Read More >>"> IKRAR (BAB 22: Resan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - IKRAR
MENU
About Us  

“Hari minggu ada acara kagak?” Arif membuka percakapan setelah lima menit hanya terdengar dentingan sendok. Saat ini tengah jam makan siang para karyawan di tempat bekerja.

“Kenapa emang?” sahut Rumi sambil menguyah makanannya yang memenuhi mulut.

“Ke Bandung yuk, refreshing kita,” ajak Arif.

“Gue sih ayo aja.” Mata Rumi kini melirik Ibram yang sedari tadi hanya focus pada makanannya. “Lu gimana, Bram?”

“Ayo,” jawab Ibram singkat tanpa mengalihkan matanya sedikit pun dari makanannya.

“Bana?” panggil Arif, pria berambut kribo itu sedari tadi juga hanya focus pada makannya. Sejujurnya bukan pria itu tidak menyimak, hanya saja ia memang tidak tertarik untuk nimbrung.

“Apa?” sahut Bana dengan malas.

“Lu gabung gak?”

“Kalau kalian ngajak bini mending gak usah ngajak gua,” jawab Bana yang sudah menebak sedari awal.

Arif tertawa geli mendengar jawaban Bana. Pria yang dulu kawan jomlonya itu terdengar seperti merajuk. “Makanya kawin, jangan mikirin mulu orang yang jelas-jelas bukan milik lu.”

“Lagian udah waktunya lu move on, Ban. Jangan terlalu nyaman terjebak di masa lalu.” Rumi menasihati diiringi dengan sebelah sudut bibirnya yang tertarik.

Bana lebih memilih tidak berkomentar, ia terus melanjutkan aktivitasnya melahap nasi.

“Dia bukan terjebak masa lalu, tapi terjebak penyesalan,” ungkap Arif.

Bana melirik Arif tajam, tetapi tak bisa berkomentar sebab yang pria itu ucapkan adalah kebenaran. Dirinya bukan nyaman dalam kesendirian, bukan pula nyaman di masa lalunya, tetapi lebih kepada sedang dihantui penyesalan hingga buatnya takut untuk memulai suatu hubungan.

“Hidup adalah sejarah yang berulang. Apa yang pernah orang lain rasakan karena perbuatan kita, maka akan kita rasakan juga suatu saat nanti sebagai balasan.” Rumi berkata bijaksana. “Mungkin itu sedang berlaku sekarang di hidup lu, Ban.”

Ibram sontak terhenti dari aktivitasnya. Sesuap nasi yang satu centi lagi masuk ke dalam mulutnya urung dilakukan. Perkataan Rumi barusan seolah mengingatkannya pada sesuatu. Seolah ucapannya itu tengah menyindirnya. Kemudian tanpa diminta sekonyong-konyong suara Anindira terngiang-ngiang ditelinganya.

Aku tidak tahu karma itu ada atau tidak. Tapi yang kutahu Tuhan itu Maha Adil.

Ibram mendengus, sejenak matanya terpejam. Dengan kasar Ibram melepaskan sendok yang berada di genggamannya sehingga menimbulkan suara yang nyaring akibat menimpa wadah stainless. Seketika mata orang-orang yang berada di dekatnya menoleh.

“Kenapa, Bram?” tanya Arif penasaran mewakili mata yang kini tengah menyorot Ibram juga. Mereka menanti mulut Ibram terbuka.

“Uh, itu….” Ibram berdehem. “Tadi ada batu ke makan,” kilahnya.

Mata yang penasaran tadi kini tak menyorotnya lagi, malah terkesan tidak peduli setelah mengetahui alasannya.

“Kirain gua lu kesel karena telinga lu gak sanggup denger si Rumi yang tiba-tiba kerasukan jadi bijaksana begitu,” gerutu Arif yang diikuti dengan tawa Bana. Sedang Rumi hanya berdecak sebal.

Ibram hanya menyeringai terpaksa. Hatinya lega sebab kebohongannya tak disadari oleh kawan-kawannya.

“Ban, lu ikut aja ama kita. Masalah gandengan, nanti gua yang atur,” ucap Arif yang berusaha mengajak Bana untuk tetap ikut. Sebagai kawan sudah sepatutnya merasakan senang-senang bersama, menghibur kawan yang sedih adalah tugas utama. Arif tak mau Bana terus-terus berlarut pada penyesalannya karena telah menyia-nyiakan seorang wanita yang dulu berjuang dengan gigih, hingga akhirnya pergi.

“Terserah,” komentar Bana tak acuh.

Sementara Ibram tengah dihadapkan pada pikirannya yang tiba-tiba berubah menjadi kaset butut. Perkataan Anindira terus berputar tiada henti.

Aku tidak tahu karma itu ada atau tidak. Tapi yang kutahu Tuhan itu Maha Adil.

***

“Assalamu’alaikum.” Moira mengetuk pintu rumah mertuanya. Rasanya sedikit canggung sebab sekian lama tak bertandang, ditambah kejadian Bunda yang memintanya bercerai dengan Ibram waktu itu yang belum sempat ia selesaikan.

Tadi pagi Bunda memberi pesan pada Moira untuk berkunjung ke rumahnya, dan sepulang kuliah di sinilah Moira sekarang. Walau sebetulnya sudah beberapa kali mertuanya itu menyuruhnya datang tetapi tak pernah ia turuti sebab Ibram selalu tak izinkan. Mungkin prianya itu takut Bunda akan menghasut Moira untuk menceraikannya. Pikiran yang dangkal.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Bunda setelah membuka pintu. Senyum secerah mentari pagi menghiasi wajahnya. “Akhirnya kamu ke sini, sayang.”

“Iya, Bun. Maafkan baru sempat,” kata Moira sambil meraih tangan Bunda untuk ia cium punggung tangannya itu.

“Ayo masuk.” Bunda menggandeng tangan Moira untuk memasuki rumah.

Rumah besar yang tak asing bagi Moira itu tampak sepi. Tak dilihatnya pula asisten rumah tangga yang berjumlah dua orang di rumah ini.

“ART lagi pada libur,” ucap Bunda menjawab kebingungan Moira yang tersirat di wajahnya.

“Oh, pantesan sepi, Bun.”

Tubuh Moira tertarik untuk ikut duduk bersama Bunda di atas sofa yang berada di ruang televisi. Televisi berukuran 42 inch di depan sana dinyalakan oleh Bunda sehingga membunuh sepi yang memadati rumah ini.

“Kamu sama Ibram….” Bunda sengaja menggantungkan ucapannya bermaksud memancing Moira.

“Alhamdulillah, Bun. Kami baik-baik aja, Bunda gak usah khawatir.” Moira meremas tangan Bunda yang menggenggam sebelah tangannya, coba untuk meyakinkan.

“Bener? Kamu gak bohong sama Bunda?” tanya Bunda dengan air muka resah sekaligus sedih.

“Idung Moira gak berubah jadi panjang, ‘kan?” Moira menunjuk hidungnya yang kecil. “Artinya Moira gak bohong,” sambungnya coba hibur Bunda.

Ck, Bunda serius tahu,” keluh Bunda yang tak mau diajak bercanda.

Moira terkekeh pelan lalu berkata, “Moira juga serius. Waktu itu hanya kesalahpahaman aja, Bun. Mas Ibram udah gak ada hubungan apa-apa lagi sama wanita itu.”

“Alhamdulillah,” jawab Bunda langsung. Kelegaan menyelimuti hatinya. Hal yang selama ini membuatnya gelisah akhirnya menemukan titik terang. “Bunda senang dengarnya. Bunda sayang banget sama kamu, tak mau kecewakan orangtuamu yang sudah percayakan Ibram untuk menjaga Moira.”

Senyum Moira merekah, betapa ia bahagia dapatkan mertua seperti Bunda yang menyayanginya. Kasih sayang Bunda bagai kasih sayang Ibu yang menyusuinya.

“Oh, iya hampir lupa,” ucap Bunda sambil menepuk jidatnya. “Nadin!” teriak Bunda yang sontak membuat Moira menegang.

Susah-susah Moira menelan salivanya. Nama itu… Moira belum siap bertemu lagi dengannya!

Orang yang dipanggil namanya terdengar sedang menuruni tangga. Detik berikutnya sosok itu muncul dari balik ruangan. Wajahnya terlihat tidak bersahabat, sebab sudah mengetahui akan kedatangan kakak iparnya itu. Ah, bahkan rasanya ia tak ingin mengakui keberadaan Moira sebagai iparnya.

“Eh, ayo salim sama iparmu,” tegur Bunda saat Nadin hanya berdiri sambil bersedekap.

Moira langsung menolehkan pandangannya pada Bunda dengan mata membesar. Tentu ini adalah momen canggung, sebab dulu saja ia rasa-rasanya tidak disalami oleh Nadin. Inisiatif, Moira bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangan pada Nadin.

“Gimana kabarnya, Nad?” tanya Moira dengan suara yang diusahakan biasa saja.

“Baik,” jawab Nadin jutek dengan sekilas menempelkan tangannya pada uluran tangan Moira. “Udah ayo cabut,” ajak Nadin langsung melengos pergi begitu saja hingga timbulkan pertanyaan pada Moira.

Moira menolehkan kembali pandangannya pada Bunda minta penjelasan.

“Duh, Bunda lupa kasih tahu!” Lagi, Bunda menepuk jidatnya. “Bunda sebenernya suruh kamu ke sini buat anter Nadin cari kain. Bunda gak bisa temani soalnya gak kuat jalan lama, suka pegel kaki,” terang Bunda yang malah menambah bulatan mata Moira membesar.

Moira bersama nadin? Yang benar saja keluh moira dalam hati. Tetapi kemudian ia berpikir malah bagus, mungkin ini momen pas untuk mengakrabkan diri pada nadin.

“Ayo cepetan!” Nadin bersuara tak sabaran. Segera Moira bergerak dengan sebelumnya salami Bunda.

***

“Kuliah kamu libur?” Moira berbasa-basi setelah keheningan yang panjang selama di perjalanan tadi. Kini mereka sudah sampai ke salah satu mal yang terkenal dengan tempat berburu kain paling favorit di ibu kota.

“Enggak lah, ‘kan belum masuk masa libur,” ketus Nadin yang sukses buat Moira menelan ludahnya.

Sabar. Sabar.

“Kalau Moira boleh tahu, Nadin cari kain buat acara apa?” Moira masih berusaha.

“Tunangan.” Nadin menjawab tanpa menoleh sedikitpun pada Moira. Matanya terus berfokus ke depan, kakinya terus melangkah menuntunnya ke toko langganan Bunda.

“Siapa?” Moira tak kapok dijuteki Nadin agaknya. Kini malah dirinya diselimuti rasa penasaran.

“Gue lah, masa Mas Ibram!”

Nada bicara Nadin barusan lebih tinggi dari sebelumnya, merasa kesal karena Moira terus-terusan bertanya. Apa dia tidak lihat air muka Nadin yang sudah diset terlihat garang penuh penolakan. Sejujurnya Nadin terpaksa mau diantar oleh Moira karena paksaan Bunda. Tak mau Bunda tahu ketidaksukaannya pada Moira, jadilah dengan terpaksa ia turuti. Waktu pertunangannya yang mepet juga jadi alasan.

Pertunangan akan dilaksanakan dua minggu lagi. Seragaman untuk keluarga harus secepat mungkin ia persiapkan. Nadin yang sedang sibuk kuliah pun rela turun tangan sendiri, sebab baginya ini adalah momen spesialnya maka sudah sepatutnya ia yang kerjakan sendiri.

Moira kini tutup mulut tak pedulikan jawaban Nadin sebab matanya teralihkan pada kain yang berjejer di rak-rak besar di sana dengan motif yang beragam indahnya, pun dengan warna-warnanya yang cantik. Mereka sudah tiba di tempat tujuan.

Nadin menghampiri tempat kain jenis brukat dengan Moira mengekorinya di belakang. Pertama gadis itu akan mencari kain yang akan digunakannya terlebih dahulu kemudian untuk keluarga.

Moira menyentuh deretan kain itu. Terlihat Nadin kebingungan, beranikan diri Moira ikut membantunya memilih dan berikan penilaian. Walau sebelumnya penolakan siap ia terima, tetapi nyatanya Nadin dengan berat hati melibatkan Moira juga untuk membantunya memilih.

Selama satu jam mereka memilih dan menimbang akhirnya selesai sudah pemburuan kain. Warna yang dipilih adalah mint, terlihat fresh sekaligus lembut dipandang.

Keluar dari toko dengan menenteng masing-masing dua kantong besar yang membuat otot-otot mereka lelah, akhirnya mereka putuskan untuk singgah di tempat makan terlebih dahulu. Kerongkongan mereka juga sudah terasa kemarau karena setibanya tadi belum setetes air pun melewatinya.

“Lo mau pesen apa?” tanya Nadin. Walau nada bicaranya masih ketus tetapi tidak separah sebelumnya.

“Samain aja,” putus Moira.

Nadin mengangguk lalu memanggil pelayan. “Ayam bakar pake nasi 3 porsi, ya. Minumnya es teh manis.”

Pelayan berseragam kaos merah itu mencatat lalu pergi dengan sebelumnya memberi tahu pesanan akan datang 15 menit kemudian.

“Tiga porsi?” tanya Moira setelah pelayan benar-benar jauh dari mereka.

Nadin yang hendak mengetikan sesuatu pada ponselnya tak jadi dan pandangannya kini beralih pada Moira.

“Buat siapa satu porsi lagi?” Lagi, Moira bertanya.

“Kak Dira.” Bibir Nadin dengan lancar dan mulus ucapkan nama itu.

Sementara Moira bak tersengat alat kejut listrik. Tubuhnya langsung menegang dengan jantung yang berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Rasanya Moira ingin lari saja saat ini. Bagaimana bisa Nadin menempatkannya diposisi seperti ini sekarang? Apakah dia sengaja?

“Kaget, ya?” tanya Nadin dengan senyum sinis menghiasi wajahnya. “Gue emang udah janjian sama dia sebelumnya. Mumpung gue di sini dan dia libur, udah lama gue gak ketemu dia,” terang Nadin yang menangkap keterkejutan Moira. Dirinya memang tidak bermaksud mempertemukan iparnya itu dengan Anindira, sebab sebelumnya memang sudah janjian hari ini untuk bertemu. Dan inilah kesempatan yang pas. Walau sebetulnya tidak pas sebab ada Moira.

Moira menggigit bibir bawahnya. Ia jelas tak mau bertemu Anindira, bukan karena merasa takut atau bersalah. Hanya tidak ingin saja. Tetapi baru saja hendak dirinya berinisiatif untuk kabur, pura-pura ada urusan lain sekonyong-konyong Anindira tertangkap oleh pandangannya.

“Hai,” sapa Anindira pada Nadin. Kemudian matanya beralih pada Moira yang terlihat gelisah.

“Kak Dira.” Air muka Nadin tiba-tiba berubah menjadi seorang yang ramah dengan senyum yang mengembang hiasi wajah tirusnya. “Nadin, kangen banget.” Nadin berdiri untuk memeluk Anindira.

Jangan tanya perasaan Moira, sebab saat ini hatinya merasa cemburu melihat kehangatan Nadin. Sama sekali ia yang merupakan iparnya malah tak diperlakukan demikian.

“Duduk, Kak,” pinta Nadin setelah melepas pelukannya.

Anindira menurutinya, kemudian memilih duduk di sebelah Nadin hingga kini ia dan Nadin berhadapan dengan Moira. Moira saat ini seperti tersangka yang hendak diinterogasi oleh penyidik.

Senyum Anindira mengembang melihat ketidaknyamanan Moira. Bukan jenis senyum bersahabat tetapi seperti senyum predator pada mangsanya.

“Lama tak bertemu.” Anindira berucap pada Moira.

Moira berdehem. Kemudian beranikan diri menatap Anindira. Ia tak boleh terlihat lemah, jika demikian maka Anindira akan tersenyum senang dan menganggap ia adalah mangsanya. Pelajaran yang mesti dipraktikan; ketika predator akan menyerang maka usahakan bersikap biasa saja, sebab ketika kita merasa terancam maka predator akan menyangka bahwa kita adalah mangsanya. Moira tak mau seperti itu.

“Iya, lama gak ketemu,” jawab Moira defensif.

“Gimana kabar Ibram?” Anindira agaknya memancing emosi Moira.

“Alhamdulillah, sehat walafiat karena Moira urus dengan baik.”

Sungguh jawaban diluar dugaan Anindira, kini malah ia yang tersulut emosi. Rubah kecil ini selalu sukses membuat darahnya mendidih. Melihat perubahan Anindira, senyum kemenangan tercetak jelas pada wajah Moira.

“Kak Dira juga baik ‘kan kabarnya setelah relakan Mas Ibram untuk diurus Moira?” tanya Nadin sarkastis.

“Sangat,” jawab Anindira sambil menyeringai dengan mata yang tetap menyorot Moira. Ia senang karena Nadin dengan terang-terangan tunjukan ketidaksukaannya pada Moira.

“Syukurlah,” ucap Nadin pura-pura lega. “Kebahagiaan orang yang di atas penderitaan orang lain tak akan abadi.”

Hati Moira bagai dicambuk mendengarnya. Kini keempat mata itu menyorotinya dengan tajam bagai mata pisau yang siap menusuknya. Moira ingin lari saja, ingin segera tumpahkan air matanya yang sudah menumpuk di pelupuk mata.

***

“Lo mau ikut balik bareng kita?” tanya Nadin yang sepatutnya tidak bertanya demikian pada Moira, memang sudah semestinya ia mengajak Moira pulang, ‘kan?

“Enggak, makasih,” jawab Moira tetap ramah walau Nadin terang-terangan melesetkan anak panah ke ulu hatinya. “Moira dijemput Mas Ibram.”

Telinga Anindira bagai tersengat. Ia yang berjalan lebih dulu kini berbalik dan menatap Moira sengit. “Kamu tak sudi ikut dalam mobilku? Pake acara dijemput segala.”

Moira buru-buru mengibaskan tangannya. “Enggak, bukan gitu. Kebetulan ini udah jam pulang Mas Ibram dan jalannya searah. Jadi daripada repotkan kalian, Moira ikut Mas Ibram aja,” terang Moira tak mau wanita itu salah paham. Walau sebetulnya tidak sepenuhnya demikian, Moira memang ingin segera bebas dari dua predator itu.

Anindira enggan menjawab lalu melengos dan pergi dengan menghentakan kakinya. nadin segera menyusul begitupun Moira yang harus mengantarkan dulu dua jinjingan yang ada ditangannya ke mobil Anindira.

Beres menyimpan dua jinjingannya ke dalam mobil Anindira, lalu bersalaman pamit pada Nadin dan Anindira. Baru saja Anindira hendak menjabat tangan Moira dengan enggan tiba-tiba matanya menangkap mobil yang familier di matanya.

“Ah, itu Mas Ibram udah datang,” ucap Moira lega. Kakinya hendak melangkah tetapi dicegah oleh cengkeraman Anindira.

“Jangan pergi dulu,” ucap Anindira buru-buru. “Biarkan Ibram yang kemari.”

“Hah?” Moira tak percaya atas apa yang didengarnya barusan. Tetapi dengan bodohnya Moira mengikuti permintaan Anindira. Detik berikutnya Ibram menelpon dan Moira menyuruh pria itu untuk turun dan menghampirinya.

Ibram yang sudah diberitahui keberadaan Moira, kini tampak tengah menghampirinya. Air muka pria itu seperti biasanya, datar. Ia memang sudah tahu keberadaan Anindira dari Moira sebelumnya. Jadi sekarang tidak perlu kaget, walau saat tadi diberi tahu Moira dirinya kaget bukan main. Tak habis pikir bagaimana bisa Nadin berlaku demikian, mempertemukan iparnya dengan mantan pacar suami iparnya itu.

Ibram juga sedikit was-was takut anindira melakukan hal yang tidak-tidak tetapi moira tak bilang apa-apa di whatsapp, maka artinya memang tidak terjadi apa-apa.

“Ayo pulang,” ajak Ibram langsung setibanya di depan Moira mengabaikan Nadin dan Anindira.

“Mas, gak kangen aku apa? Kok cepet-cepet pulang.” Nadin protes. “Sama Kak Dira juga gak kangen apa!”

Mata elang Ibram kini memandang Nadin yang langsung membuat adiknya itu ciut. Beraninya ia ucapkan itu kesal Ibram dalam hati. Nadin tampak mengerucutkan bibirnya tak suka.

“Gimana kabar kamu, Bram?” Anindira menyela seraya mengulurkan tangannya pada Ibram.

Ibram menerima uluran tangan Anindira dengan sikap biasa saja seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. “Baik−”

Tanpa aba-aba dengan gerakan cepat Anindira menarik tubuh Ibram sehingga kini Anindira dalam pelukannya. Moira yang melihat itu seketika langsung menghentikan napasnya sejenak karena kaget. Ingin rasanya Moira tarik tubuh wanita itu dengan paksa, tapi tak bisa ia lakukan sebab melihat Ibram tampak tak keberatan dengan itu.

“Aku kangen banget sama kamu, Bram.”

“Aku memang ngangenin,” jawab Ibram enteng seraya menarik sebelah sudut bibirnya. Perkataan dan perlakuan Anindira terdengar lelucon bagi Ibram.

Anindira terkekeh lalu menjauhkan tubuhnya dari Ibram. “Kamu tidak berubah.”

“Hanya statusnya yang berubah,” sela Moira yang sudah tak bisa menahan rasa gemasnya.

Anindira mendelik, sementara sudut bibir Ibram berkedut ingin tersenyum. Moira pura-pura tak melihat dan mengedarkan pandangannya ke sembarang tempat dengan bibir yang mengerucut.

***

Sepulang dari mal tadi, Moira mendiami Ibram. Bahkan saat makan malam dan shalat berjamaah pun tak sepatah katapun keluar dari mulut Moira. Kini saat menonton televisi bersama pun mulutnya masih bungkam, hanya helaan napas dan suara televisi yang terdengar.

“Kalau sedang merasakan sesuatu, ungkapkan. Jangan hanya diam, itu tak akan membuatku mengerti.” Ibram tak bisa ikut-ikutan diam. “Aku bukan Edward Cullen yang bisa baca pikiran.”

“Edward Cullen gak bisa tuh baca pikiran istrinya sendiri, Bella Swan,” gerutu Moira terpancing. Matanya tetap focus pada televisi walau tak betul-betul menontonnya.

“Oh, berarti aku Edward Cullen. Benar juga! Kami sama-sama tampan.”

Moira langsung menolehkan kepalanya dengan hidung yang mengernyit tidak suka. Perkataan Ibram barusan tidak cocok dengan wajah dinginnya.

Ibram menarik punggungnya yang bersandar pada sofa bed. “Kalau masih mau begitu ya sudah. Aku mau ke atas, tidur.”

Moira segera mencegah tubuh Ibram yang hendak bangkit. Gadis itu memeluk lengan Ibram dengan wajah kesal ia berkata, “Gak peka banget sih!”

“Kamu pikir aku bukan makhluk hidup,” gerutu Ibram yang tak dimengerti Moira. “Aku peka terhadap rangsang,” terang Ibram menangkap sinyal Moira yang jelek.

“Gak nyambung!” kesal Moira. “Moira tuh kesel!” aku Moira akhirnya sambil menyenderkan kepalanya pada bahu Ibram.

“Kesel kok meluk,” ucap Ibram membuat Moira mengangkat kembali kepalanya.

“Oh, jadi Moira gak boleh peluk sementara Anindira boleh, gitu?” Rasa kesal Moira kian bertambah. Ucapan Ibram barusan begitu melukainya.

“Perasaan datang bulanmu sudah selesai, tapi kok masih sensitif?!” desah Ibram. “Gara-gara itu kamu marah?”

“Nanya lagi!” ketus Moira gemas karena Ibram tidak peka. Bibir bawahnya kini maju ke depan.

Ibram menarik pipi Moira dengan gemas hingga membuat gadis itu mengaduh. “Gemesin kalau cemburu,” ucap Ibram masih menarik-narik pipi Moira. Pipi Moira tak ubahnya squishy saat ini.

“Sakit tahu!” protes Moira dengan berusaha melepaskan tangan Ibram. “Jangan alihkan pembicaraan deh, kebisaaan. Selesein dulu masalah ini!” Moira berhasil melepaskan tangan Ibram.

“Kita selesaikan di kamar saja,” ucap Ibram seraya menaik-turunkan alisnya menggoda. “Lebih baik kita selesaikan masalah kita yang lain.”

“Masalah kita yang lain?” Moira menautkan alisnya tak mengerti. Seingatnya mereka tak punya masalah yang lain.

Ibram mengangguk dengan senyum menggoda yang terbit dari bibirnya. “Mulai malam ini kita sekamar untuk selesaikan masalah kita,” ucap Ibram berbisik di dekat telinga Moira hingga buat bulu kuduk gadis itu meremang.

***

Berkilo-kolo meter jauhnya dari Moira dan Ibram, seorang wanita yang berteman sepi di malam hari itu tengah tersenyum dengan getir. Kepalanya di penuhi dengan kejadian-kejadian yang memilukan hatinya.  Kejadian tadi sore menjadi penutup dari kilas balik yang berputar-putar di kepalanya.

Ibram yang berada di pelukannya. Ibram yang berada digenggaman orang lain, orang yang tak diinginkan kehadirannya.

Dengan hati pilu ia menonton adegan itu. Ia jadi penonton akan kebahagiaan mereka. Saat itu juga hatinya berbisik semoga ia beruntung dapat menonton kebahagiaan mereka yang berganti menjadi kesengsaraan yang merupakan balasan dari perbuatan mereka sendiri. Seperti ucapan Nadin bahwa ‘kebahagiaan orang yang di atas penderitaan orang lain tak akan abadi.’

Anindira dengan senang hati akan menunggu saat itu. Entah dirinya yang membalas sendiri atau entah orang lain, yang pasti Anindira akan bersyukur saat keadilan Tuhan berlaku untuknya suatu saat nanti.

Anindira terlalu resan melihat kebahagiaan Ibram dan Moira, yang dirasanya tidak pantas untuk mereka dapatkan.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (5)
  • yurriansan

    @itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • itsarney

    @yurriansan akunku ini kak https://www.wattpad.com/user/itsarney
    ayo kak dengan senang hati ^_^

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • yurriansan

    @itsarney wattpad? Akunnya apa?
    Kbtulan critaku yg rahasia Toni aku publish d wattpad juga. Nnti bisa saling kunjung xD

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • itsarney

    @yurriansan Masya Allah Kak terima kasih sudah berkenan membaca cerita ini. Aamiin semoga Allah kabul, makasih doanya^_^
    Ah, ya. Cerita ini juga bisa dibaca di Wattpad^^

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • yurriansan

    Tulisanmu bagus ,😄.
    Smoga ramai like ya

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
Similar Tags
Sisi Lain Tentang Cinta
714      385     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
Farewell Melody
215      144     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
Wannable's Dream
33911      4896     42     
Fan Fiction
Steffania Chriestina Riccy atau biasa dipanggil Cicy, seorang gadis beruntung yang sangat menyukai K-Pop dan segala hal tentang Wanna One. Dia mencintai 2 orang pria sekaligus selama hidup nya. Yang satu adalah cinta masa depan nya sedangkan yang satunya adalah cinta masa lalu yang menjadi kenangan sampai saat ini. Chanu (Macan Unyu) adalah panggilan untuk Cinta masa lalu nya, seorang laki-laki b...
Temu Yang Di Tunggu (up)
15133      2413     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
Mendadak Halal
5666      1798     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
Return my time
244      208     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
Crystal Dimension
276      184     1     
Short Story
Aku pertama bertemu dengannya saat salju datang. Aku berpisah dengannya sebelum salju pergi. Wajahnya samar saat aku mencoba mengingatnya. Namun tatapannya berbeda dengan manusia biasa pada umumnya. Mungkinkah ia malaikat surga? Atau mungkin sebaliknya? Alam semesta, pertemukan lagi aku dengannya. Maka akan aku berikan hal yang paling berharga untuk menahannya disini.
Ending
4511      1180     9     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...
Bersua di Ayat 30 An-Nur
744      336     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang wanita muslimah yang penuh liku-liku tantangan hidup yang tidak tahu kapan berakhir. Beberapa kali keimanannya di uji ketaqwaannya berdiri diantara kedengkian. Angin panas yang memaksa membuka kain cadarnya. Bagaimana jika seorang muslimah seperti Hawna yang sangat menjaga kehormatanya bertemu dengan pria seperti David yang notabenenya nakal, pemabuk, pezina, dan jauh...
Sugar On Top
17      16     1     
Romance
Hazel Elodie adalah gadis manis berambut pirang dengan hati yang keras seperti baja. Bertahun-tahun setelah ia dan kakaknya, Sabina, 'dibuang' ke London, Hazel kembali ke kota kelahirannya dengan tekad untuk merebut kembali apa yang menjadi haknya—warisan keluarga yang dirampas secara licik. Namun, kepulangannya tak semudah yang ia bayangkan. Tanpa Sabina, si perisai emosinya, Hazel harus be...