Read More >>"> Today, After Sunshine (Part 3. Sebuah Usaha Mewujudkan Mimpi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Today, After Sunshine
MENU
About Us  

Apa pun bisa terjadi dalam hidup ini. Termasuk hal-hal yang kita anggap nggak mungkin. Orang-orang yang seharusnya ada dan melindungi kita, pergi dengan caranya masing-masing. Kita berdua nyaris kehilangan arah. Tetapi, nyatanya, dengan segala upaya kita bisa bertahan

---

Lampu-lampu taman dan gedung-gedung sudah menyala dari tadi. Pukul tujuh malam, hanya kurang beberapa detik saja. Orang-orang yang bekerja seharian terlihat pulang dengan wajah lelah. Orang-orang yang kebagian jadwal kerja shift malam mempergegas langkah sambil tidak henti-henti memperhatikan jam di pergelangan tangan menghindari keterlambatan. Orang-orang yang sekedar mencari makan malam, atau ke luar dengan alasan-alasan lain juga, bersisian dengan Unna, ketika gadis itu menapaki anak tangga dari dormitory tempat ia tinggal menuju Panasera. Salah satu tempat makan favorit di Batamindo Industrial Park, selain Pujasera. Dengan bentuk bangunan terbuka yang sama dengan Pujasera, juga pilihan menu makanan dan minuman. Bedanya mungkin karena di Panasera menyediakan pasar basah. 

Unna makin mempergegas langkah. Usai menuruni anak tangga, ia berbelok ke kiri melewati sisi kanan Panasera menuju mangkalnya angkutan umum. Sempat ia ditabrak seorang gadis berjibab putih dalam balutan baju seragam perusahaan warna biru dengan bawahan celana jins. Gadis itu berjalan dengan mata tak berkedip menatap layar smartphone yang ada di tangannya. Gadis itu minta maaf, Unna tersenyum mengangguk.

"Unna," suara Eva melengking memanggil ketika gadis itu baru saja melewati minimarket. Sopir angkutan umum yang berdiri tidak jauh dari Eva pun memanggilnya, Unna menggeleng.

"Eva, mau kemana?" Ini sudah pemandangan yang sangat biasa sebenarnya. Tetapi, tetap saja Unna melakukan hal yang sama tiap kali berhadapan dengan gadis itu di luar jam kerja. Unna memperhatikan Eva dari atas hingga bawah, terlihat sangat cantik dalam balutan blus kuning tanpa lengan. Body padatnya yang berisi benar-benar diperlihatkan dengan rok jins sempit di atas lutut. Make up gadis itu tidak terlalu mencolok. Tetapi, rambut hitam lebatnya yang diwarnai pirang akan menjadi sorotan. Hal yang tidak akan terlihat pada jam kerja karena dikungkung pakaian menyerupai astronot untuk menjaga kebersihan ruang produksi.

"Biasa, ke Nagoya." Balas Eva seraya menarik ujung roknya ke bawah.

"Seharian kerja, apa nggak capek?"

"Pertanyaanmu kebalik, Unna. " Eva tersenyum. Memperlihatkan giginya yang diikat dengan kawat. "Aku ke Nagoya nyari hiburan. Sedangkan kamu, siang menghadapi si monster Bertha, malam malah kuliah."

"Sebentar lagi, semuanya akan selesai." Balas Unna.

"Baru jalan empat semester kamu bilang sebentar? Aduh, Unna ...." Eva geleng-geleng kepala. "Cara kamu menghibur diri memang luar biasa."

Unna mengulas senyum seraya melirik jam di pergelangan tangan ketika angkutan umum tujuan Batam Centre berhenti. Sopir angkutan umum itu berteriak. Beberapa orang naik. "Udah, ah, aku berangkat duluan. Ntar aku telat. Dosenku killer tahu."

"Killer mana sama si monster?"

Mirah tergelak. Sudah jelas monster yang dimaksud Eva adalah Bertha. "Sama killernya."

"Tetapi, seenggaknya kita sudah punya alasan untuk semangat datang bekerja."

"Siapa?" Unna menatap Eva penuh selidik dengan dahi mengkerut. Gerakan bola mata gadis di depannya itu patut dicurigai. Dan dengarlah apa yang dikatakannya.

"Siapa lagi kalau bukan Tatsuya San. Cowok tampan bermata tajam."

"Yakin Tatsuya San?"

"Siapa lagi?"

"Si gondrong Evan?"

"Unna ...." Teriak Eva. Unna keburu melesat menaiki angkutan umum sebelum temannya itu mencakarnya.

