Tubuh Moira sulit untuk digerakan, seperti ada yang menjerat tubuhnya. Sekuat tenaga ia coba lepaskan, tetapi nihil hingga kesadaran ia dapatkan. Matanya mengerjap beberapa kali. Objek yang pertama kali ia tangkap adalah hidung mancung seseorang yang sudah tak asing baginya.
Moira mengerang pelan tatkala menyingkirkan tangan dan kaki orang yang melilit tubuhnya. Ibram jadikan dirinya guling. Kini pandangan Moira beralih pada jam weker yang berada di atas nakas. Pukul setengah 3 dini hari.
Agaknya tubuh gadis itu seperti sudah diset tak ubahnya alarm, bangun diwaktu yang tepat untuk melesatkan anak panah ke langit. Dengan sedikit limbung gadis itu paksakan tubuhnya untuk turun dari petiduran dan segera tunaikan tahajud.
Dalam sujud panjang terakhir dua rakaatnya, Moira dengan sungguh dan hati lurus ungkapkan harapannya.
Illahi Rabbi.
Hamba-Mu ini akan panjatkan pinta.
Lebih dari sebuah garam maupun sandal jepit yang diidam.
Illahi Rabbi.
Syukurku hanya setetes tirta, sedang nikmatmu seluas segara seolah tak peduli banyaknya kesilapan yang sudah tak terkira.
Illahi Rabbi.
Lapangkanlah hati ini untuk terima selaga ketentuan-Mu.
Sempitkanlah prasangka buruk yang membelenggu kalbu.
Illahi Rabbi.
Lembutkanlah hati mereka yang berselimut dengki.
Lunakanlah hati ini yang sering kali merasa basau tak terima kicau mereka yang tak bisa kuhalau.
Illahi Rabbi.
Berkahilah pernikahan kami sebagaimana Engkau berkahi pernikahan Rasulullah dan Ummu Abdillah, pun Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah.
Illahi Rabbi.
Satukanlah kami selalu apabila itu adalah suatu kebaikan, dan pisahkanlah kami apabila itu adalah suatu kebaikan.
Illahi Rabbi.
Andai ini layak bagiku, penuhilah pinta ini dengan rida-Mu.
Tak terasa air mata penuh pengharapan terurai. Kepada Sang Pemberi Harapan-lah sepatutnya segala harapan digantungkan, sebab berharap pada manusia sama dengan menggantungkan kecewa.
***
“Um… Moira ke toilet dulu ya,” izinnya.
“Gue ikut,” ujar Nadin yang langsung dapat anggukan dari Moira.
Sepulang kuliah, Moira kembali mengantar Nadin dan calon tunangannya untuk membeli cincin atas permintaan Bunda.
Moira dan Nadin meninggalkan Andi−calon tunangan Nadin−di toko perhiasan yang sedari tadi mereka singgahi. Nadin dan Andi masih memilih cincin yang akan mereka tukar nanti saat pertunangan. Cara Andi meminang Nadin sungguh berbeda dengan cara Ibram meminang Moira. Semua ini atas permintaan dari pihak Andi untuk gelar pertunangan.
Moira berdehem. “Nadin,” panggilnya ragu pada Nadin yang kini tengah mencuci tangannya di wastafel.
Nadin mengarahkan pandangannya pada pantulan Moira di dalam cermin besar yang ada di depan mereka. “Apa?”
“Nadin udah lama hubungan dengan Andi?”
“Enggak, baru 2 bulan.” Mata Nadin kembali teralih pada kedua tangannya yang basah, gadis itu kemudian mengarahkannya pada alat pengering tangan. Suara bising alat tersebut memadati toilet yang berukuran 5m x 3m ini.
“Kenapa Nadin bisa langsung yakin?” tanya Moira untuk penuhi rasa penasarannya, seperti tidak takut pada wajah jutek Nadin yang seperti ibu-ibu saat ditagih arisan.
Nadin mengangkat bahu. “Karena emang udah jodoh aja kali.”
Moira tersenyum simpul. “Jodoh emang enggak bisa ditebak,” katanya. “Syarat menikah ternyata bukan berapa lama kita mengenal, tetapi berapa besar keyakinan kita. Nyatanya, kita juga enggak bisa memilih mau jodoh sama siapa, ya?!”
Nadin bergeming seraya menatap Moira dalam. Otaknya masih belum memproses ucapan Moira.
“Begitulah scenario Allah berjalan. Kita hanya bisa berencana dan berusaha, sedang hasil hanya Allah yang punya kuasa. Kalau misal kita dapat hasil yang gak sesuai rencana, maka yang patut dapatkan protesan kita Allah, ya?” ucap Moira sambil terkekeh, lalu detik berikutnya kekehan itu hilang dan Moira putuskan untuk keluar toilet lebih dulu, meninggalkan Nadin dengan ribuan pertanyaan.
Nadin masih betah di tempatnya. Berdiri mematung sambil memikirkan ucapan Moira. Sejurus kemudian dengusan terdengar darinya, sudah tahu kemana ucapan itu bermuara.
“Berharap mengubah pandanganku tentangnya? Mimpi kali!” Nadin bermonolog diliputi rasa ketidaksukaan yang semakin kentara.
***
Liburan yang sudah direncanakan 5 hari yang lalu akhirnya akan dilaksanakan pada hari ini. Moira sedikit terkaget karena Ibram memberi tahunya ketika subuh, sedang pemberangkatan jam 7 pagi. Jadilah dengan sedikit menggerutu Moira mengemasi keperluannya nanti.
“Enggak usah bawa banyak-banyak, satu tas buat pakaian aku sama kamu.” Ibram mengingatkan kala melihat Moira hendak memasukan pakaian ke dalam koper.
“Tas?” tanya Moira takut salah dengar.
Bagaimana bisa hanya membawa satu tas berisi perlengkapan mereka berdua? Sedangkan liburan ini dua hari, rencananya akan menginap di Villa Istana Bunga Lembang. Tentu perlengkapan tidur seperti selimut harus di bawa, tidak mungkin akan cukup dalam satu tas.
“Iya, karena kita pakai motor.”
“Hah?” Tubuh Moira tersentak dari petiduran dan kini tengah berdiri di hadapan Ibram. “Betulan ke Bandung naik motor?” Moira tidak habis pikir perjalanan sejauh itu akan ditempuh menggunakan motor.
Ibram mengangguk dengan santai tidak pedulikan kekagetan Moira. “Sudah ayo kemas, sejam lagi kita berangkat,” ucapnya sambil lalu pergi ke kamar mandi meninggalkan Moira yang sedang mengangakan mulutnya.
“Kaki Moira bisa-bisa ngangkang nyampe Bandung!” teriak Moira pada Ibram yang sudah masuk ke dalam kamar mandi.
***
Perjalanan selama 4 jam lebih ternyata di luar dugaan Moira. Sama sekali dirinya tidak merasa lelah, atau gara-gara hanya duduk manis saja?
Beberapa kali rombongan berhenti untuk beristirahat, seperti di Situ Wanayasa dan kebun teh yang ada Ciater Subang. Pemandangan selama perjalanan sungguh memanjakan mata, pemandangan yang tidak ada di ibu kota. Hamparan kebun teh seperti lapangan luas yang berhektar-hektar menjadi kesukaan Moira. Rasa kesalnya tiba-tiba hilang, digantikan rasa takjub akan keindahan ciptaan-Nya.
Jalan berkelok-kelok dan naik-turun tak membuatnya pusing, malah menambah sensasi yang tak pernah ia dapatkan juga di ibu kota.
Di ibu kota biasanya ia disuguhkan dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi, tetapi di sini saat memasuki Lembang Bandung matanya disambut dengan rimbunan pohon pinus yang menjulang tinggi. Hawa dingin terasa dua kali lipat dari sebelumnya.
Kemudian perjalanan terhenti di salah satu tempat wisata. Moira mengadahkan kepalanya dan membaca tulisan yang bergantung di sana. Zona 235 Cikole Lembang, lafal Moira dalam hati. Detik berikutnya perjalanan berhenti di tempat parkir.
Moira segera turun mengikuti yang lain. Helm yang sedari tadi membebani kepalanya ia buka dengan semangat dan ucapkan syukur dapat terbebas dari benda itu.
“Mau main paintball?” tanya Moira setelah Ibram turun dari kuda besinya.
“Iya, tidak mungkin layangan, kan?”
Moira mengangkat bahunya acuh-tak-acuh lalu menghampiri Lala. Sudut bibir Ibram tertarik sebelah, Moira memang hobi merajuk pikirnya.
Agaknya di sini satu-satunya yang tidak tahu rancangan dari liburan ini hanya Moira. Betapa kagetnya saat ia dipaksa untuk ikut bermain. Pikirnya tadi hanya para pria. Baju loreng yang kebesaran di tubuhnya dengan enggan ia kenakan. Helm yang berbau tak sedap pun terpaksa ia kenakan demi keamanan.
Untuk bermain paintball mereka berdelapan dipecah menjadi dua regu, masing-masing berisi 4 orang. Saat berhitung Moira yang duduk bersebelahan dengan Ibram menjadi terpisah regu. Bahunya sedikit mengendur, pria yang diharapkan akan melindunginya saat bermain malah menjadi musuhnya.
Regu Ibram berisi Arif, Intan dan Lala. Sementara regu Moira berisi Rumi, Bana dan Tita.
Masing-masing pemain diberi 40 peluru, dengan peraturan bermain apabila peluru habis maka pemain harus keluar dari arena, pun dengan yang sudah tertembak harus mengangkat senjata dan keluar. Meski peluru bukan sungguhan akan tetapi tidak boleh dikenakan lawan dengan jarak kurang dari 5 meter.
Arena dihiasi semak belukar sungguhan dengan beberapa pohon pinus hadir sebagai pelindung. Pada awal permainan, pemain berlindung di area paling atas.
Moira memilih tempat di paling atas berlindung dibalik tumpukan ban. Permainan resmi dimulai, suara tembakan terdengar nyaring, membuat Moira bergidik ngeri. Mendengar suara tembakan seperti itu membuatnya enggan untuk gunakan senjatanya.
Terdengar sorak bahwa Rumi terkena tembakan, tetapi itu tak membuat Moira ingin membalas lawan. Yang dilakukannya hanya menutup telinga dan berharap permainan segera usai.
Detik dan menit berlalu, Moira melepaskan tangannya yang menutup telinga. Tak ada suara tembakan lagi, ia mengembuskan napas lega. Pasti permainan sudah usai pikirnya. Kemudian dengan percaya diri dan senyum yang merekah gadis itu berdiri. Detik berikutnya senyum yang tadi menghiasi wajah kini sirna sudah. Di bawah sana Ibram tengah berdiri dengan senjata yang diacungkan ke atas.
“Jangan pandang bulu, Bram. Sikat demi kemenangan!” teriak Arif yang membuat Moira susah menelan ludahnya sendiri.
Mata Moira mengarah ke sebelah kanan bawah ke tempat kawan yang lain, yang kini tengah berdiri sambil melayangkan senyuman meledek. Kecuali, Lala yang sedang menatapnya khawatir.
“Mas−Aww!” jerit Moira, sesuatu yang panas mengenai tubuhnya. Rasanya perih dan seperti terbakar.
“Moira!!!” teriak mereka bersamaan. Ibram berlari menghampiri Moira yang tengah kesakitan. Perbuatan fatal!
Kepanikan menyergap mereka semua.
***
Selepas permainan tadi yang Moira menjadi korban, mereka berdelapan langsung bergegas ke Villa Istana Bunga Lembang untuk bermalam di sana.
Vila yang mereka sewa memiliki bangunan 2 tingkat dengan lantai kayu yang membuat suhunya yang sudah dingin kian menusuk tulang. Belum lagi vila yang mereka sewa berhadapan langsung dengan bukit yang sudah dipastikan hawa dinginnya bukan main.
Untuk kamar vila tersebut memiliki 4 kamar masing-masing dua di atas dan di bawah. Meski demikian, mereka tak ambil kamar masing-masing sebab Bana dan Tita bukan pasangan suami istri, jadilah para wanita saja yang menghuni kamar di bawah berempat, sedang para pria sepertinya tidur di ruang tengah karena ada televisi. Malam minggu biasanya ada bola, itu motivasi mereka.
Kamar yang wanita tempati tidak memiliki kamar mandi sehingga mereka harus ke kamar atas atau ke kamar mandi yang berada di dapur untuk membersihkan tubuh.
Ibram dengan hati gelisah tengah menunggu Moira keluar dari kamar mandi yang berada di kamar atas. Sejak di tempat paintball ingin sekali ia segera pastikan tetapi tidak mungkin dilakukan. Moira kesakitan bukan main. Dirinya jadi menyesal telah melakukan kesalahan dan tak mengingat aturan bahwa menembakkan peluru tidak boleh dalam jarak kurang dari 4 meter dan dia melakukannya tadi.
Terdengar suara pintu terbuka, menampilkan Moira yang menggunakan handuk kimono, tubuh Moira sedikit tersentak atas kehadiran pria itu.
Ibram buru-buru berdiri dari tempatnya dan menarik Moira untuk duduk bersamanya di atas petiduran.
“Mas Ibram main masuk-masuk aja sih,” gerutu Moira setelah bokongnya mendarat di petiduran.
“Masih untung aku yang masuk, kan?!” Ibram berucap dengan tajam. “Kenapa kamu tidak mengunci pintunya?” Kini Ibram malah melupakan niatnya.
“Ah, iya Moira lupa,” ucap Moira penuh penyesalan.
“Aku mau melihat lukamu.”
Tanpa menunggu empunya badan mengizinkan, Ibram sudah lebih dulu mengulurkan tangannya dan menyingkapkan kimono Moira hingga tampilkan bahunya yang kini dihiasi luka kecil akibat terkena peluru Ibram. Luka tersebut seperti luka bakar, pantas Moira kesakitan.
Ibram menelan ludah, rasa bersalah menyelimutinya. Dengan bodohnya ia lebih mementingkan kemenangan regunya dibandingkan keselamatan Moira. “Maafkan aku,” ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Belum Moira menjawab, sejurus kemudian kepala Ibram mendekat membunuh jarak diantara mereka, Ibram mencium bahu Moira yang terluka.
“Aduh!” jerit Moira sambil memundurkan bahu. Lukanya yang sedari tadi terasa panas kian terasa perihnya saat mengenai bibir Ibram. “Ngapain dicium-cium segala sih!” protes Moira.
Ibram terkekeh geli. “Iya ya ngapain nyium di situ kalau bibir kamu lagi nganggur.” Ibram kemudian menarik dagu Moira hendak melandaskan bibirnya.
“Astaghfirullah!” pekik seseorang yang sontak membuat aktivitas Moira dan Ibram terhenti.
“Mbak Lala!” pekik Moira balik. Pipi Moira sudah dipastikan seperti kepiting rebus. Malu sekali!
“Maaf. Maaf. Lanjutin, lanjutin,” ucap Lala menyesal dan merutuki dirinya sendiri karena telah mengacau urusan suami istri itu. “Duh, bloon banget baru juga mau nempel itu,” ucap Lala setelah menutup pintu.
Moira menutup wajahnya merasa malu. Bagaimana nanti sikapnya kalau bertemu dengan Lala. Mereka sekamar pula!
Sedang Ibram hanya memutar matanya malas, Moira berlebihan pikirnya. Ibram menarik tangan Moira yang menutupi wajahnya. “Ayo, lanjutin.”
Moira menggeleng menolak permintaan Ibram.
“Kenapa?” tuntut Ibram tak terima.
“Hukuman buat Mas Ibram.” Moira mendecih setelahnya.
Ibram mengembuskan napasnya pelan. Benar juga, ia seperti tak tahu diri sudah menyakiti istrinya malah menuntut yang demikian.
Tangan Ibram terulur untuk memegangi puncak kepala Moira dan mengelusnya pelan. “Aku sungguh minta maaf telah menyakitimu istriku,” ucapnya dengan suara berat.
Moira tidak bisa untuk tidak tersenyum. Rasanya ada letupan di hatinya yang tidak bisa untuk dicegah, lalu detik berikutnya Moira mengabulkan permintaan Ibram yang tadi dengan dirinya yang berinisiatif. Ibram dibuat senang dengan tersenyum menang disela-sela pagutannya.
***
Malam menjelang, langit berhiaskan bulan dan bintang. Sebelum masuk ke dalam vila untuk beristirahat mereka pesta jagung bakar di halaman vila. Jaket tak lepas dari tubuh mereka berdelapan. Merasa perut sudah terisi penuh akhirnya putuskan untuk masuk ke dalam dan beristirahat.
Moira memilih merebahkan tubuhnya pada kasur lantai yang ada di kamar itu. Kamar ukuran 3m x 2m itu berisi 4 kasur lantai. Moira memilih yang di tengah, agar hawa dingin tidak terlalu menusuk tulangnya.
Sedang Lala, Intan, dan Tita sedang melakukan skincare routine.
“Ta, kamu ketemu Bana di mana?” tanya Lala setelah ia penasaran sejak keberangkatan tadi.
“Ditemuin sama Arif, Mbak,” sahut Intan. Tita hanya mengangguk mengamini ucapan Intan.
“Oh, udah langsung cocok gitu, ya?” Lala masih penasaran.
“Ya gitu deh, Mbak,” jawab Tita sambil tersenyum malu-malu.
Lala dan Intan ikutan tersenyum. “Intan juga sama Arif enggak lama langsung cocok ya, Tan?!”
“Iya, Mbak. Kalau udah jodoh langsung klik gitu ya. Mudah-mudahan Tita sama Bana langsung cocok.”
“Berapa lama Tita kenal ama Bana?” Lala bertanya lagi rasa penasarannya belum tuntas.
“Kalau ditemuin sama Arif sih baru tiga hari kemarin, Mbak. Eh, pas ketemu kirain aku bukan Bana temen sekolahku dulu.” Titah terkekeh mengingat kembali kejadian itu.
“Yah, ketemuan ama temen sendiri dong ya?!” Lala, Intan, dan Tita tertawa bersama betapa takdir kadang sekonyol itu.
“Moira udah tidur?” Intan bertanya setelah sadar sedari tadi Moira tak bersuara.
“Belum, Mbak.” Moira bangkit dari tidurnya.
“Gabunglah, jangan segan gabung sama mbak-mbak kayak kita,” ucap Lala.
Moira merangkak mendekati mereka bertiga yang terpisah satu kasur dari Moira. “Bukan gitu, Mbak. Moira lagi lurusin punggung yang pegel banget rasanya,” jelas Moira tak mau ada kesalahpahaman.
“Atau kamu malu gara-gara aku−”
“Stop Mbak jangan diterusin!” pekik Moira panik sambil memelototi Lala, tak mau aibnya terbongkar.
“Becanda kok.” Lala tertawa pelan. “Kenapa panik orang kamu halal juga.”
“Tetep aja Moira malu!” ucap Moira sambil mengerucutkan bibirnya. Sedang Intan dan Tita kini sedang menuntut penjelasan pada Lala dengan alis yang dinaik-turunkan.
“Aku kaget pas tahu kamu ternyata suami istri,” komentar Tita. “Abisnya−”
“Moira kayak anak kecil?!” tembak Moira langsung. Sudah hafal betul.
Tita tersenyum canggung. “Maaf bukan gitu maksudnya,” ucapnya merasa tidak enak.
“Enggak apa kok, kak.” Moira tersenyum simpul agar menghilangkan kecanggungan di antara mereka.
“Pernikahan Moira ama Ibram juga ngagetin aku tuh.” Lala kembali bersuara.
“Kenapa?” Moira mengangkat sebelah alisnya, penasaran mengapa demikian. Begitupun dengan Tita dan Intan yang sama juga tengah menunggu jawabannya.
“Tapi aku minta maaf sebelumnya, ya?!”
Moira mengangguk ragu. Hatinya jadi tidak enak.
“Setahuku Ibram pacarana sama Anindira. Aku udah tahu Ibram sejak 5 tahun lalu pertama nikah sama Mas Rumi. Terus tiba-tiba ada undangan nikah tapi nikahnya sama orang lain.”
Moira hanya dapat tersenyum dipaksakan tanpa tahu harus menjawab apa. Mengapa wanita itu harus disebut-sebut lagi. Rasanya orang disekiar belum move on dari keberadaan Anindira.
“Ibram bisa move on cepet gitu, ya?! Denger-denger pacarannya lama banget 10 tahun kalau gak salah. Berarti kata orang yang ngomong kita bakal bisa lupain mantan itu minimal 2 kali lipat dari lamanya kita pacaran itu bohong, ya,” lanjut Lala panjang lebar sambil mengoleskan step terakhir skincare routine-nya
“Iya Mbak jodoh enggak ada yang tahu,” jawab Moira sekenanya.
Sesungguhnya ucapan Lala barusan mengusiknya. Kalau dipikir-pikir benar juga. Bagaimana bisa Ibram move on dengan waktu sesingkat ini sedang hubungannya sendiri lebih dari 10 tahun.
Apa benar prianya itu sudah melupakan Anindira?
Apa benar hatinya sudah dijamah oleh Moira?
Sudahkah Moira menjelajah hati Ibram?
Ah, hati? Seingat Moira tak pernah telinganya mendengar kata cinta dari Ibram.
Malam itu ucapan Lala sukses membuat Moira terjaga. Matanya memang terpejam tetapi tidak membuatnya terlelap. Pikirannya terus bekerja memikirkan bagaimana perasaan Ibram sebetulnya.
Teringat suatu tulisan yang pernah Moira baca. Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kita dapat berencana untuk menikah dengan siapa, tetapi tak dapat berencana untuk mencintai siapa.
Itu kah yang sedang Ibram rasakan sekarang?
Tak terasa air mata Moira terjatuh. Benarkah demikian? Sanggupkah ia jalani pernikahan yang seperti itu? Memiliki raga Ibram tanpa bisa memiliki hatinya.
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan