Selamat membaca π
ΫΫΫ
Buku jari-jari Ibram memutih, ia cengkeram kuat-kuat kemudinya. Kali ini bukan kuda besi tunggangannya.
Berkali-kali ia mendengus, mendecak, lalu mengacak rambutnya frustrasi. Bagaimana bisa Moira membuatnya semarah ini? Jika dipikir-pikir bukankah ini seperti perasaan… cemburu? Ah, persetan dengan cemburu!
Memangnya suami mana yang tak akan berang jika melihat istrinya disentuh laki-laki lain? Tak terasa rahang Ibram mengeras, cengkeramannya pada kemudi kian kuat. Mengingat wajah bocah ingusan itu membuatnya ingin melayangkan tinju sekarang juga. Sungguh menyesal membiarkan bocah ingusan itu bebas tanpa ia tinggalkan tanda kepalannya.
Wanita berambut pendek yang sudah 10 menit Ibram tunggu akhirnya menampakan batang hidungnya. Kulitnya tetap bersinar ketika berjalan menyusur tempat parkir rumah sakit yang kurang pencahayaan ini. Ia cantik seperti biasanya.
Anindira menghentikan langkah kakinya ketika sampai di hadapan Ibram. Dilihatnya pria itu sedang asyik memainkan kunci yang ada di genggamannya. Tubuhnya terduduk di bagian depan mobil.
Netra Anindira menyelisik, merasa ada yang lain dari prianya. Ia hafal betul bagaimana perangai pria yang sudah ia pacari selama 10 tahun itu. Jelas Ibram sedang dalam kondisi yang tak baik. Terlihat dari keningnya yang berkerut dalam, tatapan matanya yang kelam, dan bibirnya yang terkancing diam.
“Kamu sedang ada masalah.” Itu jelas bukan pertanyaan melainkan pernyataan yang keluar dari mulut Anindira.
Ibram menatap Anindira lekat. “Kamu sangat mengenalku dengan baik.”
Anindira menghembusakan nafasanya pelan kemudian berkata, “Aku kekasihmu, ingat?!” Anindira duduk di sebelah Ibram, matanya menatap langit yang saat ini sedang ramai oleh kehadiran bintang.
“Um… kamu mau langsung pulang?” tanya Ibram ragu. “Mau temani aku habiskan waktu malam ini?”
Anindira menolehkan pandangannya pada Ibram sehingga pandangan mereka bertemu. Sejak Ibram menikah inilah pertama kalinya pria itu menjemputnya selepas pulang bekerja, pun pertama kalinya pria itu mengajaknya pergi lagi setelah ke mal waktu itu bersama Mama. Hati Anindira kemudian tergelitik untuk mengetahui lebih jauh masalah apa yang sedang menimpa pria ini sehingga menjadi dirinya yang lain−setelah dirinya menikah tentunya.
“Kamu kenapa? Maksudku sedang ada masalah apa?”
Sebetulnya Ibram tak mau bagi tahu persoalan apa yang sedang mengacaukan pikirannya, tetapi rasanya batinnya meronta ingin diungkapkan. Ia butuh teman bercerita saat ini. Anindira… tidak apakah? Nuraninya berteriak untuk katakan saja, jangan pedulikan dulu perasaan orang lain. Saat ini perasaannya yang tengah butuh pertolongan. Berharap semoga Anindira mengerti.
“Aku sedang ada masalah dengan Moira.”
Anindira bereaksi tak sesuai dengan ekspektasi Ibram. Wanita itu berdiri dari duduknya, tubuhnya seolah tersengat kala mendengar nama gadis yang tak ingin ia dengar itu mengudara dari mulut Ibram.
“Ap-apa?!” Telinganya tak mungkin salah dengar, bukan?
Ibram mengusap wajahnya kasar. Keputusannya sangat salah. Ia malah memperkeruh keadaan, membuat pikirannya kacau kian kalut.
“Ja-jadi kamu datang ke aku karena kamu sedang ada masalah dengan bocah itu?!” Marah Anindira sambil menunjuk Ibram. “Kamu pikir aku ini seperti rumah sakit yang dikunjungi ketika butuh pengobatan saja?!” Kali ini telunjuk Anindira menunjuk bangunan bertingkat yang berada di belakangnya.
“Anindira…,” gumam Ibram tak tahu harus berucap apa.
“Aku memang mencintaimu, tetapi bukan berarti kamu bisa seenaknya gunakan aku sebagai pelipur laramu.” Ibram sukses membuat hati Anindira terluka. “Maaf aku tidak bisa menemanimu. Aku tidak mau gunakan waktu berhargaku untuk menghilangkan kesedihan pria yang disebabkan oleh wanita lain,” pamit Anindira tanpa menunggu persetujuan Ibram.
Ibram memijat pelipisnya yang berdenyut. Mengapa makhluk yang bernama wanita hari ini begitu menyebalkan.
***
Kaki Ibram ragu untuk melangkah. Kaki kanan yang terbalut sepatu itu sudah setengah mengangkat, kemudian dipijakan lagi pada pengesat kaki yang terbuat dari sabut kelapa ini. Ibram menarik nafasnya dalam, menghilangkan keraguan yang merundungnya.
Mau tidak mau malam ini harus tidur di sini. Sebab rasanya tidak mungkin untuk kembali ke rumah, pun ke rumah orangtuanya. Kawan? Lebih tidak mungkin bisa-bisa dia akan diolok-olok habis-habisan sebab marahnya ini seperti anak kecil.
Kesan pertama saat masuk ke rumah ini adalah hawa dingin yang menusuk tulangnya. Akan sangat wajar sebab rumah ini tak berpenghuni selama sebulan lebih. Tetapi hal tersebut tak membuat bulu kuduknya meremang.
Rumah masih sama seperti dulu, tak ada perubahaan apapun. Masih ada lukisan kaligrafi berwarna emas yang berukuran besar di ruang tamu, pun dengan sofa hijau yang dulu ia duduki kala melamar Moira. Mengingat Moira hatinya kembali memanas.
Ibram menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikirannya. Tetapi sia-sia saja sebab di sinilah Moira bersumber. Kakinya melangkah ke kamar mandi untuk kemudian shalat isya’ di mushola rumah ini.
Selepas itu, kakinya menuntun Ibram ke kamar yang berada dibalik ruang tamu. Kamar dengan petiduran berukuran single yang pernah ia tiduri. Rasa kantuk mulai menyerang Ibram, tetapi bukannya memejamkan mata pria itu malah menjelajah kamar Moira.
Didudukinya kursi kecil yang di depannya meja belajar bermotif garis biru milik Moira. Tangan Ibram tak diam, pria itu membuka laci untuk mencari sesuatu.
Sebagai seorang perempuan rasa-rasanya Moira tak sama dengan yang lainnya. Gadis itu tidak punya diary, padahal Ibram sangat ingin membacanya lalu menertawainya.
Setelah mengacak-acak meja belajar Moira, akhirnya Ibram temukan 5 buah album foto. Sorak gembira menyerbu hatinya. Siap-siap mencari aib Moira, barangkali ada foto memalukan masa kecil Moira. Seketika rasa marah Ibram hilang tak berbekas.
Terlalu larut dalam aktivitasnya Ibram sampai lupa waktu, tak terasa sudah pukul 2 malam. Melihat Moira dalam berbagai pose sungguh menghiburnya. Tak bisa dipungkiri Moira sudah cantik sedari kecil, dan Ibram mengetahui fakta kecantikannya itu didapat dari ibunya. Ibu yang tangannya belum pernah ia salami.
Ibram menutup mulutnya yang menguap, kemudian tubuhnya ia baringkan ke petiduran milik Moira yang terasa dingin di punggungnya. Baru saja hendak memejamkan mata, tiba-tiba suara batuk seseorang mengusiknya. Tubuh yang tadinya sudah ingin terlelap, berubah menjadi sigap. Takut-takut ia beranjak dari tempat tidur untuk memastikan siapa gerangan yang terbatuk di luar kamar ini.
Dengan tangan bergetar, Ibram membuka pintu. Kepalanya sedikit menyembul lalu mendapati seorang pria paruh baya sedang terduduk di meja makan. Di bawah lampu temaram, wajahnya begitu bercahaya hingga Ibram dapat mengenali sosoknya
“Ayah…,” panggil Ibram pelan seraya ke luar dari kamar.
Merasa dipanggil pria paruh baya itu menengok lalu seulas senyum membingkai wajahnya.
Ibram menarik kursi meja makan di seberang Ayah. Hatinya sedikit lega bahwa yang terbatuk tadi bukanlah maling seperti dalam pikirannya.
“Senang Nak Ibram berkunjung kemari,” ucapnya dengan senyum yang tak luntur.
Ibram hanya mengangguk sambil tersenyum. Akal sehat Ibram saat ini tengah lumpuh, hingga tak bisa berpikir bahwa orang yang sedang berbicara dengannya sudah tak sama dimensinya.
“Ayah kangen sekali pada kalian. Terutama Moira….” Ayah sedikit membalikan tubuhnya, kemudian ia menunjuk pada sebuah foto berukuran 10R yang terbingkai menggantung di dinding ruang makan. “Lihat, betapa cantiknya dia tersenyum menunjukan lesung pipitnya,” puji Ayah.
Ibram mengamini dengan serius kalimat terakhir Ayah. Wajah Moira seperti bayi yang terjebak dalam tubuh orang dewasa. Hatinya berdesir, lalu tak sadar ucapkan syukur karena telah memilikinya. Ah, sungguh perasaan dangkal, menilai hanya dari fisiknya saja.
“Moira… gadis itu seperti dalam foto di sana. Semua pria hanya bisa mengaguminya, tanpa bisa menyentuh tubuhnya, pun hatinya.”
Ibram mengerjapkan matanya beberapa kali. Rasa-rasanya ucapan Ayah sangat relevan dengan masalah yang tengah ia hadapi. Moira… tak tersentuh?
“Moira pernah berikrar pada Ayah,” sambung Ayah. “Jikalau Moira harus jatuh cinta, maka jatuhnya itu hanya untuk suaminya saja.”
Jantung Ibram rasanya terjatuh ke dalam perutnya. Apa yang ia dengar barusan sungguh menamparnya, bukankah itu sudah menjawab semua tuduhannya selama ini? Ibram mendengus marah pada dirinya sendiri. Tak terasa lengannya yang di atas meja makan terkepal.
Sejurus kemudian kepalannya terasa dingin kala disentuh telapak tangan Ayah. Ibram sedikit terkesiap.
“Ayah berharap Moira tak jatuh cinta pada Nak Ibram.”
Tubuh Ibram terlonjak bak tersengat tegangan yang kuat. Maksudnya apa? Ayah tak mau pernikahan ini berlanjut?
“Ayah berharap kalian sama-sama bangun cinta. Pernikahan kalian ini pertama dan terakhir.” Penjelasan Ayah mampu kendurkan urat-urat Ibram yang menegang. Tatapan Ayah sungguh penuh pengharapan membuat hati Ibram tak sampai hati jika tak mengaimininya. Kepala Ibram mengangguk membuat otot-otot wajah Ayah tertarik.
Detik berikutnya Ayah berdiri lalu melengos begitu saja dengan cepat masuk ke dalam kamarnya. Ibram tak mencegahnya sebab otaknya sedang bekerja. Apa tadi itu?
Akal sehatnya yang semula lumpuh, kini telah pulih. Jantungnya berpacu cepat, hingga membuat dadanya sakit. Sejurus kemudian pria itu terbangun dari bunga tidurnya.
Dipegangnya dada bidang miliknya yang berdebar cepat. Peluh sebesar biji jagung keluar dari sekujur tubuhnya. Rasa gerah bercampur dingin menyelimuti tubuhnya. Susah-susah ia menelan saliva. Tak terasa bulu kuduknya meremang bersamaan dengan suara adzan subuh yang berkumandang. Kemudian pria itu bergegas dengan setengah berlari untuk ke luar dari rumah ini dan menuju masjid.
Bunga tidurnya itu terasa nyata.
***
Rasanya Moira tak ada niatan untuk pergi ke kampus dengan keadaan begini. Apa kata teman-temannya nanti melihatnya seperti zombie dengan kantung mata yang sebesar bola pingpong.
Rasa berat yang menggelayuti kepalanya tak menghalangi gadis itu untuk beraktivitas. Kalau hanya berdiam diri maka sudah pasti dia akan kembali menangis.
Sudah hampir jam 6 tapi tak ada tanda-tanda suaminya kembali. Hatinya kembali bersedih. Kemudian ia memilih untuk beristighfar saja.
Moira tengah melipat pakaian kering di kamarnya. Baru saja hendak menyomot pakaian selanjutnya, tubuhnya dikagetkan dengan suara pintu yang tiba-tiba dibuka dengan kasar. Netranya membola kala melihat sosok pria yang ia tunggu semalaman kini tengah berjalan cepat menghampirinya.
Kekagetannya tak berhenti di situ, sejurus kemudian pria itu bersimpuh seraya memeluk kakinya. Tubuh Moira sedang duduk di tepi kasur. Air mata Moira terjatuh.
“Maafkan aku Moira,” ucapnya dengan penuh penyesalan. Diciumi lutut Moira yang berbalut celana tidur silih berganti. Air mata Moira kian deras keluar.
Ragu-ragu Moira mengulurkan tangannya untuk menyentuh puncak kepala Ibram. “Mas…,” lirihnya.
“Maafkan aku telah menuduhmu yang tidak-tidak.” Ibram menenggelamkan wajahnya di kaki Moira. “Maafkan semua kata-kataku yang melukaimu kemarin,” imbuhnya. Ibram memberanikan diri untuk mendongakkan wajahnya, menatap Moira. Hatinya merasa pilu kala melihat mata sembap Moira yang lengkap dengan lingkaran hitam.
Tangan Ibram terulur untuk menghapus air mata Moira. Ini bukan air mata kesedihan, melainkan air mata dari hati yang bergembira. Panah yang mengantarkan doanya ke langit tak meleset. Allah kabulkan doa-doanya, seolah tak hitung perbandingan syukurnya dengan banyaknya doa yang ia panjatkan. Allah memang sebaik itu.
Moira menyingkirkan tangan besar Ibram dari wajahnya, kemudian ia peluk suaminya yang masih dalam posisi bersimpuh. Wajahnya ia tenggelamkan pada rambut Ibram, bibirnya mencium puncak kepala Ibram samar. Sedang Ibram tenggelam dalam dada Moira, pelukan hangat Moira mampu membuat perasaannya diselimuti bahagia. Saat ini malah dirinya merasa malu, marahnya sungguh tak beralasan, tak biarkan mendengar penjelasan istrinya terlebih dulu.
“Jika kesalahanmu seluas danau, maka maafku seluas lautan.”
***
Empat puluh hari Ayah berlalu bergitu saja. Kemarin malam usai sudah serangkaian doa yang dikirmkan untuk Ayah di kediaman orangtua Ibram.
Hari ini Moira, Ibram, Bi Idah dan suaminya berziarah kubur. Dengan hati tulus dan ikhlas, mengaimini setiap hadiah doa yang dilafalkan oleh suami Bi Idah. Baktinya sebagai anak harus terus berlanjut dengan lantunan doa yang setiap kali shalat harus ia lafalkan untuk Ayah dan Ibu yang telah berpulang.
Ayah, hidup 20 tahun bersamamu rasanya begitu singkat.
Ayah, baktiku 20 tahun padamu rasanya belum cukup.
Ayah, tugasku 20 tahun ini akan terus berlanjut.
Ayah, moga kita dapat bertemu di Jannah-Nya.
Moira dan Bi Idah berjalan lebih dulu, meninggalkan para pria yang sedang asyik mengobrol di belakang.
“Neng, udah baikan?” tanya Bi Idah membuyarkan lamunan Moira.
Baikan? batinnya. “Maksudnya, Bi?”
“Ah, si Neng mah suka gak mau cerita.” Bi Idah merajuk sembari menyenggol lengan Moira.
Moira kian bingung sebab tidak tahu topik apa yang sebenarnya dibicarakan oleh Bi Idah. Otaknya dipaksa bekerja, memikirkan ucapan-ucapan Bi Idah barusan. Detik berikutnya, mulut Moira membulat.
“Bi Idah tahu dari mana?” tuntutnya tak sabaran.
Bi Idah yang tadi pura-pura merajuk kini tengah terkekeh hingga membuat Moira gemas sebab ingin segera tahu. Rasanya ia tak pernah cerita apapun perihal masalahnya tempo hari dengan Ibram. Jadi, bagaimana bisa Bi Idah tahu? Atau jangan-jangan Bi Idah cenayang? Moira menggelengkan kepalanya, membantah pikirannya sendiri.
“Ih, Bi kasih tahu Moira cepet!”
“Sabar atuh, Neng.” Bi Idah menggandeng tangan Moira kemudian berkata, “Jadi, waktu hari rabu kemarin Mas Ibram dateng ke rumah bibi minta kunci rumah Neng.”
Tubuh Moira tersentak. Barusan yang ia dengar tidak salah, ‘kan? Sejauh ini pendengarannya normal, sih.
“Terus Bibi nanya tuh Neng Moira mana, eh, Mas Ibram cuman nyengir doang. Jadi, bibi tebak pasti lagi ada masalah.”
Perasaan bersalah kini merundung Moira. Betapa berdosanya ia telah menuduh suaminya singgah ke rumah wanita lain. Memang sejak baikan Moira tak tanya soal kemana Ibram pergi sebab ia sudah merasa tahu ke mana pria itu akan singgah. Tetapi, nyatanya ia telah berprasangka buruk.
Bi Idah yang terus berbicara di sampingnya tak diindahkan oleh Moira. Penyesalannya sungguh tengah mengusiknya. Dirinya jadi ingin buru-buru untuk segera tiba di rumah. Meminta maaf jelas jadi tujuan utamanya.
***
Tubuh Ibram tersentak kala seseorang menabrak punggungnya. Perutnya dilingkari tangan mungil milik seseorang yang familier. Seribu pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Ada apa gerangan? Apa Moira tengah menggodanya di siang hari begini?
“Maafkan Moira.” Suara Moira mengudara bersamaan perasaan Ibram yang kian terheran.
“Dosa apa yang telah kamu perbuat?” tuduh Ibram. Jika seseorang mengucapkan maaf begitu, maka yang ada dipikiran Ibram jelas seseorang itu telah berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan. Ibram tidak bisa tidak berprasangka buruk.
Moira kian mengeratkan pelukannya kala mendengar suara suaminya meninggi. Pikirnya, pria itu pasti akan marah besar sebab telah menuduhnya yang tidak-tidak.
“Waktu Mas Ibram gak pulang ke rumah, Moira nuduh yang enggak-enggak.”
“Maksudnya?” jawab Ibram cepat.
“Moira kira Mas Ibram nginep di rumah wanita lain,” jawab Moira pelan sembari menyembunyikan wajahnya di punggung Ibram. Hatinya sudah siap mendapatkan amukan dari Ibram.
“Oh, jadi di matamu aku seperti itu?”
Moira mengigit bibirnya, perasaan bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Pandangannya menjadi kabur sebab air mata yang menumpuk di pelupuk matanya. “Maafkan, Moira.” Suara Moira bergetar menahan tangis. “Mas Ibram boleh hukum Moira….”
Ibram sontak membalikan tubuhnya, hingga pelukan Moira terlepas dengan paksa. Tangannya mencengkeram lengan Moira. Mata elangnya menatap Moira yang tengah menangis.
Sejujurnya tuduhan Moira itu tak seratus persen salah, sebab pada mulanya ia juga ‘kan ingin habiskan waktu dengan Anindira.
Ibram tampak mengigit bibirnya, ragu untuk ia ucapkan. Tetapi… kalau tidak, selamanya ia akan menyesal. Namun, rasanya lidah Ibram kelu. Jadilah tangannya berinisiatif untuk menggendong Moira.
Gadis itu tentu terkesiap kaget karena tindakan Ibram yang tiba-tiba. Moira meronta ingin diturunkan hingga buat pria itu kewalahan walau membawa tubuhnya yang kecil.
“Diam, ini hukumanmu.”
Ibram menidurkan Moira di petiduran miliknya. Moira coba bangun dari tidurnya, tetapi kemudian di tahan oleh Ibram. Pandangan mereka bertemu, hingga melumpuhkan Moira. Tenaganya terasa hilang, mata Ibram mengunci pergerakannya.
“Biarkan aku memilikmu… sekali lagi.” Tidak! Tidak! Tidak! Tidak sekali! teriaknya dalam hati.
Perut Moira tiba-tiba terasa mulas. Sekujur tubuhnya bergetar hebat, keringat mulai bermunculan. Dan entah keberanian dari mana, Moira mengunci Ibram. bibir Ibram tersenyum dalam pagutannya, bersorak dalam hati atas keberanian Moira.
Kupu-kupu terus berterbangan dalam perut Moira. Panasnya matahari di luar sana, menambah basahnya keringat yang keluar dari tubuh mereka.
Moira berharap ini bukanlah mimpi indah di siang bolong. Jikalau ini adalah bunga tidur, maka Moira ingin untuk tetap tertidur saja tetapi tanpa ada Anindira sebagai penghancur angan-angannya.
Ah, Mas Ibram!
***
TBC…
Jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza π
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan