Katakanlah kebenaran walau itu pahit. Begitulah bunyi pesan sakral yang pernah disampaikan Rasulullah. Barangkali ucapan Ibram yang menegaskan bahwa ia tak memiliki perasaan kepada Moira sebagaimana ia memiliki perasaan pada Anindira merupakan salah satu caranya untuk implementasikan pesan tersebut.
Bagaimana perasaan Moira? Jangan tanyakan, telinga dan hatinya seperti dicambuk.
Apa responsnya? Tidak ada.
Ya. Tidak ada. Saat ini Moira hanya terdiam sambil memandang telaga madu itu dengan tatapan nanar. Pilu rasanya mengetahui bahwa inginkan perasaannya terbalas hanya sebuah angan-angan.
Rasanya lebih menyakitkan sekarang, jika dulu Ibram dengan terang-terangan memilih Anindira daripada dirinya karena mungkin belum mengenalnya, tetapi kini setelah semua yang mereka lewati bahkan dengan lantang Ibram memilihnya, malah ucapkan bahwa masih tidak memiliki perasaaan. Apakah ada suami jahat selain Ibram di dunia ini?
Jikalau boleh, Moira ingin menarik kerah kemeja batik yang tengah dikenakan prianya, lantangkan ‘kenapa’ dengan keras. Belum cukupkah selama ini Moira korbankan perasaannya?
Tetapi tidak mungkin ia lakukan, sebab ia ingin cintanya sebuah ketulusan bukan tuntutan.
Namun, detik berikutnya Ibram merengkuh wajah Moira. “Perasaanku padamu berbeda dengan perasaanku pada Anindira, sayang.” Moira mengerjapkan matanya berkali-kali, belum paham. “Aku tidak tahu ini perasaan apa, tetapi yang pasti mampu hancurkan perisai yang kubuat untukmu.”
“Ma-maksudnya?” ucap Moira berbisik. Perkataan Ibram begitu terdengar semu.
“Kamu berhasil singkirkan Anindira dari hatiku, haruskah kuberi penghargaan?” Ibram balas berbisik seraya memiringkan wajahnya dan membunuh jarak di antara mereka.
Moira bertindak impulsif, gadis itu memundurkan kepalanya dan menyingkirkan kedua tangan Ibram dari wajahnya. “Coba ngomong yang jelas! Moira enggak ngerti!” kilahnya. Sejujurnya dalam hati ia senang bukan main, bahkan saat ini perutnya terasa mulas. Tetapi, wanita tetaplah wanita, yang butuh kepastian dengan tersurat.
Ibram berdecak sambil menatap Moira malas. “Tidak mau.”
Moira merengut, Ibram yang menyebalkan telah kembali lagi. Apa yang tadi itu suaminya kerasukan?! Astaghfirullah nyebut Moira!
“Jawab dulu pertanyaanku.” Ibram melipatkan tangannya di depan dada. “Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini? Terlepas dari wasiat Ayah.”
Pertanyaan itu lagi!
“Um….” Moira mengetuk-ngetuk satu jari telunjuknya di ujung bibir, sedang matanya tegah menatap ke atas seolah tengah berpikir. Sejurus kemudian ia menjentikan jarinya dan berkata, “Kita dipertemukan karena memiliki satu tujuan.”
Terdengar Ibram menghembuskan napasnya perlahan. “Aku ingin mendengar alasanmu sendiri, bukan alasan yang kamu kutip dari manapun.”
Moira meringis, tak sangka Ibram dapat mengetahui itu. Kalimat itu memang Moira kutip dari salah satu quotes yang ditemuinya di Instagram.
Moira berdehem, air mukanya berubah serius sedang yang ditatapnya sudah serius sejak tadi. “Moira nerima Mas Ibram karena Mas Ibram berbakti sama orangtua.”
“Dari mana kamu tahu aku berbakti?” tanya Ibram dengan sebelah alis terangkat.
Seingatnya mereka tidak saling mengenal. Ah, kecuali orangtua Ibram yang menceritakannya. Tapi, agaknya Ibram masih jauh dikatakan demikian, terdengar berlebihan.
“Kalau Mas Ibram enggak berbakti, mana mungkin bakal terima perjodohan ini?!”
“Ah, itu….” Ibram mengusap hidungnya sekilas. Moira tidak tahu saja alasan dibaliknya. “Bukan karena ketampananku?” ucap Ibram mencoba berseloroh tetapi dengan wajah datarnya sehingga Moira tak temukan jejak jenaka pada air mukanya.
“Moira bukan perempuan yang kayak gitu,” terang Moira yang sama sekali tidak tahu itu hanya sebuah candaan. “Pinta Moira sama Allah cuma ingin dapet jodoh yang baik.”
“Tapi aku tidak baik.”
“Mari kita sama-sama jadi baik,” jawab Moira dengan senyum merekah hiasi wajahnya.
“Harusnya jodohmu bukan aku,” gumam Ibram. “Rasanya kamu terlalu baik untukku.”
“Moira harus jadi pembunuh dulu biar pantes jadi jodoh Mas Ibram?” ucap Moira satire.
Ibram mendengus. “Tentu tidak, yang ada aku tidak mau berjodoh denganmu!” ucapnya tajam.
Moira memutar bola matanya dengan malas. Tidak habis pikir akan jalan pikiran pria di depannya. Diberi istri baik protes, diberi yang jahat protes. Lantas maunya seperti apa?
“Kamu tahu surah An-Nur ayat 26?” tanya Ibram yang sontak mendapat anggukan Moira. “Aku tidak baik untukmu.”
“Dalam kondisi ini maka ayat itu berarti perintah, Mas Ibram,” desah Moira. “Ck, lagian Moira enggak sebaik yang Mas Ibram pikirkan.”
Moira memalingkah wajah dan menekuknya. Setelah otaknya berhasil mencerna percakapan barusan, mengapa tersimpulkan seolah-olah Ibram tak ingin mereka berjodoh. Menyesalkah Ibram?
Ibram yang sadar akan perubahan air muka Moira buru-buru memalingkan wajah Moira kembali hingga kini mereka saling bertemu pandang. “Aku tidak bermaksud seolah aku tidak inginkan kamu jadi istriku,” terang Ibram yang tahu isi kepala Moira. “Mari jalankan perintah itu.”
Moira mengulum bibirnya menahan senyum. Tiba-tiba ribuan kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya. Dalam hati ia bersyukur Ibram tengah memegangi kedua pipinya sehingga senyumnya jadi tertahan. Ia tidak mau terlihat berlebihan, sedang pria dihadapannya pun tak tersenyum sama sekali. Wajah datar itu rasanya haram untuk tersenyum barang sebentar saja.
Setidaknya begitulah pikiran Moira, padahal ia tak mengetahui begitu bahagianya Ibram telah jujur dengan perasaannya sendiri. Perasaan yang selama ini menyiksanya.
“Kamu tahu pahala yang bisa diraih di malam hari dengan mudah?” tanya Ibram kemudian dengan antusias.
“Qiyamul lail.” Moira berkata dengan setengah ragu.
Ibram menggeleng yang sontak membuat Moira kerutkan dahinya. “Selain itu?” Lagi, Ibram bertanya.
Moira menarik ujung bibirnya sedang otaknya dipaksa bekerja. Detik berikutnya ia menggeleng, pasalnya tidak satupun terbersit dibenaknya selain itu.
Ibram mendekatkan bibirnya pada telinga Moira. Hembusan napasnya yang hangat menerpa kulit Moira, membuat buluk kuduk gadis itu meremang. Jarak Ibram begitu dekat hingga membuat napas Moira tidak berfungsi dengan normal. Agaknya Moira kekurangan oksigen.
“Bergaul dengan istri,” bisik Ibram dengan parau.
Napas Moira sempurna terhenti, jantungnya berdetak dengan kencang seperti meronta keluar dari peradabannya. Moira menelan ludah kala wajah Ibram kini berpindah tepat di hadapannya, menyisakan jarak 3 centi.
Sejurus kemudian senyum Moira terbit hingga wajah datar itu tertular untuk ikut tersenyum. “Mari tunaikan,” ucap Moira sambil mengalungkan tangannya pada leher Ibram.
Entah Moira dapatkan keberanian dari mana. Ibram telah sukses buat perubahan besar pada Moira.
Sebelum Moira berubah pikiran, Ibram buru-buru membopongnya dengan langkah kaki seribu. Berat badan Moira bukan apa-apa baginya.
***
Malam sudah merangkak menjadi subuh. Hawa dingin menusuk tulang kian terasa, di tambah suhu AC yang rendah membuat dingin menjadi dua kali lipat.
Moira mengeratkan selimutnya, lalu kepalanya bergerak mencari perlindungan tapi tak menemukannya. Kesadarannya mulai didapatkan, sebelah matanya terbuka memastikan ke mana tubuh yang semalam memeluknya erat. Dengan kepala berat Moira membangunkan tubuhnya sambil memegangi kepala sebelah kanan.
