hati bekunya Raffa.
"Gimana rasanya?" Tanya Hanum disaat isi tupperware itu sudah musnah.
"Enak." Raffa tersenyum untuk pertama kalinya Hanum melihat senyuman itu. Raffa berkali-kali lipat tampannya. seketika senyumnya memudar."mungkin ini yang terakhir kalinya."
"Kamu suka? Kalo kamu suka aku bakal buatin sering-sering buat kamu."
Raffa tersenyum tipis, "makasih yah."
"Hah?"
Ga tahu. Hanum engga tahu. Harus berkata apa lagi. Karena senyuman Raffa yang membuatnya terpesona seketika.
"Terima Kasih. Udah mau kenal sama aku."
Kata-kata Raffi itu sungguh menohok ulu hati Hanum. Entah kenapa. Seakan-akan Raffi akan pergi jauh.
"Aku juga senang banget kok, kenal sama kamu, Fa."
"Boleh aku meluk kamu?"
Demi apapun. Raffa mau memeluknya. Mimpi apa Hanum semalam?. Dan juga, ini bukanlah mimpi Indah bagi Hanum.
"B-boleh." Kata Hanum antara gugup dan senang. Ah, dengan senang hati, Raffa.
Raffa memeluk Hanum. Mendekap erat tubuhnya. Sangat erat. Apa ini? Seperti salam perpisahan bagi Hanum. Pelukan ini sungguh nyaman bagi Hanum. Namun, rasanya pelukan ini seperti pelukan pertama dan.... terakhir.
**
Hari demi hari berlalu. Sudah seminggu ini, Hanum tidak lagi kerumah Raffa. Katanya Raffi, Raffa sedang di luar negeri dan akan pulang lagi hari ini. Tepat dimana Raffa ulang tahun. Hanum akan datang ke rumah Raffa. Tanpa memberitahu Raffi lewat message. Karena Raffa tidak pernah bermain ponsel. Ia hanya menyukai bermain komputer.
Hanum sudah menyiapkan kado special untuk Raffa dan Raffi. Berupa jam tangan keluaran terbaru.
Tok...Tok...Tok...
"Raffiiiiii. Happy Birthday. " Hanum memeluk Raffi yang mengejut Raffi ketika membuka pintu.
"Eh, Hanum. Makasih yah."
"Nih, kado buat kamu."
"Adududu. Dikasih kado segala. Jadi terharu." Kata Raffi tersenyum riang.
"Raffa udah pulang dari Singapura, 'kan?. Dia pasti udah pulang ke sini. Karena hari ini dia pulang." Cecar Hanum.
Senyum mengembang di bibir Raffi tiba-tiba memudar. "Ngng... sebenarnya..., "
"Sebenarnya apa, Fi?" Heran Hanum.
"Sebenarnya... sebenarnya... sebenarnya...sebenarnya..., "
"Ih, kamu, dari tadi sebenarnya melulu. Sebenarnya kenapa, sih?" Tanya Hanum, "oah.. jangan-jangan mau Kasih surperice yah sama kembarannya. Tenang aja, Fi. Ga bakal aku bocorin kok. Bahkan aku bakal bantu kamu." Hanum terkekeh.
"Bukan itu."
"Loh, terus apa dong?"
"Sebenarnya... sebenarnya... Raffa tuh udah engga tinggal disini lagi."
"Hah? Dia belum pulang? Dia akan menetap di Singapura gitu. Engga jadi pulang ke Indonesia gitu?"
"Dia sudah pulang, kok."
"Loh, terus dia ada dimana dong?"
Raffi menghela nafas, "Ayo ikut aku."
**
Sampai disebuah tempat yang sepi. Tempat yang biasa di kunjungi seseorang untuk berziarah. Tempat dimana persinggahan terakhir untuk umat manusia. Hanum mengernyit, Omong-omong, ngapain Raffi membawanya kesini? Masa iya, Raffa tinggal di gubuk derita. Dekat TPU lagi.
"Kamu ngapain ajak aku ke sini?"
"Katanya mau ketemu sama Raffa."
"Raffa emang ada disini?"
"Hm."
Dugaan Hanum, mungkin Raffa sedang ziarah ke makam salah satu keluarganya. Cowok idamannya. Satu dari seribu. Hanum hanya mau Raffa.
Raffi tiba-tiba berhenti disalah satu makam. Namun, Hanum tidak menemukan tanda-tanda Raffa. Apa Raffa sedang main petak umpet? Mata Hanum lelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling Makam. Sampai matanya tak sengaja melirik ,sebuah makam di hadapannya, makam yang baru, tanah yang masih baru, tanah yang masih merah, dan yang membuat Hanum terkejut, saat Hanum membaca di nisan itu bertuliskan ' Raffa Tubagus Harbian bin Haikal Adrian Harbian '.
Raffa...
Tidak mungkin.
"Kak Raffa, sebenarnya ke luar negeri itu untuk berobat. Karena sakit Kanker darahnya sudah sangat parah. dokter di Indonesia, sudah pada angkat tangan. Akhirnya, Raffa di bawa ke salah satu rumah sakit ternama di Singapura. Sayangnya, Allah swt. lebih sangat menyayangi kak Raffa. Sekarang Raffa sudah bebas dari penyakitnya. ia sudah tenang di alam baka sana."
Seketika, tubuh Hanum terasa lemas. Kedua lututnya bertumpu pada Tanah. ia tak mampu berkata-kata lagi. Raffa telah pergi jauh. Pergi jauh selamanya, meninggalkan dirinya seorang diri. Kini, tak ada Raffanya yang jutek lagi padanya, tak ada Raffa yang suka berbicara datar padanya, tak ada Raffa yang dingin lagi padanya, tak ada Raffa yang membuatnya selalu penasaran dengan sikap dinginnya namun peduli, tak ada Raffa yang mencicipi masakannya sampai tak tersisa. Kini, Raffa sudah tiada. Pergi jauh. Sangat jauh. Hanum mengingat disaat Raffa memeluknya untuk pertama kalinya dan untuk terakhir kalinya. Raffanya benar-benar meninggalkan Hanum. Raffa benar-benar....
