Ibram kembali pukul 11 malam dengan perasaan cemas. Pasalnya, selepas Ibram meninggalkan Moira di mal pria itu tak bisa menghubunginya. Bahkan, pesannya pun tidak dibalas. Tetapi, Ibram sadar diri adalah wajar bila Moira bersikap demikian. Memangnya siapa yang bakal tidak marah jika diperlakukan begitu?
Selepas membersihkan tubuh di kamarnya yang dulu, Ibram bergegas ke kamar Moira.
Ibram membuka pelan pintu kamar Moira. Dahinya mengernyit kala gelap ditangkap matanya. Tak biasanya Moira mematikan lampu, gadis itu phobia gelap. Namun, tak ada tanda-tanda ketakutan yang Ibram tangkap. Kamar ini sunyi, bahkan dengkuran Moira pun tak terdengar−jika gadis itu sudah tidur.
Pelan sekali Ibram melangkahkan kakinya, takut menganggu singa yang tidur itu. Singkatnya, Ibram tak mau ada keributan dulu malam ini tubuhnya begitu lelah setelah dipaksa lembur hari ini. Ralat. Pria itu ‘kan memang selalu demikian, selalu meninggalkan masalah seolah tak pernah terjadi apapun.
Sebelum berbaring, Ibram memutuskan menyalakan lampu tidur yang berada di atas nakas dekat dengan Moira. Hati-hati sekali pria itu meraba takut menganggu tidur pulas istrinya. Rasanya kurang afdol jika tidak melihat wajah Moira terlebih dulu.
Kadang takdir selucu itu. Dulu wajah itu yang mati-matian ingin ia singkirkan, tetapi lihatlah sekarang, wajah itu harus menjadi pengantar tidurnya.
Ibram tersenyum kecil saat cahaya temaram menyinari wajah damai Moira. Istrinya itu sedang tidur terlentang, membuat Ibram tertarik mendekat untuk bertemu dengan bibir Moira. Sejengkal lagi untuk menunaikan hasrat Ibram secara tiba-tiba kedua mata Moira terbuka dengan lebar. Hal itu sontak membuat Ibram menyentakkan tubuhnya hingga terduduk dengan perasaan kaget bukan main. Kejadian tersebut mirip adegan dalam film horror di mana tubuh orang yang meninggal tiba-tiba terbangun kembali.
“Kamu belum tidur?” tanya Ibram setengah memekik dengan dada kembang kempis. “Kamu mengagetkanku.” Kali ini suara Ibram sudah kembali normal.
“Enggak seberapa dibandingkan dengan kagetnya ditinggalin begitu aja,” balas Moira sambil membangunkan tubuhnya.
Asik rebut, nih. Padahal mata sudah ngantuk berat!
“Moira, aku juga tidak akan meninggalkanmu kalau keadaan tidak mendesak.” Ibram berusaha menjelaskan meski telinga Moira sama sekali tidak mendengar kesungguhan dari prianya itu. Suaranya datar seperti biasa.
“Moira memang selalu dijadikan pilihan, bukan tujuan,” gumam Moira dengan suara lemah.
“Bukan begitu,” desah Ibram. “Kamu harus mengerti pekerjaanku.”
Tak ada jawaban dari Moira. Otaknya sedang bekerja. Dalam keadaan seperti ini, siapa yang seharusnya mengerti siapa?
“Kalau kamu berpikir lembur ini hanya aku dan Tina, kamu salah,” terang Ibram menebak kemarahan Moira selain karena ditinggalkannya begitu saja. “Aku bekerja tim, perlu aku tunjukkan?!”
Ibram sedang berusaha mengeluarkan ponsel dari saku baju tidurnya. Ia membuka whatsapp dan menunjukkan status milik Arif yang kebetulan sekali mendokumentasikan disela-sela kesibukan mereka tadi dengan mengambil gambar saat makan malam.
Ibram menggeser tubuhnya merapat pada Moira dan menujukkan ponselnya di depan wajah Moira yang sedang menunduk. Moira buru-buru menyingkirkan ponsel itu dari wajahnya karena merasa terganggu akibat cahaya yang membuat matanya seketika menyipit dan perih.
Terdengar Ibram mendecak. “Aku harus tunjukan apalagi supaya kamu percaya dan tidak marah lagi?!”
“Moira bukan marah, cuman perih disodorin hape di depan muka deket banget gitu,” protes Moira.
“Oh, kirain,” jawab Ibram sedikit lega. “Jadi, kamu sudah tidak marah lagi?” tanya Ibram hati-hati seraya menelengkan wajahnya untuk melihat Moira.
“Mau marah atau enggak juga gak ada bedanya,” ucap Moira sambil menghembuskan napas kasar. “Tetep aja Moira yang ngalah.”
“Istri yang baik,” ucap Ibram penuh kemenangan. Sejurus kemudian pria itu menarik wajah Moira untuk mengecup pipinya gemas.
“Ih, lepasin!”
Moira mendorong wajah Ibram dengan sekuat tenaga. Tiba-tiba ia merasa tidak suka diperlakukan demikian, terlebih aroma tubuh Ibram kini direspon tidak baik oleh hidungnya. Rasanya aroma itu tetap sama, tetapi mengapa sekarang membuatnya tidak suka.
“Berlaga tidak mau, padahal mau,” gerutu Ibram.
Moira tidak mau menanggapi dan memilih mengubah topik. “Mas Ibram belum mau tidur?”
“Aku tidak mau tidur kalau mimpinya bukan kamu.”
Seketika hidung Moira mengernyit. “Geli banget dengernya,” ucap Moira yang disambut tawa oleh Ibram.
“Aku juga geli ngucapinnya,” aku Ibram sambil menggelengkan kepalanya.
“Bohong,” tuduh Moira. “Bukannya udah biasa ngegombalin cewek?”
“Hobimu selain cemburu dan menggoda, juga suuzan ya?” sarkas Ibram tidak suka atas prasangka Moira.
“Bukan suuzan, Moira ‘kan cuma tanya.”
Ibram membaringkan tubuhnya yang sedari tadi sudah ingin tidur pulas kala menyentuh kasur. “Kalau tanya bukan begitu, belajar 5w+1h tidak waktu sekolah?”
“Mas Ibram mau tidur?” Bukannya menjawab Moira malah balik bertanya dan mengalihkan pembicaraan lagi.
“Menurutmu?”
“Mas Ibram jangan tidur deket Moira,” pinta Moira.
Mata Ibram yang hampir terlelap kemudian kembali terbuka lebar. “Maksudnya?”
“Um….” Moira ragu untuk mengucapkannya sebab takut menyinggung prianya itu. “Hidung Moira lagi korslet, tiba-tiba enggak suka sama bau Mas Ibram.”
“Bau?” pekik Ibram tak percaya. Kemudian hidungnya mengendus-endus tubuhnya, terlebih ketiaknya kanan kiri. Tetapi, tak menemukan bau yang mengganggu, yang tercium malah bau sabun cherry yang Moira belikan. “Cuma bau sabun yang biasa.”
Moira menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Gimana ya jelasinnya. Moira juga enggak tahu kenapa, pokoknya gak nyaman aja.”
“Terus?”
“Mas Ibram tidur di tempat lain,” ucap Moira tanpa rasa bersalah.
Ibram menghirup napas dalam-dalam. Keanehan Moira yang cukup membuat syarafnya menegang, tetapi ia harus control sebab matanya sudah tidak kuat lagi menahan kantuk.
Tanpa banyak komentar Ibram beranjak dari petiduran. Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu tiba-tiba suara Moira kembali mengudara.
“Mas Ibram mau ke mana?” tanya Moira dengan nada tinggi.
“Ke kamarku,” jawab Ibram malas.
“Emang ini bukan kamar Mas Ibram juga?!” Moira kali ini lebih pantas disebut marah.
Ribut lagi!
“Maksudku kamarku yang lain, sayang,” jawab Ibram gemas. “Katanya suruh tidur di tempat lain.”
“Tapi bukan berarti keluar kamar ini, ‘kan?”
“Terus aku harus tidur di mana, sayangku?”
“Lantai.” Moira menyingkirkan selimut yang ada ditubuhnya kemudian turun dan menggelar selimut lengkap dengan bantal yang ditaruh di atasnya. “Ayo cepet tidur sini, takut kesiangan subuhan.”
Ibram mengelus dadanya. Tak bisa marah, sebab dirinya berpikir mungkin Moira sengaja melakukan ini untuk menghukumnya karena kesalahan yang dilakukannya tadi siang.
Matanya sudah berat tak bisa menahan kantuk. Saat kepalanya menyentuh bantal, matanya sudah terpejam sempurna dan mimpi segera menyambutnya.
Tidur nyenyak itu yang terasa baru sekejap tiba-tiba harus terganggu saat tubuhnya merasakan sebuah pelukan dari belakang. Senyum terbit di wajah Ibram. Yang rumit di dunia ini selain matematika, ternyata wanita.
***
Fara memperhatikan Moira dengan dahi mengernyit.
Tak biasanya Moira seperti itu, uring-uringan kala melihat ponselnya yang tak lama akan ditaruhnya kembali ke atas meja. Semangkuk bakso yang dihadapannya malah hanya diaduk-aduk tanpa minat untuk melahapnya.
“Lo kenapa sih?” akhirnya Fara memilih bertanya setelah ditahan sedari tadi.
Pandangan Moira kini beralih pada Fara dengan tatapan tak bersahabat, menyeramkan. Fara seketika menelan ludahnya, ternyata yang dihadapinya ini bukan Moira tapi Kayako Saeki!
“Mas Ibram gak bales WA Moira,” kesal Moira kemudian dengan mata yang tak seseram tadi. Kini rautnya berubah seperti anak kecil yang tidak dibelikan es krim oleh ibunya.
Wajah takut Fara kini berganti malas dengan memutar kedua bola matanya. Pasalnya hal sepele seperti itu bagaimana bisa membuat Moira uring-uringan.
“Jam kerja begini jangan ngarep balesan,” ucap Fara mengingatkan bahwa saat ini baru pukul 10 yang mana jam sibuk ketika bekerja.
“Emangnya gak bisa apa bales bentaran doang gak nyampe 5 detik juga,” gerutu Moira.
“Penting banget emang WA lo?” tanya Fara sambil menyedot es jeruknya.
“Enggak sih,” aku Moira lemah. “Moira rindu banget suami.”
Mendengar kalimat terakhir Moira, tiba-tiba Fara tersedak hingga membuatnya terbatuk. Moira hanya menanggapinya dengan kerutan di dahi. Emangnya ada yang salah?
“Lo ngomong kayak LDR-an Indonesia-Zimbabwe aja. Gila!”
“Ah, Fara enggak bakal ngerti!” jengkel Moira. “Makanya nikah biar ngerasain rindu suami tuh kayak gimana.”
“Ogah banget gue nikah cuma buat disiksa rindu!” gerutu Fara bersamaan dengan bahunya yang bergidik.
Moira kembali mengecek ponselnya dan pesannya tetap ceklis dua berwarna putih. Logikanya memang berteriak untuk mengerti bahwa ini adalah jam kerja jadi wajar jika prianya tidak membalas, bahkan tidak membuka pesannya. Namun, hatinya terlalu egois untuk mengalah pada logika.
Entah ini perasaan ganjil apa, Moira tidak mengerti. Tiba-tiba rasa rindu, sebal, dan gelisah secara bersamaan dirasakannya ketika memikirkan Ibram.
***
“Aku suka aneh sama cewek yang suka nangis sehabis nonton film,” komentar Ibram saat Moira menangisi film India yang baru saja selesai ditontonnya di televisi. “Padahal itu hanya fiksi, rekaan manusia.”
“Artinya perasaan cewek itu lembut, Mas.” Moira masih berusaha mengusap air matanya yang terus keluar dengan tisu. Baginya akhir cerita dari film tersebut tidak adil untuk pemeran perempuannya.
“Perasaan cowok kasar, begitu?”
“Kalau Mas Ibram diposisi itu, Mas Ibram bakal pilih siapa?” Moira malah bertanya soal film tadi.
“Bakal pilih yang pasti jadi jodohku,” jawab Ibram langsung seraya merangkul Moira.
Moira yang barusan bersedih tiba-tiba tersenyum semringah dengan pipi yang memerah.
“Kalau kamu jadi cewek yang ditinggalin itu, kamu bakal gimana? Egois tetep memperjuangkan atau mengalah seperti perannya?” Ibram balik bertanya.
Harusnya tidak sulit Moira untuk menjawab sebab dirinya pernah mengalami dalam posisi berjuang atau merekalan. Tetapi, jika dalam posisi pemeran film itu dalam kondisi yang berbeda dengan dirinya tentu menjadi pilihan yang sulit.
“Bakal kayak cewek itu,” putusnya. “Moira pernah baca, katanya kalau beneran cinta berarti bisa merelakan orang dicintai buat pergi.”
“Andai kata pria itu adalah aku, kamu bakal begitu?”
“Enggaklah,” jawab Moira langsung. “Mana bisa Mas Ibram tanpa Moira,” ucapnya percaya diri yang mengundang Ibram untuk tertawa.
“Kadang kepolosanmu itu berlebihan,” komentar Ibram. “Kalau begitu sekarang aku bisa tidur di kasur denganmu, ya?!”
Moira meringis, ia jadi tidak enak. Pasalnya sudah dua hari Ibram tidur di lantai. Tetapi, rasa tidak nyaman itu terus menghantui Moira. Ia tak bisa menahannya, sungguh.
“Maaf,” ucap Moira dengan air muka bersalah. “Moira enggak tahu kenapa akhir-akhir ini ngerasa gak nyaman deket-deket sama Mas Ibram.”
Alis Ibram bertaut. “Kenapa?” tanyanya dengan nada menuntut.
Moira menggeleng pelan. “Enggak tahu. Malah suka ngerasa sebel tiba-tiba kalau liat muka Mas Ibram.”
“Sekarang juga sebel?”
“Sedikit,” ujar Moira sambil meringis.
Ibram menatap Moira dalam. Menyelisik, keanehan Moira yang bahkan dirinya sendiri tidak mengerti. Akhir-akhir ini Moira memang sedikit sensitive juga pada dirinya. Tetapi, tak terlalu Ibram ambil hati mungkin itu efek dari banyaknya tugas kuliah dan rumah yang harus Moira hadapi.
Namun, saat mendengar penuturan Moira barusan rasanya ada yang ganjil.
“Hari ini kamu sudah makan berapa kali?” Ibram bertanya memastikan dugaannya.
Moira mengernyitkan dahi, heran tiba-tiba Ibram bertanya demikian. Tetapi kemudian ia berpikir mengingat-ingat berapa porsi nasi yang ia makan hari ini. “Gak makan,” gumam Moira yang sejujurnya pada diri sini.
“Gak makan?!” kaget Ibram. Saat makan malam Moira memang tidak ikut makan, tetapi pikirnya mungkin ia sudah makan lebih dulu di luar.
“I-iya,” jawab Moira takut. “Abisnya Moira mual tiap mau makan. Efek banyak tugas kali.”
“Jangan-jangan….” Ibram menggantungkan ucapannya takut dugaannya salah.
“Apa, Mas?” Moira tiba-tiba merasa penasaran. Matanya melebar menunggu Ibram membuka mulut.
“Tidak jadi,” ucap Ibram yang malah membuat Moira kian penasaran.
Kening Moira yang berkerut diusap pelan oleh ibu jari Ibram. Detik berikutnya Moira memeluk tubuh prianya dengan kepala yang bersandar pada bahu lebarnya. Aroma tubuh Ibram yang tak disukainya coba ditahan.
“Mas Ibram, kalau Moira ninggalin kayak cewek itu, Mas Ibram bakal gimana?” Moira kembali berandai-andai.
“Ikhlas,” jawab Ibram tanpa berpikir. “Sejauh apapun meninggalkan, kalau Allah berkehendak pasti akan kembali dipertemukan. Sekuat apapun memperjuangkan, kalau Allah sudah berkata dia bukan jodoh maka tak akan dipersatukan. Sesimpel itu.”
Moira tersenyum tak bisa berkata-kata. Memang hidup sesimpel itu jika bergantung kepada Allah.
“Tapi aku harap kamu tidak akan pernah meninggalkanku.” Ibram mempererat rangkulannya pada Moira.
“Insya Allah,” bisik Moira pelan.
Bukan ragu tetapi itulah yang memang harus diucapkan olehnya, sebab hidup sepenuhnya dalam genggaman Allah. Kita tidak bisa menjadi ahli nujum soal takdir.
“Aku jadi takut,” gumam Ibram.
“Kenapa?”
“Bukan apa-apa.”
***
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan