Read More >>"> IKRAR (BAB 5: Beralih) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - IKRAR
MENU
About Us  

BAB 5

Selamat Membaca 😊

۞۞۞

Sehari sudah tanpa Ayah di sisi Moira. Tak ada lagi nasihat Ayah yang menenangkan, tak ada lagi seloroh Ayah yang menyenangkan. Semua sudah sirna terkubur tanah merah.

Abu Bakar bagi Moira, bukan hanya sebagai ayah, beliau juga berperan sebagai ibu Moira. Sepuluh tahun lalu, Ibu Moira meninggal dunia sebab kecelakaan maut sehabis pulang mengajar dari sekolah. Mungkin kala itu Moira juga menangis, tapi tak sesakit sekarang.

Ayah, walau engkau sudah tiada ditelan tanah. Tapi, baktiku takkan hilang terkubur masa hingga kita bertemu di jannah. Doaku akan selalu menyertaimu.

Kehilangan sosok yang selama ini menemani selama hidupnya, tentu tak mudah bagi Moira. Sosok Ayah seperti masih hadir di rumah ini. Seperti pagi ini, berulang kali Moira lupa hingga membuatnya kembali meneteskan air mata.

“Ayah, enggak lupa bawa anduk ‘kan?” teriaknya kala mendengar suara seseorang yang tengah mandi. Sejurus kemudian air matanya turun tatkala mendapati yang tengah mandi itu bukan Ayah, melainkan suaminya, Ibram.

Lalu tak berhenti di situ. Moira terus saja teringat kebiasaan-kebiasaan ayahnya.

“Ayah, kopinya sudah siap di meja makan.” Detik berikutnya Moira beristighfar sambil memegang dadanya, seperti menahan sebuah beton di sana. Begitu berat. Isaknya kembali terdengar.

“Moira,” panggil Ibram pelan. Moira segera menghapus air matanya dengan cepat. “Kemari,” pinta Ibram.

Moira menghampiri Ibram yang berada di ambang pintu kamarnya. Semalam pria itu tidur di sana, sementara Moira tidur di kamar Ayah atas keinginannya.

“Iya, Mas,” jawab Moira parau setelah tubuhnya berdiri di hadapan Ibram

“Ayo kita pindah.”

“Kenapa? Ayah ‘kan baru berpulang kemarin?” Suara Moira terdengar lebih tinggi dari sebelumnya. Tentu saja, bagaimana bisa suaminya berpikiran seperti itu.

“Justru itu. Aku tidak bisa melihat kamu terus-terusan seperti tadi,” jelas Ibram seraya memegang kedua lengan Moira. Mendapatkan sentuhan itu sedikit membuat Moira terkaget. “Memangnya kamu tidak kasian ke Ayah? Kamu pikir dengan kamu menangis Ayah bakal senang di sana?

“Memang tangisanmu itu tidak dilarang, tapi kalau sampai membuatmu terus meratap seperti ini ‘kan juga tidak baik. Aku mengajakmu pindah bukan bermaksud agar kamu melupakan Ayahmu, aku hanya mencoba membuatmu tak seperti ini lagi, tak meratapi kepergian Ayahmu.” Moira terpaku mendengar penuturan Ibram. baru kali ini ia mendengar Ibram berbicara sepanjang itu.

“Tapi gimana tahlilan Ayah?” tanya Moira yang teringat masih ada tahlilan Ayah untuk 7 hari ke depan.

“Kita bisa tahlil di rumah Bunda atau di rumah kita nanti,” terang Ibram yang membuat hati Moira bergetar ketika mendengar kata ‘rumah kita’. Sejenak ia lupa atas kesedihannya.

“Apa enggak nunggu sampai 40 hari Ayah aja?” tanya Moira lagi, hatinya seperti berat meninggalkan rumah ini. Begitu banyak kenangan di sini.

Ibram menghembuskan nafasnya berat seraya bersedekap, matanya menatap Moira dengan tatapan tak terdefiniskan.

Mendapati tatapan seperti itu membuat Moira takut. Kepalanya sedikit ia tundukan, tetapi matanya masih terpaku pada tubuh jangkung Ibram di hadapannya. “Ya-yasudah.” Moira mengalah dengan berat hati. Bak rol film, dalam pikirannya berputar mengingat potongan nasihat Ayah dalam mimpinya.

“Apabila Moira taat kepadanya, cahaya itu yang akan Moira dapat….”

Moira memejamkan matanya, kepalanya ia gelengkan kuat-kuat hingga membuat Ibram khawatir.

“Moira, kamu kenapa?”

“Eh, e-enggak! Moira gak apa-apa!” jawabnya cepat. “Jadi kapan mau pindah?”

“Sore ini sepulang kerja,”

“Mas Ibram enggak cuti hari ini?” tanya Moira pelan, kepalanya menduduk takut akan jawaban suaminya.

“Tidak. Aku tidak bisa cuti, maaf ya,” kilah Ibram seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Ibram jelas berbohong. Sebetulnya bisa saja dia mengambil cuti hari ini, atasannya yang centil itu pasti bakal mengizinkannya. Tetapi tidak enak juga dengan karyawan lain. Ibram sendiri pun cukup tahu diri karena kemarin dia sudah mengambil cutinya untuk menghabiskan waktu dengan keluarga Anindira, masa sekarang mau cuti lagi, pikirnya.

***

“Bi, Moira pamit, ya,” ucap Moira pada Bi Idah, pengasuhnya selama 20 tahun ini. Dipeluknya erat wanita paruh baya itu. Tangis mereka berdua pecah.

“Jaga diri baik-baik ya, Neng. Sering-sering berkunjung,” pinta Bi Idah disela tangisnya. “Mas Ibram, titip Neng Moira, ya. Kalau dia manja, sering merajuk, ngambekan, tolong sekali Mas Ibram maklumin,” pesan Bi Idah pada Ibram setelah melepaskan pelukannya pada Moira. Rasa sayang Bi Idah kepada Moira, seperti rasa sayang seorang ibu pada anaknya.

“Insya Allah,” jawab Ibram singkat.

Rumah ini Moira putuskan untuk dititipkan pada Bi Idah. Moira memberi tugas pada Bi Idah untuk setiap hari membersihkan rumah ini seperti biasanya, dan tentunya Moira masih akan memberi upah tiap bulan pada beliau.

Sebelum benar-benar pergi, lama sekali Moira menatap rumahnya. Hari ini tak pernah terbayangkan oleh dirinya sebelumnya. Sekalipun tak pernah Moira terpikirkan akan meninggalkan rumah ini. Ditinggalkan oleh Ayah tak lama dari hari pernikahnnya tentu tak pernah ada dipikiran Moira. Tetapi, hatinya berucap syukur karena Ayah dapat menjadi wali nikahnya. Sempurnalah peran Ayah.

Lalu keinginan Ayah juga dapat terpenuhi oleh Moira. Dari lubuk hati yang paling dalam Moira sangat berterima kasih kepada pria yang kini menjadi suaminya. Berkatnya permintaan Ayah dapat ia tunaikan.

Bathin Moira berbisik pelan kala melihat wajah suaminya yang sedang berjalan di sisinya menuju mobil. Mungkin mulanya pernikahan ini Moira lakukan hanya semata-mata untuk menunaikan permintaan Ayah, akan tetapi mulai hari ini Moira akan menjalani pernikahan ini semata-mata ibadahnya kepada Allah.

Maafkanlah hamba ya Allah, atas niat hamba dulu untuk menjalankan pernikahan ini. Ridhai-lah pernikahan kami, dan jadikanlah kami keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Serta, buka ‘kan lah pintu hati hamba untuk menerimanya, mencintainya. Begitu pun, dengan dirinya, ya Allah. Aamiin.

***

Perjalanan sore hari lumayan padat, karena berbarengan dengan orang-orang yang pulang dari aktivitasnya. Dua jam waktu yang ditempuh Moira dan Ibram untuk sampai ke rumah barunya. Ibram terlebih dulu turun dari mobil untuk membuka gerbang. Setelah terbuka, terlihatlah rumah minimalis dua lantai berwarna hijau daun di sana. Sejenak rumah tersebut membuat Moira terkesima. Rumah itu memberikan kesan damai pada pandangan Moira.

Ibram kembali masuk ke mobil, dilewatinya gerbang yang tadi ia buka. Moira turun dari mobil tanpa menunggu perintah dari Ibram. Muncul rasa antusias dalam hatinya. Tak sabaran, Moira menunggu Ibram di depan pintu yang terbuat dari kaca tebal. Sementara Ibram sedang kesusahan mengeluarkan tiga koper milik Moira.

“Ayo, Mas. Moira udah enggak sabar,” teriak Moira antusias ketika Ibram mulai mendekat.

“Makanya bantuin,” protes Ibram susah payah mendorong koper ke teras rumahnya.

Ibram membuka pintu kaca di depannya, lalu menggesernya ke samping. Moira yang tak sabaran langsung masuk begitu saja.

“Assalamualaikum,” ujar Ibram. dirinya tak berniat sama sekali untuk menyindir Moira, tetapi gadis itu serasa di sindir.

“Waalaikumsalam,” jawabnya seraya nyengir, merasa bersalah.

“Kamar kita ada di atas,” terang Ibram yang langsung membuat bulu kuduk Moira meremang.

Kalau diingat-ingat selama pernikahan mereka tidak pernah tidur sekamar. Lalu menerima fakta bahwa saat ini mereka akan sekamar membuat Moira gelisah dibuatnya. Belum lagi mereka belum menunaikan… ah Moira tidak sanggup memikirkannya.

“Itu kamarmu,” tunjuk Ibram pada pintu dihadapannya setelah mereka berdua sampai ke atas. Moira menaruh satu koper yang ia angkat tadi.

“Kamarmu?” ucap Moira memastikan. Kata-katanya seperti…. “Kita pisah kamar?” Seketika Moira menyesali pertanyaannya barusan. Apa-apaan itu, apa yang dia harapkan pada pria yang menikahinya karena perjodohan.

“Iya,” jawab Ibram tenang. “Kamarku di sana,” tunjuk Ibram pada pintu yang berada di sudut ruangan. “Aku sengaja memisahkan kamar kita untuk memberimu ruang privasi, mungkin kamu butuh waktu untuk sendiri,” terang Ibram lagi setelah melihat air muka Moira yang terheran.

Bahu Moira mengendur. Dirinya sudah sendirian, untuk apa membutuhkan waktu sendiri?

“Yasudah Moira masuk dulu ke kamar, mau membereskan pakaian,” pamit Moira dengan suara lesu. “Eh, katanya kita pisah kamar, terus kenapa Mas Ibram ikutin Moira?” protes Moira saat melihat Ibram mengekorinya.

Ibram memutar kedua bola matanya dengan malas. “Yasudah bawa sendiri kopermu ini!”

“Eh, i-iya!” Moira kikuk salah tingkah, ingin rasanya saat ini juga berubah menjadi batu. Malu sekali sudah berprasangka seperti tadi.

***

Suara perut Moira begitu terdengar nyaring di kamarnya yang sunyi. Ia pegang perutnya itu dan mengelusnya. “Sabar ya usus, Mama akan cari makanan dulu,” ucap Moira seperti menenangkan seorang bayi.

Kesan pertama saat membuka pintu kamar adalah sepi, sama seperti di dalam kamarnya. Lalu dilihatnya pintu kamar Ibram, hatinya penasaran ingin tahu apa yang sedang dilakukan pria itu di dalam sana. Tapi rasa penasarannya itu harus terkubur oleh rasa laparnya yang lebih besar.

Moira menuruni anak tangga tanpa alas kaki. Dingin. Seperti wajah Ibram bisiknya dalam hati, lalu tertawa kecil.

Dari tangga, ia belokan kakiknya ke arah dapur. Dilihatnya meja makan yang hanya menyajikan sebuah teko bening berisikan air putih. Lalu, tujuannya sekarang adalah kulkas. Bahunya mengendur tatkala melihat isi kulkas, menunya sama seperti yang ada di atas meja makan.

“Sedang apa?”

Allahu,” jerit Moira merasa kaget atas kehadiran Ibram yang tiba-tiba. Moira mengelus dadanya, mencoba menenangkan agar jantungnya tidak loncat dari peradabannya. “Moira laper, tapi enggak ada makanan,” jelas Moira setelah tenang.

“Oh,” jawab Ibram datar. “Di sini belum ada ART jadi gak ada yang menyiapkan, besok mungkin aku akan cari,” sambungnya.

“Eh, gak usah. Rumah biar Moira aja yang mengurus,” ujar Moira berinisiatif. Dia akan belajar untuk menjadi seorang istri, dimulai dari mengurus rumah juga tidak apa ‘kan?

“Beneran?” tanya Ibram memastikan dengan mengangkat sebelah alisnya. Merasa ragu juga gadis kecil seperti Moira dapat mengurusnya. Tapi tidak apa jika itu kemaunnya, toh dirinya bisa mengirit pengeluaran. Ah, masalah nafkah, Ibram selalu lupa untuk membicarakannya.

Ibram kembali naik ke atas membuat Moira cemberut karena ditinggal begitu saja. Moira meraih gelas yang berada di rak kecil dekat tempat pencuci piring, lalu menuangkan air putih yang tadi berada di atas meja makan. Begitu menyegarkan ketika air melewati kerongkongannya. Tapi tetap saja perutnya terus berteriak ingin diisi makanan berat.

Tak lama terdengar langkah kaki seseorang kembali. Ibram. Pria itu menarik satu kursi meja makan untuk didudukinya. “Duduk,” perintah Ibram pada Moira yang tengah mematung menatapnya.

Moira menurut tanpa protes. Ditariknya kursi meja makan yang membuatnya berhadapan dengan Ibram, hanya saja ada meja sebagai pembatas mereka.

“Ini.” Ibram menyodorkan benda tipis berbentuk persegi panjang. “Ini kartu debit saya, uang gajian saya masuk ke sana. Nafkah untukmu,” jelas Ibram yang sontak membuat Moira terkaget.

“Lalu Mas Ibram gimana? Kok uangnya dikasih ke Moira semua,” tanyanya heran. Kalau semuanya diserahkan pada Moira, lantas suaminya tidak memegang uang begitu?

“Dari sana,” jawab Ibram seraya menunjuk kartu debitnya dengan dagu. “Aku sedang mengajarimu untuk mengatur keuangan. Jadi, pergunakanlah dengan baik.”

Moira menelan salivanya susah, bak tenggerokannya terbendung sebuah kerikil. Ditariknya pelan kartu debit itu. Baru kali ini dia diberi tugas untuk mengatur keuangan. Dari zaman sekolah hingga kuliah tak sekalipun ia mau untuk menjadi bendahara karena risikonya tinggi. Tetapi sekarang dirinya tidak bisa menolak, inilah bagian dari tugas seorang istri.

“Ayo lekas siap-siap,” ucap Ibram kemudian, membuat Moira mengangkatkan kedua alisnya. “Kita makan di luar, terus sekalian belanja buat keperluan rumah tangga. Habis itu ke rumah orangtuaku buat tahlilan,” terangnya yang sontak membuat Moira menepuk jidatnya.

“Oh, iya. Tahlilannya abis isya’ ya, Mas?!” tanya Moira yang langsung mendapat anggukan dari suaminya.

Tahlilan hari ke-2 Ayah hingga ke-40 hari nanti memang akan dilakukan di rumah orangtua Ibram setelah berdiskusi sebelumnya. Moira merasa beruntung mendapat suami seperti Ibram, terutama keluarganya. Begitu baik, seperti keluarga kandungnya sendiri.

***

Restoran cepat saji menjadi pilihan mereka saat ini. Mengingat sekarang sudah pukul 6 sore, artinya punya waktu satu 1 jam lagi untuk segera ke rumah orangtua Ibram.

Baru saja Ibram dan Moira masuk ke dalam restoran, tiba-tiba seseorang menghadang. “Ibram!” serunya.

“Sa-Sania,” jawab Ibram terbata. Perasaannya jadi tidak enak setelah bertemu kawan SMA-nya dulu.

“Gak nyangka ketemu di sini,” katanya lagi dengan sumringah. “Tuh, gue sama cewek lo.”

Ibram berdehem mendengar Sania mengatakan itu. Duh, sialan gerutunya dalam hati. Sementara Sania mengangkat kedua alisnya tak mengerti, lalu pandangannya terarah pada gadis yang berada di samping Ibram.

“Eh, gue kira tadi adek lo.” Sania tersenyum canggung, sedang Moira tengah beristighfar sedari tadi dalam hatinya. Takut setan menguasainya. Hatinya sungguh berkedut mendengar kata ‘cewek lo’.

Pikiran Moira langsung melayang ke hari kemarin, saat seorang wanita memeluk suaminya. Tanpa disuruh pun hatinya sudah menebak, pasti yang dimaksud oleh wanita di depannya ini adalah wanita kemarin itu. Tiba-tiba hatinya berkedut ada perasaan asing di sana, lalu matanya terasa panas.

“Ibram!” Kemudian terdengar kembali nama Ibram dipanggil oleh seorang wanita, suaranya bak beludru begitu halus didengar Moira.

“Anindira!” seru Ibram tanpa bisa menyembunyikan wajah terkejutnya. Hatinya mulai gelisah, takut wanita itu akan bermacam-macam.

“Kamu…,” ucapan Anindira menggantung tatkala melihat gadis di samping Ibram. Dilihatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Penampilannya begitu sederhana dengan blouse, celana kulot, dan kerudung segi empat, cantik, nilainya tak sadar.

“Kenalkan ini Moira,” sambar Ibram. Pandangan Anindira langsung teralihkan pada Ibram, tatapannya begitu tajam dan menusuk.

“Moira,” tangan Moira terlebih dulu terulur pada Sania dan langsung dijabat oleh kawan Ibram itu.

Kemudian ketika Moira hendak mengulurkan tangannya pada Anindira, wanita itu mencuri start lebih dulu. “Anindira, Dek,” ucap Anindira penuh penekanan saat mengucap ‘Dek’.

Moira tersenyum menunjukan lesung pipitnya kala mendengar itu. Wanita itu tengah meledeknya. “Moira, istri Mas Ibram.” Telak. Moira tersenyum puas ketika mendengar wanita yang sedang berjabat tangan dengannya itu mendengus.

Anindira bak bom waktu yang siap meledak, baru saja ia hendak membuka mulutnya namun gagal karena tiba-tiba Ibram menginterupsi. “Kalo begitu kami pesan makan dulu, ya?! Senang bertemu kalian. Assalamualaikum,” ucap Ibram meninggalkan Anindira dengan perasaan jengkelnya, sementara Sania tampak berusaha menenangkan sahabatnya agar tidak meledak.

Apakah Moira merasa lega setelah kejadian tadi? Tentu tidak!

Malah hatinya semakin gusar memikirkan segala prasangka yang muncul dalam benaknya. Ditambah ucapan Sania yang terus terngiang-ngiang dalam pikirannya.

Cewek lo. Cewek lo. Cewek lo.

“Soal tadi, aku…,” ucap Ibram ragu seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bingung juga untuk menjelaskan sebab tak sedikitpun pertanyaan keluar dari mulut Moira.

“Moira enggak mau tahu,” ucap Moira singkat seraya melengos, memilih untuk focus pada menu yang menggantung di atas sana.

Untuk sekarang keputusan itu paling tepat untuk Moira. Sudah cukup akhir-akhir ini dia bersedih, tak mau ditambah dengan masalah ini. Lebih baik penasaran karena tidak tahu, daripada sakit hati karena mencari tahu.

Mungkin kalau hatinya sudah baik Moira akan mencari tahu. Mas Ibram siap-siap, kelak Moira akan ajukan ribuan pertanyaan.

***

Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak, jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza 😊

Jangan sungkan untuk memberi kritik dan saran ^^

17 Juni 2019,

Arney

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (5)
  • yurriansan

    @itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • itsarney

    @yurriansan akunku ini kak https://www.wattpad.com/user/itsarney
    ayo kak dengan senang hati ^_^

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • yurriansan

    @itsarney wattpad? Akunnya apa?
    Kbtulan critaku yg rahasia Toni aku publish d wattpad juga. Nnti bisa saling kunjung xD

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • itsarney

    @yurriansan Masya Allah Kak terima kasih sudah berkenan membaca cerita ini. Aamiin semoga Allah kabul, makasih doanya^_^
    Ah, ya. Cerita ini juga bisa dibaca di Wattpad^^

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
  • yurriansan

    Tulisanmu bagus ,πŸ˜„.
    Smoga ramai like ya

    Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan
Similar Tags
Sisi Lain Tentang Cinta
714      385     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
Farewell Melody
215      144     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
Wannable's Dream
33904      4891     42     
Fan Fiction
Steffania Chriestina Riccy atau biasa dipanggil Cicy, seorang gadis beruntung yang sangat menyukai K-Pop dan segala hal tentang Wanna One. Dia mencintai 2 orang pria sekaligus selama hidup nya. Yang satu adalah cinta masa depan nya sedangkan yang satunya adalah cinta masa lalu yang menjadi kenangan sampai saat ini. Chanu (Macan Unyu) adalah panggilan untuk Cinta masa lalu nya, seorang laki-laki b...
Temu Yang Di Tunggu (up)
15133      2413     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
Mendadak Halal
5665      1797     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
Return my time
244      208     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
Crystal Dimension
276      184     1     
Short Story
Aku pertama bertemu dengannya saat salju datang. Aku berpisah dengannya sebelum salju pergi. Wajahnya samar saat aku mencoba mengingatnya. Namun tatapannya berbeda dengan manusia biasa pada umumnya. Mungkinkah ia malaikat surga? Atau mungkin sebaliknya? Alam semesta, pertemukan lagi aku dengannya. Maka akan aku berikan hal yang paling berharga untuk menahannya disini.
Ending
4511      1180     9     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...
Bersua di Ayat 30 An-Nur
744      336     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang wanita muslimah yang penuh liku-liku tantangan hidup yang tidak tahu kapan berakhir. Beberapa kali keimanannya di uji ketaqwaannya berdiri diantara kedengkian. Angin panas yang memaksa membuka kain cadarnya. Bagaimana jika seorang muslimah seperti Hawna yang sangat menjaga kehormatanya bertemu dengan pria seperti David yang notabenenya nakal, pemabuk, pezina, dan jauh...
Sugar On Top
17      16     1     
Romance
Hazel Elodie adalah gadis manis berambut pirang dengan hati yang keras seperti baja. Bertahun-tahun setelah ia dan kakaknya, Sabina, 'dibuang' ke London, Hazel kembali ke kota kelahirannya dengan tekad untuk merebut kembali apa yang menjadi haknyaβ€”warisan keluarga yang dirampas secara licik. Namun, kepulangannya tak semudah yang ia bayangkan. Tanpa Sabina, si perisai emosinya, Hazel harus be...