"RAAAAFFFFAAAAAA!!"
"Hanum," Raffi menyentuh bahu Hanum. Panggilan Raffi tidak di dengar oleh Hanum. Karena Hanum sudah seperti mati rasa rasanya saat ini. Raffi menyodorkan sebuah secarik kertas untuk Hanum."ini dari.... Raffa." Hanum menoleh, mengambil secarik kertas dari tangan Raffi. Perlahan-lahan, Hanum mulai membaca.
To:
Hanum Anindia Priscilla ❤
Hai, Hanum ☺. Ingat, jangan menangis saat kamu membaca surat ini yah.
Hanum, terimakasih sudah memberikan warna indah dalam hidupku.
Hanum, terima kasih sudah mau mengenalku yang berpenyakitan ini.
Hanum, terima Kasih sudah mau menjadi teman baikku selama ini.
Dengan segala kesabaran kamu yang menghadapi sikap dinginku ini.
Hanum, maafkan aku yang selama ini selalu bersikap jutek padamu.
Aku cuma..hanya tidak ingin..kamu berharap lebih padaku. Aku tidak ingin kamu terluka karena harapan yang tak pasti.
Aku tidak ingin ada buliran air mata yang menghiasi pipimu, saat aku pergi.
Aku tidak ingin kamu berharap lebih. Karena percuma, yang mana akhirnya aku pun akan pergi jauh.
Aku tidak ingin mengenal banyak seseorang, karena pada akhirnya aku pun akan pergi dan mereka menangis karenaku.
Aku tidak ingin adanya air mata saat aku pergi jauh.
Namun, pada akhirnya buliran air mata pun terjatuh, saat aku pergi meninggalkan dunia.
Itu sebabnya, aku yang selalu bersikap dingin padamu, Hanum. Dan, selalu berbicara ketus padamu. Maafkan aku.
Aku ingin kamu menjauhiku. Namun, kamu tetap bersikeukeuh ingin menjadi teman dengan segala kesabaranmu.
Kau tahu, Hanum, Aku jatuh cinta pada pandangan pertama padamu. Saat aku datang ke sekolah. Saat aku ingin sekali merasakan sekolah di tempat yang sama sepertimu dan seperti Raffi. Mempunyai banyak teman, mengerjakan PR bersama teman, kerja kelompok di sekolah, bercanda ria bersama teman-teman dan mengikuti extrakurikuler yang ada di sekolah. Tapi rasanya itu tidak mungkin dengan keadaanku sepeti saat ini. Akhirnya, aku memilih untuk Homeschooling. Meskipun penyakit kanker darah menggerogoti tubuhku, aku tidak pernah patah semangat dalam belajar. Kamu pun juga harus rajin belajar ya, Hanum. Agar mencapai cita-cita kamu yang menjadi seorang Chef terkenal di seluruh mancanegara.
Good luck, Hanum.
Hanum, kau lihat di dalam kertas itu ada sebuah kalung liontin. Didalamnya ada foto ganteng aku sama kamu, hehe. Itu aku yang buat loh.
Hanum, kalau kamu kangen sama orang ganteng, kamu tinggal lihat foto aku yang ada di dalam liontin itu dan sebut nama aku tiga kali. Aku pasti akan datang untukmu.
Hanum, kamulah secercah cahaya untukku.
I love you and Good bye,
Hanum Anindia Priscilla ❤
From :
Raffa yang selalu menyayangi Hanum.
Hanum menangis. Sejadi-jadinya. Dadanya terasa sesak. Setelah membaca surat itu. Tak henti-hentinya, Hanum membanjiri pipinya dengan buliran air mata. Hanum tidak percaya dengan kisah akhir ini, dimana Raffa akan pergi meninggalkannya. Bukan sementara tapi selamanya. Hanum menatap kalung liontin pemberian Raffa. Dibukanya liontin love itu. Terdapat foto Raffa dan Hanum. Hanum tersenyum. Benar yang dikatakan Raffa, Raffa memang ganteng.
Yaa Allah, aku merindukannya. Izinkan aku untuk bertemu dengannya. Sekali ini saja, melihat senyum yang terukir di wajahnya.
"Raffa, Raffa, Raffa." Ucap Hanum sambil menatap foto yang ada di liontin itu.
Terasa hembusan angin datang menerbangkan helaian rambut Hanum yang tergerai panjang. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat Raffa yang memakai pakaian serba putih berada disampingnya, menghapus air matanya dengan lembut.
"Raffa, please, jangan tinggalin aku. Aku sayang kamu, Fa."
"Aku juga menyangimu, Hanum. Tetapi....Tuhan lebih menyayangiku, " Kata Raffa. Raffa tersenyum pada Hanum. "Tapi kamu tenang saja. Aku selalu disini." Raffa membawa tangan Hanum ke dadanya."Di hati kamu. Aku akan menunggu kamu di surga dimana ruang dan waktu tak akan memisahkan kita. Aku mencintaimu, Hanum."
Tangannya bersatu dengan tangan Raffa. Lamat-lamat tubuh Raffa mulai memudar. Hingga akhirnya hilang bersama angin yang berhembus. Hanum tersenyum. Raffa benar, ia tidak boleh sedih karena Raffa selalu di hatinya. Suatu saat akan bertemu lagi dengan Raffa. Dimana ruang dan waktu tak memisahkan mereka berdua—Keabadian."Aku lebih mencintaimu, Raffa."