Loading...
Logo TinLit
Read Story - IKRAR
MENU
About Us  

“Kupikir kamu di kampus hanya belajar mengenai jarum suntik, ternyata kamu juga mengurusi perceraian, ya?” sarkas Ibram tak suka kala mendengar adiknya punya rencana agar dirinya bisa bercerai dengan Moira.

Mata Nadin menyipit. “Kenapa? Kok Mas Ibram keliatan gak suka gitu?” tanyanya dengan nada tak terima. “Bukannya kalian gak saling cinta ‘kan? Mas Ibram hanya cinta ke Kak Dira.”

Ibram mendengus, kini ditatapnya mata sang adik dengan sorot bak elang yang siap memakan mangsanya. “Kalau pun aku harus bercerai dengan Moira, maka itu atas permintaannya,” pungkas Ibram sambil melengos pergi meninggalkan adiknya dengan mulut terbuka tak percaya.

Setidaknya biar aku tidak merasa bersalah, lanjut Ibram dalam hati.

***

Esoknya Moira sudah rapi bersiap untuk berangkat ke kampus dari rumah sakit, tetapi baru saja kakinya ingin melangkah tiba-tiba suara Bunda yang sedang berusaha mengeluarkan isi perutnya membuatnya khawatir dan menunda keberangkatannya.

Hari ini giliran Ibram yang absen untuk pergi bekerja, sebab tak tega membuat Moira berlama-lama tak masuk kuliah. Lagipula masih ada adiknya Nadin yang bisa membantu Bunda untuk ke kamar mandi. Sementara Abi, beliau selalu sibuk karena sedang banyak menangani kasus-kasus perceraian.

“Perut Bunda rasanya mual banget tapi enggak bisa ngeluarin apa-apa,” keluh Bunda seraya meringis membuat Moira kian khawatir.

“Nadin ke mana, sih? Moira ‘kan harus berangkat sekarang,” gerutu Ibram sambil membantu Moira memijat tengkuk Bunda.

“Gak apa, Mas,” jawab Moira. “Kelas Moira masih setengah jam lagi kok.”

“Maafin Bunda, ya?! Selalu ngerepotin kalian,” ucap Bunda merasa tak enak.

“Enggak apa, kok. Ini ‘kan sudah kewajiban kita sebagai anak,” jawab Moira seraya tersenyum dan Ibram pun mengamini dengan menganggukan kepalanya.

“Assalamu’alaikum.”

Ucapan salam seseorang itu sontak membuat Bunda, Moira, dan Ibram menoleh secara bersamaan. Mereka bertiga hampir memasang ekspresi wajah sama, yakni terkesiap. Akan tetapi Moira-lah yang lebih terkesiap sebab tak disangka wanita yang tak diinginkan kehadirannya itu menunjukkan batang hidungnya di sini sekarang.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Ibram dan Bunda, sedang Moira menjawab pelan dalam hati.

Wanita itu tersenyum manis kala mendengar salamnya dijawab seraya melangkahkan kakinya untuk mendekat. Terlihat parcel buah menghiasi tangannya.  

Ia begitu anggun seperti biasanya. Dress selutut berwarna biru cerah yang ia kenakan kini sungguh pas dibadannya yang tinggi semampai juga ramping. Ditambah cardigan bercorak bunga yang menunjang penampilannya sehingga membuatnya kian mempesona.

Bibir merah jambu yang membingkai wajahnya itu ia gerakan untuk berkata, “Bagaimana keadaan Tante sekarang?”

Tangan Moira yang sedari tadi memijat Bunda kini turun perlahan. Lalu kakinya mundur selangkah memberi ruang kepada Anindira.

“Sudah mendingan,” jawab Bunda ramah. “Cuma tinggal mualnya saja.”

Anindira tampak mengangguk dengan senyum yang tak kunjung luntur. Moira yang melihat itu langsung melengos, merasa dirinya apabila dibandingkan dengan Anindira sungguh tidak ada apa-apanya. Patutlah Ibram tak bisa meninggalkannya.

Sementara Ibram hanya diam membisu di tempatnya.

“Ini Anindira bawakan buah untuk Tante,” ucap Anindira teringat akan bawaannya. “Diterima,” sodornya.

“Terima kasih,” ucap Bunda lalu memberikan parcel buah itu pada Moira.

“Boleh Anindira duduk?” Kali ini lebih kepada bertanya pada Moira, sebab kursi satu-satunya itu berada di samping Moira.

“Boleh,” jawab Moira datar lalu menyingkir dari sana. Kini langkah kakinya menuntunnya ke sofa yang berada di dekat pintu.

“Eh, ada Kak Dira!” pekik Nadin di ambang pintu.

Sempurnalah pagiku, desah Moira dalam hati.

“Nadin,” sahut Anindira sumringah.

“Duh, baiknya pagi-pagi gini jengukin mertua!” kata Nadin sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam melewati Moira dengan tatapan sinisnya.

Mata Ibram sempurna melotot. Sedang, Moira tampak biasa saja sebab hal ini sudah terprediksi olehnya.

Ibram ingin sekali rasanya membungkam sang adik dengan buah apel yang berada di parcel buah yang diberikan Anindira barusan.

Bunda berdehem. “Nadin,” peringatnya.

“Apa, sih?!” jawab Nadin tak suka. “Kan emang betul ya enggak, Kak?!” ucap Nadin sambil mengangkat dagunya meminta diamini oleh Anindira.

Anindira hanya tersenyum penuh arti. Ekor matanya melirik Moira yang tengah menunduk.

“Moira berangkat sekarang, assalamu’alaikum,” pamit Moira kemudian dengan gerakan terburu-buru. Sontak Ibram mengejarnya karena memang sudah berniat untuk mengantarnya.

Seketika senyum Anindira sirna dibuatnya.

***

“Lain kali jangan permalukan Moira seperti tadi,” ucap Ibram pada Anindira dan Nadin. “Paling tidak hargailah kehadirannya sedikit saja, walau kalian tidak suka.”

Kali ini mereka tengah makan siang di kantin rumah sakit, sedang Bunda tengah tidur siang.

“Dia saja tidak menghargai kehadiranku,” sahut Anindira tak terima.

“Maksudnya?” jawab Ibram seraya menyipitkan mata pada wanita yang berada di seberangnya.

“Kalau dia menghargai kehadiran Kak Dira, pasti dia gak bakal jadi pelakor!” Kali ini Nadin yang menimpali dengan sengit.

Nadin memang tidak suka. Ralat, amat tidak suka kepada Moira. Dirinya tidak menerima posisi Anindira digantikan oleh gadis itu.

Watch your mouth!” bentak Ibram. “Dia tidak tahu apa-apa soal hubunganku dengan Anindira.”

“Apa kamu bilang?” Anindira tak percaya atas apa yang Ibram katakana barusan. “Maksud kamu apa?!”

“Sebelum menikah aku tidak pernah menceritakan hubungan kita pada Moira. Lagipula selama sebulan bukannya kita sudah tidak komunikasi?!”

Anindira mendengus. “Aku baru mengerti sekarang,” gumamnya. “Ternyata selama sebulan itu kamu tidak menghubungiku karena mempersiapkan pernikahan dengan bocah itu?!”

“Dia bukan bocah. Dia gadis yang bersuami,” ucap Ibram datar mengingatkan Anindira.

Anindira membuka mulutnya tak percaya. “Kamu mencintainya?”

“Aku belum lama mengenalnya,” jawab Ibram cari aman. Sebab kalau pun ia jawab ‘iya’ rasanya tidak. Tetapi menjawab ‘tidak’ pun rasanya mengapa enggan?!

“Kamu masih mencintaku?” Kali ini Anindira bertanya dengan sendu. Matanya sayu, rasanya percaya dirinya sebagai wanita satu-satunya bagi Ibram akhir-akhir ini sedikit luntur.

“Tentu,” jawab Ibram tampak berpikir sejenak sebelumnya.

Entah mengapa hati Anindira tak lega mendengarnya. Mungkin saat ini Ibram masih mencintainya tetapi siapa yang tahu kedepannya? Sebab bagaimana pun Moira lebih unggul darinya soal status.

“Nadin tetep akan berusaha membuat kalian bersatu,” gumam Nadin.

“Sudahlah, jangan bahas tentang Moira,” pinta Ibram.

***

Moira tengah tersenyum melihat seorang petugas kebersihan di pinggir jalan yang sedang menyiram tumbuh-tumbuhan di sana. Senang rasanya jika jadi mereka, dirawat dan dicintai. Tak seperti dirinya.

Sedetik kemudian dia beristighfar. Mungkin belum saja ia merasakan, siapa tahu di masa yang akan datang ia bisa meraksakan dirawat dan dicintai. Bukankah segala sesuatu yang Allah takdirkan itu selalu baik untuk hamba-Nya? Ah, lagi-lagi dirinya lupa.

Hari ini kuliahnya hanya 6 SKS, maka tengah hari seperti ini sudah bisa pulang. Niat hati ingin sekali meminta jemput sang suami akan tetapi urung dilakukan sebab tak tega. Jadilah saat ini ia menggunakan ojek online seperti biasa.

Rumah sakit seperti rumah keduanya sekarang, yang dituju bukan lagi rumah. Semua perlengkapannya ikut dibawa ke rumah sakit oleh Ibram.

Moira lewat belakang untuk masuk ke dalam rumah sakit, sengaja sebab hendak membeli makan siang dahulu. Kantin Rumah Sakit memang terletak dekat dengan pintu belakang.

Langkah kakinya yang semangat kemudian tiba-tiba tersendat kala melihat wajah yang dihiasi tawa mengganggunya. Tawa itu begitu lepas dan renyah seperti tak ada beban sedikit pun yang menghalanginya. Ini kali pertama Moira melihat wajah dingin itu begitu bahagia.

Hati Moira teriris kala melihat siapa yang tengah tertawa bersamanya. Wanita itu, kekasihnya.

Benarkah dirinya begitu jahat? Menghancurkan kebahagiaan mereka tetapi seolah-olah dirinyalah di sini yang tersakiti?

Lihat, tegakah dirinya masuk ke dalam kebahagiaan mereka? Rasanya tidak pantas dirinya hadir di tengah-tengah tawa itu lalu menghadirkan duka.

Tetapi, hati Moira terus berteriak egois. Ibram miliknya, tak pantas orang lain membuat suaminya tampak berbahagia begitu.

Moira memegang dadanya sambil menarik tubuhnya untuk segera enyah dari tempat itu. Rasanya mengapa begitu sakit?

Oh, Allah. Apabila ini adalah cinta maka jangan buat aku binasa.

***

Angin malam berdesir menusuk tulang oleh rasa dinginnya. Ibram memeluk tubuhnya sendiri. Dirinya saat ini tengah menunggu Moira yang sedang shalat isya’ pada pukul 9 malam di masjid yang berada di area rumah sakit. Walau sebenarnya istrinya itu tidak minta untuk ditunggu. Tetapi sebagai pria membiarkan gadisnya malam-malam sendirian diluar tentu membuatnya khawatir. Segala prasangka buruk belum apa-apa sudah bermunculan dalam benaknya.

Tak lama yang ditunggu keluar. Moira sedikit membesarkan pupil matanya kala melihat Ibram yang sedang duduk ditangga tempat alas kaki tengah menunggunya. Tetapi kemudian ia bersikap biasa saja.

Moira mengenakan alas kakinya, lalu Ibram yang terduduk menggerakan tubuhnya untuk berdiri. Ia hampiri istrinya.

Ibram merasa ada yang mengganjal perasaannya sebab sepulang dari kampus Moira tampak tak banyak bicara. Ah, sudah pasti karena kejadian tadi pagi.

Terlihat Moira berjalan mendahului tanpa berucap sepatah katapun. Ibram makin yakin dengan dugaannya. Istrinya pasti marah soal tadi pagi.

Tak mau tertinggal, Ibram mempercepat langkahnya lalu diraihnya tangan Moira untuk digandeng. Gadisnya itu sedikit terkejut karena ulahnya. Mungkin saat ini Moira dan Ibram tampak seperti adik-kakak. Ibram yang jangkung sangat berbanding terbalik dengan Moira yang pendek. Belum lagi, usia mereka yang terpaut cukup jauh.

“Soal tadi pagi jangan dipikirkan, jangan marah, oke?!” ucap Ibram. Lalu ia merutuki perkataannya sendiri, kenapa juga dia harus repot-repot membuat Moira agar tidak marah?  

Moira menengadahkan kepalanya menatap Ibram. “Moira gak marah,” ucapnya seperti anak kecil yang sontak hati Ibram menjerit ingin mencubit pipinya gemas.

Moira tentu saja berbohong.

Ibram berdehem untuk menetralkan perasaannya. Perasaan sialan apa ini, rutuknya dalam hati. “Baguslah.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Ibram.

“Mas Ibram,” panggil Moira yang kini tampak menatap lurus ke depan.

“Ya?”

“Mas Ibram lebih pilih ditinggalkan atau meninggalkan?”

Ibram menelan ludahnya. Otaknya berpikir kemana obrolan ini akan bermuara. “Kalau kamu gimana?” tanya Ibram membalikan.

“Ditinggalkan,” jawab Moira sambil tersenyum kecil.

“Kenapa?” tanya Ibram penasaran sambil menghentikan langkah kakinya.

Moira melepas genggaman tangan Ibram lalu menggerakan tubuhnya untuk berhadapan dengan Ibram. Kemudian kepalanya mendongak dan berkata, “Agar Moira tidak menyesal. Sebab Moira tidak mau merasakan penyesalan karena telah meninggalkan.”

Ibram tertegun mendengar penuturan Moira. Apa maksud dari pembicaraan Moira ini?

“Kalau Mas Ibram gimana?” tanya Moira penasaran.

“Meninggalkan,” ucap Ibram mantap.

“Alasannya?”

“Karena,” ucap Ibram menggantung sontak membuat Moira kian penasaran. “Setiap tindakan tak selalu berakhir penyesalan, malah rasa syukur yang didapat. Asal ‘kan itu sesuai dengan kata hati kita.”

Moira menatap mata Ibram dalam seperti tengah mencari sesuatu. “Apa Mas Ibram bersyukur kalau meninggalkan Moira?” tanya Moira tenang walau dalam hati tak demikian.

“Apa kamu bersyukur aku tinggalkan?”

***

Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak, jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza 😊

Jangan sungkan untuk memberi kritik dan saran ^^

24 Juni 2019,

Arney

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (5)
  • yurriansan

    @itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • itsarney

    @yurriansan akunku ini kak https://www.wattpad.com/user/itsarney
    ayo kak dengan senang hati ^_^

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • yurriansan

    @itsarney wattpad? Akunnya apa?
    Kbtulan critaku yg rahasia Toni aku publish d wattpad juga. Nnti bisa saling kunjung xD

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • itsarney

    @yurriansan Masya Allah Kak terima kasih sudah berkenan membaca cerita ini. Aamiin semoga Allah kabul, makasih doanya^_^
    Ah, ya. Cerita ini juga bisa dibaca di Wattpad^^

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • yurriansan

    Tulisanmu bagus ,πŸ˜„.
    Smoga ramai like ya

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
Similar Tags
Gloomy
567      369     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
NADA DAN NYAWA
14643      2725     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Forbidden Love
9414      2008     3     
Romance
Ezra yang sudah menikah dengan Anita bertemu lagi dengan Okta, temannya semasa kuliah. Keadaan Okta saat mereka kembali bertemu membuat Ezra harus membawa Okta kerumahnya dan menyusun siasat agar Okta tinggal dirumahnya. Anita menerima Okta dengan senang hati, tak ada prangsaka buruk. Tapi Anita bisa apa? Cinta bukanlah hal yang bisa diprediksi atau dihalangi. Senyuman Okta yang lugu mampu men...
Dessert
984      509     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
IMAGINE
367      258     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Listen To My HeartBeat
520      319     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
Secret Elegi
4092      1163     1     
Fan Fiction
Mereka tidak pernah menginginkan ikatan itu, namun kesepakatan diantar dua keluarga membuat keduanya mau tidak mau harus menjalaninya. Aiden berpikir mungkin perjodohan ini merupakan kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Menggunakan identitasnya sebagai tunangan untuk memperbaiki kembali hubungan mereka yang sempat hancur. Tapi Eun Ji bukanlah gadis 5 tahun yang l...
HOME
300      223     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
After School
2465      1147     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Dia yang Terlewatkan
371      251     1     
Short Story
Ini tentang dia dan rasanya yang terlewat begitu saja. Tentang masa lalunya. Dan, dia adalah Haura.