Selamat membacaπ
***
“Minggu depan aku mau nanjak.”
Moira menghentikan aktivitas menyapunya kala suara Ibram terdengar. Pria itu tengah berjalan menuruni tangga lalu duduk di sofa bed yang berada di ruang televisi.
“Nanjak?” Alis Moira terangkat tak mengerti. “Kenapa harus bilang sama Moira?”
“Ck. Seharusnya memang tidak usah bilang saja,” gerutu Ibram.
Moira mengedikan bahunya tak acuh. Dilanjutkan aktivitasnya yang terhenti tadi. Saat hendak menyapu dekat televisi, tepat saat melewati suaminya, lengannya ditarik hingga tubuh kecilnya melayang ke pangkuan Ibram. Jantung Moira berdetak cepat karena terkaget.
“Kamu betulan tidak peduli aku tinggal?” Kekesalan Moira didahului Ibram, urung sudah niatnya yang ingin menyemprot sang suami.
“Eh, ditinggal ke mana?!” Panik kini menyergapnya.
Mata Ibram tampak terpejam sekejap. Ternyata Moira tidak mengerti maksud dari ‘nanjak’, pantas saja gadis itu tak acuh. Kekesalannya hilang digantikan dengan gemas, begitu polosnya gadis ini.
“Nanjak itu mendaki gunung, sayang.” Mata Ibram dan Moira sama-sama membola. Ibram tak sadar apa yang dia ucapkan barusan, kata-kata itu lolos begitu saja dari mulutnya. Sedang Moira terlihat merona, sebab inilah pertama kalinya lawan jenis selain Ayah memanggilnya demikian.
Saat ini keduanya seperti pasangan cinta monyet. Bagaimana bisa Ibram yang sudah ulung mengenai hubungan lawan jenis tiba-tiba sekarang tengah kikuk merasa canggung. Sementara Moira sedang berhitung dalam hati, takut-takut ia akan berbuat yang tidak-tidak sebab nuraninya sedang meronta kegirangan bukan main. Perasaan yang baru pertama ia rasakan, rasa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Turun, kamu berat,” gumam Ibram.
Ibram jelas berusaha mengalihkan pembicaraan. Kedua tangannya siap mengangkat pinggang Moira agar gadis itu berpindah tempat. Namun, usahanya suak dilakukan sebab diwaktu yang sama Moira mengalungkan tangannya di leher Ibram. Dalam hati Ibram merutuk dirinya sendiri, mengapa tubuhnya merespons dengan tidak baik. Mengapa Moira dengan mudahnya membunuh seluruh syaraf-syaraf tubuhnya, sedang jantungnya berfungsi dengan berlebihan. Sampai-sampai ia takut kalau gadis itu dapat mendengar detak jantungnya.
Tanpa Ibram tahu, Moira pun merasakan hal yang sama tetapi sebisa mungkin gadis itu menunjukan sikap biasa saja. Keberaniannya harus lebih besar dari perasaannya. Kalau menuruti perasaan, Moira mungkin sudah berlari ke kamar, mengunci pintu, lalu berteriak sekencang mungkin. Berbeda dengan Ibram yang akan memilih berlari ke hutan lalu meminta harimau memakannya, sebab kesal karena perasaannya selemah ini.
“Moira ikut.” Pendengaran Ibram menangkap bahwa itu bukan sebuah permintaan melainkan tuntutan.
Ibram menggeleng cepat. “Tubuhmu ringkih, gak bakal kuat.”
Moira mencibir tak suka. “Ya udah, berarti Mas Ibram juga gak boleh ikut!”
Ibram berdesah, dirinya baru tahu Moira suka merajuk seperti ini. Ibram mengerutkan dahinya, tatapannya menusuk Moira. Pria itu sedang menimang, jika tidak diajak dirinya pun tak tega meninggalkannya sendirian di rumah. Jika diajak dirinya pun tak tega juga sebab melihat tubuh Moira yang ringkih.
“Please…,” mohonnya.
“Baiklah,” putus Ibram. “Turun, aku mau kabari kawanku dulu.”
Moira bersorak dalam hati. Senyumnya semringah seolah baru saja ia dapatkan sebuah hadiah umrah. Tangan yang melingkari leher Ibram terurai, lalu gadis itu berdiri dari pangkuan Ibram dan kembali melanjutkan aktivitasnya sambil bersenandung.
Sedang Ibram tengah bernapas lega. Bagi Ibram, Moira bagaikan gunung yang statusnya siaga, yang harus ia hindari hingga radius beberapa meter takut dapat meledakannya kapanpun. Namun, diwaktu yang sama gadis itu pun seperti magnet yang terus-terusan membuatnya tertarik untuk mendekat. Sikap Moira yang selalu tiba-tiba dan mengejutkan, selalu mampu lumpuhkan perasaan dan akal sehat Ibram.
Walau Ibram sudah memiliki gadis itu seutuhnya, tetapi rasanya masih belum terbiasa. Gadis itu masih tampak asing baginya. Orang asing yang mampu mengontrol perasaannya. Entah perasaan macam apa ini, tetapi yang pasti Ibram tak nyaman dibuatnya.
Ia harus segera menghubungi kawannya untuk mengubah rencana pendakian. Sebab Moira ikut, maka yang ia pilih adalah pendakian bukit yang tingginya kurang lebih 700mdpl.
***
Moira yang tak suka berolahraga mau tidak mau harus melakukannya sekarang. Ibram memaksa gadis itu, menyiapkan fisiknya sebelum pendakian. Olahraga yang dilakukan tidak terlalu berat, hanya berlari setiap pagi dan sore di taman kompleks.
Di hari pertama melakukannya terasa berat, malam hari tubuhnya terasa remuk. Pegal-pegal sampai tidak bisa tidur. Tetapi setelah menginjak hari ke tiga tubuhnya sudah terbiasa.
Dihari ke-5 Ibram menambah latihan fisik Moira dengan push-up, mulanya gadis itu menolak sebab sudah lelah berlari masa ditambah dengan push-up. Bisa-bisa tubuhnya remuk!
Tetapi, pada akhirnya dituruti juga sebab Ibram mengancam tak akan mengajaknya. Pasrahlah Moira.
Hari ke-6 atau hari sebelum pendakian, Moira dan Ibram tidak lagi menyiapkan fisik, melainkan menyiapkan keperluan yang akan di bawa. Seperti tenda, perlengkapan tidur, makanan secukupnya sebab menurut informasi di puncak ada yang membuka warung. Maklum pendakian kali ini ke gunung yang sudah biasa jadi tempat wisata yang bisa ditempuh naik-turun dalam satu waktu.
***
Persiapan tubuh Moira selama 5 hari akan dibuktikan pada hari ini. Sehabis ashar, Ibram dan Moira berangkat dari rumahnya untuk pergi ke tempat yang sudah dijanjikan untuk berkumpul bersama teman-teman Ibram yang lain.
Jam 4 sore, rombongan mulai berangkat. Pemberangkatan dilakukan sore hari karena rombongan berniat untuk bermalam. Tujuan pendakian mereka adalah Gunung Lembu yang terletak di Purwakarta, Jawa Barat. Menurut informasi, medan pendakian gunung tersebut cocok untuk pemula seperti Moira. Puncaknya hanya setinggi 792mdpl, tidak terlalu tinggi namun memiliki jalur pendakian yang lumayan menantang.
Rombongan yang ikut pendakian hanya berjumlah 6 orang, dengan satu mobil yang membawa mereka ke tempat tujuan. Dua diantaranya wanita, termasuk Moira. Semuanya adalah teman sejawat Ibram. Moira sedikit lega sebab salah satu kawan Ibram −Romi− membawa istrinya juga yang diketahui bernama Lala. Sisanya, Arif−pria yang lumayan tampan dengan tinggi 10cm di bawah Ibram dan pria dengan rambut kribo si anak gunung yang bernama Bana.
Selepas keluar dari Gerbang Tol Jatiluhur mobil di belokan ke arah Pasar Anyar Sukatani. Adzan maghrib berkumandang bertepatan dengan sampainya mobil yang dikendarai Ibram ke tempat tujuan. Sebelum melanjutkan pendakian, terlebih dahulu rombongan menunaikan shalat maghrib di mushola yang tersedia di basecamp. Terkecuali Bana, pria itu memilih untuk makan mendahului yang lain karena memang ia tak tunaikan 5 waktu.
Beres shalat dan makan, rombongan langsung registrasi simaksi sebesar Rp10.000/orang.
Sebelum melakukan pendakian, hal yang wajib dilakukan adalah berdoa mohon perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tujuan pendakian bukan ajang unjuk diri siapa paling hebat menaklukan kekuasaan Allah, lebih dari itu menaklukan gunung sama dengan menaklukan ego yang ada dalam diri. Serta, pulang dengan selamat adalah tujuan utamanya.
Dibalik ketinggian gunung, harus ada kerendahaan hati. Merasa diri ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lebih agung.
Gunung Lembu memiliki 3 pos yang bisa dilahap sekitar 1-2 jam oleh pendaki ulung, sedang bagi pemula mungkin butuh waktu 2-3 jam. Trek awal masih lumayan termaafkan oleh fisik Moira yang ringkih. Jalur pendakian didominasi oleh pohon bambu dengan kontur tanah berbatu. Sepertinya pendakian ini cocok di musim kemarau seperti sekarang, sebab jika pada musim hujan sudah dipastikan tanah menjadi licin.
Para wanita dibiarkan jalan lebih dulu, dengan Bana sebagai pemimin paling depan. Ibram tepat di belakang Moira. Gadis itu hanya menenteng tas slingbag berisikan ponsel, dompet, dan botol minum. Sedang Ibram menggendong tas carrier berisi perlengkapan logistic selama di gunung.
Sepuluh menit mendaki, Lala meminta untuk beristirahat. Padahal sepuluh menit saja bertahan mereka pasti sudah sampai ke pos 1. Tetapi, beginilah mendaki jangan sampai ego yang menguasai. Rombongan berhenti semua, napas Moira memburu pun dengan yang lainnya. Moira meminum sebotol mineral yang diambil dalam tasnya lalu memberikannya kepada Ibram. Pria itu tak menolak tahu bekas bibir Moira, dengan santai meneguknya.
Selama lima menit berhenti, akhirnya perjalanan berlanjut hingga sampai lah ke pos 1. Tenaga Moira mulai berkurang, hingga ia meminta untuk beristirahat. Cuaca malam tak membuat mereka merasa dingin, malah merasa sedang dalam sauna. Keringat membanjiri tubuhnya.
Terlihat beberapa tenda berdiri, mengingat ini adalah hari sabtu maka pantas saja jika ramai yang bermalam. Tetapi rombongan Ibram tak berniat bermalam di pos 1 melainkan pos terakhir. Lepas dari pos 1, perjalanan berlanjut ke pos 2. Vegetasi bamboo berganti menjadi pepohonan rindang. Perjalanan malam hari sangat ramai dengan suara hewan yang tidak diketahui oleh Moira.
Tanjakan mulai terjal, kondisi gelap tambah membuat perasaannya was-was. Senter yang melingkar di kepala terarah ke sana ke mari. Hampir sampai di pos 2, rombongan disambut petilasan Mbah Jonggrang. Suasana angker kian menyelimuti mereka, Moira tak henti-hentinya berdoa terlebih setelah melihat batu nisan yang dibungkus kain putih itu bagai terlihat seperti makhluk yang tidak mau Moira sebutkan. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang.
Tibalah di pos 2 yang terdapat beberapa warung. Mereka istirahat sejenak sambil memakan cemilan yang dibawa. Tak mau berlama-lama akhirnya perjalanan berlanjut dengan beristirahat sesekali. Jalur menuju pos 3, Bana mengingatkan bahwa treknya mulai terasa khas pendakian. Trek mulai menyempit, dengan jurang di kiri dan kanan, pohon-pohon rindang yang tadi melindungi kini tak lagi ditemui. Namun, kabar baiknya banyak batu ukuran besar sepanjang jalur ini. setelah melewati jalur tersebut rombongan kembali memasuki trek yang menanjak dengan sepanjang jalan dihiasi pohon bambu di sebelah kiri dan pohon rindang di sebelah kanan.
Tanjakan terakhir itu ditempuh selama 30 menit karena sesekali beristirahat. Akhirnya rombongan tiba di puncak. Saat ini sudah menunjukan pukul 9 malam, artinya kurang lebih mereka bermandikan keringat selama 3 jam.
Ucap syukur lolos dari mulut mereka semua. Dilihat sudah ada 3 tenda yang berdiri, kini saatnya mereka yang mendirikan tenda. Tak menunggu lelah hilang, para lelaki langsung bergegas. Moira dan Lala sedang mengatur napas sambil duduk bersila di tanah.
“Kamu hebat enggak banyak ngeluh,” ucap Lala di sela-sela napasnya yang terengah.
Moira tertawa kecil. “Moira ngeluh, tapi dalam hati.”
“Kuat lagi kamu panas begini pakai kerudung.” Lala terheran melihat Moira yang begitu betah dengan kain yang melilit kepalanya. “Aku aja yang enggak pake kepanasan bukan main.”
Moira bergeming tak membalas. Sebab merasa kegerahan tentu manusiawi, tetapi mengenai pakai tudung panas atau tidak, jika dijawab dengan iman maka jawabannya adalah tidak.
Moira meneguk sebotol air mineral hingga tandas, keringatnya kian bermunculan. Saat ini seperti terpanggang dalam oven.
Tiga tenda akhirnya berdiri. Satu untuk Romi dan Lala, 1 untuk Ibram dan Moira, 1 lagi untuk Bana dan Arif. Selepas mendirikan tenda mereka duduk membuat lingkaran untuk memakan makanan yang mereka bawa. Melepas lapar dan juga penat.
“Nanti lagi, gua ogah dah diajak nanjak ama kalian,” gerutu Arif sambil duduk bergabung dengan yang lain. “Jiwa kejombloan gua bergetar liat kalian!” tunjuk Arif dengan dagunya pada Ibram-Moira dan Romi-Lala.
Seketika semua tergelak mendengar penuturan Arif.
“Makanya nyari cewek tuh ke tempat-tempat ibadah biar dapet yang baik, jangan ke tempat hiburan!” timpal Bana mengejek. Arif memang dikenal sering bergonta-ganti pasangan.
“Ajarin gua dong, Bram. Gimana cara dapetin bidadari kayak istri lu?!” ujar Arif sambil mengedipkan mata pada Moira. Gadis itu seketika tertawa kecil.
“Maksud lo gue bukan bidadari, gitu?!” Lala tak terima, lalu dilemparkannya roti yang berada di tangannya ke Arif. Pria itu hanya terbahak sambil mencebik. Mereka memang sudah saling mengenal.
“Bagi tipsnya lah, Bram, pelit amal lu!” protes Arif melihat Ibram yang terfokus pada makanannya saja.
“Rajin shalat,” jawab Ibram singkat, padat, dan menawan. Hati Moira jadi berdesir, padahal tahu pria itu hanya bergurau.
“Di rukiyah di mana lu, tumben bener!” Kini giliran Bana yang bersuara.
Moira hanya tersenyum kecil, sedang Ibram tak mengindahkannya ia terus melanjutkan aktivitasnya. Memang kalau sedang makan fokusnya tak akan terbagi.
Selepas makan, mereka memutuskan untuk turun ke Batu Lembu, tempat favorit para pendaki. Di sana, dapat terlihat gagahnya Gunung Parang dan gunung lainnya yang mengelilingi. Terlihat lampu-lampu kota yang seperti bintang bumi menghiasi waduk Jatiluhur.
Kekaguman terpancar di mata mereka berenam. Apa yang patut kita sombongkan? Sedang diri ini begitu kecil di mata Allah. Lihatlah, dengan kokoh gunung-gunung ini berdiri menahan goncangan. Mampukah diri ini?
Ibram memeluk Moira yang tengah terkesima melihat Keagungan Allah. Inilah kehendak Allah.
Moira dapat mencium harum parfum yang Ibram kenakan bercampur dengan bau keringat. Dalam hati ia tersenyum. Tak pernah menyangka dapat saksikan keindahan ciptaan Allah, dengan orang yang telah mengisi hidupnya.
Mereka putuskan untuk shalat isya’ dibawah langit malam Batu Lembu. Panjatkan syukur adalah utamanya. Pinta keselamatan adalah harapnya.
Tak perlu sleeping bag sebagai perlindungan tidur mereka. Sebab udara begitu panas, Moira sama sekali tak gunakan jaketnya, menyisakan kaus panjang berwaran navy yang menempel tubuhnya. Ia tak bisa tidur, sebab sulit beradaptasi dengan suasana baru. Walau badannya lelah, tapi tak kunjung membuatnya terlelap. Ia gelisah, gerakan tubuhnya ke sana kemari.
Sejurus kemudian tubuh yang tak mau diam itu terkunci kala lengan Ibram mendekapnya.
“Berisik, aku tak bisa tidur,” keluh Ibram.
“Moira enggak bisa tidur,” ujar Moira berbisik.
Kemudian Ibram mengurai pelukannya, lalu tubuhnya bergesar memberikan ruang diantara mereka. Tangan kirinya terlentang lalu berkata, “Kemari, tidur di sini.”
Moira menuruti tanpa protes, tubuhnya ia gerakan untuk tidur di atas lengan Ibram. Lengan Moira tanpa ragu melingkar di atas perut Ibram. Kemudian terdengar Ibram menggumam membaca Surah Al-Mu’awwidzat, selepas itu meniupkannya ke telapak tangan dan mengusapkannya ke seluruh tubuh Moira.
Perasaan gelisah Moira perlahan menghilang digantikan dengan kantuk yang mulai menyerang.
Dengan nama-Mu ya Allah, aku hidup dan mati.
***
Pagi menyingsing, kilaunya sinari kekaguman mata yang memandang. Warna yang paling dikagumi setiap mata, bohong kalau bukan oranye yang terlukis di atas langit. Lelahnya kemarin terbayar sudah kala matahari terbit menjamu pagi mereka.
Syukur tak henti bertabur. Senyum semringah membingkai wajah mereka berenam. Selepas sarapan pagi mereka putuskan untuk turun. Pergi meninggalkan gunung ini dengan hati yang tak henti takjub, dengan cerita yang akan terus mendekap dalam benak.
Jalanan gunung bagaikan jalanan kehidupan manusia. Kadang curam, kadang landai, kadang menanjak, kadang menurun. Lalu, dibalik itu semua selalu ada keindahan yang menanti.
***
Dua hari selepas pendakian mereka, Ibram dan Moira mendapat kabar bahwa Lala masuk ke rumah sakit. Kelelahan penyebab utama dirinya dilarikan ke sana.
Moira dan Ibram tentu langsung bergegas menjenguk dengan membawa buah tangan sebuah parcel berisikan buah. Selama setengah jam menjenguk, Moira dan Ibram pamit pulang sebab Lala sudah terlelap takut menganggu. Romi ucapkan banyak terima kasih karena mereka sempatkan untuk menjenguk.
Moira dan Ibram jalan beriringan. Gadis itu jika di luar tak berani berbuat agresif pada Ibram. Malu menjadi alasannya. Jadilah mereka berjalan masing-masing tanpa tangan yang saling bertaut.
Sesampainya di luar rumah sakit yang saat ini hendak melewati UGD, tiba-tiba Ibram bergeming kala melihat seorang wanita yang familier tertangkap netranya keluar dari mobil ambulance.
Terlihat kepanikan tercetak jelas di raut wajah wanita itu. Detik berikutnya netra Ibram kembali menangkap sosok wanita paruh baya yang terbaring di brankar lalu para perawat dengan sigap membawanya dengan berlari.
“Anindira!” pekiknya sambil meninggalkan Moira.
Anindira menolehkan kepalanya dan mendapati Ibram sedang berlari kepadanya. “Ibram!” tangisnya sambil menubruk pria itu.
Moira mematung di tempatnya. Lukanya yang perlahan terkubur kini terbuka lagi. Kemudian Moira memaksakan kakinya untuk terus berjalan menghampiri mereka.
Terlihat Ibram dan Anindira akan bergegas ke dalam dengan kepanikan yang menyergap. Moira lantas buru-buru berlari kecil.
“Mas Ibram!” Ibram dan Anindira menoleh. “Mau kemana? Ayo kita pulang!” teriak Moira.
Ibram terdengar mengumpat. Lalu dilepaskan pegangan tangan Anindira dan menghampiri Moira. Pria itu menarik paksa pergelangan Moira hingga membuat tubuh kecil gadis itu melayang, terpaksa mengikuti langkahnya.
“Ayo!” ajak Ibram pada Anindira yang bergeming dalam tangisnya.
Anindira tentu tak bisa menolak kehadiran Moira saat ini sebab mamanya sedang dalam keadaan darurat. Jadilah mereka bertiga berlari bersamaan.
Moira bagai boneka yang tak punya akal sehat. Berulang kali ia merutuki dirinya sendiri. Apa yang ia lakukan di sini? Menyaksikan suaminya tengah menenangkan wanita yang selama ini jadi duri di kehidupan rumah tanggannya, sungguh mencabik hati.
“Kamu harus tenang, kita berdoa supaya Allah menyelamatkan mamamu.” Ibram mengelus lengan Anindira yang terus menangis dalam pelukannya. Focus Ibram tidak pada Moira, kini perasaannya tengah dikuasai kekhawatiran akan kondisi Mama Anindira.
Tidak bolehkah Moira untuk egois sekali saja?
Mengapa tak ada rasa empati sedikit pun dalam diri Moira?
Oh Allah, bunuhlah perasaan tak pantas ini…
Wanita itu tengah berselimut duka tak sepatutnya keegosian menguasai diri.
Mata Moira menjadi kabur. Dadanya begitu sesak, hatinya pilu, perasaannya kalut. Berlari dari sini merupakan keputusan yang paling tepat. Moira tak bisa setegar itu, Moira tetaplah seorang istri yang memiliki perasaan. Harap-harap cemas, Moira ingin Ibram mengejarnya di belakang sana. Namun nyatanya yang mengejar Moira hanya kesedihan. Harga dirinya kembali diolok-olok. Posisinya memang tak pernah menjadi unggul dari Anindira.
Dalam kondisi seperti ini, keegoisan selalu jadi pemenangnya. Moira tak dapat mendakinya, tak dapat menaklukannya.
***
Jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza π
PS. Cerita ini juga terbit di Wattpad.
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan