HAPPILY EVER AFTER
Hujan turun di tengah Kota, membasahi seisi kota dengan hebatnya. Membiarkan aktivitas di luar terhenti, mengabaikan para pengguna jalan dan pengendara bermotor yang bahkan sudah hampir 2 jam berteduh di ruko-ruko pinggir jalan raya. Alangkah beruntung bagi pengendara roda empat yang dapat melaju meski hujan melanda, mereka tak perlu berdiri berjam-jam dengan menatap setiap butir air terjatuh yang selalu saja menimbulkan kecemasan bagi para peneduh, bagaimana tidak? Mereka perlu berdesakan agar tidak berdiri di luar atap tempat mereka berteduh, menatap kosong dengan memikirkan kapan hujan reda, kapan dapat pulang, bahkan sebagian berpikir kapan bisa memiliki kendaraan roda empat agar dapat melaju di saat hujan tanpa perlu khawatir. Namun keberuntungan itu tampaknya tak seperti yang mereka bayangkan. Jauh di ujung jalan sana sebuah pohon besar tumbang tepat di tengah jalan. Membiarkan banyak kendaraan tak dapat melewatinya. Jangankan kendaraan roda empat, melewatinya tanpa kendaraan pun sulit. Kemacetan panjang pun terjadi, bunyi klakson kendaraan cukup membuat suasana malam ini semakin tak karuan, terlebih padamnya listrik membuat jalan sekitar terlihat amat gelap. Hujan pertama setelah musim kemarau panjang ini memang begitu dahsyat.
Di antara hiruk pikuknya keadaan di luar, di balik jendela jauh dari kebisingan kota, seorang gadis menatap kosong kaca jendela di depannya yang semakin berembun. Sebercak cahaya muncul dari laptopnya yang masih menyala, walau mungkin beberapa menit lagi baterai laptopnya akan habis dan ia harus siap menyatu dengan gelap. Pada ruangan yang cukup luas itu, gadis itu hanya diam seorang diri, di lantai 4 tempat kerjanya, ia tampak putus asa dengan kehidupan yang ia alami. Bukan karena gelap, bukan pula karena hujan. Tapi karena sesuatu telah terjadi di luar sana yang membuatnya enggan untuk beranjak dari kursinya sejak 5 jam lalu. Benar saja, laptopnya telah kehabisan baterai semua tampak begitu gelap. Namun gadis itu, ia tetap pada posisinya, diam tanpa beranjak. Sebuah cahaya terlintas beberapa meter darinya, cahaya lilin yang tampak hangat, semakin mendekat hingga telah sampai pada meja gadis itu. Seseorang yang membawa lilin itu hanya dapat menatap gadis di depannya dengan tatapan bingung. Setelah 8 jam lalu memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantornya, gadis itu ternyata masih duduk terdiam di kursinya.
“Ileana, sudahlah cabut saja permintaan pengunduran dirimu itu. Aku akan menganggap semua baik-baik saja. Tetaplah bekerja di penerbitan ini. Kau editor yang handal, Ileana. Dan bukankah ini semua cita-citamu? Lalu kenapa harus mengundurkan diri?”
Gadis itu masih tetap terdiam, seolah tak mendengar setiap kata yang keluar dari mulut mantan bosnya itu.
“Atau begini saja, kamu tetap bekerja dan aku akan naikan gaji kamu. Bagaimana? Kurang baik apa aku ini, Ileana”
Beberapa menit kemudian, gadis itu masih enggan untuk menimpali ucapan bosnya itu.
“Hei! Kau dengar aku, tidak? Banyak orang di luar sana yang menginginkan posisimu, Ileana. Bahkan banyak pula mereka yang iri untuk dapat bekerja dengan Bos tampan macam aku ini. Dan kau? Ah, kurasa kau an-“
“Hei! Ileana! Mau kemana kamu? Di luar gelap dan masih hujan! Mana sopan santunmu membiarkan Bosmu ini bicara seorang diri!”
Langkah gadis itu terhenti, ia berbalik dan mendekatkan langkah pada Bos cerewet yang baru saja mengganggu kenyamannya.
“Keputusanku sudah bulat. Ada hal yang lebih penting dari pekerjaan ini yang harus aku lakukan. Dan kau Leon, berhentilah menyebut dirimu sebagai Bosku lagi. Karena saat ini, kau bukan siapa-siapa!”
Lelaki bernama Leon itu mengembuskan nafas kesal. Jika saja orang di depannya bukan seorang gadis, tentu ia akan rela berdebat panjang lebar tanpa perlu menahan kesal seperti ini.
Ileana kembali berbalik badan, ia berjalan meninggalkan ruangan itu dalam gelap.
**
Hujan di luar masih belum mereda, namun Ileana tidak melakukan hal seperti para pejalan kaki atau pun seperti para pengendara motor lakukan di tepi ruko pinggir jalan itu. Ileana, ia berjalan dengan santainya melewati hujan yang semakin deras.
Melihat tingkah Ileana yang semakin aneh, Leon segera mengambil payung dan jaketnya, ia berlari melindungi Ileana agar tak semakin basah terguyur air hujan dan berusaha menghangatkan Ileana dengan jaketnya.
“Maumu apa, Ileana? Kau mau mati?!” Bentak Leon.
“Iya! Aku ingin mati agar dapat menyusul saudara kembarku! Sudah puas kau menggangguku, Mantan Bos!”
Leon tertegun mendengar perkataan Ileana, walau dalam hatinya ia cukup tersinggung dengan 2 kata terakhir penuh penekanan yang Ileana ucapkan. Dari matanya, Leon tahu bahwa Ileana sedang menangis.
“A-aku turut berduka, lalu kemana kau akan pergi? Ke makam kembaranmu?” Tanya Leon. Ileana semakin terisak.
“Je-jenazah Sisil be-belum ditemukan” Ucap Ileana terbata. Kali ini Leon semakin merasa bersalah.
“Kau ingin mencarinya? Kemana?” Tanya Leon lagi, Ileana menggeleng, gadis itu tampak sangat putus asa.
“Aku akan bantu kamu mencarinya. Jangan pergi sendiri”
**
Sisa hujan deras semalam masih terasa, beberapa jalan masih mengalami kemacetan karena banyaknya pohon yang tumbang, serta banyaknya genangan air di sepanjang jalan begitu terlihat jelas. Walau begitu, langit tampak cerah berawan.
Pukul 9 pagi, 20 menit sebelum penerbangan berlangsung. Leon masih sibuk mengecek barang bawaannya berbeda dengan Ileana yang duduk terdiam sambil sesekali memejamkan matanya. Setelah perdebatan singkat semalam, Leon memutuskan untuk menemani Ileana mencari jenazah saudara kembarnya di sebuah pulau terpencil yang letaknya memang cukup jauh. Ileana bercerita bahwa Sisil, saudara kembarnya telah pergi 3 minggu lalu bersama kekasihnya ke sebuah pulau yang konon katanya sebuah cinta akan teruji di sana. Sisil dan kekasihnya nekat melakukan perjalanan ke pulau itu mengingat 2 bulan lagi mereka akan melangsungkan pernikahan, maka sebuah pejalanan konyol pun mereka lakukan. Dan 2 hari lalu Ileana mendapat kabar bahwa Sisil ditemukan tak bernyawa oleh penduduk di sana. Mendengar kabar Sisil meninggal cukup membuat Ileana amat frustasi, terlebih saat mendengar kabar yang jauh lebih buruk lagi, jenazah Sisil hilang entah kemana. Leon menyadari bahwa Ileana begitu amat terluka dengan kejadian ini, ia pun menyadari bahwa perjalanan ke pulau itu memang tak mudah jika dilakukan seorang diri. Maka siap tak siap, ia akan menemani Ileana. Gadis yang nyatanya adalah teman SMA-nya dahulu. Walau memang ia baru tahu bahwa Ileana memiliki saudara kembar bernama Sisil.
Setelah 4 jam perjalanan, akhirnya tibalah mereka di pulau Hea atau yang lebih dikenal dengan Pulau Happily Ever After. Pulau dimana Sisil kehilangan nyawanya. Deru ombak menjadi sumber suara satu-satunya yang begitu terdengar di pulau itu. Leon menantap sekitar meyakinkan bahwa apa benar pulau ini berpenghuni. Namun, jika memang tidak berpenghuni mana mungkin ada jalan bahkan ada travel menuju pulau ini dengan menawarkan penginapan di rumah penduduk. Ileana menatap Leon yang masih sibuk menatap rimbunnya hutan di depannya seolah berkata “sudah siap?” dengan tampak ragu, Leon mengangguk sembari mengeratkan tali ranselnya.
Perjalanan di mulai, Ileana memimpin di depan. Ini benar-benar di luar dugaan Leon, lihat saja lelaki bercelana selutut dengan kaos putih yang dikenakannya itu tampak kesulitan melewati ranting pohon serta semak belukar yang tak hanya sekali melukai betisnya. Dan Ileana, ia sama sekali tak memikirkan hal itu, celana panjangnya cukup melindungi kakinya dari ranting pohon yang siap kapan saja melukai betisnya. Ileana berjalan semakin cepat meninggalkan Leon yang masih beberapa meter di belakangnya. Baginya segera menemukan pemukiman penduduk yang menurut informasi berada di tengah hutan ini merupakan petunjuk awal untuk semakin dekat menemukan Sisil.
2 jam perjalanan, Ileana mulai lelah begitu pun dengan Leon yang sudah terduduk lemas bersandar pada phon besar di belakangnya. Perlu 1 jam lagi untuk dapat tiba ke permukiman penduduk. Namun istirahat tetaplah perlu dilakukan terlebih sekujur kaki Leon terlihat mulai terluka. Ileana mengambil tumblernya, ia meminum air yang dibawanya itu hingga habis, begitu pun Leon yang sudah menghabiskan 2 botol sekaligus. Tak banyak obrolan yang mereka lakukan, fokus mencari pemukiman penduduk adalah hal yang utama. Perjalanan ini memang sangat memerlukan tenaga serta kesabaran untuk melewatinya. Sesekali mereka harus melewati banyak tanjakan serta melewati genangan air yang membuat jalan tampak licin. Lihat saja kaos putih Leon yang sudah bercampur dengan lumpur, lelaki itu ada-ada saja, ia terpeleset saat melewati genangan air. Amat merepotkan,
Setelah cukup beristirahat, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tak ingin kehujanan di tengah jalan, mereka mempercepat langkahnya karena langit tampak amat mendung. 1 jam terlampaui namun mereka masih belum menemukan permukiman penduduk. Leon mulai putus asa, ia kehabisan tenaga serta air yang dibawanya pun sudah habis. Ileana menghela napas berat. Jujur, dibalik ketangguhannya hatinya begitu lemah dan putus asa melebihi Leon. Ia tak ingin terjebak di tengah hutan ini, terlebih Bos menyebalkannya itu sudah terlihat tak berdaya. Hingga hujan mulai turun.
Ileana dan Leon segera bergegas mencari tempat berteduh, entah harus berteduh di bawah pohon besar atau apalah itu setidaknya mereka dapat melindungi barang bawaan mereka agar tidak basah. Dan keajaiban pun datang. Permukiman, hanya berjarak beberapa meter lagi dari mereka.
**
“Kau serius?” bisik Leon kepada Ileana. Ia menatap pemukiman yang gelap itu seolah meragukan apa benar sekelompok orang mampu bertahan di tempat ini.
“Nomor 43, ini penginapan kita” jawab Ileana. Ileana masuk lebih dulu. Tanpa ragu dan tanpa takut ia membuka pintu tersebut. Memang penginapan lain berdiri sejajar dengan penginapan mereka, namun tetap saja tempat tersebut masih terlihat sepi. Hujan mulai deras, Leon pun mengikuti Ileana dibanding harus basah terguyur air hujan.
Sama seperti yang Leon bayangkan, suasana di dalam tak jauh menyeramkan dari suasana di luar. Beberapa lukisan terpajang di sepanjang dinding yang mereka lewati, kursi goyang serta mesin jahit yang tak terpakai membuat suasana semakin mencekat terlebih lampu bersinar remang-remang.
Leon mendapat kamar paling belakang, dan Ileana ia akan tidur di kamar tengah. Menurut informasi yang ia dapatkan bahwa dahulu penginapan ini adalah rumah penduduk yang telah pergi merantau meninggalkan pulau. Sehingga rumah-rumah yang berdiri sejajar di sini dimanfaatkan sebagai tempat penginapan.
Hari mulai malam, hujan masih tetap deras. Udara dingin menyelimuti seisi ruangan. Leon duduk di kursi goyang sesekali ia merapatkan jaket yang dikenakannya.
“Rencana kamu selanjutnya apa?” Tanya Leon kepada gadis yang sedaritadi hanya berdiri menatap hujan dari kaca jendela.
“Ini penginapan Sisil sebelum ia pergi ke Bukit Hea”
“A-a-apa?” tanya Leon terbata. “Kenapa kau baru bilang?” Lanjutnya.
“Besok kita pergi ke Bukit Hea” Ucap Ileana tanpa berpaling dari kaca jendela. Di belakangnya, Leon masih terlihat shock.
“Hei, perjalanan kesana itu cukup jauh, perlu melewati hutan serta jalan yang cukup terjal. Terlebih lihatlah hujan masih belum reda. Coba bayangkan betapa sulit berjalan kesana di jalan yang li-“
“Kau disini saja” Potong Ileana.
Kali ini Leon berdiri dari tempat duduknya, ia menghampiri Ileana. Baginya menghadapi gadis itu adalah hal yang luar biasa sulit karena keras kepalanya yang melebihi batu vulkanik.
“Ah sudahlah, aku ikut denganmu. Persiapkan semua barang bawaan malam ini. Besok pagi kita berangkat. Aku gak mau salah kostum lagi” Sahut Leon emosi. Ia segera berjalan menuju kamarnya untuk mempersiapkan barang bawaanya.
**
Pukul 6. Udara pagi begitu amat merasuk hingga ke sel kulit terdalam. Langit gelap tertutup awan seolah tak mengizinkan sinar matahari pagi untuk berkunjung. Wajar saja jika kali ini Leon menggunakan jaket yang amat tebal.
Aktivitas penduduk sekitar pun mulai terlihat pada suasana yang tak lagi hujan seperti kemarin. Benar saja, kali ini Ileana dan Leon sudah bisa merasakan hidup pada pemukiman yang normal. Bebarapa penduduk sudah mulai keluar rumah, menyapu halaman, menjemur pakaian, bahkan ada juga yang sudah mencari kayu bakar, begitu asri sekali meski langit masih terlihat mendung.
Ileana pun sama dengan Leon, ia memakai jaket yang cukup tebal mengingat perjalanan panjang yang akan mereka lakukan. Persediaan makanan dan minuman pun turut diperhatikan dalam melakukan perjalanan ini. Lihat saja, ransel Leon sudah penuh dengan botol minuman. Padahal di tengah hutan mereka bisa mengisi air minum mereka dengan mata air.
Plakkk
Leon menengok ke belakang, seorang nenek berambut putih menepuk bahu Leon. Ileana turut berbalik badan sama seperti Leon. Nenek itu tersenyum menunjukan giginya yang masih utuh namun berwarna gelap. Leon bergidik ngeri melihat hal itu, namun Ileana justru bersalaman dengan nenek itu. Mau tak mau Leon pun mengikutinya.
“Kalian jadi ke Bukit Hea?” Tanya nenek yang biasa dipanggil dengan sebutan Nek Rom itu. Ileana mengangguk.
“Kau pasti kembarannya Sisil, wajah kalian benar-benar sama” Ucap Nek Rom lagi, ia masih menggenggam tangan Ileana. Ileana kembali mengangguk tersenyum.
“Semoga perjalanan kalian menyenangkan, dan semoga kalian berhasil menghancurkan kutukan Hea itu. Biar barang-barang kalian di rumah ini Nenek yang jaga” Lanjut Nek Rom.
Mata Leon membelalak sempurna saat mendengar ucapan terakhir Nek Rom. Seolah bertanya kutukan macam apa yang dimaksud nenek-nenek berhigi gelap itu.
Ileana mengucapkan terima kasih kepada Nek Rom kemuadian memberikan kunci rumah penginapannya itu kepada Nek Rom. Sedangkan Leon, kakinya seolah kaku untuk berjalan menuju bukit kutukan tersebut. Dan alhasil Ileana kembali melangkah lebih dulu.
Dari penginapan, bukit Hea memang sudah terlihat samar-samar meski hanya sebuah bukit yang memiliki ketinggian 200 meter. Di sana sebuah bangunan berdiri kokoh dengan menara di atasnya. Entah apa di dalamnya, Nek Rom sempat berbisik kepada Ileana bahwa setiap langkah akan memberikan hasil atau akibat. Semua memang masih tak terbayang dalam pikirannya, namun Ileana sangat yakin bahwa jenazah Sisil berada di sana.
“Siapa Nek Rom? Kenapa dia tiba-tiba muncul? Darimana kau mengenalnya” Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Leon yang sedaritadi bungkam memikirkan semua pertanyaannya.
“Dia pemilik rumah yang kita tinggali. Dan dia pula yang menemukan jasad Sisil sebelum kembali hilang entah kemana. Namun Nek Rom yakin bahwa jasad Sisil berada di bukit Hea” Jawab Ileana sambil sesekali mematahkan ranting pohon yang menghalangi jalannya. Leon pun mengangguk.
“Dan kutukan, apa maksud kutukan itu? Kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku?” Tanya Leon lagi. Seketika langkah Ileana terhenti.
“Aku tidak pernah memaksa kamu untuk ikut” Jawab Ileana ketus.
Dan kali ini Leon memilih untuk kembali bungkam daripada harus berdebat dengan Ileana atau bahkan akan ditinggal oleh gadis itu di tengah hutan. Ah, perjalanan ini sungguh menyebalkan.
Hari mulai siang, matahari mulai menembus pepohonan, jarak bukit Hea semakin dekat. Kali ini Ileana dan Leon sudah sampai pada tanjakan yang menghubungkan pada tepi bukit. Leon melepas jaket tebalnya, begitu panas jika terus dipakai pada suasana siang seperti ini. Mereka memutuskan beristirahat sejenak, menyiapkan perbekalan makan siang meski hanya roti dan air mineral yang mereka bawa.
Leon meluruskan kakinya sembari bersandar pada pohon besar di belakangnya. Peluh sudah membasahi wajahnya dan sepatu yang dipakainya pun sudah dipenuhi tanah yang menempel, benar saja dampak hujan semalam begitu terasa pada kondisi tanah disini.
“Ileana, kenapa kau tidak pernah cerita tentang saudara kembarmu?” Tanya Leon memecah keheningan namun berhasil membuat tatapan Ileana tertuju ke arahnya.
“Aku dan Sisil tinggal terpisah. Sudahlah ini bukan urusanmu”
Untuk kesekian kalinya Leon mengembuskan nafas berat, Ileana tetaplah Ileana, gadis jutek penuh dengan kemisteriusan.
Setelah cukup beristirahat, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tanjakan demi tanjakan mereka lalui, jalan licin serta tajamnya semak belukar bukanlah penghalang bagi mereka. Walau sesekali Leon meringis karena kulitnya tergores ranting pohon.
Brukkkk
“Ileana!” Teriak Leon. Lelaki itu segera berlari mendekati gadis yang tiba-tiba terjatuh itu.
“Apa yang sakit? Ileana? Hei,Ileana kau harus tetap tersadar!” Sahut Leon panik. Sedangkan Ileana, ia terlihat amat lemas dan tak berdaya.
“Oh tidak! Kakimu berdarah, Ileana! Kenapa kau tak bilang kalau kakimu juga tergores?! Kanapa kau diamkan saja lukamu ini?! Dan hei, kau pikir kau hebat dengan terus berusaha terlihat kuat. Lihat dirimu sekarang, apa ini yang disebut ku-“ Ucap Leon terhenti, saat sebutir air mata berhasil lolos dari mata Ileana. Sungguh, Leon amat tidak suka melihat Ileana menangis. Perlahan gerimis mulai turun dan semakin membesar. Leon menatap ke arah bukit yang sudah cukup dekat.
“Kau akan sembuh. Tenanglah kita akan segera sampai pada menara bukit itu untuk berteduh dan menemukan Sisil. Kau harus kuat”
Hal yang tak terbayangkan oleh Ileana adalah lelaki di hadapannya yang selalu ia anggap lemah ternyata tak seperti yang Ileana bayangkan. Karena baginya, Leon adalah Lelaki cerewet yang selalu saja ingin ikut campur dengan urusan pribadinya. Dan semua hal itu cukup membuat Ileana jengkel. Tapi lihatlah sekarang, Leon begitu tangguh berlari menerjang air hujan dengan tetap menggendong Ileana yang tak kuat berjalan. Leon begitu sangat mengkhawatirkan Ileana.
“Kau harus kuat, kita akan sampai”
**
Hari sudah gelap. Gemintang mulai terlihat di angkasa. Dari bukit ini, pemandangan langit begitu menakjubkan, langit tak tertutup awan dan rembulan dapat bersinar dengan indahnya. Namun semua hal itu tetap tidak berarti bagi Leon selama gadis di hadapannya masih belum sadarkan diri. Ileana, sudah 6 jam kau belum tersadar meski Leon sudah berusaha keras untuk menyembuhkan luka Ileana, namun tetap saja gadis itu masih terlihat amat lemah.
Jika saja Ileana tahu bahwa Leon amat mengkhawatirkannya, bahwa Leon amat menginginkan dirinya untuk segera tersadar dan bahwa Leon rela menutup kantor penerbitannya hanya agar bisa ikut menemani Ileana mencari jasad Sisil. Walau hal tersebut tentu akan berdampak buruk bagi kantor penerbitan Leon. Terlebih masih banyak naskah yang perlu diselesaikan untuk diterbitkan. Namun penerbitan tidak akan berjalan jika Leon tak ada disana maka Leon memutuskan untuk menutupnya sesaat, baginya menemani Ileana adalah tugasnya. Andai saja Ileana tahu, apa dia akan bersikap lebih baik kepada lelaki itu, dan apakah ia bisa bersikap lebih terbuka kepada lelaki yang selalu mengkhawatirkannya itu.
“Le-leon?”
Leon menoleh mendengar Ileana mulai tersadar. Ileana tersenyum tipis, wajahnya masih terlihat pucat.
“Bagaimana? Apa yang kamu rasakan? Masih ada yang sakit?” Tanya Leon khawatir.
“Kita harus cepat ke dalam menara sebelum matahari terbit. Karena jika matahari sudah terbit, jasad Sisil akan menghilang selamanya” Ucap Ileana, ia berusaha berdiri.
Mata Leon kembali membelalak tak percaya,sungguh keadaan apa yang dialaminya saat ini amatlah membingungkan. Dan lihatlah, Ileana sudah berjalan meninggalkannya bahkan dengan kaki tertatih pun ia tetap berjalan. Gadis itu memang benar-benar keras kepala.
Sebuah gerbang besar berdiri begitu kokoh sejauh mata memandang. Ileana berjalan semakin mendekati gerbang, ia mencoba membukanya namun tak bisa. Sedangkan Leon ia memilih untuk mencari jalan lain.
Suara kelalawar yang meraimakan menara membuat keadaan semakin mencekat. Sungguh mereka sudah melakukan perjalanan yang sangat jauh dari kota tempat mereka tinggal. Ini menyeramkan, amat berbahaya. Namun tak ada pilihan, Ileana cukup berarti bagi Leon.
“Bagaimana kita bisa masuk?” Ucap Ileana, matanya mulai berkaca-kaca menandakan kepanikan dan kecemasan dalam dirinya.
Leon menutup matanya berpikir kuat. Ia tak tahu harus apa sekarang. Dan seketika lantai yang Leon pijak bergetar, begitu pun dengan lantai yang di pijak Ileana. Semakin bergetar dan semakin cepat. Pintu gerbang pun terbuka, entah bagaimana pintu ini dapat terbuka begitu saja.
Menara ini gelap, hanya sebercak cahaya bulan yang berhasil lolos, tak terlalu terang namun cukup untuk melihat apa saja yang berada di dalam menara. Jika kau membayangkan di dalam menara akan melihat tangga yang menjulang tinggi atau bahkan dapat melihat ketinggian yang menakjubkan apabila mendongak ke atas, kali ini tidak. Gerbang sebesar itu ternyata hanya menghubungkan dengan ruangan persegi yang amat sempit. Tekstur dinding dan lantai cukup aneh serta sesak karena udara tak dapat leluasa keluar masuk terlebih setelah gerbang itu kembali tertutup. Lihatlah dinding ini menunjukan beberapa pola yang rumit dan tak terbaca, serta lantainya yang berbentuk segi tiga. Ah, apa maksud semua ini. Perjalanan ini semakin memuakan bagi Leon.
Ileana duduk bersandar pada dinding itu, wajahnya masih terlihat pucat, kakinya pun masih terlihat lemas. Sungguh gadis itu benar-benar memaksakan dirinya hanya untuk menyelamatkan jasad orang yang telah tiada. Leon mulai mengacak-acak rambutnya frustasi, bagaimana ia dapat keluar dari ruangan ini. Dan Ileana, lihatlah kondisinya semakin memburuk.
Leon berjalan tiga langkah menuju Ileana. Suatu keajaiban pun muncul, dinding di depannya terbuka, memperlihatkan ruangan yang lebih luas.
Ileana menatap heran dinding tersebut, mereka pun segera mendekat dinding tesebut. Teka-teki macam apa ini. Bahkan mereka pun tak tahu bagaimana cara memecahkannya.
Ruangan kedua berbentuk persegi panjang, dengan pola dinding yang sama namun dengan bentuk lantai yang berbeda. Meski begitu setidaknya terdapat sebuah lampu meski cahaya yang dihasilkan masih terbilang cukup redup.
Lantai ruangan ini berbentuk segi empat. Jika tadi segitiga Leon berjalan 3 langkah mendekati Ileana pintu terbuka, lalu apakah jika Ileana berjalan 4 langkah mendekati Leon pintu akan terbuka. Nyatanya tidak. Ileana mendengus kesal karena apa yang dipikirkannya ternyata salah.
Leon pun demikian, ia melakukan cara yang sama yaitu berjalan 4 langkah mendekati Ileana, namun yang terjadi adalah sebuah pisau berhasil melesat tepat pada lengan Leon, menyebabkan lengannya mengeluarkan darah segar.
Ileana berlari mendekati Leon, hendak membantu mengobati luka lelaki itu, namun naas, pisau kedua berhasil lolos hampir saja mengenai Ileana namun gagal karena Leon telah mendorong Ileana lebih dulu.
“Menjauhlah Ileana!” teriak Leon. Ileana menggeleng, gadis itu menangis. Ia sungguh tak tega melihat lengan Leon semakin banyak mengeluarkan darah.
Tapi semakin ia mendekat, bahaya pun akan semakin mendekat pula. Ia pun memutuskan menjauh. 4 langkah Ileana menjauh, keajaiban pun kembali muncul. Sebuah dinding kembali terbuka memperlihatkan ruangan tabung di dalamnya.
Kali ini Leon melangkah lebih dulu untuk memastikan apakah ruangan itu aman ataukah tidak. Ruangan ini cukup berbeda dari 2 ruangan sebelumnya. Lebih sempit namun menjulang tinggi dengan lantai lingkaran di bawahnya.
Ileana sudah memasuki ruangan itu dan seketika ruangan sebelumnya telah tertutup. Leon menyeka peluh di dahi, teka-teki ini semakin mereepotkan. Setiap langkah akan memiliki hasil atau akibat, kini ia mulai mengerti maksud dari perkataan Nek Rom.
“Jangan bergerak, Ileana. Biar aku saja” Ucap Leon. Ileana terdiam seolah merasa takut jika hal yang lebih buruk akan menimpa dirinya dan Leon.
Benar saja, baru satu langkah Leon berjalan, sebuah batu berukuran kepalan tangan terjatuh dari atas ruangan. Namun Leon telah berhasil menghindar.
Leon mencoba cara lain, ia berjalan ke arah yang berlawanan, namun batu selanjutnya kembali terjatuh dan kali ini berhasil mengenai lengannya yang terluka sehingga membuat darah yang mengalir dari lengannya semakin banyak.
Melihat hal tersebut, Ileana tak bisa tinggal diam, ia mulai memikirkan cara agar bisa menolong Leon tanpa harus membiarkan batu selanjutnya terjatuh. Tanpa harus berjalan mendekat atau pun menjauh. Dannn… benar! Melompat adalah cara yang tepat.