Begitu angkutan yang Unna tumpangi berjalan,  Eva menaiki angkutan umum lain untuk kemudian turun di Batamindo Plaza, dan lanjut naik taksi menuju Nagoya. Salah satu kota di Batam yang bukan saja dikenal sebagai pusat bisnis dan pusat hiburan, tetapi juga dengan kehidupan malamnya. Mayoritas pub, bar, dan nightclub berada di Nagoya. Dan jarak antara pub dengan bar yang lain bisa dicapai dengan hanya berjalan kaki. Saking dekatnya.

 

***

 

"Buru-buru amat. Ngejar siapa, sih?"

Unna terkesiap begitu mendapati suara yang sangat dekat ditelinganya. Tadi ia sendirian, dari depan kampus berjalan di sepanjang lorong. Dan tiba-tiba saja Mirah sudah bisa mengimbangi langkahnya.

"Ya ampun, Mirah. Kebiasaan bikin kaget." Unna menaruh tangan kanannya tepat di dada. Menenangkan debar jantung yang tidak siap menerima kejutan.

"Makanya, jangan ngelamun kalau lagi jalan." Balas gadis asal Padang yang bekerja sebagai staf administrasi di perusahaan elektronik di Kawasan Kabil itu. Unna melihat ke sekeliling, tidak semua lorong lampunya menyala. Hanya lorong-lorong utama dan beberapa kelas yang dipakai untuk kuliah malam. "Nggak usah takut, kampus kita nggak ada hantunya." Lanjut Mirah seperti bisa membaca apa yang dipikirkan Unna.

"Bukan takut," Unna kembali mengayun langkah. Mirah mengikuti.

"Jadi?"

"Ngejar tugas. Belum kelar."

"Owh, kirain tadi ngejar Ken. Soalnya itu cowok masih di parkiran."

"Apaan, sih." Unna menimpukkan beberapa buku yang ada di tangannya pada gadis pemilik gigi kelinci itu sebelum berbelok ke kanan memasuki kelas. Wajahnya seketika berubah warna strobery. Beruntung Mirah tidak melihat.

Mirah mengejar, dan mengambil posisi duduk di kursi sebelah kanan Unna ketika gadis itu menghempaskan tubuhnya di jejeran kursi nomor dua dari depan dan sisi kanan. "Ini kalau mau nyontek." Ujar mirah seraya menyodorkan buku tugas.

"Duh, baiknya." Unna menarik sudut bibir dan menatap sendu. Lantas, tangan kirinya menyentuh pipi Mirah. Tetapi, gadis itu keburu menepis dan mencondongkan tubuhnya ke belakang.

"Nggak usah berlebihan. Ntar kita dikirain lesbian lagi."

Unna tertawa terkekeh.

"Duh, cewek ketawanya gitu."

Tawa Unna masih belum mereda ketika dia berkata, "apa masih perlu aku berpura-pura sweet di depan kamu?"

Mirah menggeleng pelan. "Orang gila nggak perlu berpura-pura waras di depan orang gila."

Dan tawa itu semakin pecah. Terhenti ketika seorang lelaki dalam balutan kemeja kotak-kotak warna terang dengan kancing yang terbuka sehingga memperlihatkan daleman kaos putih bergambar Iwan Fals dengan sablon timbul, masuk kelas. Lelaki itu bernama Ken Rizlan. Tinggi, putih, dan biasanya memiliki bulu tipis di sekitar rahang. Tetapi, hari ini rahang itu terlihat sangat bersih.

Menyadari kedatangan Ken, Unna dan Mirah mengambil posisi duduk dengan anggun, sebagaimana layaknya perempuan bertingkah.

Ken menundukan kepala untuk bisa melihat apa yang dilakukan Unna. "Tugas?"

Unna mengangkat wajah, dan mengangguk seraya menyelipkan rambut di sela daun telinga. Menyadari rambut itu kembali jatuh, Unna memutuskan untuk mengikat sehingga memperlihatkan lehernya yang jenjang.

Ken menelan jakun sebelum kembali berkata, "tumben ngerjain di kampus? Nyontek lagi."

"Lagi M." Mirah yang menjawab.

Unna menatap Mirah dengan tajam. "Apaan, sih, Mirah."

"Lagi malas maksudnya." Jelas Mirah diikuti gelak tipis.

Hmm, Unna harus mengakui bahwa ia kembali terjebak. "Tiga hari kemarin, kerja dua belas jam terus. Masuk jam tujuh pagi, pulang jam tujuh malam. Nggak sempat ngerjain tugas." Ujar Unna meluruskan.

Ken meraih tas ransel yang tadi menggantung di pundak kanannya. Membuka resluting, dan mengeluarkan dua gantungan kunci dengan mainan patung ikan berkepala singa. "Oleh-oleh dari Singapore." Ujar Ken.

"Pantesan dua hari ini nggak masuk kampus. Ngapain ke Singapore?" Ujar Mirah begitu  menerima pemberian dari Ken. Ia memperhatikan gantungan kunci itu dengan seksama.

"Nganterin mama check up."

"Ke rumah sakit, kok sempat-sempatnya beliin ini segala." Unna menimpali.

Untuk berobat atau pun mengambil rujukan, selain rumah sakit di sini, kebanyakan masyarakat Batam memang lebih memilih rumah sakit di Singapore dan Malaysia. Bukan Jakarta, ataupun rumah sakit di kota Indonesia lainnya. Mengingat jarak yang begitu dekat, dari pelabuhan Batam Centre saja hanya membutuhkan waktu satu jam ke Singapore.

"Itu tandanya Ken selalu mengingatmu, Na. Dalam keadaan apa pun. Kalaupun aku kebagian, itu hanya sebagai alasan."

Ken tersenyum. Unna kembali menatap Mirah dengan tajam. Berharap temannya itu akan berhenti menggoda, sebaliknya justru semakin gencar.

"Tapi masa iya hadiah untuk Unna ini doang." Kembali Mirah menambahkan.

"Miraaahhh ...." Balas Unna geram. Yang dipelototin justru tertawa nyaris terpingkal. "Abaikan Mirah, Ken. Gimana kabar mama?"

"Yang kemarin itu check up terakhir."

"Benarkah?"

Ken mengangguk.

"Syukurlah." Balas Unna. Ia sangat senang melihat perkembangan kesehatan orang tua temannya itu. Ken teman kampus yang sangat baik. Begitu penilain Unna. Sama seperti teman lelaki lainnya di kampus. Hanya perhatian Ken saja yang agak berbeda. Melihat perhatian dan segala yang ada pada Ken, sulit sekali untuk Unna mempercayai kabar miring yang ia dengar.

Ken berasal dari keluarga baik-baik, dengan ekonomi keluarga yang tidak bisa dikatakan biasa. Orang tuanya adalah salah satu pemilik showroom mobil terbesar di Batam dan daerah Kepulauan Riau lainnya. Begitu kabar yang Unna dengar. Ken tidak pernah bercerita. Termasuk dengan berita tentang kenakalan lelaki itu. Ken pernah kuliah di universitas swasta terfavorit di Jakarta, tapi di drop out pada semester kedua. Kabarnya karena ia seorang pecandu.

Tetapi, sejak pertama kali mengenal Ken, di kampus ini, sungguh kenyataan itu sangat terbantahkan. Sebagai muslim, Ken tidak pernah melalaikan sholat wajib. Badannya yang sangat terbentuk, sangat sulit dipercaya kalau ia seorang pecandu.

"Itu dahulu," begitu komentar Ayu, teman kampusnya selain Mirah. "Setelah keluar dari rehabilitasi, Ken kuliah di sini."

Apa pun itu, Unna bersyukur. Ken yang dikenalnya adalah Ken yang sekarang. Berprestasi, dan memiliki pribadi yang sangat membanggakan.

"Tetapi, kenapa ia ngambil kuliah kelas malam?" Tanya Unna waktu itu. Rasa penasaran itu tidak bisa dibungkamnya dengan indah. Dan wajar bila orang-orang juga menaruh curiga kalau Unna juga memiliki rasa yang tidak biasa pada Ken.

Ayu menggendikkan bahu. "Kabarnya pagi ia membantu bisnis papanya. Dan malam biar sibuk kuliah dan nggak terpengaruh lagi dengan kehidupan malam di pulau Batam yang membahayakan."

Masuk akal juga. Sekalipun alasan Ken berbeda dengan kebanyakan mahasiswa yang kuliah malam. Mirah, misalnya. Ia mengambil kuliah kelas malam karena siangnya bekerja sebagai accounting. Pendidikan yang sebelumnya D3, dirasa masih kurang sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan S1.

Berbeda dengan Mirah, Unna sangat paham bahwa hidup memang tidak semudah bermimpi. Banyak hal yang ia korbankan untuk menyelesaikan pendidikan hingga SMU. Salah satunya adalah Nala, adiknya, yang memilih melepas seragam putih biru yang belum genap setahun dikenakannya. Saat itu, nenek yang selama ini menjaga mereka, pergi untuk selamanya. Dari kecil bakat menyanyi Nala memang sudah terlihat. Beberapa kali ia ikut orkes Pak Osman dan bernyanyi di acara kawinan dan sunatan. Namun, sejak itu, Nala menjadi penyanyi tetap orkes Pak Osman. Waktu itu Nala berusia 12 tahun. Ibu meninggalkan rumah, katanya bekerja menjadi TKW ke Hongkong. Tetapi, sejak kepergiannya pagi itu, ibu tak lagi pernah kembali atau pun berkirim kabar. Lima tahun berikutnya, bapak juga pergi. Kali ini bekerja ke Jakarta. Dan kejadiannya setelah pagi itu persis sama. Bapak tidak lagi pernah kembali ataupun berkirim kabar.

Setahun berikutnya menyusul nenek. Kali ini tujuan kepergian beliau sangat jelas. Unna dan Nala melepas hingga ke tempat peristirahatan terakhir. Mereka paham, memelihara harapan agar nenek bisa kembali bersama mereka sangatlah mustahil. Itu lah kenapa Nala akhirnya berhenti bersekolah dan menjadi penyanyi orkes Pak Osman. Demi kelangsungan hidup mereka dan sekolah Unna.

Bagi Nala, mimpi Unna adalah mimpinya juga. Ia mengalah. Karena ia juga punya mimpi lain yang ia yakini akan bisa terwujud sekalipun tidak dengan ijazah.

Begitu Unna mendapatknan ijazah SMU, ia mengambil kesempatan recruitment salah satu perusahaan elektronika di Batam yang bekerjasama dengan dinas tenaga kerja Kediri, Jawa Timur. Dua tahun di Batam, kontrak kerjanya habis. Unna enggan pulang bukan saja karena kembali mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang baru, tetapi juga karena ada mimpi yang baru ditapaki. Satu tahun setelah menginjakan kaki di Batam, Unna memutuskan untuk kuliah di kampus yang menyediakan kelas untuk karyawan. Ketika ia masuk kerja pagi misalnya, Unna masuk kuliah pada malam hari. Sebaliknya ketika ia kerja shift malam, maka ia mengambil jam kuliah siang. Sekali lagi, bukan hal yang mudah. Tetapi, ia sudah berhasil mengatasi kesulitan itu hingga sekarang semester empat.

Perjalanan itu bukan saja terjal, namun perjuangannya juga masih panjang. Membagi waktu, juga membagi penghasilan untuk biaya hidup dan biaya kuliah.

"Apa pun bisa terjadi dalam hidup ini. Termasuk hal-hal yang kita anggap nggak mungkin. Orang-orang yang seharusnya ada dan melindungi kita, pergi dengan caranya masing-masing. Kita berdua nyaris kehilangan arah. Tetapi, nyatanya, dengan segala upaya kita bisa bertahan. Mbak bisa tamat SMU, sekalipun harus ada yang dikorbankan. Sekolahmu!" Begitu nasehat Unna berusaha membujuk Nala kembali untuk bersekolah.

Gadis manis yang sekalipun berusia dua tahun di bawah Unna namun memiliki tinggi dan postur tubuh yang menyamai kakaknya itu menggeleng. "Aku punya mimpi, Mbak. Dan mimpi itu bisa diwujudkan walaupun aku nggak punya ijazah."

Unna menyeka buliran bening yang membanjir di wajah Nala. Keharuan itu menyeruak. Ini adalah malam terakhir mereka di Kediri. Kota kecil yang menyisakan banyak kenangan dan luka. Besok Unna berangkat ke Batam, kota yang tidak pernah ia tapaki sebelumnya. Sedangkan Nala menuju Surabaya.

"Apa pun mimpi, pasti bisa diraih, sekalipun terlambat. Sekalipun tidak semudah yang orang lain dapat. Tenaga yang lebih, usaha yang lebih, dan kesabaran yang lebih, itu bersumber dari-Nya yang patut untuk kita syukuri." Lanjut Unna ketika malam itu mereka berkemas.

Setahun bekerja di Batam, Unna mencoba membuat list mimpi. Mengingat sistem kerja di sini yang hampir semua perusahaan menerapkan sistem kerja kontrak. Kalau pun ada perusahaan yang menjadikan karyawan tetap, itu pun untuk posisi-posisi tertentu. Misalnya saja posisi manager, supervisor, dan posisi kritikal lainnya.  Dengan modal ijazah SMU, rasanya mustahil Unna mampu meraih jabatan seperti itu. Kenyataan lain yang memperteguh niat gadis itu adalah bahwa ketika finish kontrak dan hendak melamar di perusahaan lain, batasan usia kembali akan menjadi masalah. Untuk operator perempuan di perusahaan elektronik biasanya menerapkan usia maksimal dua puluh delapan tahun. Setelah itu,  perusahaan kembali merekrut dedek-dedek gemes fresh yang baru tamat sekolah. Begitulah! Bagi yang lengah, pada akhirnya akan kalah. Mereka kembali ke kampung halaman di usia beranjak kepala tiga tanpa membawa apa-apa. Bagi yang  memiliki perencanaan yang matang ke depan, mungkin akan bisa survive. Tetapi, bagaimana dengan kebanyakan mereka yang lalai dan terpengaruh dengan kebahagiaan sementara?

Eva, misalnya. Ketika dulu meneguhkan hati mendaftar kuliah, Unna sempat mengajak temannya itu. Tetapi, sepertinya gadis itu sudah terpengaruh gaya hidup para borjuis dan kehidupan malam di Batam. Gonta-ganti handphone. Fashion. Tempat tongkrongannya yang dahulu hanya taman seribu janji di Muka Kuning, sekarang berubah diskotik.  Teman lelaki Eva juga sering berganti. Bila dahulu hanya sopir angkutan umum dan sopir taksi, sekarang sudah sering diantar lelaki tua. Tak jarang juga apek-apek Singapore.

Dan sebagai teman, Unna sudah cukup cerewet untuk mengingatkan.

Ada kenyataan lain di pulau Batam yang seolah membenarkan pernyataan yang terlanjur berkembang di permukaan bumi bahwa kaum Hawa jauh lebih banyak dari pada kaum Adam.

Tujuh puluh persen karyawan di perusahaan elektronik adalah perempuan. Jadi, tidak heran kalau kaum Hawa banyak yang jomblo. Dan lelaki yang berwajah minimalis, bisa sedikit pongah.

 

***

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Aranka
3546      1240     6     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
Well The Glass Slippers Don't Fit
1140      481     1     
Fantasy
Born to the lower class of the society, Alya wants to try her luck to marry Prince Ashton, the descendant of Cinderella and her prince charming. Everything clicks perfectly. But there is one problem. The glass slippers don't fit!
In the Name of Love
630      374     1     
Short Story
Kita saling mencintai dan kita terjebak akan lingkaran cinta menyakitkan. Semua yang kita lakukan tentu saja atas nama cinta
Dramatisasi Kata Kembali
634      312     0     
Short Story
Alvin menemukan dirinya masuk dalam sebuah permainan penuh pertanyaan. Seorang wanita yang tak pernah ia kenal menemuinya di sebuah pagi dingin yang menjemukan. \"Ada dalang di balik permainan ini,\" pikirnya.
Slap Me!
1247      571     2     
Fantasy
Kejadian dua belas tahun yang lalu benar-benar merenggut semuanya dari Clara. Ia kehilangan keluarga, kasih sayang, bahkan ia kehilangan ke-normalan hidupnya. Ya, semenjak kejadian itu ia jadi bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ia bisa melihat hantu. Orang-orang mengganggapnya cewek gila. Padahal Clara hanya berbeda! Satu-satunya cara agar hantu-hantu itu menghila...
Sweetest Thing
1580      857     0     
Romance
Adinda Anandari Hanindito "Dinda, kamu seperti es krim. Manis tapi dingin" R-
Mawar Putih
1372      711     3     
Short Story
Dia seseorang yang ku kenal. Yang membuatku mengerti arti cinta. Dia yang membuat detak jantung ini terus berdebar ketika bersama dia. Dia adalah pangeran masa kecil ku.
Mimpi Membawaku Kembali Bersamamu
556      386     4     
Short Story
Aku akan menceritakan tentang kisahku yang bertemu dengan seorang lelaki melalui mimpi dan lelaki itu membuatku jatuh cinta padanya. Kuharap cerita ini tidak membosankan.
When I\'m With You (I Have Fun)
586      327     0     
Short Story
They said first impression is the key of a success relationship, but maybe sometimes it\'s not. That\'s what Miles felt upon discovering a hidden cafe far from her city, along with a grumpy man she met there.
November Night
329      229     3     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.