Cuaca hari ini sangat cerah, langit tidak lagi gelap seperti hari-hari sebelumnya, mungkin ini sudah tiba waktunya musim panas akan segera datang untuk menggantikan musim hujan. Dan sudah waktunya juga aku harus berangkat untuk mencari bahan berita yang menarik, yapp aku saat ini bekerja sebagai seorang reporter di sebuah stasiun berita swasta, dimana tugasku ini, yaitu mencari suatu peristiwa yang akan kujadikan sebuah berita.
“Duhh sudah jam segini aja, aku harus cepat-cepat” (jam sudah menunjukkan pukul 06.00 yang membuatku menjadi panik tak karuan)
Menjadi seorang reporter menuntutku untuk bekerja mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Pekerjaan ini memang melelahkan tapi aku senang karena ini adalah hobi dan cita-citaku sejak 2 tahun lalu, dimana aku baru menyadari bahwa aku senang menulis dan aku senang bertemu dengan hal-hal baru.
Butuh 30 menit untukku sampai di kantor yang berada di Jalan Tulip Kencana, Jakarta Selatan. Ketika baru menginjakkan kaki di depan pintu masuk, para karyawan divisi reporter keluar dengan tergesa-gesa, ada sekitar 10 orang atau 5 kelompok. Dimana satu kelompok terdapat 2 orang, yang satu bertugas sebagai cameraman dan satunya lagi bertugas sebagai reporter.
“Lohh mereka semua mau kemana ko keliatannya buru-buru banget” (aku bertanya-tanya pada diri sendiri sebelum aku bertanya kepada salah satu dari mereka)
“Ehh Del kamu mau kemana? Ko kalian buru-buru banget” (aku memberhentikan langkah Della untuk menanyakannya)
“Aku mau liput berita nihh Jung, kamu baru dateng?” (dengan buru-buru juga Della menjawabnya)
“Liput berita dimana? Iya aku baru dateng, aku kesiangan” (dengan suara terkejut dan nada yang cepat aku kembali bertanya pada Della)
“Di daerah Jakarta Utara. Yaudah yaa dahhh” (Della menjawabnya dengan cepat dan langsung meninggalkanku)
Mendengar jawaban dari Della, seketika aku langsung buru-buru pergi ke tempat dimana terdapat suatu peristiwa yang belum terekspos oleh siapapun. Tanpa berpikir panjang lagi aku menuju mobilku dan langsung pergi, sampai-sampai aku lupa untuk mengajak partnerku, yaitu cameraman ku yang entah dia sudah tiba di kantor atau belum.
“Oiyaa Adam! Duhhh kemana lagi itu si Adam, karena kesiangan udah gitu mendadak ada berita, Adam sampai lupa aku ajak” (aku mengoceh sendiri di dalam mobil)
“Ahh yasudahlah aku pakai kamera hp aja kalo gitu”
“Bipp.. bipp..” (bunyi klakson mobilku)
“Iisshhh kenapa harus macet disaat kaya gini siii” (dengan suara kesal karena mobilku terjebak macet)
“Bipp.. bipp..”
“Duuhhh ayoo dongg ini masih di Jakarta Selatan” (rasa cemas tergambar di wajahku)
Sudah 30 menit aku terjebak macet di daerah Jakarta Selatan, padahal jam sudah menunjukkan pukul 09.00 terlebih lagi untuk sampai ke Jakarta Utara masih membutuhkan waktu sekitar 1 jam, belum lagi ditambah macet seperti ini.
“Duhh aku stress nih lama-lama” (dengan mengacak-mengacak kerudunganku, tapi.. ya pasti aku rapikan lagi haha).
“Ayoo Ijung mikir-mikir! Harus gimana nihh???”
Seketika saat aku sedang berpikir, di sampingku melintas sebuah bis transjakarta yang tampak sekali bis itu melaju dengan lancar tanpa hambatan.
“Ohh iyaa bis transjakarta!”
“Kenapa aku baru ingat, lebih baik aku naik bis transjakarta aja yang ngga kena macet. Kan bis itu punya jalur khusus” (aku jadi kesal sendiri karena baru mengetahuinya)
“Berarti kalo gitu, aku harus memarkir mobilku dulu, dimana ya? Hhmm” (sambil melihat-lihat sekeliling)
“Nahh ituu diaa pas banget di depan ada mall Gandaria City. Sip aku taruh mobilku disana”
Tanpa menunggu waktu lama, aku memarkirkan mobilku di basement mall Gandaria City. Setelah itu, aku langsung berlari menuju halte bis transjakarta. Dan tidak butuh waktu lama, tepat sekitar 1 jam aku sudah sampai di Jakarta Utara.
“Huhh akhirnya sampai juga, perjalanan ini udah kaya dari Jakarta ke Jawa Tengah, terlalu panjanggg untuk dilewati” (dengan rasa lelah aku mengeluh)
“Ehh udah jam berapa nihh?” (seketika aku ingat jam dan langsung melihat angka pada jam tanganku)
“Jam.. 11? Jam 11? Ohh mayyyyygoodddd ini bukan kesiangan lagi namanyaaa” (aku sontak kaget ketika melihat jam tanganku)
Kemudian, aku mencoba membuka tabletku untuk melihat daerah mana saja yang terdapat suatu peristiwa yang sudah ditandai dengan atasan kami untuk kami liput menjadi sebuah berita. Di Jakarta Utara, ada di Jalan Kemanggisan, Kampung Rambutan, Jalan Nanas, dan Jalan Pisangan. Aku memilih Jalan Kemanggisan yang jaraknya dekat dengan halte tempat ku berada saat ini.
“Drttt… drttt…” (hpku bergetar)
Ada telepon dari Adam.
“Hallo Dam”
“Ehh Jung lu dimana? Udah jam 11 ko ngga dateng-dateng” (Adam bertanya padaku dengan suara resah)
“Lahh emang lu dimana? gue udah di Jakarta Utara nih”
“Jakarta Utara? Ngapain lu disana?” (Adam merasa bingung)
“Mau cari bahan berita lahh, ini kelompok-kelompok lain juga udah pada di lokasi. Lu dimana si? Jangan-jangan masih di kantor?”
“Beritaaa??? Lahh ko lu ngga ngajak-ngajak gue sii” (dengan suara yang sedikit marah)
“Ehee sorry gue lupa ngajak lu pas gue udah di jalan, dan gue juga lupa buat telepon lu. Dikira gue lu nanti bakal di kasih tau sama temen-temen di kantor dan langsung berangkat kesini” (dengan suara yang halus)
“Iisshhh yaudah lu sendiri aja deh yang ngeliput, gue di kantor aja. Nanti kalo lu ada apa-apa butuh sesuatu kabarin gue aja”
“Okeehhdehh thank youuu Dam!”
Setelah menutup telepon Adam, aku langsung bergegas ke tempat lokasi, berharap disana belum ada kelompok lain yang meliput.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di tempat lokasi, Jalan Kemanggisan. Dan betapa kecewanya, ternyata disana sudah ada kelompok lain yang sedang meliput peristiwa kebakaran. Setelah mengetahui ada kelompok lain, aku kembali membuka tabletku untuk memilih tempat lokasi lain di sekitar Jakarta Utara dan kini aku memilih Jalan Pisangan. Berharap lokasi itu belum ada kelompok lain yang datang. Selama 15 menit perjalananku dengan naik ojek online, akhirnya aku sampai di Jalan Pisangan dan lagi-lagi aku merasa kecewa karena disana sudah ada kelompok lain yang meliput. Tidak pantang menyerah begitu saja, karena masih ada lokasi lain, aku kembali berusaha untuk sampai di lokasi yang kali ini aku memilih Jalan Nanas. Aku sangat berharap ini adalah lokasi yang bisa aku jadikan berita. Namun, lagi-lagi aku menelan kekecewaan, karena disana sudah ada kelompok yang meliput dan mereka sedang melakukan dokumentasi foto untuk dijadikan sebagai berita koran.
“Hhmm.. tinggal satu lokasi lagi, dapat ngga ya” (dengan suara letih, semangatku menciut karena hanya tinggal satu lokasi saja, entah dapat atau tidak)
Tanpa berbasa-basi lagi aku langsung meluncur ke lokasi selanjutnya, yaitu Kampung Rambutan. Namun, lagi, lagi dan lagi aku terlambat mendapat berita ekslusif tentang penculikan yang sudah lama menjadi berita hangat setiap harinya dan kelompok Della-lah yang mendapatkannya. Ingin rasanya aku berteriak dan menangis untuk meluapkan amarahku tapi aku menyadari bahwa itu semua tidak akan kembali padaku atau berpihak padaku hanya dengan aku menangis. Oleh karenanya, aku menahan amarah dan kesedihanku hanya untuk saat ini.
Karena jam sudah menunjukkan pukul 14.00 dan perutku juga sudah keroncongan, aku akan beristirahat untuk makan siang. Aku mencari mall atau supermarket atau tempat teduh karena hari ini panas sekali jadi aku ingin mendinginkan tubuhku yang sudah setengah hari ini terpapar sinar matahari. Setelah mencari-cari di peta hp, akhirnya ketemu juga sebuah supermarket yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri dengan hanya berjalan sekitar 5 menit. Sesampainya di supermarket, aku memilih makan nasi dan ayam goreng yang dihangatkan terlebih dahulu di oven, kemudian aku duduk di samping tempat deretan minuman dingin. Sebenarnya ada tempat duduk yang cukup luas di depan supermarket tapi aku tidak mau karena melihat cahaya matahari yang langsung tertuju pada tempat duduk itu membuatku panas, terlebih hatiku juga merasa panas karena tidak berhasil mendapatkan satu berita.
“Teman-teman yang lain pasti sudah sampai di kantor dan pasti mereka lagi sibuk menyusun berita huff”
“Drttt… drtt…” (hpku bergetar)
Telepon dari Adam
“Ya hallo Dam” (dengan suara lelah)
“Jung lu dimana? Semua kelompok udah pada di kantor nihh lagi pada nyusun berita, ko lu ngga dateng-dateng?”
“Sorry Dam gue ngga dapet bahan beritanya, gue keduluan sama mereka semua jadi gue masih disini dan gue kayanya ngga ke kantor dehh hari ini”
“Ngga dapet? Seriuss?”
“Iyaa sorry ya Dam, kalo lu mau lu boleh pindah ke kelompok lain ko”
“Tapi lu sendiri gimana? Gapapa nih kalo gue boleh pindah?”
“Iyaa gapapa Dam tenang aja gue bisa ko sendiri, kan udah biasa sendiri hahaha” (aku mencoba untuk menghibur diri sendiri dengan candaan kata)
“Hahaha jomblo jomblo, yaudah yaa gue pindah ke kelompok lain. Pulang lu jangan kelamaan disana”
“Jomblo bilang jomblo hahaha, yaudah good luck”
“Okeey good luck too”
Setelah menutup telepon Adam, entah kenapa air mataku turun tanpa izinku. Aku bisa berbohong dibalik layar tapi didepan layar aku sungguh tidak kuat. Sebenarnya aku tidak ingin sendiri dalam menjalani tugas sebagai seorang reporter, aku ingin ditemani seseorang. Aku ingin dia menemaniku dan aku ingin dia tahu, tapi yang dia tahu hanya.. aku bisa sendiri tanpanya.
Selesai makan siang, aku mulai berpikir lagi untuk bisa mendapatkan berita. Aku ingin berusaha dengan kemampuanku sendiri, aku ingin percaya bahwa aku bisa melakukannya. Oleh karena itu, tidak membuang-buang waktu lagi aku kembali menyusuri tempat-tempat di sekitar Jakarta Utara Mencari suatu peristiwa atau kejadian yang bisa aku jadikan berita dengan cerita yang menarik bagi pembaca. Aku memulainya dari Kampung Mangga, karena menurut survei sebelumnya yang ditugaskan oleh atasanku sebulan yang lalu pernah terjadi pembunuhan berantai. Namun, kasus ini sudah ditutup karena pelakunya sudah ditangkap. Tapi, dalam berita yang sudah dikeluarkan baik itu online atau offline, berita tentang pembunuhan berantai itu tidak semuanya terkuak, seperti mayat yang ditemukan hanya diketahui oleh para polisi dan dokter terkait. Mereka tidak memberitahukan bagaimana luka atau cara pembunuh itu membunuh korbannya secara detail, tidak ada rekayasa ulang seperti pada kasus-kasus yang lain. Masyarakat menerima begitu saja karena itu adalah tugas polisi dan asal mereka aman itu tidak jadi masalah. Walaupun sudah sebulan berlalu, aku ingin mengangkat kembali berita tentang hal itu, jika ada sesuatu yang menarik mungkin beritaku ini bisa mengalahkan semua berita terbaru yang telah didapatkan oleh teman-temanku.
Untuk memulainya, aku akan bertanya-tanya pada masyarakat Kampung Mangga dan aku bersyukur warga di kampung ini sangat terbuka pada orang lain, terlebih aku adalah seorang reporter. Ketika aku mulai berjalan menelusuri Kampung Mangga, aku melihat ada sekumpulan ibu-ibu yang sedang duduk santai di depan salah satu rumah mereka dan saat itu juga aku mengampiri mereka dengan sopan.
“Assalamu’alaikum buu” (dengan suara lembut dan senyum manis aku menyapa ibu-ibu disana)
“Waalaikumsalam neng” (secara serentak ibu-ibu menjawab salamku dengan halus dibarengi dengan senyuman hangat)
“Bu maaf menganggu waktu santainya, saya Ijung reporter dari stasiun berita swasta di Jakarta Selatan. Saat ini saya sedang mencari bahan berita dan saya ingat di kampung ini pernah ada pembunuhan berantai, apa benar bu?” (aku mencoba menjelaskan kedatanganku pada mereka)
“Ngga ganggu ko neng. Ohh eneng dari stasiun berita, iyaa neng bener disini pernah ada kejadian mengerikan, pembunuhan berantai tepatnya udah sebulan yang lalu neng. Eneng mau ngeliput berita tentang itu neng?” (salah satu dari mereka menjawab pertanyaanku, bernama Bu Wati)
“Iyaa bu saya ingin meliput berita itu lagi walaupun udah terjadi sebulan yang lalu dan sekarang kasus itu udah selesai, tapi saya tertarik untuk menguak apa yang sebenarnya terjadi dari kasus itu karena menurut saya masih ada yang ganjil bu”
“Emang apa yang ganjil neng?” (bu Ani dengan rasa penasaran bertanya padaku tentang hal yang kujelaskan)
“Gini bu di setiap berita baik itu di koran, sosial media atau di televisi dan radio tentang pembunuhan berantai itu, tidak dijelaskan luka korban seperti apa dan bagaimana cara pembunuh itu membunuh korbannya. Terlebih tidak dilakukannya rekayasa ulang seperti pada kasus-kasus lain. Oleh karena itu, saya penasaran apa yang sebenarnya terjadi, kenapa kasus ini penanganannya berbeda dari kasus-kasus lain atau kasus pembunuhan lainnya.”
“Ohh iya si neng emang bener warga disini juga ngerasa heran tapi karena kami juga terlalu seneng pembunuhnya udah ketangkep, kita jadi ngga mikirin hal itu neng. Yang penting kami aman dan nyaman di kampung ini, kami bersyukur.” (Bu Wati kembali menjelaskan pernyataannya padaku)
“Ohh gitu ya bu, kalau saya boleh bertanya terkait hal itu boleh bu?”
“Iyaa boleh aja neng”
“Apa ibu-ibu kenal dekat dengan pelakunya?”
“Ngga kenal deket banget neng soalnya dia itu orangnya tertutup, mungkin karena udah ditinggal sama orangtuanya 5 tahun yang lalu”
“Ohh orangnya tertutup, lalu apa dia tinggal seorang diri bu?”
“Ngga neng, dia itu dua bersaudara, punya adik laki-laki tapi ya orangnya sama-sama tertutup neng jarang bergaul sama warga sini. Jangankan warga sini, kayanya mereka juga jarang bergaul dengan orang lain neng kalau mereka abis pulang kerja pasti ngga keluar-keluar rumah lagi”
“Rumahnya dia ada disebelah mana bu?
“Itu neng di gang kedua, rumahnya paling pojok”
Ketika Bu Ani sedang menunjukkan rumahnya, tiba-tiba seorang laki-laki datang dari arah yang berlawanan dengan kami. Laki-laki itu bertubuh.. yaa tidak kurus dan tidak gemuk, warna kulitnya coklat, matanya sedikit sipit, orangnya tinggi dan yang pasti dia tipe orang yang misterius hal itu bisa dilihat dari tatapan matanya dan cara dia berjalan.
“Nahh itu neng, itu adiknya, dia pasti abis pulang kerja” (Bu Ani menunjuk orang yang kujelaskan ciri-cirinya)
Dan saat itu juga, dia sedang melihat ke arahku, menatapku dengan penuh misteri yang terlukis di wajahnya. Semakin aku melihatnya, orang itu cukup menakutkan, padahal dia itu bukan hantu. Sambil terus melangkah menuju rumahnya, tatapannya tidak berpaling dariku. Aku mencoba tersenyum, tanda ucapan salam dariku tapi dia tidak menunjukkan ekspresi apapun, hingga dia masuk ke dalam rumahnya, dia melihatku seperti dia akan mengincarku.
“Bu, tapi ko tadi ketika saya senyumin dia, dia seperti tanpa ekspresi ya bu?”
“Emang seperti itu neng dia, makanya warga sini jarang ada yang menegur sapa dia, karena dia orangnya cuek dan tatapannya itu membuat warga sini takut. Kita jadi kaya melihat kakaknya si pembunuh itu”
“Ohh seperti itu bu, saya juga takut bu tadi dilihat olehnya. Waahh udah sore ya bu, saya pamit pulang ya, tapi boleh kan bu jika saya sering-sering datang kesini?” (aku izin pamit untuk pulang karena hari sudah menunjukkan pukul 17.00)
“Boleh neng, boleh banget sering-sering dateng kesini.”
“Terima kasih banyak buu. Kalau gitu saya pamit pulang ya ibu-ibu”
Setelah selesai bercakap-cakap dengan ibu-ibu warga Kampung Mangga, aku kembali ke supermarket untuk mengisi perutku yang kini sudah keroncongan lagi dan duduk sebentar untuk beristirahat melepas lelah seharian. Kini aku akan makan nasi dengan lauknya, yaitu hhmm sepertinya ayam lagi, makan siang tadi sebenarnya ada berbagai macam lauk tapi mungkin sekarang sudah habis jadi hanya tersisa ayam goreng. Jadi, aku pilih nasi dengan ayam goreng lagi. Jam sudah menunjukkan pukul 18.00, aku akan sholat dulu di Musholla dekat supermarket ini dan kemudian baru aku akan pulang dengan naik bis transjakarta lagi.
Pukul 19.00 aku sudah duduk di bis transjakarta, untunglah aku mendapat tempat duduk, karena jika tidak itu akan sangat melelahkan harus berdiri dari Jakarta Utara hingga Jakarta Selatan, bisa gempor aku. Dalam perjalanan, aku terlelap tidur selama sekitar 1 jam, rasanya enak sekali. Mendekati mall Gandaria City, aku baru ingat, aku memarkir mobilku di basement mall itu. Seketika aku pun memberhentikan bis transjakarta yang kunaiki, untunglah tidak terlewat. Sesampainya di mall Gandaria City, aku langsung menuju basement untuk segera mengambil mobilku. Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku terus memikirkan kejadian yang nantinya akan kubuat berita ekslusif dan juga aku terbayang dengan tatapan misterius laki-laki yang ternyata adik pelaku itu.
Di hari berikutnya, aku kembali lagi ke Kampung Mangga tapi sebelum kesana aku ke kantor untuk absen karena jika tidak nanti aku tidak dapat gaji. Hari ini aku tidak lagi kesiangan seperti kemarin, karena aku sudah mengatur waktu yang dibutuhkan untuk pergi kesana dan hari ini aku berangkat dari rumah sekitar pukul 06.00 pagi. Sesampainya di kantor, aku langsung absen di ruangan divisi reporter, disana hanya terlihat beberapa orang saja belum ramai seperti biasanya dan diantara beberapa orang itu, ada Adam yang sudah datang lebih dulu dariku.
“Heii Jung udah dateng nih, ngga kesiangan lagi? Hahaha” (Adam menyapaku sekaligus meledekku)
“Hahaha ngga dongg, cape kesiangan terus. Jadi dikejar-kejar waktu” (aku membalasnya dengan senyum gembira)
“Nahh gitu dongg jangan kesiangan mulu, gue juga cape liatnya hahaha. Oiyaa gimana lu udah dapet berita untuk minggu ini belom?”
“Belomm” (aku menjawabnya singkat)
“Belom? Buruan anak-anak lain udah pada dapet udah ada yang lagi proses editing malah” (Adam terkejut karena hanya aku satu-satunya orang yang belum mendapatkan bahan berita)
“Iya belom! Yaudah sii kan masih hari selasa ini, makanya ni gue dateng pagi-pagi mau berburu berita, yaudah ahh gue mau pergi dulu”
“Sekarang lu mau kemana lagi?”
“Mau cari bahan berita Adam”
“Iya dimana Ijung?”
“Di daerah Jakarta Utara”
“Jakarta Utara? Lagi? Emang ada apaan disana?”
“Ada dehh mau tau aja.. masih rahasia hahaha” (kini giliranku meledek Adam)
“Iisshh ckckkc yaudah hati-hati”
“okay thank youuu”
Pukul 09.00 aku sudah sampai di Kampung Mangga, tidak seperti kemarin jam 09.00 aku masih dalam perjalanan dengan naik bis transjakarta, tapi hari ini jam 09.00 aku sudah sampai di Kampung Mangga dengan mengendarai mobilku. Karena hari ini weekdays dan terbilang masih pagi, kampung ini terlihat tidak terlalu ramai seperti kemarin sore. Hal itu dikarenakan anak-anak masuk sekolah, orang dewasa pergi bekerja, dan sisanya para ibu rumah tangga yang masih ada di dalam rumah sedang melakukan pekerjaan mereka sebagai seorang ibu dan juga istri. Sambil menunggu ibu-ibu warga kampung ini berkumpul setelah melakukan pekerjaan mereka di rumah, aku duduk di sebuah bale sederhana di depan gang kedua, yaitu gang dari rumah si adik pelaku itu, “oiyaa aku lupa menanyakan namanya pada Ibu Ani kemarin”. Baru saja aku duduk di bale, laki-laki yang sama seperti kemarin baru akan keluar dari rumahnya dan tiba-tiba saja dia kembali menatapku dengan misterius. Dia melangkahkan kakinya menuju ke arahku, entah dia ingin menghampiriku atau berjalan ke arah lain tapi yang pasti karena bale ini tepat berada di depan gang rumahnya, otomatis dia berjalan ke depan gang dan melihat ke arahku. Aku sedikit takut dengan tatapannya tapi aku mencoba bertahan untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Tinggal beberapa langkah lagi, laki-laki itu akan tepat berada di depanku, jantungku semakin berdetak tak menentu. Apa yang harus aku lakukan jika dia berniat jahat padaku, apalagi saat ini suasana sedang sepi, jika aku diculik pasti orang lain tidak ada yang menyadarinya. Namun, kenyataannya laki-laki itu berbelok arah, ke arah dimana waktu itu dia datang sehabis pulang bekerja. Aku menghela napas lega karena tidak terjadi apa-apa padaku.
Langit sebentar lagi akan berubah warna menjadi hitam yang menandakkan bahwa siang akan berganti malam dan sudah saatnya aku harus pulang menyiapkan tenaga untuk kugunakan lagi esok hari. Namun, lagi lagi saat aku berjalan menuju mobilku yang terparkir di lapangan Kampung Mangga, samping gang kedua. Laki-laki itu tepat hendak keluar gang, maka dengan sengaja aku menunggu dia untuk jalan terlebih dahulu. Aku tidak ingin dia berada dibelakangku, tapi entah kenapa dia berhenti di depan gang menatapku kembali seperti biasanya, tatapan misterius. Aku pun mencoba untuk tidak melihatnya, aku berjalan seakan tidak ada dia, tapi laki-laki itu malah berjalan di belakangku. Aku semakin takut tapi aku berusaha tenang, aku berjalan cepat tanpa diketahui olehnya kalau ‘aku takut padanya’. Karena jika dia tahu, mungkin aku bisa dikejar olehnya dan itu lebih menakutkan. Tepat di depan mobilku, aku berhenti dan membuka kunci mobil. Kemudian aku buru-buru masuk ke dalam mobil dan aku bersyukur, ternyata dia hanya melewatiku.
Cerahnya matahari pagi membuatku kembali bersemangat untuk memulai hari. Hari ini seperti biasa aku akan pergi ke kantor hanya untuk absen dan pergi lagi ke Kampung Mangga untuk mencari bahan berita. Hal ini aku lakukan selama seminggu demi mendapatkan berita yang menarik dan bagus. Berita ini harus aku selesaikan untuk menutupi deadlineku yang seharusnya minggu ini harus kuserahkan pada atasanku. Dan selama seminggu itu juga, entah kenapa laki-laki itu, yang bernama Zani selalu mengikuti dan menatapku dengan misterius penuh teka-teki yang ingin sekali aku pecahkan. Hingga tiba waktunya, yaitu hari terakhir aku berkunjung ke Kampung Mangga, aku bertemu dengannya dan lagi-lagi dia menatapku dari kejauhan walaupun dengan jarak yang tidak terlalu dekat tapi aku bisa merasakan tatapannya. Aku sungguh tidak peduli dengannya, aku berjalan tanpa mempedulikan perasaan takutku, tapi setelah aku berjalan beberapa langkah. Tiba-tiba dia sudah berada disampingku, aku sedikit kaget akan kehadirannya. Walaupun aku merasa takut, aku berusaha untuk bertanya “ada apa?”
“He..iii Zani a..da apa?” (dengan suara yang sedikit gugup aku memberanikan diri bertanya padanya)
Karena aku berdiri tepat di sampingnya aku bisa melihat raut wajahnya, wajah yang begitu pucat terlihat dari bibir dan matanya yang memutih. Dan aku berpikir, mungkin karena dia sedang sakit.
“Hallo.. Zani ada apa ya?” (aku kembali bertanya padanya karena ucapanku sebelumnya tidak dijawab olehnya)
Tanpa berkata-kata Zani menggandeng tanganku menuju rumahnya. Dan keadaan ini yang benar-benar membuatku takut. Hingga tiba di depan rumahnya, ketakutan itu semakin menjadi dan ketika itu juga aku mencium aroma tidak sedap.
“Kok bau sekali ya” (aku bergumam dalam hati sambil menutup hidungku)
Ketika aku masuk ke dalam pintu pagar rumahnya dan pintu rumah itu dibuka, aku terkejut ternyata banyak sekali orang-orang.
“Banyak sekali tamu di rumahmu Zani” (aku belum menyadari apapun)
Namun, ketika orang-orang itu mulai keluar rumah dengan tidak sabar, saling menabrak satu sama lain, aku benar-benar terkejut bahwa orang-orang itu adalah zombie.
“Zom..bie..” (aku berteriak kencang dan langsung berlari meninggalkan rumah itu)
“Ada apa dengan mereka? Kenapa mereka berubah menjadi zombie? Apa yang sebenarnya terjadi? Kemana warga lainnya?” (aku terus berbicara sambil berlari menjauhi mereka yang sedang mengejarku)
Aku berlari menuju mobilku yang seperti biasa aku parkirkan di lapangan. Ketika aku sudah sampai di dalam mobil, aku baru menyadari bahwa zombie-zombie itu adalah warga Kampung Mangga. Maka dengan cepat aku pergi meninggalkan kampung itu. Aku pun bersyukur zombie itu tidak mengejarku lagi karena ia takut akan sinar cahaya lampu mobilku.
“Waahhh ini seperti di dalam film aja dikejar-kejar zombie. Tapi pertanyaanku kapan ini semua terjadi? Siapa yang menyebabkan ini semua? Apa Zani? Dari raut wajahnya yang kulihat memang dia seperti zombie sangat pucat dan tidak berbicara apapun, aku juga tidak pernah melihat dia berbicara yang kulihat hanya tatapan dia yang misterius” (aku memikirkan hal itu sepanjang malam hingga aku hanya bisa tidur 2 jam saja)
Di hari berikutnya, aku kembali ke Kampung Mangga, keberanianku untuk mengunjungi kampung itu lagi yang sudah berisi zombie. Karena aku mengerti zombie-zombie itu takut pada sinar cahaya lampu dan matahari, jadi pasti mereka tidak bisa mendekatiku di pagi hari. Sesampainya disana, kampung itu terlihat berantakan dan sangat sepi tidak ada aktivitas apapun, namun aku tidak berani untuk masuk ke dalam rumah warga karena aku tahu mereka berada di dalam. Namun, ada salah satu warga yang kulihat dia berada di luar rumah dan terkena cahaya matahari seketika aku pun berpikir kalau dia bukanlah zombie. Sekali lagi aku memberanikan diriku untuk menyapanya.
“Haa..ii”
“Ehh..” (dia sangat terkejut dengan kehadiranku)
“Kamu pasti manusia kan bukan zombie? Karena kamu berada di luar rumah saat siang hari” (aku memastikan bahwa dia benar-benar bukan zombie)
“I..yaaa ada apa?” (dia sangat ketakutan dengan kehadiran orang lain)
“Kamu dulunya warga kampung ini?”
“I..y..aa benar”
“Kamu tau apa yang terjadi di kampung ini?”
“I..y..aa aku tau”
“Boleh kita bicara? Aku ingin tau tentang hal itu”
“Boo..leeh”
“Baiklah kita duduk di bale saja ya”
“Baa.iik”
“Kamu tau sejak kapan ini terjadi?”
“Sejakk malam itu, malam kamis lalu saat kakak tidak datang berkunjung ke kampung ini”
Pernah sekali aku tidak datang berkunjung ke kampung ini karena harus menyelesaikan tugasku, dan dimana sehari setelah itu aku berkunjung lagi untuk mengucapkan terima kasih karena telah menigizinkanku untuk mencari bahan berita di kampung ini, dan disaat itulah aku bertemu zombie-zombie itu.
“Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang menyebabkan ini semua?” (aku semakin penasaran dengan kelanjutan ceritanya)
“Malam itu, di rumah pak RT terdengar teriakan yang sangat keras yang membuat kami, semua warga terbangun dari tidur. Melihat apa yang terjadi di rumah pak RT dan ketika satu per satu warga datang melihat ke rumahnya, satu per satu warga itulah dengan cepatnya digigit dan berubah menjadi zombie. Saat itu aku hanya melihatnya dari atap rumahku yang berada di sebelah rumah pak RT aku melihat bagaimana keadaan saat itu sangatlah menyeramkan dan aku melihat ada seseorang yang menjadi pelaku utama yang telah mengigit pak RT dan menjadikannya zombie, orang itu… adalah Zani” (dengan rasa ketakutan anak perempuan yang bernama Hana menceritakan yang sebenarnya padaku)
“Lalu bagaimana bisa Zani menjadi zombie dan tidak seorang pun yang mengetahuinya?”
“Zani menjadi zombie akibat dari gigitan kakaknya yang dulu ditangkap polisi akibat kasus pembunuhan berantai yang menghebohkan itu. Sebenarnya kakak Zani adalah seorang manusia-zombie. Setengah dari darahnya zombie dan setengah dari darahnya lagi adalah manusia. Namun, jika dia menggigit seseorang maka orang itu akan menjadi zombie seutuhnya.”
“Jadi.. kasus pembunuhan berantai itu ditutup-tutupi karena itu kasus yang tidak biasa? Bukan pembunuhan seperti kasus lain, tapi.. zombie? Bagaimana bisa kamu tahu hal ini semua tapi tidak memberitahu siapapun?”
“Aku tahu ini semua dari perbincangan ayahku, seorang kepala polisi dengan dokter medis kepolisian yang sama-sama mengurus kasus itu dan sebenarnya dalam kasus itu kakak Zani tidak dipenjara melainkan dibunuh untuk menghindari jatuhnya korban menjadi zombie. Dan para korban juga sudah dibunuh saat polisi menemukannya di ruang rahasia kakaknya. Aku tidak memberitahukannya karena aku takut ayah akan membawaku ke luar negeri untuk memperkerjakanku disana”
Mendengar ceritanya, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku bingung, terkejut, tidak percaya akan apa yang telah terjadi disini seperti layaknya sedang syuting film zombie, aku merasakannya begitu nyata.
Dan tidak terasa hari sudah mulai gelap, aku harus bergegas pulang agar aku tidak bertemu dan tidak menjadi santapan para zombie yang akhirnya aku akan menjadi zombie selanjutnya. Karena hari sudah mulai gelap tidak ada cahaya matahri, mereka pun keluar dari tempat persembunyiannya. Aku merasa takut tapi aku tidak ingin berteriak karena jika aku mengeluarkan suara sedikit saja, mereka semua bisa mengetahui keberadaanku. Aku berusaha tenang dan berjalan dengan hati-hati. Tapi.. “krek!” aku menginjak sebuah ranting pohon, membuat para zombie itu menoleh ke asal suara dan lebih terkejutnya lagi tidak jauh dari aku berdiri, ada zombie yang membuatku berteriak ketakutan. Dan saat itulah para zombie mengetahui keberadaanku. Aku terus berlari menjauhi mereka, namun lari mereka juga tidak kalah cepat denganku. Aku mulai kelelahan tapi aku harus terus berlari, aku tidak ingin menjadi zombie seperti mereka. Aku terus berlari hingga aku tersudut oleh mereka yang telah menyudutkanku di sebuah gang. Aku sangat ketakutan, benar-benar sangat takut. Tidak jauh dari aku berdiri, ada sebuah pohon yang bisa aku naiki dan akhirnya tanpa berpikir panjang aku langsung menaiki pohon itu untuk menghindari kejaran dari para zombie. Namun, akibat tubuhku yang lebih berat daripada ranting pohon yang kunaiki, lama-kelamaan ranting itu turun yang menandakkan bahwa ranting itu akan segera patah. Tinggal menunggu hitungan detik aku akan jatuh dan menjadi santapan para zombie yang sudah menungguku di bawah. Aku hanya bisa pasrah, merasa ketakutan, dan tidak tau harus berbuat apa lagi di detik-detik terakhirku ini. Hingga tiba waktunya, ranting itu patah dan aku terjatuh dari pohon itu,
“Bukkk” (suara jatuh)
“Awww sakittt” (aku merintih kesakitan)
Ketika aku membuka mataku..
“Ini.. ini.. aku di rumah? Aku ngga jadi zombie?”
“Zombie zombie, lu kebanyakan mimpi Jung, cepet bangun!! Udah jam 05.00 nih ntar kita telat dapet berita ekslusif” (Adam menyadarkanku)
“Ehh ko ada lu disini? Ini di rumah gue ya?” (aku masih belum yakin dengan keadaan ini)
“Iyaaaaa Jung lu itu lagi di rumah lu sendiri. Gue ke rumah lu soalnya gue yakin pasti lu kesiangan lagi. Gue ga mau kita telat soalnya hari ini ada berita ekslusif!”
“Alhamdulilah…. Jadi itu hanya mimpiiiii” (aku bersyukur ternyata zombie itu hanya ada di dalam mimpiku)
“Yaudah cepet mandi rapi-rapi!” (Adam mengomeliku yang masih berada di tenpat tidur)
“Iya.. iyaa bawellll” (dengan perasaan senang aku menjawabnya)
Dalam perjalanan menuju kantor bersama dengan Adam, aku menceritakan mimpiku itu, tentang zombie.
“Dam lu tau ga gue semalem mimpi apa?”
“Zombie” (dengan singkat dan tepat Adam menjawabnya)
“Kok lu tau?”
“Iyalah orang lu mah kan suka banget nontn film zombie, sampe tidur aja mimpinya zombie. Kaya tadi pagi tuhh lu udah sebut-sebut zombie”
“Oiyaa ahaahaha abis seru siii tapi ga seru kalo gue jadi pemeran yang dikejar-kejar zombie kaya mimpi gue semalem, menakutkan!!”
“Makanya kalo mau tidur itu baca doa dulu, sholat malem dulu. Biar tidur lu tenang”
“Iya iya Adam. Oiya bukannya lu bukan kelompok gue lagi ya?”
“Hah bukan kelompok lu lagi?”
“Iya waktu itu kan gue bilang gapapa kalo lu mau pindah kelompok soalnya kita belom dapet bahan berita. Terus lu bilang lu mau pindah”
“Idihhh lu mimpi apaan lagi Jung??? Itu mimpi! Buktinya ini gue pagi-pagi ke rumah lu buat pergi kerja bareng, gimana sii”
“Ehh iya iya duhh mimpi gue aneh banget ya” (dengan suara malu dan perasaan senang bahwa itu.. hanyalah mimpi)
“Makanyaa kan gue bilangg…” (aku langsung memotong perkataan Adam)
“Iyaa doa dan sholat biar ngga mimpi buruk lagi”
Sejak mimpi itu, aku selalu berdoa dan sholat malam sebelum tidur meminta pada-Nya untuk diberikan mimpi indah. Mimpi indah untuk tetap terus bersama dengannya, seorang pria yang bernama Adam.
Cuaca hari ini sangat cerah, langit tidak lagi gelap seperti hari-hari sebelumnya, mungkin ini sudah tiba waktunya musim panas akan segera datang untuk menggantikan musim hujan. Dan sudah waktunya juga aku harus berangkat untuk mencari bahan berita yang menarik, yapp aku saat ini bekerja sebagai seorang reporter di sebuah stasiun berita swasta, dimana tugasku ini, yaitu mencari suatu peristiwa yang akan kujadikan sebuah berita.
“Duhh sudah jam segini aja, aku harus cepat-cepat” (jam sudah menunjukkan pukul 06.00 yang membuatku menjadi panik tak karuan)
Menjadi seorang reporter menuntutku untuk bekerja mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Pekerjaan ini memang melelahkan tapi aku senang karena ini adalah hobi dan cita-citaku sejak 2 tahun lalu, dimana aku baru menyadari bahwa aku senang menulis dan aku senang bertemu dengan hal-hal baru.
Butuh 30 menit untukku sampai di kantor yang berada di Jalan Tulip Kencana, Jakarta Selatan. Ketika baru menginjakkan kaki di depan pintu masuk, para karyawan divisi reporter keluar dengan tergesa-gesa, ada sekitar 10 orang atau 5 kelompok. Dimana satu kelompok terdapat 2 orang, yang satu bertugas sebagai cameraman dan satunya lagi bertugas sebagai reporter.
“Lohh mereka semua mau kemana ko keliatannya buru-buru banget” (aku bertanya-tanya pada diri sendiri sebelum aku bertanya kepada salah satu dari mereka)
“Ehh Del kamu mau kemana? Ko kalian buru-buru banget” (aku memberhentikan langkah Della untuk menanyakannya)
“Aku mau liput berita nihh Jung, kamu baru dateng?” (dengan buru-buru juga Della menjawabnya)
“Liput berita dimana? Iya aku baru dateng, aku kesiangan” (dengan suara terkejut dan nada yang cepat aku kembali bertanya pada Della)
“Di daerah Jakarta Utara. Yaudah yaa dahhh” (Della menjawabnya dengan cepat dan langsung meninggalkanku)
Mendengar jawaban dari Della, seketika aku langsung buru-buru pergi ke tempat dimana terdapat suatu peristiwa yang belum terekspos oleh siapapun. Tanpa berpikir panjang lagi aku menuju mobilku dan langsung pergi, sampai-sampai aku lupa untuk mengajak partnerku, yaitu cameraman ku yang entah dia sudah tiba di kantor atau belum.
“Oiyaa Adam! Duhhh kemana lagi itu si Adam, karena kesiangan udah gitu mendadak ada berita, Adam sampai lupa aku ajak” (aku mengoceh sendiri di dalam mobil)
“Ahh yasudahlah aku pakai kamera hp aja kalo gitu”
“Bipp.. bipp..” (bunyi klakson mobilku)
“Iisshhh kenapa harus macet disaat kaya gini siii” (dengan suara kesal karena mobilku terjebak macet)
“Bipp.. bipp..”
“Duuhhh ayoo dongg ini masih di Jakarta Selatan” (rasa cemas tergambar di wajahku)
Sudah 30 menit aku terjebak macet di daerah Jakarta Selatan, padahal jam sudah menunjukkan pukul 09.00 terlebih lagi untuk sampai ke Jakarta Utara masih membutuhkan waktu sekitar 1 jam, belum lagi ditambah macet seperti ini.
“Duhh aku stress nih lama-lama” (dengan mengacak-mengacak kerudunganku, tapi.. ya pasti aku rapikan lagi haha).
“Ayoo Ijung mikir-mikir! Harus gimana nihh???”
Seketika saat aku sedang berpikir, di sampingku melintas sebuah bis transjakarta yang tampak sekali bis itu melaju dengan lancar tanpa hambatan.
“Ohh iyaa bis transjakarta!”
“Kenapa aku baru ingat, lebih baik aku naik bis transjakarta aja yang ngga kena macet. Kan bis itu punya jalur khusus” (aku jadi kesal sendiri karena baru mengetahuinya)
“Berarti kalo gitu, aku harus memarkir mobilku dulu, dimana ya? Hhmm” (sambil melihat-lihat sekeliling)
“Nahh ituu diaa pas banget di depan ada mall Gandaria City. Sip aku taruh mobilku disana”
Tanpa menunggu waktu lama, aku memarkirkan mobilku di basement mall Gandaria City. Setelah itu, aku langsung berlari menuju halte bis transjakarta. Dan tidak butuh waktu lama, tepat sekitar 1 jam aku sudah sampai di Jakarta Utara.
“Huhh akhirnya sampai juga, perjalanan ini udah kaya dari Jakarta ke Jawa Tengah, terlalu panjanggg untuk dilewati” (dengan rasa lelah aku mengeluh)
“Ehh udah jam berapa nihh?” (seketika aku ingat jam dan langsung melihat angka pada jam tanganku)
“Jam.. 11? Jam 11? Ohh mayyyyygoodddd ini bukan kesiangan lagi namanyaaa” (aku sontak kaget ketika melihat jam tanganku)
Kemudian, aku mencoba membuka tabletku untuk melihat daerah mana saja yang terdapat suatu peristiwa yang sudah ditandai dengan atasan kami untuk kami liput menjadi sebuah berita. Di Jakarta Utara, ada di Jalan Kemanggisan, Kampung Rambutan, Jalan Nanas, dan Jalan Pisangan. Aku memilih Jalan Kemanggisan yang jaraknya dekat dengan halte tempat ku berada saat ini.
“Drttt… drttt…” (hpku bergetar)
Ada telepon dari Adam.
“Hallo Dam”
“Ehh Jung lu dimana? Udah jam 11 ko ngga dateng-dateng” (Adam bertanya padaku dengan suara resah)
“Lahh emang lu dimana? gue udah di Jakarta Utara nih”
“Jakarta Utara? Ngapain lu disana?” (Adam merasa bingung)
“Mau cari bahan berita lahh, ini kelompok-kelompok lain juga udah pada di lokasi. Lu dimana si? Jangan-jangan masih di kantor?”
“Beritaaa??? Lahh ko lu ngga ngajak-ngajak gue sii” (dengan suara yang sedikit marah)
“Ehee sorry gue lupa ngajak lu pas gue udah di jalan, dan gue juga lupa buat telepon lu. Dikira gue lu nanti bakal di kasih tau sama temen-temen di kantor dan langsung berangkat kesini” (dengan suara yang halus)
“Iisshhh yaudah lu sendiri aja deh yang ngeliput, gue di kantor aja. Nanti kalo lu ada apa-apa butuh sesuatu kabarin gue aja”
“Okeehhdehh thank youuu Dam!”
Setelah menutup telepon Adam, aku langsung bergegas ke tempat lokasi, berharap disana belum ada kelompok lain yang meliput.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di tempat lokasi, Jalan Kemanggisan. Dan betapa kecewanya, ternyata disana sudah ada kelompok lain yang sedang meliput peristiwa kebakaran. Setelah mengetahui ada kelompok lain, aku kembali membuka tabletku untuk memilih tempat lokasi lain di sekitar Jakarta Utara dan kini aku memilih Jalan Pisangan. Berharap lokasi itu belum ada kelompok lain yang datang. Selama 15 menit perjalananku dengan naik ojek online, akhirnya aku sampai di Jalan Pisangan dan lagi-lagi aku merasa kecewa karena disana sudah ada kelompok lain yang meliput. Tidak pantang menyerah begitu saja, karena masih ada lokasi lain, aku kembali berusaha untuk sampai di lokasi yang kali ini aku memilih Jalan Nanas. Aku sangat berharap ini adalah lokasi yang bisa aku jadikan berita. Namun, lagi-lagi aku menelan kekecewaan, karena disana sudah ada kelompok yang meliput dan mereka sedang melakukan dokumentasi foto untuk dijadikan sebagai berita koran.
“Hhmm.. tinggal satu lokasi lagi, dapat ngga ya” (dengan suara letih, semangatku menciut karena hanya tinggal satu lokasi saja, entah dapat atau tidak)
Tanpa berbasa-basi lagi aku langsung meluncur ke lokasi selanjutnya, yaitu Kampung Rambutan. Namun, lagi, lagi dan lagi aku terlambat mendapat berita ekslusif tentang penculikan yang sudah lama menjadi berita hangat setiap harinya dan kelompok Della-lah yang mendapatkannya. Ingin rasanya aku berteriak dan menangis untuk meluapkan amarahku tapi aku menyadari bahwa itu semua tidak akan kembali padaku atau berpihak padaku hanya dengan aku menangis. Oleh karenanya, aku menahan amarah dan kesedihanku hanya untuk saat ini.
Karena jam sudah menunjukkan pukul 14.00 dan perutku juga sudah keroncongan, aku akan beristirahat untuk makan siang. Aku mencari mall atau supermarket atau tempat teduh karena hari ini panas sekali jadi aku ingin mendinginkan tubuhku yang sudah setengah hari ini terpapar sinar matahari. Setelah mencari-cari di peta hp, akhirnya ketemu juga sebuah supermarket yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri dengan hanya berjalan sekitar 5 menit. Sesampainya di supermarket, aku memilih makan nasi dan ayam goreng yang dihangatkan terlebih dahulu di oven, kemudian aku duduk di samping tempat deretan minuman dingin. Sebenarnya ada tempat duduk yang cukup luas di depan supermarket tapi aku tidak mau karena melihat cahaya matahari yang langsung tertuju pada tempat duduk itu membuatku panas, terlebih hatiku juga merasa panas karena tidak berhasil mendapatkan satu berita.
“Teman-teman yang lain pasti sudah sampai di kantor dan pasti mereka lagi sibuk menyusun berita huff”
“Drttt… drtt…” (hpku bergetar)
Telepon dari Adam
“Ya hallo Dam” (dengan suara lelah)
“Jung lu dimana? Semua kelompok udah pada di kantor nihh lagi pada nyusun berita, ko lu ngga dateng-dateng?”
“Sorry Dam gue ngga dapet bahan beritanya, gue keduluan sama mereka semua jadi gue masih disini dan gue kayanya ngga ke kantor dehh hari ini”
“Ngga dapet? Seriuss?”
“Iyaa sorry ya Dam, kalo lu mau lu boleh pindah ke kelompok lain ko”
“Tapi lu sendiri gimana? Gapapa nih kalo gue boleh pindah?”
“Iyaa gapapa Dam tenang aja gue bisa ko sendiri, kan udah biasa sendiri hahaha” (aku mencoba untuk menghibur diri sendiri dengan candaan kata)
“Hahaha jomblo jomblo, yaudah yaa gue pindah ke kelompok lain. Pulang lu jangan kelamaan disana”
“Jomblo bilang jomblo hahaha, yaudah good luck”
“Okeey good luck too”
Setelah menutup telepon Adam, entah kenapa air mataku turun tanpa izinku. Aku bisa berbohong dibalik layar tapi didepan layar aku sungguh tidak kuat. Sebenarnya aku tidak ingin sendiri dalam menjalani tugas sebagai seorang reporter, aku ingin ditemani seseorang. Aku ingin dia menemaniku dan aku ingin dia tahu, tapi yang dia tahu hanya.. aku bisa sendiri tanpanya.
Selesai makan siang, aku mulai berpikir lagi untuk bisa mendapatkan berita. Aku ingin berusaha dengan kemampuanku sendiri, aku ingin percaya bahwa aku bisa melakukannya. Oleh karena itu, tidak membuang-buang waktu lagi aku kembali menyusuri tempat-tempat di sekitar Jakarta Utara Mencari suatu peristiwa atau kejadian yang bisa aku jadikan berita dengan cerita yang menarik bagi pembaca. Aku memulainya dari Kampung Mangga, karena menurut survei sebelumnya yang ditugaskan oleh atasanku sebulan yang lalu pernah terjadi pembunuhan berantai. Namun, kasus ini sudah ditutup karena pelakunya sudah ditangkap. Tapi, dalam berita yang sudah dikeluarkan baik itu online atau offline, berita tentang pembunuhan berantai itu tidak semuanya terkuak, seperti mayat yang ditemukan hanya diketahui oleh para polisi dan dokter terkait. Mereka tidak memberitahukan bagaimana luka atau cara pembunuh itu membunuh korbannya secara detail, tidak ada rekayasa ulang seperti pada kasus-kasus yang lain. Masyarakat menerima begitu saja karena itu adalah tugas polisi dan asal mereka aman itu tidak jadi masalah. Walaupun sudah sebulan berlalu, aku ingin mengangkat kembali berita tentang hal itu, jika ada sesuatu yang menarik mungkin beritaku ini bisa mengalahkan semua berita terbaru yang telah didapatkan oleh teman-temanku.
Untuk memulainya, aku akan bertanya-tanya pada masyarakat Kampung Mangga dan aku bersyukur warga di kampung ini sangat terbuka pada orang lain, terlebih aku adalah seorang reporter. Ketika aku mulai berjalan menelusuri Kampung Mangga, aku melihat ada sekumpulan ibu-ibu yang sedang duduk santai di depan salah satu rumah mereka dan saat itu juga aku mengampiri mereka dengan sopan.
“Assalamu’alaikum buu” (dengan suara lembut dan senyum manis aku menyapa ibu-ibu disana)
“Waalaikumsalam neng” (secara serentak ibu-ibu menjawab salamku dengan halus dibarengi dengan senyuman hangat)
“Bu maaf menganggu waktu santainya, saya Ijung reporter dari stasiun berita swasta di Jakarta Selatan. Saat ini saya sedang mencari bahan berita dan saya ingat di kampung ini pernah ada pembunuhan berantai, apa benar bu?” (aku mencoba menjelaskan kedatanganku pada mereka)
“Ngga ganggu ko neng. Ohh eneng dari stasiun berita, iyaa neng bener disini pernah ada kejadian mengerikan, pembunuhan berantai tepatnya udah sebulan yang lalu neng. Eneng mau ngeliput berita tentang itu neng?” (salah satu dari mereka menjawab pertanyaanku, bernama Bu Wati)
“Iyaa bu saya ingin meliput berita itu lagi walaupun udah terjadi sebulan yang lalu dan sekarang kasus itu udah selesai, tapi saya tertarik untuk menguak apa yang sebenarnya terjadi dari kasus itu karena menurut saya masih ada yang ganjil bu”
“Emang apa yang ganjil neng?” (bu Ani dengan rasa penasaran bertanya padaku tentang hal yang kujelaskan)
“Gini bu di setiap berita baik itu di koran, sosial media atau di televisi dan radio tentang pembunuhan berantai itu, tidak dijelaskan luka korban seperti apa dan bagaimana cara pembunuh itu membunuh korbannya. Terlebih tidak dilakukannya rekayasa ulang seperti pada kasus-kasus lain. Oleh karena itu, saya penasaran apa yang sebenarnya terjadi, kenapa kasus ini penanganannya berbeda dari kasus-kasus lain atau kasus pembunuhan lainnya.”
“Ohh iya si neng emang bener warga disini juga ngerasa heran tapi karena kami juga terlalu seneng pembunuhnya udah ketangkep, kita jadi ngga mikirin hal itu neng. Yang penting kami aman dan nyaman di kampung ini, kami bersyukur.” (Bu Wati kembali menjelaskan pernyataannya padaku)
“Ohh gitu ya bu, kalau saya boleh bertanya terkait hal itu boleh bu?”
“Iyaa boleh aja neng”
“Apa ibu-ibu kenal dekat dengan pelakunya?”
“Ngga kenal deket banget neng soalnya dia itu orangnya tertutup, mungkin karena udah ditinggal sama orangtuanya 5 tahun yang lalu”
“Ohh orangnya tertutup, lalu apa dia tinggal seorang diri bu?”
“Ngga neng, dia itu dua bersaudara, punya adik laki-laki tapi ya orangnya sama-sama tertutup neng jarang bergaul sama warga sini. Jangankan warga sini, kayanya mereka juga jarang bergaul dengan orang lain neng kalau mereka abis pulang kerja pasti ngga keluar-keluar rumah lagi”
“Rumahnya dia ada disebelah mana bu?
“Itu neng di gang kedua, rumahnya paling pojok”
Ketika Bu Ani sedang menunjukkan rumahnya, tiba-tiba seorang laki-laki datang dari arah yang berlawanan dengan kami. Laki-laki itu bertubuh.. yaa tidak kurus dan tidak gemuk, warna kulitnya coklat, matanya sedikit sipit, orangnya tinggi dan yang pasti dia tipe orang yang misterius hal itu bisa dilihat dari tatapan matanya dan cara dia berjalan.
“Nahh itu neng, itu adiknya, dia pasti abis pulang kerja” (Bu Ani menunjuk orang yang kujelaskan ciri-cirinya)
Dan saat itu juga, dia sedang melihat ke arahku, menatapku dengan penuh misteri yang terlukis di wajahnya. Semakin aku melihatnya, orang itu cukup menakutkan, padahal dia itu bukan hantu. Sambil terus melangkah menuju rumahnya, tatapannya tidak berpaling dariku. Aku mencoba tersenyum, tanda ucapan salam dariku tapi dia tidak menunjukkan ekspresi apapun, hingga dia masuk ke dalam rumahnya, dia melihatku seperti dia akan mengincarku.
“Bu, tapi ko tadi ketika saya senyumin dia, dia seperti tanpa ekspresi ya bu?”
“Emang seperti itu neng dia, makanya warga sini jarang ada yang menegur sapa dia, karena dia orangnya cuek dan tatapannya itu membuat warga sini takut. Kita jadi kaya melihat kakaknya si pembunuh itu”
“Ohh seperti itu bu, saya juga takut bu tadi dilihat olehnya. Waahh udah sore ya bu, saya pamit pulang ya, tapi boleh kan bu jika saya sering-sering datang kesini?” (aku izin pamit untuk pulang karena hari sudah menunjukkan pukul 17.00)
“Boleh neng, boleh banget sering-sering dateng kesini.”
“Terima kasih banyak buu. Kalau gitu saya pamit pulang ya ibu-ibu”
Setelah selesai bercakap-cakap dengan ibu-ibu warga Kampung Mangga, aku kembali ke supermarket untuk mengisi perutku yang kini sudah keroncongan lagi dan duduk sebentar untuk beristirahat melepas lelah seharian. Kini aku akan makan nasi dengan lauknya, yaitu hhmm sepertinya ayam lagi, makan siang tadi sebenarnya ada berbagai macam lauk tapi mungkin sekarang sudah habis jadi hanya tersisa ayam goreng. Jadi, aku pilih nasi dengan ayam goreng lagi. Jam sudah menunjukkan pukul 18.00, aku akan sholat dulu di Musholla dekat supermarket ini dan kemudian baru aku akan pulang dengan naik bis transjakarta lagi.
Pukul 19.00 aku sudah duduk di bis transjakarta, untunglah aku mendapat tempat duduk, karena jika tidak itu akan sangat melelahkan harus berdiri dari Jakarta Utara hingga Jakarta Selatan, bisa gempor aku. Dalam perjalanan, aku terlelap tidur selama sekitar 1 jam, rasanya enak sekali. Mendekati mall Gandaria City, aku baru ingat, aku memarkir mobilku di basement mall itu. Seketika aku pun memberhentikan bis transjakarta yang kunaiki, untunglah tidak terlewat. Sesampainya di mall Gandaria City, aku langsung menuju basement untuk segera mengambil mobilku. Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku terus memikirkan kejadian yang nantinya akan kubuat berita ekslusif dan juga aku terbayang dengan tatapan misterius laki-laki yang ternyata adik pelaku itu.
Di hari berikutnya, aku kembali lagi ke Kampung Mangga tapi sebelum kesana aku ke kantor untuk absen karena jika tidak nanti aku tidak dapat gaji. Hari ini aku tidak lagi kesiangan seperti kemarin, karena aku sudah mengatur waktu yang dibutuhkan untuk pergi kesana dan hari ini aku berangkat dari rumah sekitar pukul 06.00 pagi. Sesampainya di kantor, aku langsung absen di ruangan divisi reporter, disana hanya terlihat beberapa orang saja belum ramai seperti biasanya dan diantara beberapa orang itu, ada Adam yang sudah datang lebih dulu dariku.
“Heii Jung udah dateng nih, ngga kesiangan lagi? Hahaha” (Adam menyapaku sekaligus meledekku)
“Hahaha ngga dongg, cape kesiangan terus. Jadi dikejar-kejar waktu” (aku membalasnya dengan senyum gembira)
“Nahh gitu dongg jangan kesiangan mulu, gue juga cape liatnya hahaha. Oiyaa gimana lu udah dapet berita untuk minggu ini belom?”
“Belomm” (aku menjawabnya singkat)
“Belom? Buruan anak-anak lain udah pada dapet udah ada yang lagi proses editing malah” (Adam terkejut karena hanya aku satu-satunya orang yang belum mendapatkan bahan berita)
“Iya belom! Yaudah sii kan masih hari selasa ini, makanya ni gue dateng pagi-pagi mau berburu berita, yaudah ahh gue mau pergi dulu”
“Sekarang lu mau kemana lagi?”
“Mau cari bahan berita Adam”
“Iya dimana Ijung?”
“Di daerah Jakarta Utara”
“Jakarta Utara? Lagi? Emang ada apaan disana?”
“Ada dehh mau tau aja.. masih rahasia hahaha” (kini giliranku meledek Adam)
“Iisshh ckckkc yaudah hati-hati”
“okay thank youuu”
Pukul 09.00 aku sudah sampai di Kampung Mangga, tidak seperti kemarin jam 09.00 aku masih dalam perjalanan dengan naik bis transjakarta, tapi hari ini jam 09.00 aku sudah sampai di Kampung Mangga dengan mengendarai mobilku. Karena hari ini weekdays dan terbilang masih pagi, kampung ini terlihat tidak terlalu ramai seperti kemarin sore. Hal itu dikarenakan anak-anak masuk sekolah, orang dewasa pergi bekerja, dan sisanya para ibu rumah tangga yang masih ada di dalam rumah sedang melakukan pekerjaan mereka sebagai seorang ibu dan juga istri. Sambil menunggu ibu-ibu warga kampung ini berkumpul setelah melakukan pekerjaan mereka di rumah, aku duduk di sebuah bale sederhana di depan gang kedua, yaitu gang dari rumah si adik pelaku itu, “oiyaa aku lupa menanyakan namanya pada Ibu Ani kemarin”. Baru saja aku duduk di bale, laki-laki yang sama seperti kemarin baru akan keluar dari rumahnya dan tiba-tiba saja dia kembali menatapku dengan misterius. Dia melangkahkan kakinya menuju ke arahku, entah dia ingin menghampiriku atau berjalan ke arah lain tapi yang pasti karena bale ini tepat berada di depan gang rumahnya, otomatis dia berjalan ke depan gang dan melihat ke arahku. Aku sedikit takut dengan tatapannya tapi aku mencoba bertahan untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Tinggal beberapa langkah lagi, laki-laki itu akan tepat berada di depanku, jantungku semakin berdetak tak menentu. Apa yang harus aku lakukan jika dia berniat jahat padaku, apalagi saat ini suasana sedang sepi, jika aku diculik pasti orang lain tidak ada yang menyadarinya. Namun, kenyataannya laki-laki itu berbelok arah, ke arah dimana waktu itu dia datang sehabis pulang bekerja. Aku menghela napas lega karena tidak terjadi apa-apa padaku.
Langit sebentar lagi akan berubah warna menjadi hitam yang menandakkan bahwa siang akan berganti malam dan sudah saatnya aku harus pulang menyiapkan tenaga untuk kugunakan lagi esok hari. Namun, lagi lagi saat aku berjalan menuju mobilku yang terparkir di lapangan Kampung Mangga, samping gang kedua. Laki-laki itu tepat hendak keluar gang, maka dengan sengaja aku menunggu dia untuk jalan terlebih dahulu. Aku tidak ingin dia berada dibelakangku, tapi entah kenapa dia berhenti di depan gang menatapku kembali seperti biasanya, tatapan misterius. Aku pun mencoba untuk tidak melihatnya, aku berjalan seakan tidak ada dia, tapi laki-laki itu malah berjalan di belakangku. Aku semakin takut tapi aku berusaha tenang, aku berjalan cepat tanpa diketahui olehnya kalau ‘aku takut padanya’. Karena jika dia tahu, mungkin aku bisa dikejar olehnya dan itu lebih menakutkan. Tepat di depan mobilku, aku berhenti dan membuka kunci mobil. Kemudian aku buru-buru masuk ke dalam mobil dan aku bersyukur, ternyata dia hanya melewatiku.
Cerahnya matahari pagi membuatku kembali bersemangat untuk memulai hari. Hari ini seperti biasa aku akan pergi ke kantor hanya untuk absen dan pergi lagi ke Kampung Mangga untuk mencari bahan berita. Hal ini aku lakukan selama seminggu demi mendapatkan berita yang menarik dan bagus. Berita ini harus aku selesaikan untuk menutupi deadlineku yang seharusnya minggu ini harus kuserahkan pada atasanku. Dan selama seminggu itu juga, entah kenapa laki-laki itu, yang bernama Zani selalu mengikuti dan menatapku dengan misterius penuh teka-teki yang ingin sekali aku pecahkan. Hingga tiba waktunya, yaitu hari terakhir aku berkunjung ke Kampung Mangga, aku bertemu dengannya dan lagi-lagi dia menatapku dari kejauhan walaupun dengan jarak yang tidak terlalu dekat tapi aku bisa merasakan tatapannya. Aku sungguh tidak peduli dengannya, aku berjalan tanpa mempedulikan perasaan takutku, tapi setelah aku berjalan beberapa langkah. Tiba-tiba dia sudah berada disampingku, aku sedikit kaget akan kehadirannya. Walaupun aku merasa takut, aku berusaha untuk bertanya “ada apa?”
“He..iii Zani a..da apa?” (dengan suara yang sedikit gugup aku memberanikan diri bertanya padanya)
Karena aku berdiri tepat di sampingnya aku bisa melihat raut wajahnya, wajah yang begitu pucat terlihat dari bibir dan matanya yang memutih. Dan aku berpikir, mungkin karena dia sedang sakit.
“Hallo.. Zani ada apa ya?” (aku kembali bertanya padanya karena ucapanku sebelumnya tidak dijawab olehnya)
Tanpa berkata-kata Zani menggandeng tanganku menuju rumahnya. Dan keadaan ini yang benar-benar membuatku takut. Hingga tiba di depan rumahnya, ketakutan itu semakin menjadi dan ketika itu juga aku mencium aroma tidak sedap.
“Kok bau sekali ya” (aku bergumam dalam hati sambil menutup hidungku)
Ketika aku masuk ke dalam pintu pagar rumahnya dan pintu rumah itu dibuka, aku terkejut ternyata banyak sekali orang-orang.
“Banyak sekali tamu di rumahmu Zani” (aku belum menyadari apapun)
Namun, ketika orang-orang itu mulai keluar rumah dengan tidak sabar, saling menabrak satu sama lain, aku benar-benar terkejut bahwa orang-orang itu adalah zombie.
“Zom..bie..” (aku berteriak kencang dan langsung berlari meninggalkan rumah itu)
“Ada apa dengan mereka? Kenapa mereka berubah menjadi zombie? Apa yang sebenarnya terjadi? Kemana warga lainnya?” (aku terus berbicara sambil berlari menjauhi mereka yang sedang mengejarku)
Aku berlari menuju mobilku yang seperti biasa aku parkirkan di lapangan. Ketika aku sudah sampai di dalam mobil, aku baru menyadari bahwa zombie-zombie itu adalah warga Kampung Mangga. Maka dengan cepat aku pergi meninggalkan kampung itu. Aku pun bersyukur zombie itu tidak mengejarku lagi karena ia takut akan sinar cahaya lampu mobilku.
“Waahhh ini seperti di dalam film aja dikejar-kejar zombie. Tapi pertanyaanku kapan ini semua terjadi? Siapa yang menyebabkan ini semua? Apa Zani? Dari raut wajahnya yang kulihat memang dia seperti zombie sangat pucat dan tidak berbicara apapun, aku juga tidak pernah melihat dia berbicara yang kulihat hanya tatapan dia yang misterius” (aku memikirkan hal itu sepanjang malam hingga aku hanya bisa tidur 2 jam saja)
Di hari berikutnya, aku kembali ke Kampung Mangga, keberanianku untuk mengunjungi kampung itu lagi yang sudah berisi zombie. Karena aku mengerti zombie-zombie itu takut pada sinar cahaya lampu dan matahari, jadi pasti mereka tidak bisa mendekatiku di pagi hari. Sesampainya disana, kampung itu terlihat berantakan dan sangat sepi tidak ada aktivitas apapun, namun aku tidak berani untuk masuk ke dalam rumah warga karena aku tahu mereka berada di dalam. Namun, ada salah satu warga yang kulihat dia berada di luar rumah dan terkena cahaya matahari seketika aku pun berpikir kalau dia bukanlah zombie. Sekali lagi aku memberanikan diriku untuk menyapanya.
“Haa..ii”
“Ehh..” (dia sangat terkejut dengan kehadiranku)
“Kamu pasti manusia kan bukan zombie? Karena kamu berada di luar rumah saat siang hari” (aku memastikan bahwa dia benar-benar bukan zombie)
“I..yaaa ada apa?” (dia sangat ketakutan dengan kehadiran orang lain)
“Kamu dulunya warga kampung ini?”
“I..y..aa benar”
“Kamu tau apa yang terjadi di kampung ini?”
“I..y..aa aku tau”
“Boleh kita bicara? Aku ingin tau tentang hal itu”
“Boo..leeh”
“Baiklah kita duduk di bale saja ya”
“Baa.iik”
“Kamu tau sejak kapan ini terjadi?”
“Sejakk malam itu, malam kamis lalu saat kakak tidak datang berkunjung ke kampung ini”
Pernah sekali aku tidak datang berkunjung ke kampung ini karena harus menyelesaikan tugasku, dan dimana sehari setelah itu aku berkunjung lagi untuk mengucapkan terima kasih karena telah menigizinkanku untuk mencari bahan berita di kampung ini, dan disaat itulah aku bertemu zombie-zombie itu.
“Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang menyebabkan ini semua?” (aku semakin penasaran dengan kelanjutan ceritanya)
“Malam itu, di rumah pak RT terdengar teriakan yang sangat keras yang membuat kami, semua warga terbangun dari tidur. Melihat apa yang terjadi di rumah pak RT dan ketika satu per satu warga datang melihat ke rumahnya, satu per satu warga itulah dengan cepatnya digigit dan berubah menjadi zombie. Saat itu aku hanya melihatnya dari atap rumahku yang berada di sebelah rumah pak RT aku melihat bagaimana keadaan saat itu sangatlah menyeramkan dan aku melihat ada seseorang yang menjadi pelaku utama yang telah mengigit pak RT dan menjadikannya zombie, orang itu… adalah Zani” (dengan rasa ketakutan anak perempuan yang bernama Hana menceritakan yang sebenarnya padaku)
“Lalu bagaimana bisa Zani menjadi zombie dan tidak seorang pun yang mengetahuinya?”
“Zani menjadi zombie akibat dari gigitan kakaknya yang dulu ditangkap polisi akibat kasus pembunuhan berantai yang menghebohkan itu. Sebenarnya kakak Zani adalah seorang manusia-zombie. Setengah dari darahnya zombie dan setengah dari darahnya lagi adalah manusia. Namun, jika dia menggigit seseorang maka orang itu akan menjadi zombie seutuhnya.”
“Jadi.. kasus pembunuhan berantai itu ditutup-tutupi karena itu kasus yang tidak biasa? Bukan pembunuhan seperti kasus lain, tapi.. zombie? Bagaimana bisa kamu tahu hal ini semua tapi tidak memberitahu siapapun?”
“Aku tahu ini semua dari perbincangan ayahku, seorang kepala polisi dengan dokter medis kepolisian yang sama-sama mengurus kasus itu dan sebenarnya dalam kasus itu kakak Zani tidak dipenjara melainkan dibunuh untuk menghindari jatuhnya korban menjadi zombie. Dan para korban juga sudah dibunuh saat polisi menemukannya di ruang rahasia kakaknya. Aku tidak memberitahukannya karena aku takut ayah akan membawaku ke luar negeri untuk memperkerjakanku disana”
Mendengar ceritanya, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku bingung, terkejut, tidak percaya akan apa yang telah terjadi disini seperti layaknya sedang syuting film zombie, aku merasakannya begitu nyata.
Dan tidak terasa hari sudah mulai gelap, aku harus bergegas pulang agar aku tidak bertemu dan tidak menjadi santapan para zombie yang akhirnya aku akan menjadi zombie selanjutnya. Karena hari sudah mulai gelap tidak ada cahaya matahri, mereka pun keluar dari tempat persembunyiannya. Aku merasa takut tapi aku tidak ingin berteriak karena jika aku mengeluarkan suara sedikit saja, mereka semua bisa mengetahui keberadaanku. Aku berusaha tenang dan berjalan dengan hati-hati. Tapi.. “krek!” aku menginjak sebuah ranting pohon, membuat para zombie itu menoleh ke asal suara dan lebih terkejutnya lagi tidak jauh dari aku berdiri, ada zombie yang membuatku berteriak ketakutan. Dan saat itulah para zombie mengetahui keberadaanku. Aku terus berlari menjauhi mereka, namun lari mereka juga tidak kalah cepat denganku. Aku mulai kelelahan tapi aku harus terus berlari, aku tidak ingin menjadi zombie seperti mereka. Aku terus berlari hingga aku tersudut oleh mereka yang telah menyudutkanku di sebuah gang. Aku sangat ketakutan, benar-benar sangat takut. Tidak jauh dari aku berdiri, ada sebuah pohon yang bisa aku naiki dan akhirnya tanpa berpikir panjang aku langsung menaiki pohon itu untuk menghindari kejaran dari para zombie. Namun, akibat tubuhku yang lebih berat daripada ranting pohon yang kunaiki, lama-kelamaan ranting itu turun yang menandakkan bahwa ranting itu akan segera patah. Tinggal menunggu hitungan detik aku akan jatuh dan menjadi santapan para zombie yang sudah menungguku di bawah. Aku hanya bisa pasrah, merasa ketakutan, dan tidak tau harus berbuat apa lagi di detik-detik terakhirku ini. Hingga tiba waktunya, ranting itu patah dan aku terjatuh dari pohon itu,
“Bukkk” (suara jatuh)
“Awww sakittt” (aku merintih kesakitan)
Ketika aku membuka mataku..
“Ini.. ini.. aku di rumah? Aku ngga jadi zombie?”
“Zombie zombie, lu kebanyakan mimpi Jung, cepet bangun!! Udah jam 05.00 nih ntar kita telat dapet berita ekslusif” (Adam menyadarkanku)
“Ehh ko ada lu disini? Ini di rumah gue ya?” (aku masih belum yakin dengan keadaan ini)
“Iyaaaaa Jung lu itu lagi di rumah lu sendiri. Gue ke rumah lu soalnya gue yakin pasti lu kesiangan lagi. Gue ga mau kita telat soalnya hari ini ada berita ekslusif!”
“Alhamdulilah…. Jadi itu hanya mimpiiiii” (aku bersyukur ternyata zombie itu hanya ada di dalam mimpiku)
“Yaudah cepet mandi rapi-rapi!” (Adam mengomeliku yang masih berada di tenpat tidur)
“Iya.. iyaa bawellll” (dengan perasaan senang aku menjawabnya)
Dalam perjalanan menuju kantor bersama dengan Adam, aku menceritakan mimpiku itu, tentang zombie.
“Dam lu tau ga gue semalem mimpi apa?”
“Zombie” (dengan singkat dan tepat Adam menjawabnya)
“Kok lu tau?”
“Iyalah orang lu mah kan suka banget nontn film zombie, sampe tidur aja mimpinya zombie. Kaya tadi pagi tuhh lu udah sebut-sebut zombie”
“Oiyaa ahaahaha abis seru siii tapi ga seru kalo gue jadi pemeran yang dikejar-kejar zombie kaya mimpi gue semalem, menakutkan!!”
“Makanya kalo mau tidur itu baca doa dulu, sholat malem dulu. Biar tidur lu tenang”
“Iya iya Adam. Oiya bukannya lu bukan kelompok gue lagi ya?”
“Hah bukan kelompok lu lagi?”
“Iya waktu itu kan gue bilang gapapa kalo lu mau pindah kelompok soalnya kita belom dapet bahan berita. Terus lu bilang lu mau pindah”
“Idihhh lu mimpi apaan lagi Jung??? Itu mimpi! Buktinya ini gue pagi-pagi ke rumah lu buat pergi kerja bareng, gimana sii”
“Ehh iya iya duhh mimpi gue aneh banget ya” (dengan suara malu dan perasaan senang bahwa itu.. hanyalah mimpi)
“Makanyaa kan gue bilangg…” (aku langsung memotong perkataan Adam)
“Iyaa doa dan sholat biar ngga mimpi buruk lagi”
Sejak mimpi itu, aku selalu berdoa dan sholat malam sebelum tidur meminta pada-Nya untuk diberikan mimpi indah. Mimpi indah untuk tetap terus bersama dengannya, seorang pria yang bernama Adam.