Seketika pintu ruangan kembali terbuka namun terbuka 3 meter di atas Ileana dan Leon. Bagaimana bisa mereka naik ke atas tanpa adanya tangga. Ileana masih tak memikirkan hal itu, luka Leon kini menjadi sorotan utamanya.
“Naik ke pundakku, Ileana. Kau harus bisa selamat” Ucap Leon. Ileana menggeleng tegas.
“Lukamu harus sembuh!” Ucap Ileana.
“Aku pasti sembuh, keadaanmu adalah yang terpenting saat ini”
“Tidak! Kau jauh lebih penting sekarang!” Jawab Ileana penuh penekanan.
“Ileana, dengar aku. Lihat pintu di atas perlahan mulai tertutup. Naik ke pundakku atau perjalanan kita akan menjadi perjalanan yang amat sia-sia” Ucap Leon lagi. Kali ini Ileana menangis.
Satu persatu batu mulai berjatuhan ke dasar ruangan. Perlahan namun semakin cepat. Tak ada cara lain, Leon menggendong Ileana. Ia berusaha membuat Ileana untuk menginjak bahunya, walau rasa sakit akan semakin kuat ia rasakan. Darah Leon mengalir semakin deras. Namun Ileana masih tak kunjung dapat meraih pintu di hadapannya. Perlahan pintu mulai menutup. Harapan pun memudar, perjalanan ini sia-sia.
Brukkkk
Lantai dasar terbuka lalu menutup cepat. Ruangan aneh kembali mereka temui. Kali ini ruangan berbentuk lingkaran.
Tak ada pola aneh pada lantai atau pu dinding ruangan tersebut. Namun yang jelas, darah Leon semakin membasahi ruangan tersebut.
”Leon, kau harus kuat! Kau tak boleh kehabisan darah! Kau harus kuat,Leon! Maafkan aku yang telah membawamu ke dalam hal berbahaya ini. Aku menyesal, amat menyesal” Ucap Ileana, ia benar-benar menangis. Isakannya memenuhi suara seisi ruangan.
Leon menggeleng kuat, meyakinkan Ileana bahwa dirinya tak apa-apa.
“Aku tak pernah menyesal menemanimu, Ileana” Ucap Leon, ia tersenyum walau Nampak amat menahan sakit di lengannya.
Dan sepucuk surat pun terjatuh begitu saja.
“Aku benci cinta. Aku benci cinta sejati. Aku benci semua hal yamg berhubungan dengan cinta. Aku muak dengan semua ucapan manis berbau cinta. Aku tak ingin melihat cinta. Aku tak melihat kebahagiaan cinta. Aku benci cinta sejati dan aku benci “Happily Ever After””
Kalimat dalam surat tersebut berhasil membuat Ileana dan Leon tercengang. Apa maksud surat ini? Dan apa petunjuk selanjutnya, dan siapa yang menulis surat ini. Sisil, dimana kamu?
Brukkk
Surat kedua berhasil terjatuh. Sama seperti surat pertama, di tulis pada kertas yang amat lusuh dengan amplop putih yang sudah termakan rayap. Leon membukanya perlahan, berharap suatu keajaiban akan terjadi dan berharap ruangan ini akan terbuka agar perjalanan ini bisa cepat terselesaikan.
“Kata siapa cinta itu indah? Aku tak pernah merasakan kebahagiaan cinta. kata siapa cinta itu penuh makna? Jika yang kurasakan hanyalah kesengsaraan. Tak ada jalan lain agar kau tahu, aku begitu amat mencintaimu. Tapi kau menghilang bagai ditelan bumi, membuangku dan menyingkirkanku pada pulau tak berpenghuni ini. Hujan dan panas aku rasakan sendiri. Tak ingin ku mengenal cinta lagi. Rasa sakit sudah cukup muak aku rasakan. Bagiku, cinta adalah kematian. Dan bagi kalian, silakan pilih siapa yang berhak hidup atau mati, SEKARANG!”
Ileana dan Leon saling tatap. Apa maksud surat ini. Ini amat menyeramkan. Dan perlahan bilah-bilah pisau mulai melesat, beserta batu yang mulai berjatuhan. Tak ada pilihan, salah satu dari mereka harus selamat.
“Aku cinta kamu, Ileana. Bahkan sejak kau belum mengenalku. Kau harus selamat!”