Aku melangkah maju penuh pasti, teriakan para penonton tidak membuatku mundur. Itu dia, Aaric. Dia menyeringai penuh tanda tanya melihatku menghampiri dirinya.
"Aaric, jadilah pacarku." Aku setengah berteriak sehingga mampu membuat keheningan. Aaric yang sedari tadi memegangi bola basket nya, kini melemparnya jauh-jauh. Bulir keringat terlihat mengucur deras di dahinya, raut mukanya seolah penuh ketakutan. Tanpa babibu, Aaric pergi meninggalkanku, diikuti teman-temannya yang lain. Suara riuh penonton pun bergema, memasuki tiap bagian telingaku dan hampir membuatku gila.
"Gwen!" Grace menarikku paksa keluar dari lapangan dan aku sedari tadi hanya berdiam diri menahan malu.
"Apa-apaan, sih?" Grace terlihat marah.
Aku tertunduk lesu. Aku tak menyangka kalau harus kembali dicampakkan.
"Gwen, jawab!" Kali ini Grace nampak begitu kesal. Kami pun mencari tempat untuk duduk.
"Grace, aku kenapa sih? kenapa Aaric juga bersikap sama seperti yang lain?" tanyaku lirih.
"Gwen, jangan sedih lagi. Mungkin Aaric bukan yang terbaik buat kamu," Grace berusaha menenangkan ku sambil menepuk pundakku.
"Tapi Grace, aku sayang Aaric. Sayang banget, walaupun aku harus memaksa Aaric, untuk bisa menerimaku" ucapku yakin.
"Kalau nyata nya dia nggak suka, kamu bisa apa Gwen? kamu bahkan secara nggak langsung mempermalukan diri sendiri"
"Kamu lupa, Grace. Bukan nya kamu tahu kalau Aaric juga punya perasaan untukku."
Grace menggumam sendiri, mengangguk pelan.
Aku berdiri dan berlari meninggalkan Grace. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aaric Gabrian, kamu harus menjadi milikku.
*****
"Gwen."
Suara itu menghentikan langkahku. Aku mengetahui siapa empunya.
"Aaric?" aku membalik badan. Terlihat Aaric dengan senyum penuhnya menghampiriku.
"Jadilah pacarku," pintanya lembut.
Aku kaget. Saking kagetnya aku langsung mengangguk dan sontak memeluk Aaric. Aku merasakan jantungku berdetak sangat kencang, saking kencangnya aku tak bisa merasakan detak jantung Aaric.
"Tapi ada syaratnya," ucap Aaric sambil melepas pelukanku.
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Hubungan kita, hanya kita berdua yang tahu."
Aku tersenyum kecil, tanda mengiyakan. Bagiku tak apalah kalau harus backstreet, yang terpenting Aaric menjadi milikku. Aku tersenyum puas.
Saat ini aku merasa sangat bahagia. Seluruh waktuku sepenuhnya aku habiskan untuk Aaric. Kami pergi berdua, makan berdua, semuanya kita lakukan berdua. Seringkali kulihat orang disekitar memandang kami aneh. Ah, anggap saja mereka iri dengan kami, pasangan sempurna. Aaric Gabrian, dengan tubuh atletisnya dan Aku, Gwen Camella gadis dengan kehidupan nyaris sempurna walaupun dengan record pernah ditolak oleh Brian Arthur, seorang vokalis band di kampus.
"Gwen, kemana aja? kok sekarang jarang ngampus? lagi ada masalah, kah? dosen nyariin loh." Grace yang menemukanku sedang duduk dikantin, langsung melemparkan macam-macam pertanyaan. Aku hanya membalas dengan senyuman.
"Gwen, jangan bikin penasaran!"
Aku mengeluarkan ponselku, membuka galeri foto dan menunjukkannya ke Grace.
"Wah, Gwen cantik banget. Jadi iri," ucapnya sambil memegang pipinya sendiri.
"Cocok kan?"
"Cocok? maksudnya?"
"Iya, cocok kan dengan Aaric."
"Aaric?"
"Ih, Grace gimana sih. Itu kan aku lagi foto sama Aaric, kita resmi pacaran, loh."
Grace menatapku tajam, sesekali mengernyitkan dahi sambil terus mengezoom foto yang aku tunjukkan.
"Gwen, ikut aku."
*****
Aku mengikuti Grace. Sepanjang perjalanan Grace hanya diam. Sambil sesekali melihatku.
"Grace, kita mau kemana? jangan lama-lama yah, soalnya kasihan Aaric pasti nungguin," aku memulai obrolan.
Grace tetap diam. Sorot matanya seperti menahan rasa sedih. Aku pun ikut terdiam.
Grace memarkirkan mobilnya tepat di depan gedung yang semuanya terbuat dari kaca.
"Grace, kamu kenapa? ada masalah?" tanyaku sambil mengikuti nya turun dari mobil.
"Ini semua demi kebaikan kamu Gwen."
"Maksud nya?"
"Aaric nggak ada, Gwen!"
"Nggak ada gimana ceritanya? orang dia sama aku terus, kita jalan kita makan kita....."
"Gwen stop! Aaric udah lama pindah, dia bahkan pindah negara," terang Grace.
Mataku membelalak. Bagaimana mungkin Aaric pindah sedangkan selama ini Aaric selalu menemaniku. Aku jelas tidak mempercayai Grace.
"Omong kosong! bisa aja kan Aaric membohongi kalian semua dengan asumsi dia pindah negara karena dia tidak ingin seorang pun mengetahui kalau kami menjalin hubungan."
Grace mengeluarkan ponselnya, terlihat gusar.
"Halo, Aaric. Ini aku, Grace." Aku langsung merebut ponsel Grace.
"Ah Aaric, aku sepertinya bakal menemuimu nanti sore yah karena ini ada...."
"Gwen," Aaric memotong pembicaraanku, suara ini memang sudah tidak asing bagiku.
"iya?"
"Kamu ini ngomong apa? menemuiku? kamu mau menemuiku di Belanda?"
Aku diam mematung. Belanda. Bagaimana bisa.
"Aaric, aku tahu hubungan kita memang harus dirahasiakan. Tapi maafkan aku, aku rasanya tidak bisa menyimpan status hubungan kita terlalu lama di depan Grace," ucapku sambil melempar senyum ke Grace yang mulai ingin menangis.
"Gwen, jangan gila! Aku beneran pindah ke Belanda, semenjak insiden di lapangan kemarin, aku selalu diikuti oleh seseorang sampai aku menyerah dan pindah."
Aku menutup sambungan telepon. Memberikan ponsel ke Grace dan berlari pergi. Oh ini rasanya disambar petir di siang bolong. Suara Grace perlahan menghilang seiring jauhnya aku berlari. Pikiranku kacau. Semua terasa tidak masuk akal. Aku benar-benar menikmati hubungan ini. Aku belum gila.
****
"Gwen, kenapa? kok nangis?"
Suara itu memecahkan tangisanku, ku peluk Aaric yang kini ada di depanku. Entah aku tidak peduli kalau bajunya harus basah oleh air mataku. Dan sekali lagi, aku tak merasakan detak jantung Aaric. Aku kembali teringat kejadian tadi. Apa mungkin...
"Siapa kamu?" aku melepas pelukanku.
"Hey, kamu kenapa?"
"Kamu siapa?! kamu bukan Aaric!"
Aaric berusaha mendekati ku. Semakin Aaric mendekat semakin itu pula aku menjauh.
"Gwen, tenang. Sebentar, tenang."
"Kamu siapa?!"
"Aku Aaric, Gwen. Orang yang kamu sayang yang kamu cinta."
"Bukan! Aaric bilang dia pindah ke Belanda, setelah peristiwa di lapangan kemarin. Kamu bukan Aaric, bukan!" Aku berteriak kencang.
"Gwen, kamu cerita ke siapa tentang hubungan kita?"
"Kenapa? kamu takut kebongkar kalau nyatanya kamu bukan Aaric?"
Aaric terdiam. Lama sekali. Sampai aku putus asa dan mengambil jalan pintas. Terus terang aku sangat takut ketinggian. Aku berlari meninggalkan Aaric, menuju gedung tinggi yang tak jauh dari tempat ku sekarang. Ku terobos barisan orang yang berlalu lalang rapi, sesekali mereka menegurku, tapi satupun tak ada yang ku gubris. Aku terus menyeka air mataku. Kini aku sudah sampai di atap gedung tersebut. Semilir angin dingin sampai menusuk tulang. Aku menangis kecil, sesunggukan. Sambil terduduk lemas, ku seka air mataku. Aku berdiri berjalan perlahan dan ingin rasanya menjatuhkan tubuh ini, biar hancur remuk lebur bersama debu.
"Kenapa jadi seperti ini? apa aku nggak pantas dicintai? apa aku seburuk ini sampai berulang kali di campakkan?"
Aku mengumpat dalam hati, terus menerus.
"Gwen, jangan berdiri disitu!"
Aku menoleh ke belakang.
"Kenapa datang lagi? siapapun kamu, aku nggak peduli!"
"Gwen, ayolah jangan seperti anak kecil."
Aku melangkah dengan pelan.
"Anak kecil? anak kecil yang bagaimana hah? semua yang kucintai pergi ninggalin aku. Bahkan orang tua ku pun ikut meninggalkanku. Sebegitu parahnya kesalahanku sampai aku harus nerima semua ini?"
"Gwen, hidup kamu jauh lebih berarti. Kamu bisa ngelakuin apa aja, Gwen."
"Termasuk kamu yang sedang mendrama sekarang?"
Aaric tertunduk lesu. Tubuhnya terhuyung mengikuti arah angin yang berhembus.
"Lihatlah aku, Gwen. Bahkan untuk menahan diriku agar tak tertiup angin saja rasanya tak mampu."
Aku terus mencerca nya dengan ribuan makian. Aaric tak bergeming sampai akhirnya aku menutup mulutku yang tiba-tiba menganga tatkala melihat tubuh Aaric tertembus daun yang di bawa angin.
"Kamu, bagaimana bisa?" tanyaku kaget.
"Aku sudah mati, Gwen."
"Apa? apa aku sekarang sudah mati juga? mana mayatku, dimana mayatku?" sontak aku melihat ke bawah. Merinding rasanya, tinggi sekali. Tak terbayangkan kalau aku benar-benar harus terjun dari atas sini.
Seketika Aaric berubah. Menjadi orang lain yang tidak pernah aku lihat, apalagi kenal. Rambutnya acak-acakan yang tertiup angin menambah kesan cool, bibirnya yang berwarna sedikit merah muda menambah kesan imut ditambah lagi tubunya yang tinggi dengan pundak yang bidang menambah kesan macho. Aku seketika terkesima.
"Oh, jadi ini di surga," ucapku secara spontan. Seseorang itu nampak kaget, lalu lantas memegang tanganku.
Aku tersadar dari lamunanku dan berteriak.
"Kamu ini siapa? makhluk alien darimana? mengerikan!"
"Gwen, aku sayang kamu. Tetaplah bersamaku."
"Bersama kamu? alien? pesulap? atau apalah itu."
"Gwen, aku ini manusia, dulunya."
"Hah? dulunya?"
"Iya Gwen, tapi sekarang aku bukanlah manusia lagi. Bisa dibilang arwah penapsaran."
"Penasaran, bukan penapsaran."
"Ah iya itu maksudku. Aku harap kamu nggak takut ya."
Ah hanya arwah penasaran, eh kamu arwah? hantu dong," aku menjerit ketakutan. Bagaimana mungkin orang yang kucintai selama ini ternyata seorang hantu. Oh hampir gila aku.
"Gwen jangan takut, aku nggak akan nyakitin kamu karena aku sayang sama kamu."
"Oh Tuhan, sebegitu nggak laku nya diri ini di dunia manusia sampai harus dicintai seorang hantu seperti ini," aku bergumam lirih.
"Gwen, please...."
"Jangan mendekat, atau aku akan lompat," ancamku.
"Oke Gwen, dengar yah kamu jangan bertindak bodoh hanya karena kamu merasa dunia ini tidak adil. Kamu berharga Gwen, percayalah."
Aku tiba-tiba terduduk lesu. Aku menyadari selama ini aku hanya kurang bersyukur atas apa yang Tuhan kasih. Rasanya malu.
"Andai kamu tahu bagaimana rasanya tak pernah dicintai oleh orang yang kita sa..."
Belum sempat menyelesaikan perkataanku, aku seketika ambruk. Samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku, bahkan menggendong tubuhku, kulit kita saling bersentuhan, terasa sangat dingin. Ingin sekali membuka mata tapi terasa berat, kepala ku sakit sekali, mau lepas rasanya. Aku menyondongkan kepala ini ke dada seseorang tersebut, dan benar sekali lagi aku tak mendengar detak jantungnya. Ingin sekali rasanya meronta tapi aku sungguh tidak berdaya, sampai semuanya tak bisa lagi kudengar.
***
Suara gonggongan anjingku membangunkan ku. Yah itu suara Noyi, anjing kesayangku.
"Noyi, kenapa disini? anjing kecilku yang nakal," ucapku sambil mengelus kepala Noyi. Ah rupanya aku hanya bermimpi, pantas saja sudah ada disini.
"Siapa bilang kamu bermimpi? ayo bangun! kamu sudah lebih dari 24 jam loh tertidur."
Aku seketika kaget setengah mati, mendapati seseorang yang persis ada di mimpiku, dan kini berdiri tepat di depanku.
"Kamu? astaga setan darimana ini?" Noyi terus menggonggong kearah laki-laki tersebut.
"Oh Noyi ku sayang, berhentilah menggonggong seperti itu, aku ini hantu baik yang akan selalu mencintai tuan mu." ucapnya sambil mengelus kepala Noyi. Noyi pun berhenti menggonggong.
"Ck, lelucon macam apa ini, seperti nya aku masih di dalam mimpi ini. Aku berharap tidak pernah melihatmu lagi," aku berdecak kesal sambil menarik kembali selimut ku, menggeser tubuh Noyi dan akhirnya Noyi pun keluar dari kamar ku, tetapi makhluk satu ini tetap saja berdiri di depanku, sambil sesekali tersenyum. Aku menutup mataku kuat-kuat. Sial, tidak bisa tertidur, makin ku paksa makin terasa susah.
"Ayolah sayang ku, bangun! jangan tiduran terus."
"Aaarrghhh entah aku dikutuk atau apa ini sampai harus berurusan dengan hantu jengkel sepertimu. Kenapa kamu nggak terbakar saja di neraka sana!" bentakku.
Laki-laki itu nampak kaget, sedikit menundukkan mukanya, mengangkatnya kembali sambil tersenyum tipis. Dia kini memegang tanganku, tetap dingin tapi yang kurasakan hanyalah kesedihan yang mendalam ketika tangannya memegang tanganku.
"Ngggg anu, aku nggak bermaksud begitu, hem kamu jangan tersinggung yah," aku membuka obrolan di tengah keheningan.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum, tapi kali ini berbeda, aku bisa merasakan sedikit kehangatan.
"Apa-apaan ini, lepas! kamu kira aku apaan harus di pegang tangan seperti ini," aku menepis tangannya.
"Kamu tuh kenapa ya kalau lagi marah tambah cantik," ucapnya cengengesan.
"Hehe makasih, aku tuh emang selalu cantik dalam kondisi apapun," jawabku sekenanya sambil melayangkan senyuman pede ku.
"Tuhkan apalagi kalau senyum, meleleh rasanya, jantung ini seakan berdetak kembali."
"Mulai drama lagi, hantu juga bisa ya ngegombal drama kirain manusia aja."
"Gwen, kan aku dulunya juga manusia."
"Siapa yang nanya?"
"Eh Gwen, kamu nggak takut sama hantu?"
"Eh kenapa nanya begitu? takut lah takut banget," jawabku jujur.
"Loh, sama aku kok nggak takut?" tanya nya penasaran.
"Entah." Jawabku singkat.
"Jelas kamu nggak takut, kan aku hantu ganteng," terang nya pede.
"Apaan sih! nggak jelas kamu." Aku sempat kaget ternyata dia bisa membaca pikiranku.
"Tenang Gwen, aku bukan hanya bisa lihat isi pikiran kamu, tapi juga yang lain."
Aku sontak menutup tubuhku dengan selimut.
"Yeh bukan gitu maksudnya, ah udah yuk kita cari makan, aku tahu kamu laper kan," ajaknya sambil menarik tanganku.
Aku seketika menurut saja, dan memang benar perutku keroncongan. Ternyata tidur terlalu lama itu membuat perut lapar yah.
"Tunggu dulu, aku kan masih pakai pijama. Kan malu dan astaga siapa yang gantiin baju aku?" tanya ku setengah emosi.
Laki-laki ini hanya tersenyum.
"Abrakadabra!" ucapnya dan seketika baju pijama ku kini berganti dengan baju yang biasa aku pakai ketika pergi dengan dia dulu.
"Wah hebat!" aku terpana dan spontan bertepuk riang.
"Aaron gitu," ucapnya sambil nyengir kuda.
"Hah? Laron? oh nama kamu Laron, nama yang cocok."
"Aaron. Aaron August," sambil menjulurkan tangan nya.
Aku ragu-ragu untuk menyambut tangannya, tapi ku pikir dia hantu yang baik dan nggak ada salahnya berteman.
"Gwen...."
"Gwen Camella, kekasih ku."
"Ih apaan sih," aku melepaskan tangan nya dari genggaman ku.
Lagi-lagi Aaron cekikikan, rasanya ingin sekali aku mencekiknya tapi percuma musuhku kali ini hantu.
"Where to miss?"
"To the star."
"Uh sayang ku so sweet banget."
"Apaan sih lebay banget, udah deh laper nih cari makan."
******
Aku berjalan beriringan dengan Aaron, benar saja tubuhnya yang tinggi bak model membuat hatiku tidak karuan. Ya ampun Gwen, kenapa kali ini rasanya berbeda. Perasaan ini membuatku sangat kacau. Aku tidak pernah merasakannya. Bahkan kepada Aaric sekalipun, seseorang yang selalu ku kejar selama ini.
"Kamu kenapa? kok dari tadi diem aja. Biasanya kamu cerewet."
"Aku nahan laper makanya diem, karena ngomong sama kamu itu ngabisin banyak energi, yang ada aku tambah laper."
Aku berbohong. Untuk merasakan lapar saja rasanya nggak bisa. Jantungku aku merasakan detakan nya tidak seperti biasanya. Aku menghela napas panjang dan memilih duduk di bangku yang tak jauh dari tempat kami berdiri sekarang ini.
"Gwen capek? mau pulang aja?"
"Nggak kok, cuma lagi kepikiran aja."
Kali ini Aaron duduk disebelahku. Kami sama-sama menatap pemandangan yang ada di depan kami. Jalanan yang macet. Kebisingan kendaraan dan belum lagi polusi dimana-mana. Sesekali aku mencuri pandangan ku ke wajah Aaron. Benar-benar sosok sempurna tanpa celah. Andai Aaron bukan hantu, aku akan dengan bangga memperkenalkan nya kepada Grace.
"Aku sudah lama suka sama kamu, Gwen."
Aku sedikit tersadar dari lamunanku, membenarkan posisi duduk ku agar aku tidak kelihatan grogi.
"Bahkan sebelum aku meninggal, aku ingin sekali bisa kenalan sama kamu Gwen."
Aku tertegun mendengar pengakuannya. Kali ini aku tak melihat raut wajah bercanda.
"Nggg Aaron, gimana kalau kita beli es krim aja atau kita beli burger gitu seperti waktu itu loh gimana? aku yang traktir," ajak ku sambil menarik tangannya, mulai hangat.
"Kamu aja yang beli, aku disini aja Gwen."
"Yaudah kamu disini yah tungguin aku, jangan pergi."
"Iya sayang."
Deg. Muka ku terasa panas, bukan karena marah tapi karena malu. Aku pun buru-buru pergi jangan sampai Aaron melihatku begini. Ya ampun sadar Gwen, Aaron itu hantu bukan manusia.
****
"Bang, es krim nya dua ya, yang biasa aku order," aku menyodorkan uang 50 ribuan.
"Ambil aja neng, nggak apa-apa."
"Loh kok gitu bang? tumben banget, udah kaya ya bang makanya nggak mau es nya dibayar?" tanyaku sembari tersenyum kecil.
"Nggak kok Neng, saya hanya kasihan aja sama Neng, mungkin karena Neng ada masalah atau apa gitu saya lihat Neng sering bicara sendiri. Semoga es krim nya bisa memulihkan mood nya ya Neng."
"Buset, aduh nggak bener ini, nih bang kembalian nya ambil aja."
Aku bergegas meninggalkan tempat itu dan langsung menuju ke tempat dimana Aaron menungguku. Langkah ku terhenti ketika kudapati Aaron tidak ada di tempat itu.
"Aaron, kamu dimana? nih es krim nya nanti cair loh."
Aaron hilang seperti tertiup angin. Tidak ada bekas. Apa ini semua hanya halusinasi ku saja yah. Mungkin benar, harusnya aku menuruti Grace. Aku terduduk lemas, sehingga kedua es krim yang kupegang terjatuh. Mungkin aku sudah gila. Aku harus sadar. Ini semua nggak nyata. Aaron Laron siapapun itu, itu semua nggak nyata. Aku harus menghubungi Grace.
*****
Selang 20 menit, Grace pun datang menjemputku. Aku menangis sejadinya, menceritakan semuanya.
"Aku nggak mau jadi gila, Grace."
"Gwen, tenang. Kamu nggak gila. Kamu hanya butuh ketenangan. Kamu percaya sama aku kan, Gwen?"
Aku mengangguk lemah.
Grace lantas mengajakku pergi, bisa dibilang aku dibawa ke seorang psikolog. Hari ini emosiku terkuras habis. Diagnosa sementara halusinasi visual. Jadi aku diberi obat agar pikiranku tenang. Hari ini ada perasaan lega. Apa yang aku pendam selama ini sudah tertumpahkan.
"Makasih ya Grace, aku jadi tenang sekarang."
"Gwen, i am with you. Jangan pernah ngerasa sendiri lagi yah. Yaudah kamu masuk gih tidur istirahat obatnya jangan lupa diminum. Titip salam untuk Noyi."
Grace perlahan menghilang dari pandanganku, menaiki mobil kesayangannya. Dan kini aku menutup rapat pagar rumahku, bersiap untuk istirahat. Rupanya Noyi telah menungguku di depan pintu.
"Astaga, aku lupa memberi mu makan," aku mengelus kepala Noyi. Noyi tenang, tak seperti biasanya kalau ia kelaparan pasti mengonggong berisik. Mungkin Noyi sudah makan, pikirku.
Aku langsung menutup pintu dan menuju kamarku. Disinilah aku hidup bersama Noyi. Semenjak kecelakaan yang merenggut semua kehidupanku, hidupku jadi tidak jelas. Aku membiarkan pintu kamarku terbuka sedikit, jaga-jaga kalau Noyi takut dia bisa ke kamarku, padahal sejatinya diriku lah yang takut, penuh dengan ketakutan.
Aku memejamkan mataku dalam-dalam. Tak lupa sebelumnya aku mandi agar badan dan pikiranku pun rileks. Sepintas bayangan Aaron hadir di pikiranku. Entah kenapa kali ini rasanya sakit sekali. Tega sekali Aaron meninggalkanku. Aku terus berusaha memejamkan mataku.
"Gwen, maaf." Suara itu aku mengenalnya, itu suara Aaron. Ah mungkin halusinasiku saja, pikirku.
"Gwen, ini nyata, Bukan halusinasi."
Seolah bisa membaca pikiranku, aku sontak bangun dan benar saja disampingku sudah ada Aaron. Aku langsung memeluknya, menangis untuk kesekian kali di pelukannya.
"Maaf Gwen," ucapnya sambil membelai lembut rambutku.
"Jahat! Aku bilang tunggu sebentar tapi kamu malah pergi."
"Maaf Gwen, aku janji aku nggak akan ninggalin kamu lagi, aku bakal temenin kamu selama-lamanya."
"Hantu mana bisa berjanji," ucapku sambil mencubit hidung Aaron.
"Udah jangan nangis lagi," Aaron dengan lembut mengusap air mataku. Perasaan ini terasa sangat tenang.
"Aku ngantuk, jagain aku tidur yah. Kan kamu hantu pasti aman," ledekku.
"Iya nyonya, siap laksankan!" ucapnya sambil memberi hormat. Aku pun tertawa melihat tingkahnya. Dasar hantu aneh, untung ganteng.
****
Bisa dibilang kami ini sekarang menjadi sepasang kekasih, yah walaupun berbeda dimensi tapi perasaan kami nyata. Aku pun tak heran kalau ada yang menilai ku gila dan sebagainya, karena aku berbicara sendirian. Jelas saja mereka tak bisa melihat Aaron. Sedikit banyaknya aku merasa beruntung. Setidaknya, aku tak punya saingan.
Seperti biasa, sepulang dari kampus Aaron selalu menjemputku, selalu mengangetkan ku dengan tiba-tiba muncul di hadapanku. Dia selalu tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kagetku. Benar-benar keterlaluan.
"Aaron, aku mau nanya," aku memberanikan diri bertanya tentang sesuatu yang sudah lama aku sembunyikan.
"Apa?" jawabnya singkat.
"Sepertinya kamu udah tahu deh pertanyaan aku apa, kan kamu biasanya bisa baca pikiranku." Aku mencoba menjebaknya.
"Aku bingung harus mulai darimana, Gwen."
"Sorry, lupain aja Ron, anggap aja aku nggak pernah nanya kayak tadi ya ke kamu."
"Kamu beneran mau dengar cerita nya, Gwen?"
"Iya mau!" jawabku semangat.
"Kita balik kerumah aja yuk, biar enak cerita dirumah lagian kasihan Noyi beberapa minggu belakangan ini kita tinggal terus."
"Ide yang bagus."
*****
"Gwen, sini!" Aaron menyuruhku bersandar di pelukannya. Aku menuruti nya.
"Aaron, makin hari kulit kamu hangat ya, berasa kayak manusia," ungkapku dengan tersenyum.
"Jadi denger ceritanya nggak?"
"Bawelnya, yaudah ayok cerita."
"Tapi janji ya kamu jangan takut."
"Aaron, apaan sih masa hantu cerita hantu sih nggak lucu ah."
"Kalo ngambek lucu ya kamu, suka deh."
"Ah malesin!"
"Yaudah iya jadi gini, waktu itu kamu sadar nggak kalau kita ini tetanggaan? jadi aku tuh udah lama banget naruh perasaan sama kamu. Sampai waktu itu sepulang dari rumah temen ku, aku rencana nya mau main futsal. Tapi balik dulu kerumah karena belum izin sama mama. Aku inget banget waktu itu mama lagi masak makanan kesukaanku, karena buru-buru aku nggak sempet nyobain masakan mama, padahal mama udah nawarin. Ada kali yah sekitaran jam 3 aku berangkat main futsal, karena aku orang nya nggak suka kebisingan jalan raya, sambil motoran aku denger lagu pake headset. Dibelakang ku rupanya ada mobil ugal-ugalan. Aku yakin sih dia udah ngelakson cuma mungkin karena musikku saat itu kekencengan jadi ya aku ketabrak gitu."
Aku terdiam.
"Kenapa sekarang aku masih ada disini, ya itu semua karena kamu. Karena kamu aku masih berkesempatan melihat dunia ini, melihat orang yang kucintai."
Tak terasa air mataku deras mengalir. Aku menangis sesunggukan.
"Makasih Aaron, kamu ngajarin aku banyak hal tentang dunia ini."
"Sama-sama sayang ku, mulai sekarang syukuri hidup kamu ya, kamu boleh berpikir hidup mu tidak adil, tapi kamu nggak pernah tahu, kan kalau ternyata hidupmu berguna untuk orang lain." Aaron membelai rambutku. Aku mengganguk mengerti.
"Aaron, andai ada mesin waktu yang bisa ngebalikin waktu aku ingin ada di saat kamu hidup."
"Kamu mau nyoba? ada sih caranya, tapi terlalu beresiko."
"Gimana? apa resikonya?"
"Kamu nggak bisa ngubah keadaan, Gwen."
"Aku cuma ingin ketemu kamu pas kamu masih hidup."
"Janji yah kamu nggak akan bisa ubah apapun ya."
"Janji."
"Yaudah merem coba."
Aku mulai memejamkan mataku. Badanku seperti melayang diudara dan terus berputar sampai akhirnya aku menabrak sesuatu.
"Aw."
Ketika aku membuka mataku, tepat di depanku berdiri seorang lelaki yang tak lain adalah Aaron. Aku menutup mulutku, tak menyangka bisa melihat Aaron ketika hidup. Aku langsung memeluknya.
"Eh anu Gwen, kamu kenapa?" tanya nya bingung.
"Aku sayang kamu, Ron. Aku cinta kamu, kini aku benar-benar bisa merasakan detak jantung kamu," ucapku dalam pelukan nya.
"Gwen, kamu pasti salah orang."
"Nggak! kamu Aaron August ku cintaku." Aku bersikeras.
"Gwen, maaf ya aku harus buru-buru."
"Aaron, jangan pergi. Jangan pergi main futsal."
"Kamu tahu darimana, Gwen? tapi maaf Gwen, aku udah janji sama temen-temen ku." ucapnya sambil berlalu meninggalkanku.
"Ron, kamu harus dengerin aku. Kamu nggak boleh pergi, kamu harus stay di rumah. Mama kamu udah masakin makanan kesukaan kamu."
"Kamu kenapa Gwen? sakit?"
"Aaron, please... percaya aku. Aku tahu kamu suka sama aku kan?"
"Gwen, jangan bertingkah bodoh. Aku hanya main futsal."
"Aku nggak mau kamu mati!" perasaan ku kalang kabut. Aku pun menangis sejadinya.
"Gwen, hidup dan mati itu sudah ada yang ngatur, kita manusia hanya menunggu saja karena hal yang dekat dengan diri ini adalah kematian."
"Stop Ron! pokoknya kamu harus dengerin aku."
Aaron tetap pergi, kali ini aku hanya diam mematung. Sempat teringat akan janjiku dengan Aaron kalau aku tak akan bisa mengubah keadaan. Aku nggak akan nyerah Ron, ucapku dalam hati.
****
Aku mengikuti Aaron pergi, benar saja dia kembali kerumah. Aku pun melihat mama ku sedang menyiram tanaman nya. Tak kuasa aku menahan tangisku. Aku benar-benar rindu mama. Ku kuatkan hati ini untuk melawan sedihku. Ku lihat jam yang ada di tanganku. Menunjukkan pukul 3 sore.
Kulihat Aaron terburu-buru mengendarai sepeda motornya tak lupa dia memasang headset nya. Aku berusaha menghalanginya tapi percuma aku kalah cepat dengan motornya. Namun tak lama tepat di depanku peristiwa yang seharusnya tak kulihat terjadi di depanku. Tubuh Aaron terhempas di aspal. Darah mengalir deras dari kepalanya. Aku yang hanya bisa menyaksikan kini merasakan pusing yang sangat hebat.
****
"Gwen, bangun sayang."
Suara itu membangunkan ku. Aku masih merasakan pusing.
"Apa yang kamu lakuin Gwen? kamu hampir nyelakain diri kamu sendiri!" tanya Aaron kesal.
Aku masih belum sadar sepenuhnya. Kepalaku terasa berat dan sakit.
"Maaf, Aaron." Hanya itu yang bisa aku ucapkan.
"Gwen, aku sayang kamu."
"Aku juga, Ron."
"Aku bahagia, Gwen. Akhirnya aku bisa menyatakan cinta ini, maafin aku Gwen, selama ini aku yang meneror semua cowok yang suka sama kamu, termasuk Aaric."
Aku tak kaget, sudah lama aku mengetahuinya. Aku hanya tersenyum.
"Yang lalu biarlah berlalu yang penting sekarang kamu disini sama aku, Aaron August."
"Iya, Gwen Camella."
Aaron seketika menghilang dari pandanganku.
"Gwen...."
Suara Aaron begitu dekat tapi aku tak bisa melihatnya.
"Aaron kamu dimana?"
"Aku disini, disamping kamu."
"Nggak ada. Aku nggak bisa lihat kamu."
****
Hari berikutnya tubuh Aaron makin transparan. Tidak seperti waktu pertama kali aku melihatnya. Aku bertanya, tetapi Aaron diam membungkam seribu bahasa. Sesekali ketika aku mengajaknya berbicara, dia selalu menjauhi diriku dan memilih bermain dengan Noyi.
Aku rasanya kesal. Seperti tidak dianggap.
"Aaron, kamu akhir-akhir ini kenapa sih? aku ada salah sama kamu? jawab!"
"Aku cuma bingung aja Gwen, harus cerita darimana. Aku takut kehilangan kamu Gwen."
Deg. Kali ini jantungnya terasa sangat-sangat sakit. Seperti hari ini adalah hari terakhir kami bertemu.
"Kamu ngomong apaan sih, Ron. Kita akan selalu tetap sama-sama."
"Gwen, jangan lupa. Kita ini berbeda."
"Kalau nyata nya kita harus terpisah kenapa kita harus ditemuin dalam keadaan seperti ini, Ron?"
"Tidak ada yang perlu kita sesalin dalam pertemuan kita ini Gwen, aku berterimah kasih sama kamu karena kamu sudah mau mewujudkan keinginan terakhirku. Maafkan aku Gwen, besok adalah hari ke 100 untuk pertemuan kita."
"Terus?"
"Sudah waktunya aku pergi, Gwen."
"Aaron, jangan bercanda. Ini semua nggak lucu."
"Aku serius, Gwen. Waktu ku sudah hampir habis."
Aaron seketika menghilang dari hadapanku.
"Aaron, jangan tinggalin aku." Aku menangis sejadi-jadi nya. Kembali ku cerca diriku sendiri. Rasanya aku ingin mati saja. Aku tak sanggup menghadapi hari esok. Tanpa Aaron. Aaron August.
****
Aku kali ini terbangun dengan kepala pusing. Rasa haus ku mengalahkan segalanya, aku turun melewati tangan, naasnya aku kehilangan keseimbangan sehingga aku terjatuh tapi seperti ada sesuatu yang menahan badanku. Ketika aku membuka mata, ternyata itu Aaron. Aku kaget, karena bisa merasakan detak jantung Aaron. Dia membantuku berdiri.
"Kamu tuh selalu deh nggak pernah hati-hati."
"Aaron..."
Aku memeluknya erat, rasanya tak ingin aku lepas. Kalaupun ini mimpi tolong jangan bangunkan aku, Tuhan.
"Ini bukan mimpi, Gwen."
Aku tetap memeluk Aaron, hingga akhirnya Aaron perlahan menghilang dari pelukanku. Fajar pun menyingsing. Aku pun teringat kalau ini adalah hari perginya Aaron. Kali ini aku tersenyum. Kulepas Aaron dengan senyuman. Dari seorang Aaron August aku banyak belajar kalau hidup harus disyukuri, kadang kita tak pernah tahu, rencana Tuhan kedepannya. Tapi percayalah setiap momen yang terjadi dalam hidup ini pasti ada hikmahnya. Termasuk pertemuanku dengan Aaron.
Aaron August, terima kasih dan hiduplah dengan tenang di hati ini. I love you, 100 or till the end. Dari diriku, yang selalu kuat untukmu, Gwen Camella
***
"Hey, gimana? kelar ceritanya?"
"Iya dong, Gwen gitu."
"Coba lihat."
"Ih nggak mau, malu."
"Apaan sih cuma ngeliat doang."
"Ih Aaric pemaksaan, orang nggak mau juga."
"Gwen, pelit!"
"Ye biarin."
"Jangan-jangan kamu nyeritain tentang aku yah."
"Pede banget, nggak ada ih."
"Oh, tentang Brian kah?"
"Aaric, please berhenti."
"Oh Laron yah."
"Aaron, bukan Laron."
"Cie... di ralat."
"Ah terserah deh, bete aku nya sama kamu."
"Yah dia ngambek."
***
Ya, betul. Aaric kini berada disampingku. Entah ada angin apa dia tiba-tiba mendatangiku seminggu setelah aku kehilangan Aaron. Kini aku tahu, setiap pertemuan memang berujung perpisahan, tapi yakinlah tidak ada perpisahan yang tidak menimbulkan kebahagiaan. Seperti pertemuanku dengan Aaron walau harus berakhir tapi kini aku bisa berdampingan dengan Aaric. Sekali lagi terima kasih Aaron. Aaron August.
THE END
bagus ceritanya, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)