Mata Moira yang masih setengah terbuka sontak melebar tatkala memandang objek yang dicarinya. “Mas Ibram?” tanyanya parau.
“Siapa lagi,” jawab Ibram sambil mengancingkan bajunya.
Kepala Moira kini terarah pada jam weker di atas nakas. Pukul 4 subuh. Moira sampai menyipitkan matanya takut-takut ia salah lihat. Tetapi betul, sekarang baru memasuki pukul 4. Namun, mengapa suaminya sudah siap-sap untuk shalat? Bahkan, biasanya Moira yang membangunkan, itu pun ketika adzan sudah berhenti berkumandang. Pria itu sulit untuk dibangunkan.
Moira menyingkirkan selimutnya dan turun dari petiduran untuk mendekat pada Ibram. “Kok tumben?” tanyanya terheran. “Subuhan masih lama, Mas.”
“Aku mau subuhan di masjid.”
Ucapan barusan membuat Moira tersadar 100 persen. Matanya kini berbinar, tak percaya apa yang barusan ia dengar. “Alhamdulillah.” Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Moira.
“Coba laksanakan perintah,” ujar Ibram sambil menarik ujung bibirnya. “Aku berangkat, kamu tetap shalat di rumah.” Ibram memerintah yang langsung dapat anggukan dari Moira.
Selepas Ibram ke luar dari kamar, Moira berjingkrak-jingkrak seperti baru mendapatkan sebuah undian umrah. Rasanya ia begitu bahagia. Ternyata yang membanggakan bukan harta, tetapi mendapatkan suami sesuai anjuran agama.
Meski dikata Ibram jauh dari itu, tetapi setidaknya pria itu sedang berusaha.
***
Bukan Ibram namanya kalau tidak bisa menjungkir balikan perasaan Moira. Agaknya kurang afdol jika tidak membuat Moira kesal setelah membuatnya bahagia.
Seperti sekarang, Ibram yang asyik dengan ponselnya mengabaikan Moira.
Moira memindahkan saluran tv terus-menerus, bukan karena tak menemukan tontonan yang asyik, tetapi hanya sedang menyalurkan kekesalannya. Kasarnya, gadis itu sedang mencari perhatian Ibram.
Ibram yang sedang asyik olahraga ibu jari pun akhirnya teralihkan. Dilihatnya wajah masam Moira, lalu sudut bibirnya tertarik. Ibram memindahkan posisinya dengan tiba-tiba membuat Moira sedikit mengaduh. Pria itu menyenderkan kepalanya di atas dada Moira.
“Lihat,” tunjuk Ibram seraya mengarahkan ponselnya ke wajah Moira. “Aku sedang bicara soal pekerjaan.”
Ada rasa bersalah pada Moira setelah melihatnya. Namun, tatkala matanya menangkap dengan siapa Ibram membicarakan pekerjaannya, membuat hatinya kembali panas. Ralat. Terbakar!
“Ini ‘kan bukan hari kerja,” ketus Moira seraya mengalihkan pandangannya lagi pada televisi, dan mulai memindah-mindahkan lagi salurannya.
“Harusnya aku lembur,” terang Ibram masih seraya menatap ponselnya yang kini berada di atas dadanya. “Tapi gara-gara semalam kamu membuatku lembur, jadi hari ini aku tidak kerja.”
Pipi Moira memerah kala mendengarnya. Haruskah pria itu menjelaskannya?
“Emang siapa suruh semalem lembur!” hardik Moira yang sebetulnya menyembunyikan perasaan malunya.
“Bukannya kamu yang ingin?” tanya Ibram sambil mengadahkan kepalanya agar dapat melihat wajah Moira.
Tak mau Ibram melihat wajah Moira yang kini tengah tersipu, buru-buru gadis itu menutup wajah Ibram hingga kepala pria itu berada di posisi semula. “Mas Ibram yang minta!” bentak Moira. “Udah ah jangan bahas itu! Kebiasaan suka mengalihkan pembicaraan. Kenapa harus sama Tante itu ngomongin kerjaannya?!”
Bibir Ibram berkedut, tawa hampir lolos dari mulutnya. Hanya Moira yang berani memanggil Tina dengan sebutan Tante. “Dia atasanku,” terang Ibram.
Moira mendengus. Kemudian pikirannya melayang ke acara pernikahan Arif dulu saat dengan manja wanita tua itu menggelayuti lengan suaminya. Lalu, membayangkan bagaimana mereka berdua di tempat kerja. Belum lagi, waktu itu teman-temannya meledek bahwa itu selingkuhan Ibram di kantor. Rasa kesal Moira kini berkali-kali lipat.
“Mas Ibram, Moira pengin ke luar rumah,” ujar Moira sejurus kemudian. Entah ke mana, pokoknya Moira ingin keluar berharap dapat menjernihkan pikirannya.
“Tinggal keluar lewat pintu depan,” jawab Ibram enteng.
Kesal mendapatkan jawaban demikian, Moira menyingkirkan tubuh Ibram sekuat tenaga dari tubuhnya. Tubuh pria itu cukup berat hingga peluh keluar dari pori-pori Moira.
“Eits, jangan ngambekan dong!” Ibram menahan tangan Moira yang baru saja hendak pergi. “Aku bercanda.”
“Enggak lucu!” ketus Moira sambil berusaha menyingkirkan tangan Ibram.
“Ayo kita kita nonton,” ajak Ibram dengan suara tenang. “Kayaknya selama pernikahan kita belum pernah menonton ke bioskop.”
Moira yang tadi marah kini berubah 360 derajat. Memutar tubuhnya dan menarik tangan Ibram. “Ayo!” ucapnya penuh antusias. Sementara Ibram hanya menyeringai sambil menggeleng-gelengkan kepala. Moira memang anak kecil yang terjebak dalam tubuh orang dewasa.
***
“Kamu yang pesen tiketnya deh.” Jelas itu bukan permintaan tapi pernyataan. Atau dengan kata lain itu adalah perintah dari Ibram untuk Moira.
“Ya udah tunggu di sini,” kata Moira setengah hati meninggalkan Ibram di kursi sendirian. Bukan tidak tega, tetapi ia sedikit kesal karena harus mengantre di depan kasir sepanjang itu.
Hari libur memang menjadi waktu yang pas untuk menghabiskan waktu di bioskop. Pasangan muda-mudi yang mendominasi. Moira jadi iri melihat di depannya yang mengantri dengan pasangan, sementara dirinya malah dibiarkan sendiri. Mungkin kalau orang-orang tahu, pasti mereka bakal mencap dirinya perempuan bodoh karena mau-maunya disuruh begitu.
Ah, tapi Moira dan Ibram ‘kan suam istri, tentu cap itu tidak berlaku baginya. Suami istri adalah partner. Toh ini kali pertama Ibram menyuruhnya.
Dengan perasaan bosan Moira menunggu hampir 15 menit. Sungguh pengalaman pertama baginya mengantre selama ini. Ketika gilirannya, dengan cepat Moira memesan 2 tiket dengan kursi sweet box, 1 popcorn ukuran medium, dan 2 gelas air soda.
Susah payah Moira memegang makanannya, kepalanya celingukan mencari keberadaan Ibram bermaksud meminta bantuan. Moira kebingungan mencari kursi yang tadi diduduki suaminya, tetapi nihil. Kursi di sana terisi oleh orang-orang asing bagi Moira.
Kemudian Moira putuskan untuk meraih ponselnya yang berada dalam slingbag. Susah payah Moira keluarkan itu karena bersamaaan harus mengapit makanannya.
Moira melihat pesan whatsapp suaminya yang pop up di layar ponsel.
Moira maaf, atasanku minta aku harus ke kantor. Urgent nih, kamu nonton sendiri ya.
Ingin rasanya Moira membanting ponselnya, tetapi tidak mungkin dilakukan. Setan tidak boleh menguasainya. Tapi, tubunya tidak bisa untuk munafik, menerima begitu saja pesan Ibram. Tubuhnya sampai bergetar, pandangannya mulai kabur.
Bukan lagi kesal yang menguasainya kini, tetapi sakit hati yang mendalam. Tidak lihatkah usaha Moira tadi? Setelah berhasil berusaha, kini ia malah disodorkan pada kenyataan bahwa suaminya lebih mementingkan perintah atasannya si Tante itu!
Moira menyentakan kakinya lalu membuang tiket dan makanannya ke tong sampah. Dengan langkah kaki seribu Moira menjauhi bioskop dengan sebelah tangan menutupi wajah. Air matanya tidak boleh ada seorangpun yang melihat.
Ibram memang selalu sukses buatnya bahagia dan sedih dalam satu waktu.
***
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan