Selamat membaca π
***
Marah. Kesal. Kecewa.
Tiga kata yang pas untuk menjelaskan perasaan Moira saat ini. Hatinya seperti dihujani ribuan belati, menyakitkan. Dadanya begitu sesak, napasnya terasa terhimpit. Ibram dan Anindira sukses buatnya demikian.
Berulang kali Moira ingatkan sang sopir taksi untuk memacu kendaraannya lebih cepat. Moira ingin segera tiba di rumahnya, sebab sudah tak kuat menahan tangisnya yang meronta ingin diluapkan.
Tiba di rumah, kakinya menyentak untuk segera ke kamar. Tubuhnya ia hempaskan ke petiduran dengan posisi menelungkup bersamaan dengan air mata yang keluar dengan deras.
Disenyapnya malam, suara tangis Moira menggema. Bahunya terguncang hebat. Harusnya rasa sakit ini sudah terbiasa, tetapi mengapa lagi-lagi membuatnya binasa.
Nuraninya bertanya perasaan sakit ini apakah sebatas kecewanya seorang istri karena sang suami lebih memilih menenangkan wanita lain ataukah persaaan… cinta yang dikecewakan.
Perbuatan manis Ibram yang lalu bagai asap rokok yang membuai penghisapnya lalu memubunuhnya secara perlahan. Begitulah Moira yang ciptakan angannya sendiri, sedang hati Ibram tak bisa diganggu gugat hanya untuk Anindira seorang diri.
Berharap banyak artinya tersakiti dengan banyak.
Moira sadar−amat tersadar bahwasanya harapannya kemarin hanya sebuah mimpi indah di siang bolong.
***
“Mama,” lirih Anindira sambil mengusap lengan sang mama dengan lembut.
Mama Anindira tengah terbaring dengan lemah setelah mendapatkan pertolongan dari tenaga medis. Wanita paruh baya itu tiba-tiba mendapatkan serangan jantung kala tengah menyesap secangkir kopi. Beruntung Anindira tengah berada di sampingnya, dengan sigap putrinya tersebut menghubungi rumah sakit meminta bantuan dan memaksanya menelan aspirin sebagai pertolongan pertama.
Hati Anindira sedikit lega, orang satu-satunya yang tersisa di dalam hidupnya masih dapat menghirup oksigen.
“Ibram.” Bukan menyahuti Anindira, wanita paruh baya itu memanggil Ibram dengan lemah, setelah melihat keberadaan pria itu yang berada di belakang Anindira.
Ibram menggerakan tubuhnya agar mendekat ke ranjang pasien. “Iya, Tante,” sahutnya.
Mama Anindira tersenyum lemah. Hati kecil tertawa bahagia sebab melihat pria yang selalu menemani putrinya dikeadaan terpuruk sekalipun itu, kini juga hadir di tengah-tengah keadaannya yang antara hidup dan mati.
Tangan Mama Anindira terangkat lemah hendak meraih tangan Ibram. “Kamu lihat kondisi Tante, ‘kan?”
Ibram mengangguk sambil menggenggam tangan yang tadi meraihnya.
“Tante ingin kamu segera tepati janjimu,” ucapnya penuh harap yang membuat Ibram sedikit mengerutkan keningnya.
“Ja-janji?”
Mama Anindira mengangguk lemah sembari menyunggingkan senyum. “Menikahi Anindira.”
Tubuh Ibram seketika menegang, pupilnya membesar tak percaya atas apa yang barusan ia dengar. Telinganya tidak salah dengar, ‘kan?
Kini Anindira ikut menatapnya dengan tatapan yang sama dengan sang mama. Penuh harap.
Dalam hati Ibram merutuk dirinya sendiri. Lagi-lagi dia harus berada disituasi yang seperti ini. Berhari-hari lalu tampaknya hidupnya seperti daun yang diterbangkan oleh angin, bebas. Ia yang mudah berjanji, lupakan janjinya sendiri.
Tiba-tiba wajah Moira melintas dipikirannya. Wajah bulat kecil gadis itu begitu mengusiknya sekarang. Apa yang harus ia katakan pada Mama Anindira?
“Segera Ibram tepati, Tante.” Berbohong lagi adalah pilihan tepat saat ini pikirnya.
Menikah dengan Anindira merupakan topik yang hampir ia lupakan akhir-akhir ini. Bukan. Bukan dengan sengaja pria itu melakukannya, perlahan semua itu terlupakan dengan sendirinya. Dan pertanyaan Mama Anindira mengenai menikahi Anindira barusan adalah hal yang tak mau didengar oleh telinganya. Entah mengapa.
“Mama takut tak dapat saksikan akad kalian.”
“Mama!” hardik Anindira tak suka mendengarnya. “Mama jangan bicara yang tidak-tidak.”
“Apa yang membuat kalian terus menunda?” tanya Mama Anindira seraya melihat Ibram dan Anindira silih berganti.
“Kami tidak menunda, hanya mencari waktu yang tepat. Semua itu butuh waktu, Ma,” terang Anindira.
Walau ia sendiri tidak tahu kapan waktu yang tepat itu. Ibram memang janjikan waktu 1 tahun kepadanya, tetapi sampai detik ini kepastian itu hanya mengambang dipermukaan dan lagi tak ada tanda-tanda bahwa bocah itu mengandung anak Ibram. Beberapa hari ke belakang, janji yang diikrarkan Ibram begitu abu-abu bagi Anindira.
“Ibram, sungguh kamu mau menikahi Anindira?” Sorot mata Mama Anindira begitu penuh pengharapan dan haus akan kepastian.
Ibram bergeming. Hatinya bertanya, benar begitukah?
Ada sorot kecewa pada pandangan Anindira. Diamnya Ibram timbulkan pertanyaan, bukankah jikalau yakin maka pria itu akan dengan cepat dan lantangkan ‘iya’ tetapi lihatlah tubuhnya isyaratkan bahwa ia tidak yakin dengan janjinya sendiri dulu.
“Ibram,” panggil Anindira menyadarkan Ibram yang tenggelam dalam pikirannya.
“Te-tentu, Tante,” ucap Ibram setelah mendapatkan kesadarannya. Ibram rasanya ingin berpura-pura pingsan saja saat ini agar terbebas dari situasi yang tidak ia inginkan ini.
“Kalau begitu bagaimana kalau kalian laksanakan akad di sini, menikah di bawah tangan terlebih dahulu?”
“Apa?!!” Teriak Ibram tak percaya atas pikiran Mama Anindira, genggaman tangannya terlepas. Ia kaget bukan main, bagaimanapun ia tak dapat lakukan itu tanpa sepengetahuan Moira. Gadis itu terus mengusiknya sekarang.
“Yang Mama katakan benar, kita bisa lakukan itu sekarang.” Anindira ikut-ikutan mendesak membuat Ibram geram.
“Kamu gila?!” Ibram tak dapat lagi mengontrol emosinya. Amarah kini tengah menguasai dirinya. Ia marah pada Anindira yang melanggar komprominya dulu.
Sementara diwaktu yang sama napas Mama Anindira kini terlihat berat. Tak sangka permintaannya membuat keributan. Perasaan meragunya pada Ibram makin terlihat nyata.
“Justru kamu yang gila, meninggalkan aku demi bocah itu!” Anindira ikut-ikutan tersulut emosi. Ia tak sadar dan tak pedulikan situasi, perkataan itu lolos begitu saja dari mulutnya.
“Yang kamu panggil bocah itu adalah perempuan bersuami!” balas Ibram tak kalah tinggi.
Mama Anindira kian kesulitan bernapas. Ia tak mengerti apa yang dibicarakan Anindira dan Ibram. Dan siapa bocah atau perempuan bersuami yang mereka maksud?
“Oh, jadi kamu sudah mulai mencintainya, begitu?” Anindira yang semula terduduk di kursinya kini berdiri menghadap Ibram. “Ayo katakan! Kamu sudah mencintainya?”
Ibram memejamkan matanya sejenak sambil menghela napas. Anindira sukses membangkitkan amarahnya. Entah mengapa saat wanita itu menyebut Moira ‘bocah’ nuraninya langsung protes tak suka.
“Tante, maaf tak bisa penuhi permintaan itu sebab Ibram sudah menikah,” ucap Ibram sambil menatap Anindira tajam. Ia sudah muak terus mengikuti permainan Anindira. Menjebaknya dalam situasi menyulitkan ini. Walau ia tak menampik perasaannya masih untuk wanita itu, tetapi bukan dengan cara seperti ini.
Anindira terbelalak, mulutnya terbuka lebar. Jantungnya seperti jatuh ke dalam perutnya. Sejurus kemudian dengan cepat Anindira menoleh ke pada sang mama.
“MAMAAAA!!!” jeritan lolos di mulut Anindira. Terlihat sang mama tengah melotot dengan mulut ternganga dan napasnya yang terengah-engah.
“Tante!” pekik Ibram ikut-ikutan panik. Lalu pria itu dengan sigap menekan tombol merah yang berada di atas kepala ranjang.
“Lihat apa yang baru saja kamu lakukan!” pekik Anindira seraya memukul dada Ibram. Tangisnya pecah sambil terus meneriaki sang mama.
Detik berikutnya tenaga medis berlari menghampiri pasien. Entah berapa orang yang masuk ke ruangan Mama Anindira sebab baik Anindira dan Ibram terfokus pada sang mama. Seorang perawat memerintah mereka untuk keluar. Bahkan dua perawat dengan terpaksa menyeret Anindira.
Ibram menyenderkan punggungnya ke tembok. Diusap wajahnya dengan kasar. Bukan ini yang ia inginkan, bagaimana bisa semua ini terjadi menimpanya? Bagaimana kalau Mama Anindira tak tertolong kali ini? Terbayang wajah Mama Anindira yang sekarat.
Peluh keluar dari sekujur tubuh Ibram. Tiba-tiba otaknya teringat pada Moira. Ingin sekali menenggelamkan kepalanya dalam dekapan gadis itu. Sementara Anindira tengah menangis sejadi-jadinya di depan pintu ruangan sang mama.
Kedua tangan Anindira mendekap mulutnya. Dalam tangisnya ia berdoa dengan sungguh agar Mama dapat selamat.
1 menit.
10 menit.
20 menit.
Anindira menunggu dengan harap-harap cemas. Penyesalan menyergapnya, andai ia tak beradu mulut dengan Ibram, andai ia tak singgung soal bocah itu, andai ia tak bertemu Ibram malam ini. Semua kalimat pengandaian mengisi tempurung Anindira.
Detik berikutnya seseorang keluar dari ruangan Mama Anindira yang Anindira dan Ibram yakini seorang dokter. Dengan bahu menurun dan wajah lesu dokter itu menggeleng perlahan pada Anindira.
“Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun,” ucapnya kemudian.
Hati Anindira seperti dicongkel. Dunia terasa runtuh, kakinya seperti melayang tak berpijak. Tangisnya yang tadi menggema seketika membisu.
Orang yang satu-satunya ia miliki, kini meninggalkannya juga. Ayah, Ibram, dan sekarang… Mama.
Jeritan lolos dari mulutnya. Hatinya seperti dihantam beton. Anindira tak terima. Tak sanggup rasanya terima kenyataan ini. Lututnya kian bergetar, air mata kembali terurai. Tiba-tiba ia merasakan pelukan seseorang dari belakang. Kemudian ia menyentak lengan yang hendak melingkari perutnya.
“Pembunuh!” teriaknya tepat di depan wajah Ibram. “Pembunuh! Pergi! Pergi!” hardiknya sambil mendorong dada Ibram, kemudian menghujani dada Ibram dengan kepalan tangannya.
Ibram bergeming tak bereaksi apapun, sebab dirinya begitu sadar bahwa ini memang kesalahannya.
Anindira hendak masuk ke dalam ruangan sang mama yang telah terbujur kaku, mengetahui Ibram akan mengikutinya wanita itu kembali berbalik badan dan lagi-lagi mendorong Ibram dengan sisa tenanganya.
“Pergi! Aku tak sudi Mamaku dilihat pembunuh sepertimu!”
“An…,” lirih Ibram dengan napas berat.
Mata Anindira berkilat merah. “Pergi, Ibram. Aku tidak mau melihatmu lagi b*jingan!”
Ibram mematung mendengar penuturan Anindira yang tajam dan menohoknya. Satu nyawa melayang karena ulah bodohnya.
***
Moira yang terjaga dengan mata tertutup merasakan kasurnya bergerak. Detik berikutnya sebuah tangan melingkar di atas perutnya. Sontak mata Moira terbelalak, terkaget karena kehadiran Ibram yang tiba-tiba. Tak terdengar suara mobil datang maupun suara pintu yang terbuka.
“Diam, biarkan seperti ini,” pinta Ibram kala Moira hendak melepaskan tubuhnya dari dekapan Ibram. Pria itu menenggelamkan wajahnya pada lengan kecil milik Moira.
Dengan perasaan enggan Moira biarkan pria itu berlaku demikian. Mata Moira melihat pada kening Ibram yang berkerut dalam dengan mata tertutup. Jelas sekali pria itu tengah memikirkan sesuatu. Dalam hati ia tergelitik ingin bertanya, namun urung dilakukan mengingat rasa sakit yang beberapa jam lalu ia dapatkan dari pria itu. Bahkan, sakitnya masih terasa hingga saat ini. Tetapi, lihatlah pria itu selalu berlaku demikian seolah mereka tidak ada-apa, tidak pernah terjadi apa-apa.
Mata Moira kini beralih pada jam beker yang berada di atas nakas. Jarum jam tunjukan pada pukul 12 malam.
Pelukan Ibram semakin terasa erat hingga membuat tubuh Moira terjerat. Nurani Moira kian bertanya, apa yang terjadi?
“Mas,” panggil Moira akhirnya dengan suara parau.
Ibram tak menjawab, ia malah kian mempererat pelukannya. Ia sedang tak ingin bicara, hanya ini yang ingin ia lakukan.
Setetes air mata terjatuh lagi dari mata Moira. Sekuat tenaga Moira ingin mengubah posisi tidurnya, semula terlentang kini menyamping hingga berhadapan dengan Ibram. Tangannya memeluk kepala Ibram seperti seorang ibu yang melindungi kepala anaknya. Ibram kian tenggelam dalam pelukan Moira.
Entah apa yang tengah Ibram alami, tetapi Moira dapat rasakan bahwa ada kesedihan mendalam dari sikap aneh Ibram. Walau hatinya masih sakit, tetapi tubuhnya tidak bisa menolak untuk tidak mempedulikan Ibram.
***
Pagi selepas malam itu, Moira tak dapati Ibram berada di sisinya. Pikirnya Ibram sudah bangun dan pindah ke kamarnya. Namun, saat di meja makan Moira menunggu pria itu tetapi ia tak tampakan batang hidungnya. Memerikaa ke kamar Ibram dan mendapati kosong di sana.
Pencarian Moira hanya sebatas itu tak berlanjut untuk menghubunginya.
Malam harinya ia dapati Ibram dengan langkah kaki berat dan wajah murung kembali ke rumah. Hendak bertanya tetapi urung Moira lakukan sebab pria itu langsung mengurung dirinya di kamar. Moira tidak tahu sedang berada di posisi seperti apa sekarang ini. Permasalahan yang kemarin pun belum usai, kini melihat Ibram demikian membuat kepala Moira rasanya ingin pecah.
Pria itu tak sedikitpun membuka suaranya, tak izinkan Moira untuk mengetahui apa yang terjadi. Hal tersebut berlangsung selama dua hari. Moira dan Ibram bagai dua orang asing yang hidup dalam satu atap. Kejadian ini tentu tak mengagetkan sebab dulu pun ia pernah merasakan yang demikian. Tetapi, mengapa kini rasanya begitu menyakitkan?
Moira menghembuskan napas berat, dirinya pun tak bisa berbuat apa-apa. Terlihat Ibram yang terfokus pada sarapannya saja. Raga pria itu memang di sini, tetapi tidak dengan hatinya. Ia makan dengan melamun.
Moira sudah tidak bisa menahannya lagi. Ia tak bisa tinggal diam.
“Ma−”
Terdengar suara bel yang dibunyikan dengan tak sabaran. Moira urungkan niatnya yang ingin bertanya pada Ibram. Keningnya berkerut, hatinya bertanya siapa gerangan yang bertamu pagi-pagi begini.
“Bunda!” pekiknya setelah menggeser pintu kaca rumahnya.
“Mana Ibram?” tanya Bunda dengan nada tinggi.
“Ada di dalam, Bun.” Moira menyingkir dari tempatnya berdiri karena Bunda ingin masuk ke dalam.
Jantung Moira berdebar melihat raut wajah Bunda yang tak biasa itu. kemudian Moira mengekori Bunda yang langkah kakinya cepat.
“Di mana?” kata Bunda dengan nada yang sama.
“Meja makan, Bun.” Moira menelan ludah takut, sebab ini pertama kalinya ia melihat Bunda marah. Ya, bisa dikatakan wanita itu tengah marah dilihat dari raut wajahnya, pun dari nada bicaranya.
“Ibram!” hardiknya.
Ibram seperti tersadar dari tidurnya. Seperti orang ling-lung mencari sumber suara. Kemudian netranya menangkap sosok yang familier berada di belakangnya. Kini wanita itu berjalan semakin mendekat. Kala menangkap sinyal yang tidak baik dari aura wajah Bunda, Ibram lantas berdiri, mendorong kursi kayu yang ia duduki tadi.
“Bun−”
PLAK!!!
Tamparan keras menimpa pipi Ibram yang malang. Moira tersentak kaget lalu membekap mulutnya. Kejadian-kejadian akhir ini sudah cukup membuatnya pusing, ditambah masalah apalagi ini.
“Ibram, Bunda tak sangka kamu masih menjalin hubungan dengan Anindira,” tangis Bunda kini pecah.
Mata Ibram membola, lalu pandangannya ia alihkan pada Moira dengan tajam. “Kamu−”
“Bukan Moira yang mengadu,” timpal Bunda mengetahui Ibram akan menghardik menantunya. “Selingkuhanmu sendiri yang mengaku!”
“Ap-apa?” pekik Ibram tak percaya. Bagaimana bisa Anindira berlaku demikian? Sedang kehadirannya saja tak diinginkan Anindira. Bahkan saat Ibram kembali untuk menghadiri pemakaman mamanya saja wanita itu mengusirnya di depan semua pelayat.
“Tega kamu sakiti Moira.” Bunda mengusap air matanya yang terus lolos, hatinya sebagai seorang wanita tentu tahu bagaimana sakitnya di posisi Moira. “Bahkan kalian berencana buat menikah, Bunda tak sangka…,” ucapan Bunda terputus karena terisak. “Kalau begitu caranya, lebih baik kamu ceraikan Moira.”
“Bunda!” pekik Moira tak percaya atas apa yang baru ia dengar. Sementara Ibram tengah terpejam menahan setiap gejolak emosi yang ingin meluap.
***
Jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza π
PS. Cerita ini juga dipublikasikan di Wattpad.
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan