CHAPTER 7: REAL FORBIDDEN MOST WANTED
Bluring yang meliputi pandangannya perlahan memudar, dia putar posisi pandangannya menjadi tegak.
"Good moring, Demiro! I think now is morning, I dont know," Frau menyapanya.
Benak Demiro bertanya-tanya soal penampilan Frau dan Aguer yang -dia perhatikan- bajunya berlumuran darah, bahkan tercium baunya. Segera Demiro sadari di mana dia berada, dalam sekotak ruang yang hanya difasilitasi satu toilet duduk di balik jeruji besi, sedangkan jeruji di seberangnya tidak didiami seorang pun.
"Look at yourself," kata Aguer, membuat Demiro memperhatikan diri sendiri yang -ternyata- berpenampilan sama kacaunya dengan kedua temannya.
"Maybe you need a breakfast now," kata Aguer sambil menawari sekotak sthyrofoam makanan kepada Demiro. "I dont used to eat a rice but shit I am hungry. This is yours."
"And drink," tambah Frau sambil melempar segelas kemasan air mineral kepaa Demiro, diterima dengan tangkapan.
"What happed with us?" tanya Demiro.
"I think everyone thinking that we were dead," jawab Frau.
"Some trick played us, I see," kata Aguer.
Demiro mencocol paksa segel gelas air mineral dengan jari-jari tangan kanannya, lalu meneguk airnya sambil tumpeh-tumpeh. Demiro sedang berpikir.
"Fuquein Arex! He didnt kill us immediately," simpul Demiro. "I dont know why but he be able to make a mistake by this way."
Demiro menaikkan jersey putihnya sampai sebatas leher. Tidak ada satu luka sayatan pun dia miliki pada badannya. Hanya darah, entah darah siapa, aromanya darah sungguhan.
"As you see. Real blood but not yours, or mine," kata Frau.
"Or mine," Aguer menyambung.
Selain itu ada sebuah benda elektronik kecil menempel di bagian dada kiri Demiro, lalu jari telunjuk kanannya menekan benda seukuran koin dua ratus rupiah itu. "We are in emergency now," kata Demiro kepada dua temannya.
Setelahnya, mereka saling dengar derap langkah seseorang, bukan, sepertinya beberapa orang yang mendekat.
"Are you hear that?" tanya Frau.
Akhirnya, seperti yang mereka bertiga lihat.
"Good afternoon! Have you tasted good food allowances?" kata Arex yang dikawal empat orang bersenjata.
"Bangsat!" Demiro bangkit, menghampiri Arex yang sok santai sambil senyum-senyum.
"Fuqein garbage you have given," balas Aguer yang juga ikut berdiri dan menghampiri Arex, lalu diikuti Frau.
"Apa untungnya lu biarin kita masih hidup? Lu mau kita nunggu apa?" Demiro mulai tensi.
"Hmhm, sabar! Enggak usah ngegas! Justru gue susah kalau lu langsung gue bikin mampus. Sebenernya enggak perlu juga mereka berdua gue biarin hidup, lu aja yang gue perlu sekarang."
"Mau lu apa?"
"Hotel Athena di Nongsa. Kalau ada kunjungan dinas perhotelan, eksternal audit, investor, bakal susah kalau enggak ada bukti serah terima kepemilikan." Lalu Arex sodorkan sebuah dokumen dalam map kepada Demiro, juga penanya. Di belakang Arex, empat pengawalnya segera mengarahkan ujung senjata kepada Frau dan Aguer. Tentu Frau dan Aguer mendadak tegang.
"Kebetulan gue lagi sibuk, jadi gue masih bisa kasih kesempatan kalian hidup lebih lama. Mungkin sampai seminggu lagi," lalu menatap ke Frau dan Aguer, "Tell your leader to drop his signature in this letter, if you need a life for a week remains, or a month, a year."
"Demiro, do you have a win solution for us?" Aguer memastikan.
"I did. And I do," sambil melakukan apa yang Arex minta.
Arex terlihat puas dengan urusan itu. "Thanks!" lalu menutup map surat saat empat pengawalnya menurunkan todongan senjata. "Jangan khawatir! Gue akan siapin skenario buat hari terakhir kalian, yang enggak akan nyawa kalian lupain."
*
Sofi seorang diri di kamarnya sedang bercermin, lalu dikejutkan dering yang sangat berisik dan mengganggu dari smartphone-nya yang diletakkan di atas kabin rias, bahkan bergetar sampai bergerak seperti kerasukan nyawa. Sofi beri perhatian smartphone-nya yang menjalankan pemberitahuan darurat. Sofi buka rincian pemberitahuan itu. Dia ketahui profil dan lokasi Demiro berada saat itu, membuatnya sedikit membuka mulut karena terkejut dan mulai memahami suatu hal.
"Demiro!?" gumamnya pelan.
Sofi ingat sekaligus memikirkan suatu hal, sepertinya ada yang ingin dia lakukan.
*
Sebuah mobil SUV putih garapan Jepang melintas menuju sebuah jalan distrik yang cukup gelap dan sepi. Intensitas cahaya dari bulan sepertiga malam itu membuat dua papan nama di ujung jalan yang bertulisan 'Pasar Wisata & Kuliner' dan "Jln Perm GPI Cendana, Tiban, Sekupang' masih cukup jelas terbaca.
Menyusuri jalan itu, lalu mengambil rute sampai menuju sebuah lokasi, entah rumah entah bekas kantor yang berpagar tembok dengan gerbang teralis besi, yang segera dibuka oleh seseorang dari dalam saat mengetahui kedatangan mobil itu, maka mobil itu masuk supaya diparkirkan pada posisi yang tepat. Dua orang keluar dari dalam mobil itu, ternyata Sofi dan Raw Slam. Didampingi beberapa orang yang sepertinya menjaga tempat itu, Sofi dan Raw Slam -yang membawa tas panjang, besar, warna hitam dan terlihat cukup berat- bergegas menuju lalu menyusuri suatu koridor yang tidak terlalu panjang dan sepi. Ada beberapa sel kosong di sana kecuali satu, -akhirnya- mereka temukan.
"Demiro!" panggil Sofi, mengetahu dia bersama Frau dan Aguer sedang menyantap makanan pada sekotak styrofoam, mengambil perhatian mereka bertiga.
Sampai lupa minum Demiro -begitu juga Frau dan Aguer- mengetahui kehadiran Sofi bersama Raw Slam.
"Syukurlah kalian baik-baik aja!" Sofi lega mengetahuinya.
"Sofi!?" Demiro bangkit lalu menghampiri, diikuti Frau dan Aguer. Demiro senyum. "Syukurlah! Berjalan lancar."
"Dayum. Are you our saviour?" kata Frau sambil mood-nya membaik.
"We will escape together," kata Sofi.
"And bring your blood vengeance," tambah Raw Slaw sambil mengeluarkan apa yang ada dalam tas beratnya, sebuah alat yang terlihat sepuluh kali lebih berat.
"Ow!? Chainsaw, seriously?" Aguer tahu itu.
"Stay back!" Raw Slam nyalakan gergaji mesinnya.
*
Apa yang Demiro jelaskan sepertinya cukup masuk akal keterkaitannya dengan situasi di ballroom. Tentu Arex tidak habis pikir, lalu berpaling ke Sofi dengan tatapan geram. Segera terdengar desing tembakan saat Arex merasa lengan kirinya terluka.
"Maafin aku, Rex," Sofi segera beranjak, menuju samping Demiro yang menggenggam pistolnya masih berasap.
"Bangsat! Masih lontenya Demiro lu ternyata," geram Arex, justru ucapannya itu membuat semua pegawai hotel saling menodongkan pistol kepadanya, termasuk Pras dan Mumu.
Bukan hanya Pras dan Mumu, bahkan Arex sendiri tidak percaya kenapa itu bisa terjadi -kepadanya.
"Lu pikir segampang apa bisa gantiin gue?" tanya Demiro kepada Arex.
"Apa-apaan yang lu lakuin ke mereka?" Arex balik tanya.
"Mau lu punya kewenangan setara gue kek, ambil alih semua bisnis gue, orang-orang gue, lu enggak akan bisa ambil satu hal yang paling berharga, yang selalu gue dan mereka jalin."
Arex hanya terdiam.
"Loyalitas, yang enggak akan bisa lu punya."
"You only still fuquein foolish traitor," tambah Frau.
"Pras, Mumu! Gue kasih kalian berdua kesempatan. Putusin segera!" kata Demiro.
Ucapan itu membuat Pras dan Mumu saling menatap.
"Pras! Gue udah nyelamatin lu waktu hampir ditangkap polisi. Gue muliain lu, angkat martabat lu, selalu lindungin lu," Arex bermaksud memberati keputisan Pras, lalu berpaling ke Mumu, "Mumu! Gue nyelamatin nyawa lu waktu dibegal dan hampir diperkosa. Gue latih lu bisa kelahi dan pakai senjata. Gue selalu lindungin nyawa lu. Sekarang kalaian berdua mau hianatin gue?"
Pras dan Mumu saling beranjak, sebagaimana Sofi yang bergabung dengan Demiro, meninggalkan Arex seorang diri tanpa memiliki seorang pun di sisinya.
"Terimakasih, Arex! Maafin aku!" kata Mumu.
"Makasih, Rex! Maafin gue," kata Pras.
*
Kuning terangnya cahaya -dari jajaran lampu kota- yang mewarnai Jembatan tipe cable stayed penghubung Pulau Batam dengan Pulau Tonton, sewarna dengan awan di langit malam itu mau pun yang terrefleksikan pada permukaan sungai yang di bawahnya.Tidak bisanya Jembatan Barelang I tengah malam itu sedang dilintasi iring-iringan tiga mobil yang berhenti dan mengambil ruang parkir di tepi kiri, sekitar pertengahan jembatan ke arah Tonton, di saat masih dilintasi lalu-lalang kendaraan lain dengan jarang. Sepertinya belasan orang yang keluar dari mobil sedang berurusan dengan seorang yang mereka sekap -dengan tangan terikat dan kepala tertutup pembungkus warna hitam- untuk digiring keluar pembatas ke tepi jembatan secara tidak aman.
Seseorang membuka pembungkus kepala sekalian penyumbat mulut dari korban tersekap yang berlutut itu, rupanya Arex, segera dua sisi kepalanya ditodong dengan shootgun oleh dua pria yang memaksanya supaya tidak berontak. Arex mulai paham di mana dia berada sekarang, benaknya terguncang saat menilai situasinya saat itu.
"Demiro, please! Lu bisa manfaatin gue buat apa aja asal gue enggak ngalamin ini! Please, Demiro kasih gue kesempatan! Kasih gue kesempatan kayak Pras sama Mumu!" Arex meratap minta iba.
Senyum kecut Demiro mengejeknya, merasa geli juga senang.
"Please, Demiro! Gue janji, gue sumpah! Gue akan tebus kesalahan gue! Tolong, kasihani gue! Gue enggak mau kayak gini," Arex mulai menangis, tapi tanpa air mata.
"Gue lihat. Mau gue ampuni atau enggak, lu enggak bisa ngubah sifat lu sendiri. Hmh, gue terkesan, lu udah ngelakuin hal besar yang enggak akan pernah gue lakuin seumur hidup. Okay, kalau lu beneran mau nebus dosa, gue setuju."
Demiro mengeluarkan pistol -yang pernah dia pakai untuk melukai lengan kiri Arex di ballroom- dari balik blazernya, dia benar-benar akan menggunakannya lagi.
"Enggak! Demiro, please! Maafin gue! Demiro, please! Gue bisa nebus kesalahan gue, enggak pakai cara ini, please! Demiro..." satu tembakan ke dahi yang membuat dirinya terhempas ke belakang, sehingga Arex terjun bebas sebelum tercebur sungai yang berombak dan mengalir deras. Seandainya tubuhnya nanti habis menjadi rebutan karena dimakan buaya atau hiu, nyawanya sudah habis lebih dulu oleh satu kaliber peluru yang bersarang di otaknya.
[Bersambung ke CHAPTER 9: PRETTY ONE]
@CandraSenja ehm, ternyata mengganggu dan tidak match ya. Makasih, tanggapannya. Aku perbaiki
Comment on chapter BLURB