Sena menjulurkan tangannya ragu, tidak ada warna apapun yang ia lihat selain warna putih. Tiada apapun kecuali ruangan berwarna putih. Sena tidak tahu dia ada di mana dan apa yang terjadi padanya. Sena mulai berlari namun ruangan putih itu seolah tak berujung. Ia mulai ketakutan dan memilih untuk duduk dan memeluk lututnya, putus asa.
Saat keputusasaan itu mencapai titik terendahnya, saat itulah seseorang mengulurkan tangannya. Sena mengangkat kepalanya dan menatap wajah orang itu. Laki-laki, ia mengenakan kaos berwarna putih dan celana jeans, sangat kasual. Wajahnya putih bersih, tatapannya juga begitu lembut, ia meraih tangan Sena dan menarikknya hingga berdiri. Ah, ia begitu hangat, sehangat mentari pagi. Kesadaran Sena terserap oleh tatapan lembutnya, hati Sena terasa begitu nyaman oleh sentuhannya.
“Sena?” tiba-tiba cahaya matahari pagi begitu menyilaukan wajahnya.
“Oh Tuhan akhirnya dia sadar...” suara Ibu Sena terdengar begitu lega, Sena memperhatikan sekitar. Ah kenapa dia ada di rumah sakit?
“Bu, kenapa aku di sini?” Sena bertanya bingung, dadanya terasa begitu sakit saat ia mencoba duduk.
“Apa kau tidak ingat, Nak? Kau tenggelam?” Ibu Sena juga bingung melihat putrinya kebingungan. Sena menatap kosong, apa yang terjadi padanya.
“Kenapa aku bisa tenggelam?”
“Seseorang melihatmu meloncat dari atas jembatan... Ibu kira kau...” Ibu menggengam erat tangan Sena dengan gelisah.
“Kenapa? Kenapa Sena melakukannya?” Sena menatap Ibunya dan kemudian teringat sesuatu, “Laki-laki itu Bu! Sena ingat, Sena bersama seseorang di jembatan itu, Bu”
“Sena... kau sendirian Nak, tidak ada yang melihat orang lain selain dirimu...”
“Tapi Bu...” Sena tidak melanjutkan kalimatnya, ia termangu. Ia menatap seseorang yang juga berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu mengenakan kaos putih dan celana jeans biru. Ia menatap Sena dengan penuh penyesalan.
“Tunggu...” Sena hendak bangun dari tempat tidurnya saat melihat laki-laki itu berbalik dan meninggalkannya.
“Ada apa Nak...”
“Bu, panggil orang yang baru aja pergi dari sini Ibu...” Ibu yang penasaran keluar dari kamar rawat inap Sena dan menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Tidak ada siapa-siapa Nak...”
“Ti...dak... a..da...Bu?” kata Sena terbata-bata. Ia benar-benar melihat seseorang di sana. Sena mulai merasakan hawa dingin menyelimutinya. Tiba-tiba saja dunia terasa begitu asing baginya. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Mamah tanya dokter dulu ya, gimana keadaan kamu, apa kamu udah langsung boleh pulang apa kudu nginep di sini?” Ibu Sena beranjak dari tempat duduknya. Sena sebenarnya takut namun ia hanya diam saja. Ibunya terlihat begitu lelah menjaganya semalaman. Pasti pikiran beliau di penuhi ketakutan saat mendengan anak gadisnya tiba-tiba meloncat ke telaga saat sedang liburan. Sena menghela nafas pelan sambil meraih ponselnya.
“Halo Joe, elo masih di villa?” Sena menghubungi salah satu temannya. Ia masih ada di rumah sakit dan Ibunya sedang mengurus kepulangannya.
“Masih, Na. Elo nggak papa? Kenapa sih lo? Kok lo tiba-tiba loncat ke telaga. Elo nggak gila kan?” Joespanie bertanya tanpa jeda. Ia mengerti benar kenapa sahabatnya itu panik.
“Jangan lupa nafas Joe...” Sena memperingatkan, “gue nggak apa-apa. Gue bisa minta tolong?”
“Tolong apa?”
“Lo tanyain gih sama yang jaga villa. Dia kenal nggak cowok, kira-kira seumuran kita, orangnya tinggi, putiih, rambutnya lurus, dan senyumnya ramah banget. Gue ngelihat dia kemarin di telaga...” Sena bingung juga cara menggambarkan laki-laki itu.
“Lo nggak lagi ngigau kan Na? Lo sendirian kemarin Na, gue ngelihat sendiri kok elo duduk di jembatan telaga, tiba-tiba aja elo loncat. Elo lupa kalau lo nggak bisa renang?” Joe heran juga di saat seperti ini temennya itu masih mikirin cowok.
“Pokoknya elo tanyain, kalau yang jaga villa nggak kenal siapa kek tetangga situ...” Sena ngotot.
“Oke, see you next week sista. Get well soon ok?” Joe mengiyakan permintaan sahabatnya.
“Thank you, and I am sorry for ruin the mood out there. I am fine here, don’t worry...” jawab Sena sebelum menutup teleponnya.
“Hai...”
Sena menoleh saat mendengar sesorang memanggilnya. Laki-laki itu lagi, masih sama mengenakan kaos putih dan juga celana jeansnya.
“Hai...” balas Sena ragu. Dia tidak yakin apa yang harus dilakukannya.
“Sorry, gara-gara gue lo jadi celaka...” wajahnya terlihat begitu menyesal. Laki-laki itu mengusap tenguknya gelisah.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Sena ragu, dia mengamati laki-laki itu dari atas ke bawah.
“I’m fine of course, elo udah nyelamatin gue...” jawabannya membuat Sena bingung. Gimana caranya dia nyelamatin laki-laki ini kalau dianya sendiri tenggelam.
“Pokoknya elo nyelamatin gue...” laki-laki itu meyakinkan keraguan Sena.
“Oke, kalau gitu gue maafin elo. Siapa nama lo?” Sena mengalah.
“Wara, Daneswara... salam kenal Sena...” laki-laki itu mengenalkan dirinya, dan mengulungkan tangannya yang di sambut Sena. Tubuh Sena seketika meremang menyadari bahwa tangan Wara begitu dingin.
“Elo nggak apa-apa? Tangan lo dingin banget...”
“Tau ikan kan? Hewan berdarah dingin? Gue termasuk jenis ikan berdarah dingin...” Wara menjawabnya sambil tertawa.
“Lo gila...” Sena melepaskan tangannya. Saat itu Sena lupa bahwa berdarah dingin tidak berarti dingin dalam artian sebenarnya.
“Elo nggak percaya? Kalau gue meluk elo, gue pasti anget karena elo anget, tapi sekarang gue masih ke dinginan, ruangan ini ber AC kan?” ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari letak AC dan tersenyum saat melihatnya.
“Ih ngarep!”
“Emang iya!” Wara kembali tersenyum, “thanks ya, udah bawa gue ke sini...”
“Apa maksudnya?” pertanyaan Sena belum semapat di jawab oleh Wara saat tiba-tiba Ibu Sena membuka pintu kamar inap.
“Sayang kamu udah boleh pulang...” kata Ibu senang.
“Bu, kenalin ini...” tenggorokan Sena tercekat. Wara tidak ada di sampingnya. Kapan laki-laki itu pergi? Sena menatap bingkai jendela tempat Wara bersandar dengan tatapan kosong. Perasaannya tidak dapat di jelaskan dengan kata-katanya. Ibunya kebingungan.
“Ada apa?”
“Kita pulang sekarang kan Bu?” Sena meraih tangan Ibunya dan menggengamnya erat. Ia bahkan tidak mampu bercerita pada ibunya tentang apa yang dialaminya.
“Sena, Ibu keluar ke pasar dulu, mau titip apa atau mau ikut?”
“Nggak titip Bu dan Sena di rumah aja...” Sena lantas mengantar ibu samapi ke depan rumah. Setelah ibunya pergi, Sena melihat seseorang berdiri di pagar pintu sambil melambaikan tangannya. Tiba-tiba Sena melangkah mundur, tubuhnya menabrak pintu rumahnya, membuatnya terjatuh.
“Kenapa dia bisa sampai di sini?” bisik Sena. Saat ia kembali mendapatkan tenaganya, ia buru-buru masuk rumah dan menutup pintunya rapat-rapat. Biar bagaimanapun juga ini kejadian yang tidak wajar. Bagaimana orang itu bisa mendapatkan alamat rumahnya? Sena kemudian berlari masuk ke dalam kamarnya. Tidak ada siapapun di rumah itu dan ini lebih berbahaya lagi. Wara tetaplah orang asing.
Akan tetapi, tekad Sena untuk mengabaikan Wara tidak di restui oleh alam. Tiba-tiba saja di luar hujan deras. Hati Sena berperang. Apa laki-laki itu masih di sana? Tapi apa pedulinya? Sena berteriak tidak tahan. Ia kemudian memutuskan untuk mengintip Wara dari jendela. Astaga, laki-laki itu masih berdiri di pagar, dengan santainya ia bersandar di pintu pagar padahal hujan begitu deras. Sena mengutukki dirinya sendiri dan berlari keluar sambil membawa payung.
“Apa lo benar-benar gila!” Sena berteriak untuk mengalahkan suara hujan, “lo bisa sakit bodoh!”
Wara menjulurkan tangannya, tatapannya tiba-tiba berubah begitu sedih. Ia tersenyum dalam kepedihannya, “hujan tidak akan menyakitiku Sena.”
Saat itulah Sena tertegun, ia menatap telapak tangan Wara ia julurkan di luar payungnya. Tangan itu bahkan tidak basah, air hujan seolah-olah hanya menembus jemarinya. Sena menolehkan kepalanya pelan. Walau ia tidak percaya, ia memberanikan diri untuk menatap Wara. Tidak ada bagian tubuh Wara yang basah sedikitpun. Sebenarnya Sena begitu ketakutan hingga ingin pingsan saja rasanya, namun tatapan Wara yang begitu lembut membuat Sena hanya terdiam tanpa bisa mengeluarkan satu patah katapun. Bibir Wara memang tersenyum, namun wajahnya menggambarkan kepedihan yang sangat dalam. Tanpa sadar air mata Sena mengalir. Dadanya terasa begitu sesak.
“Senaaaa....” ibu yang baru saja turun dari taksi langsung berlari masuk ke dalam payung Sena, “nice timing Nak, apa kamu nungguin Ibu? Ayo masuk!”
Pandangan Sena masih tertuju pada sosok Wara. Ia terenyum sambil menyuruh Sena masuk.
“Kamu kok bisa tahu kalau Ibu udah mau pulang?”
Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Sena justru memegang lengan ibunya erat, “Bu, apa ibu percaya sama arwah penasaran?”
“Kamu ngomongin apa sih?”
“Arwah penasaran Bu, ada orang-orang yang bisa melihat mereka kan? Bisa berkomunikasi?” Sena bertanya dalam satu kali tarikan nafas. Ia butuh jawaban, karena yang ia lihat adalah kenyataan. Wara masih ada di sana dan ibu jelas tidak melihatnya.
“Kamu kebanyakan nonton kartun, atau acara-acara nggak jelas itu. Udah ah jangan ngaco, ayo masuk!” ibu sudah mendahului Sena dan meninggalkan Sena yang masih berdiri di teras depan rumahnya. Sena menatap Wara dengan tatapan tak percaya. Ia takut dan tak percaya, namun ia juga begitu penasaran sehingga Sena kembali berjalan menghampiri Wara dan menyentuh lengannya dari balik jeruji. Bagaimana ia bisa merasakan tubuhnya seolah-olah tubuh di depannya ini nyata?
“Gue juga nggak ngerti, kenapa lo bisa nyentuh gue dan sebaliknya...” Wara kembali tersenyum.
Kenapa ia bisa melihatnya dengan begitu jelas dan berkomunikasi dengannya?
Wara kembali menggeleng, “masuklah, ibumu akan segera keluar...”
“Kita perlu bicara...” kata Sena tegas.
“Tidak saat ini, dan tidak seperti ini...” jawab Wara sambil-lagi-lagi-tersenyum.
“Jangan pernah menunjukkan senyum seperti ini, senyum lo begitu menyakitkan...” kata Sena pelan.
“Masuklah, jangan buat ibumu khawatir...” kata Wara lagi.
“Lo bisa masuk dengan mudah, kenapa lo memilih di sini?”
“Gue udah bertekat, gue nggak akan masuk rumah ini tanpa seijin elo...”
“Sena!” panggil Ibu dari dalam.
“Setidaknya jangan buat gue ngerasa bersalah. Masuklah, kita perlu bicara...” Sena kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi. Toh dia hantu dia tidak perlu pintu. Sena tidak tahu apakah keputusannya ini benar namun ia butuh untuk bertanya, banyak sekali pertanyaan.
Sepulang dari rumah sakit dua hari lalu, Sena mendapatkan telepon dari Joe. Temannya itu terburu-buru menjelaskan semuanya dalam satu tarikan nafas, “Lo beneran lihat orang di sana Na? Kata bapak tukang kebun di sana pernah ada orang yang di temukan meninggal. Persis seperti yang elo katakan, pakai baju putih sama jeas, katanya memang masih muda, seumuran kita, tapi kita udah nggak mengenalinya. Kejadian itu udah ada lebih dari lima tahun.”
Sena mengela nafas panjang, ia merasa pening membayangkan bagaimana histerisnya sahabatnya itu, “jadi mereka juga nggak tahu nama atau identitas lainnya?”
“Nggak ada yang tahu, polisi langsung membawanya. Tapi gue pengen tahu. Elo beneran lihat?”
“Hmm...”
“Na, kata bapaknya. Banyak penghuni villa yang sering melihat ada seseorang yang berdiri jembatan itu. Tapi yang jadi pertanyaan kenapa elo loncat Na?” suara Joe memalan, “lo lagi nggak ada masalah kan ya?”
“Nggak lah, kalau gue ada masalah ngapain gue loncat? Biasanya gue juga cerita sama elo. Kita kan ke sana niatnya liburan bareng. Gue juga nggak ngerti kenapa gue loncat...” Sena terdiam cukup lama. Ia benar-benar melupakan ingatan sebelum ia loncat. Kata dokter itu hanya sementara tapi ia belum mengingat apapun sampai saat ini.
“Lo udah nggak apa-apa kan?” Joe kembali bertanya khawatir.
“Iya gue nggak apa-apa. Kalian pulang hari ini kan? Hati-hati dijalan, kalau udah sampai Jakarta jangan lupa kasih kabar ke gue...” kata Sena mengakhiri sambungan telpon.
Sena tidak bodoh-bodoh amat untuk memahami situasinya. Ia sudah mengerti benar orang yang ia lihat di rumah sakit tidak wajar. Ia bukan lah orang dalam artian sebenarnya. Ia bisa saja hantu, jin, roh, atau iblis yang berniat jahat padanya. Ia sempat lega saat di rumahnya ia tidak lagi melihat sosok itu sampai kemunculannya pagi ini. Sena takut, tentu saja, namun ada hal lain yang membuatnya harus bertanya pada sosok itu.
“Di manapun elo berada, elo pasti bisa denger gue kan? Keluar, kita bicara...” seusai makan malam, Sena kembali ke kamarnya. Ia berpamitan ingin menonton drama korea yang sudah beberapa hari terlewatkan olehnya.
Sena menghidupkan komupternya dan memutar drama koreanya dengan suara sedikit lebih keras. Ia tidak mau membuat orangtuanya khawatir mendapati anak perempuannya berbicara sendiri. Ia sudah menebalkan hatinya untuk menyambut kemunculan Wara.
Angin tiba-tiba masuk dari jendela, membuat udara dingin memenuhi ruangan. Gorden putih yang menutupi jendela tertiup lembut dan Wara muncul dari baliknya secara perlahan. Kemunculan yang epik, mirip sekali dengan apa yang ada di film-film horor, bedanya, tidak ada suara yang mengagetkan namun kesunyian yang menyedihkan jika kalian bisa melihat raut wajah Wara yang selalu tersenyum.
“Gue bilang jangan tersenyum seperti itu kalau elo nggak benar-benar ingin tersenyum...” Sena sudah menenangkan hatinya dan berusaha setengang mungkin menghadapi sosok laki-laki di depannya.
“Ini udah sekian kalinya elo bilang hal yang sama, bahkan saat pertama kali kita bertemu...” Wara masih duduk di jendela, cahaya bulan menebus sosoknya, membuat kulit putihnya yang sudah pucat itu semakin telihat tanpa kehidupan. Nafas sena tercekat menyadari kegilaannya, sosok Wara terlihat begitu indah di matanya.
“Kapan pertama kali kita bertemu?” tanya Sena setelah ia kembali sadar dengan situasinya.
“Enam tahun yang lalu, elo masih SD?” Wara tersenyum, kali ini senyumnya lebih tulus.
“Please, elo jangan bercanda... ini situasinya horor bukan komedi. Elo nggak mikir apa betapa takutnya gue sekarang. Gue ngomong sama hantu, gue...” suara Sena tiba-tiba menghilang. Ia terburu-buru berjalan mendekati Wara, “tidak mungkin kan?” Sena mengulurkan tangannya yang bergetar hebat untuk menyentuh pipi Wara.
Wara meraih tangan Sena dan menggenggamnya dengan lembut. Ia mencium telapak tangan Sena sambil menatap wajah Sena. Tatapannya begitu lembut, membuat hati Sena di buat gila karenanya. Sena terisak pelan. Ia kini mengingat siapa laki-laki yang ada dihadapannya.
“Lo ngelakuin hal yang sama sebanyak tiga kali, pada orang yang sama, hanya situasinya saja yang berbeda...” bisik Wara lirih. Sena hanya bisa mengangguk mengiaykan, ia ingat semuanya.
Enam tahun lalu, Sena pergi berwisata ke Bandung bersama keluarganya. Mereka menyewa sebuah villa dan tinggal di sana beberapa hari. Pagi itu, Sena memutuskan untuk jalan-jalan sendiri, ini sudah hari ketiga dan Sena sudah cukup hafal dengan jalannya. Ia lantas memasukki sebuah perkebunan teh.
Ini masih pukul enam pagi, belum banyak orang di sana, namun Sena melihat seseorang laki-laki berdiri di dekat pohon. Tiba-tiba laki-laki itu jatuh tertunduk dan mulai menangis tergugu. Sena hendak pergi namun entah kenapa ia berbalik dan duduk di dekat laki-laki itu. Jarak Sena tidak lebih dari tiga jengkal tangan, namun laki-laki itu tidak menyadari kehadirannya.
“Akh, sejak kapan lo di situ?” laki-laki itu terkejut saat menyadari bahwa dia tidak sendirian. Ia mengusap air matanya dan berdiri.
“Aku nggak tahu apa yang terjadi padamu, tapi selamat berjuang...” Sena meraih tangan laki-laki yang hendak kabur itu.
“Bukan urusan lo...”
“Benar, makannya aku tidak ingin tahu apa yang terjadi, kau lebih dewasa dariku, kau tau lebih banyak dariku, jadi bukan tempatku untuk mengguruimu...” Sena ikut berdiri, masih tetap ia tidak melepaskan tangannya dari laki-laki yang baru saja ia temui itu.
“Terimakasih kalau begitu...” laki-laki ini tersenyum, senyum yang terkesan dipaksakan.
“Kau tidak perlu tersenyum padaku jika itu hanya untuk menghiburku, kau tau? Senyummu sangat menyedihkan...” Sena mengulurkan tangannya tepat di pipi laki-laki itu dan mengapus air mata yang mengalir di sana. Sena kemudian melepaskan kedua tangannya dan melangkah mundur beberapa langkah, “see you...” kata Sena lalu melambaikan tangannya. Ia tidak ingin menganggu.
Baru beberapa langkah Sena berjalan, tiba-tiba ia merasakan ada orang yang mendekapnya dari belakang. Ia sempat panik namun kemudian ia berhasil menenangkan dirinya. Sena mengusap kepala laki-laki yang menangis di pundaknya, “namaku Sena Wijaya, aku dari Jakarta. Kau tidak boleh melupakannya, kalau kau lupa kau akan dikutuk sampai mati karena telah memeluk gadis remaja yang baru pertama kali ditemuinya!” perintah Sena tegas.
“Iya, gue tidak akan lupa, dan nama gue Daneswara, gue tinggal di sini. Kompleks perkebunan ini adalah milik orangtua gue...” kata laki-laki itu setelah ia tenang dan melepaskan pelukannya.
“Idih sombong...” Sena berjalan tanpa berani menatap wajah Daneswara, ia tiba-tiba saja begitu malu untuk melihatnya.
“Gue anterin lo pulang...” kata Daneswara, “lo sampai kapan di sini?”
“Besok gue pulang...” kata Sena pelan.
“Kalau gitu besok pagi kita ketemu lagi di sini”, Sena mengangguk mengiyakan. Ia kini memperhatikan wajah Daneswara, ia terlihat sangat tampan walau hidung dan matanya memerah. Sena sebenarnya penasaran dengan apa yang terjadi, namun ia juga menyadari bahwa ia masih anak-anak. Ia tidak boleh ikut campur. Sena ingin menyimpan pengalaman ini dengan rapi, ia pertama kalinya ia bertindak sesuai dengan keinginan hatinya. Ia tahu bahwa laki-laki ini menempati tempat spesial di hatinya. Namun, pagi itu Sena tidak muncul di perkebunan teh. Sepulang dari jalan-jalan, Sena langsung bertolak kembali ke Jakarta karena neneknya meninggal. Ia bahkan tidak sempat berpamitan dengan Daneswara, cinta pertamanya.
Kata orang cinta pertama tidak akan pernah terlupakan kan?
Sena juga tidak penah melupakan Daneswara, oleh karena itu saat ia melihat seseoang berdiri di jembatan telaga pagi sebelum kecelakan itu terjadi ia buru-buru berlari menghampirinya. Sama seperti enam tahun yang lalu, Sena berlari sekuat tenaga kemudian ia meraih tangan Daneswara.
“Wara...Danesawara...kan?” Sena mengatur nafasnya karena tiba-tiba ia harus berlari.
Laki-laki itu termangu menatap Sena, tatapannya kemudian beralih pada tangannya yang masih ada dalam gengaman Sena. Ia terlihat begitu kebingungan.
“Elo, gue Sena, dulu...di kebun teh..Bandung...” Sena masih berusaha keras mengatur nafasnya juga detak jantungnya.
“Gimana...caranya...lo...bisa...” Daneswara menatap tangan dan wajah Sena bergantian. Ia kebingungan.
“Ah, maaf...” Sena sadar dan melepaskan tangannya.
“Bukan itu maksud gue...” Wara terburu-buru meraih tangan Sena. Ia masih keheranan dengan apa yang terjadi padanya.
“Gimana kabar lo? Lo ingat sama gue kan?” pertanyaan Sena tidak di jawab oleh Wara. Ia masih memperhatikan tangan mereka yang saling bertautan.
“Kenapa tangan lo dingin banget? Lo nggak apa-apa kan?” Sena membolak balik tangan Wara kebingungan. Laki-laki itu hanya mengenakan kaos tipis di udara yang begitu dingin ini.
“Apa gue boleh peluk elo sama seperti dulu?” kali ini Wara bertanya, membuat Sena tertegun. Dulu ia masih kecil, tapi kini ia sudah dewasa. Ia menata hatinya dulu sebelum mengangguk.
“Gue baik-baik saja, gue akan baik-baik saja...” kata Wara sambil memeluk Sena dengan erat.
Sena membeku di tempatnya, tubuhnya terasa begitu dingin di dalam pelukan Wara. Mata Sena bergetar, apa dia baik-baik saja? Kenapa Wara menangis? Sena menepuk-nepuk punggung Wara pelan. Ia tidak tahu kenapa ia selalu bertemu dengan laki-laki ini dalam kondisi seperti ini.
“Terimakasih...” kata Wara.
“Untuk apa?” Sena bingung.
“Sudah inget sama gue...gue seneng bisa ketemu sama lo...”
“Sudah gue bilang, jangan tersenyum dengan wajah menyedihkan seperti itu. Kenapa lo sering banget sih maksain senyum lo?” Sena protes namun ia tercekat oleh satu fakta baru yang baru di sadarinya. Angin yang berhembus cukup kencang, angin yang menerpa Sena dan membuat rambutnya berantakan, angin yang seolah-olah menembus tubuh Wara seolah-olah dia tidak ada.
Sena kembali mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Wara. Air mata laki-laki itu kembali menetes saat tangan Sena ada di pipinya.
“Gue juga sama herannya, kenapa lo bisa menyentuh gue...” perkataan Wara membuat Sena menggeleng kencang. Ia tidak akan tertipu oleh leluconnya. Ia bahkan bisa merasakannya, bisa menyentuhnya. Tidak mungkin dia tidaklah nyata.
“Nggak mungkin kan? Lo jangan bercanda! Ini bukan mimpi kan?” Sena menatap sekelilingnya. Ia ingin mencari orang untuk menyadarkannya bahwa ini bukan mimpi.
“Bukan, gue juga bingung kenapa gue ada di sini... ya, gue emang ditemukan mati di sini.. tapi gue ngga tahu kenapa gue masih ada di sini...” Wara juga sama putus asanya.
“Lo.. mati...?” kata-kata Wara terputus oleh pertanyaan Sena.
“Lo udah mati? Lalu gue ngomong sama apa? Siapa?” air mata Sena tumpah. Penantiannya selama ini. Mimpi-mimpi indahnya.
“Maafin gue...” Wara mengusap kepala Sena dengan penuh penyesalan.
“Lo bercanda kan?” Sena masih tidak percaya.
“Gue nggak bohong, lihat bahkan cahaya matahari aja tembus...bayangan gue nggak ada Sena...” kata Wara begitu pelan.
“Kalau lo bohong, gue loncat!” Sena tiba-tiba berdiri dan melompati pagar jembatan.
“Jangan! Gue nggak bohong Sena...gue mohon!” Wara meraih bahu Sena, “perhatikan baik-baik...” Wara kemudian berjalan kesamping Sena. Sena melihatnya, Wara menembus pagar begitu saja kemudian ia melayang di atas telaga.
“Tidak mungkin, lo... ini mimpi ini nggak nyata...” Sena menggeleng sebelum akhirnya kehilangan ke sadarannya.
“Sena!” Wara hendak meraih tubuh Sena namun saat itu Wara tidak dapat meriahnya, Sena jatuh ke dalam telaga.
“Sena!” teman-teman Sena yang melihat Sena jatuh dari jembatan berlarian menghampirinya.
Wara termangu sambil menatap kedua tangannya. Kenapa ia tidak bisa meraihnya di saat yang tepat?
Mungkin pepatah itu benar, kita tidak bisa menghindari kematian.
Seketika Wara melihat keributan di bawah sana, ia tak percaya akan membawa Sena mati bersamanya kan? Tidak! Ini tidak boleh terjadi.
“Waktu elo ketemu gue dulu, gue di vonis gue hidup gue nggak akan lama lagi. Makannya gue nangis...” Wara mengatakannya sambil menatap Sena yang masih tergugu sambil menggenggam erat tangan Wara.
“Saat gue nungguin elo pagi berikutnya gue menyadari satu hal bahwa gue harus hidup agar gue bisa ketemu elo lagi. Gue nggak nyangka bakal ketemu dengan cara seperti ini...” Wara kembali tersenyum. Memberikan jeda keheningan yang cukup panjang.
“Kenapa lo bisa ada di telaga itu?” Sena kini sudah lebih tenang. Keduanya kini duduk berdampingan, Sena masih menggenggam tangan Wara sambil bersandar di bahunya. Laki-laki ini tidak lagi hangat seperti enam tahun lalu, ia begitu dingin. Membuat perih hatinya.
“Gue sempat tinggal di sana, kami menyewanya agar gue bisa tingga pasca pemulihan, udaranya masih bersih dan suasananya tenang. Tapi ada yang di sembunyikan orang tua gue. Biaya perawatan gue nggak murah, tanah perkebunan itu sudah di jual, begitu juga dengan aset-aset ayah yang lain. Tapi yang lebih parah dari itu, adik gue juga tiba-tiba sakit...”
“Saat gue pergi ke rumah sakit untuk perawatan selanjutnya, gue menandatangani pendonoran ginjal atau apapun bagian tubuh gue jika gue mati. Utamanya untuk adik gue atau orang lain selama itu bisa... namun saat pulang kembali ke villa itu, Tuhan sepertinya punya rencana lain, mobil yang gue pakai tergelincir dan jatuh ke dalam sungai. Sungai itu yang bermuara di telaga depan villa itu...sejak itu, gue nggak bisa pergi dari sana. Gue menyaksikan sendiri orang-orang mengevakuasi gue yang udah mati, ngeliat orang tua gue, adik dan kakak gue... tapi saat gue mau ikut mereka pulang, gue nggak bisa, seolah ada yang nahan gue untuk tetap di sana...” Wara kemudian menggengam kedua tangan Sena.
“Gue tahu ini permintaan berat, tapi hanya elo yang bisa bantu gue...” Wara memohon.
“Katakanlah...”
“Gue pengen pulang, hanya elo yang bisa bawa gue pulang...” Wara kemudian berdiri dan berjalan mendekati meja Sena. Ia meraih sesuatu di atas rak, “tolong kasihin ini ke orang tua gue, gue yakin mereka belum pindah karena rumah yang di Bandung itu tidak mungkin di jual. Mereka pasti di sana...”
Sena mengampiri mejanya, ia melihat sebuah jam tangan yang telihat asing. Ini bukan tangan miliknya, namun kenapa ada di sini? Sena lantas menatap Wara, meminta penjelasan namun kembali Wara hanya tersenyum. Sena menatap tulisan di belakang jam tersebut, “I’ll never regret anything. Thanks, Mom”
“Mungkin itu alasnnya gue bisa sampai di sini, dan terimaksih, ada yang memperbaikinya...”
“Tunggu di sini sebentar...” Sena keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang keluarga. Ia lantas mengampiri ibunya.
“Bu, ini punya siapa? Ibu yang memperbaikinya?”
“Bukan punyamu? Itu ada padamu saat kamu jatuh di telaga. Ibu memperbaikinya kemarin, untung mereka masih bisa memperbaikinya. Jam itu sudah lama sekali di buatnya. Di mana kau mendapatkannya? Kenapa ada tulisannya seperti itu?” Ibu meletakkan majalah yang dibacanya dan menatap putrinya bingung.
“Bu, boleh aku ke Bandung besok?” tanya Sena.
“Kenapa tiba-tiba? Kau kan baru saja sembuh?” ibu menatap anaknya ini heran. Semenjak ia pulang dari liburannya, anaknya jadi sedikit aneh.
“Jam itu milik orang tua temen Sena Bu, Sena harus mengembalikannya...” jawab Sena jujur.
“Sejak kapan kamu punya temen di Bandung. Siapa pula temenmu itu? Ibu nggak pernah dengar, dan kau tau Nak? Jam itu sekarang saat mahal. Kenapa bisa temenmu itu mempercayakannya padamu?” Ibu memang kenal dengan semua teman Sena, tidak heran kalau beliau bingung karena anaknya itu tidak pernah menceritakan hal ini.
“Karena nggak ada orang lain yang bisa mengembalikannya selain aku Bu, temenku itu udah nggak ada...” tiba-tiba saja saat mengatakan itu hati Sena begitu pedih. Ia menangis di hadapan ibunya.
“Kau kenapa Sena?” Ibunya menghampiri Sena dan memeluknya, “baiklah besok ibu temani ke Bandung. Jangan nangis gitu...”
Wara bisa mendengar semuanya dari kamar Sena. Ia menatap ke luar jendela. Kembali laki-laki itu tersenyum dengan kepedihan yang memenuhi mata dan hatinya.
“Selamat siang...” Sena mengetuk pintu sebuah rumah model eropa yang sudah cukup tua. Ia sudah ada di Bandung dan setelah bertanya ke sana kemari di sekitar villa tempatnya dulu menginap, Sena menemukan rumah yang di maksud.
Seseorang wanita membuka pintu dan menatap kedua tamunya kebingungan. Ia tidak mengenali mereka. Tentu saja, ini kali pertama mereka bertemu, “selamat siang...”
“Apa benar ini kediaman mendiang Danaswara?” tanya Ibu hati-hati. Ya, wanita dihadapannya ini adalah orang tua yang pernah kehilangan anaknya. Tentu saja kedatangan orang yang tidak di kenal ini akan membawanya kembali ke ingatan masalalunya.
“Benar, Anda kenal dengan anak saya?” tanyanya pelan, matanya tidak bisa menutupi betapa sedihnya kehilangan seorang anak.
“Perkenalkan saya Arumni, saya ibu putri saya...Sena, sini...” Sena yang dipanggil oleh ibunya baru tersadar dari lamunannya. Matanya tak hentinya menatap Wara yang terlihat begitu sedih, merasa bersalah pada ibunya.
“Ah, iya Bu. Saya Sena... saya temannya Kak Wara”, Sena mengulurkan tangannya.
“Saya Dewi, Apa kau tidak salah Nak? Kau terlihat begitu muda...” Ibu Dewi masih menggengam tangan Sena kebingungan.
“Siapa Bunda?” seseorang muncul dari balik pintu. Kemuculannya membuat Sena kembali membeku.
“Ah, kenalkan ini putra saya, Danendra. Sepertinya Sena juga terkejut, Sena tidak tahu kalau Daneswara kembar ya?” Sena tidak bisa mempercayai penjelasan Ibu Dewi. Benar, Sena tertegun saat melihat Danendra keluar, ia mirip sekali dengan Wara, hanya saja wajahnya jauh terlihat lebih dewasa. Ia terlihat sudah memasukki usia akhir 20an.
“Mereka mencari Kak Wara, Bunda?” tanya Danendra.
“Iya, mari kita ngobrol di sini...” Ibu Dewi mempersilahkan tamunya duduk.
Sena menoleh ke arah Wara yang berdiri di samping pintu. Senyumnya kini sudah lebih membaik, kepedihan itu berubah menjadi kerinduan yang sangat dalam. Sena buru-buru mengusap air matanya yang handak tumpah untuk kesekian kalinya.
“Ah, ini saya ke sini dengan tujuan ini...” Sena mengeluarkan sebuah kotak dan memberikannya pada Ibu Dewi. Ibu Dewi yang awalnya bingung meraih kotak itu dan membukanya. Air mata Ibu Dewi kemudian tidak lagi terbendung. Danendra lantas meraih kotak itu dan mengeluarkan jam tangannya.
“Bagaimana kau bisa memilikinya?” pertanyaan Danendra hanya di jawab dengan keheningan panjang. Sena tidak tahu harus dari mana menjawabnya.
“Kiriman pos...” Sena berbohong.
Danendra seolah menyadari kebohongannya dan ia masuk ke dalam rumah. Tidak beberapa lama kemudian ia keluar dan mengulurkan jam tangan yang sama. Sena bingung saat menerimanya dan membalik jam itu, “Thanks 4 being a light in our lives, Sena”
“Kau kah Sena yang dimaksud oleh Wara?” pertanyaan Danendra dijawab oleh anggukan pelan Sena. Danendra kemudian berdiri, “bolehkan kita bicara sebentar? Sambil mengunjungi makam Kak Wara?”
Sena berdiri setelah mendapatkan ijin dari ibunya. Iya mengikuti Danendra sampai kompleks pemakaman dalam diam. Ia tidak bisa mengangkat kepalanya dengan tegak. Lihatlah di depan Sena ada dua orang yang memiliki kesamaan wajah, hanya saja yang satu masih begitu muda dan satunya lebih tinggi serta lebih dewasa.
“Katakan padaku, dimana kau menemukannya?” Danendra duduk di depan sebuah makam bertuliskan nama Daneswara. Sena mengikutinya duduk. Ah ini terlalu menyedihkan dan bagaimana ia bisa menjelaskannya.
“Kau berbohong kan?” Daneswara kini menatap Sena tajam.
“Aku menemukannya di telaga, telaga di Bogor...” jawab Sena akhirnya.
“Lalu bagaimana kau bisa kemari?”
“Aku dulu pernah bertemu dengannya di sini, enam tahu silam, dia tinggal di sini...” jawab Sena jujur.
“Bagaimana kau tahu itu miliknya?” ah benar juga, bagaimana ia menjelaskannya. Sena diam sambil menatap Daneswara, meminta bantuan. Tapi lagi-lagi dia hanya tersenyum menatap mereka berdua. Sena kebingungan.
“Katakanlah walau itu tidak masuk akal sama sekali...” Sena akhirnya menceritakan semuanya dari awal sampai akhir, dari pertemuannya di Bandung, Bogor, di rumahnya, semuanya ia ceritakan tanpa kurang sedikitpun.
“Dasar gila...” gumam Daneswara.
“Ya, aku bisa mengerti kalau kau menganggapku gila, tapi itulah kenyatannya...” suara Sena tidak kalah lirihnya.
“Maksudku orang itu! Bagaimana bisa setelah ia mencelakakan nyawa seseorang ia bisa tersenyum seperti itu. Dasar orang gila!” tanpa Sena duga, Daneswara menunjuk sosok Wara dengan tepat.
“Kakak bisa melihatnya?” Sena begitu syok sehingga menatap mereka berdua gantian. Air mata Daneswara menjawab semuanya.
“Bagaimana bisa kau mucul di sini sekarang?” pertanyaan Daneswara hanya di jawab senyuman.
“Dia tidak bisa mendengar gue, Sena, tidak seperti elo. Katakan padanya, terimakasih telah tumbuh menjadi dewasa, terimaksih telah menjaga Bunda, dan mohonkan maaf atas semuanya...” Sena menyampaikan pesan itu tanpa kurang satu pun.
“Dan elo, Sena, terimakasih telah mengingat ingatan kecil itu, mengingat kami, kalau bukan elo mungkin adik gue sudah menyerah...” ucapan Wara membuatnya bingung. Sena lalu bertanya pada Daneswara. Laki-laki itu menggaruk tengkuknya dan menjawabnya canggung.
“Sebenarnya yang bertemu denganmu enam tahun yang lalu adalah aku, tapi karena aku begitu malu menangis seperti itu di hadapan anak kecil, aku menggunakan nama kakakku, ingatkan? Kami kembar identik? Kau pasti tidak akan pernah menyadarinya...” Daneswara tertawa canggung. Ia lalu menatap kakaknya lagi. Sena kembali tidak berkutik di depan kedua saudara ini. Ia terlalu terkejut dengan kenyataan ini.
“Aku sedikit menceritakkan pertemuan itu padanya, tapi aku tidak menyangka aku sekarang bisa bersyukur atas kebohongan itu...” Danendra berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Sena, “kami berdua sama-sama menderita pada waktu itu, kini aku sudah tidak apa-apa, aku sudah sembuh karena donor ginjal dari Kak Wara. Dan jam itu, Kak Wara membelinya sebelum kecelakaan, yang satu diberikan padaku untukmu jika kita bertemu lagi dan yang satunya untuk Bunda. Tapi belum sempat jam itu diberikan, Kakak sudah pergi. Makannya aku tahu kalau kau berbohong masalah pos itu...”
“Baiklah, sudah saatnya gue pergi Sena... maafkan karena gue berbohong, gue sangat berterimakasih karena elo secara tidak langsung telah mencintai kami di detik-detik terakhir hidup kami. Terimakasih...” Wara berjalan mendekati Sena kemudian memeluknya. Kali ini Wara tersenyum dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Ia perlahan mengilang, menginggalkan Sena yang menangis, merasakan kehilangan yang sungguh tidak wajar.
“Kita pulang?” Daneswara meraih pundak Sena dan menariknya berdiri.
“Biarkan kali ini aku yang memelukmu...” Daneswara merengkuh Sena dalam pelukannya, “thank you for love him till the last...”
THE END
bagus ceritanya ka Aiana, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)