"Alif Ath-Thafaruq Al Farizi"
Suara bariton itu akhirnya mampu menembus membran timfani seorang Alif. Sudah hampir sepuluh kali nama Alif dipanggil namun tidak juga ada respon berarti. Manusia itu sepertinya sedang terganggu jiwanya.
"Afwan...afwan,"jawab Alif penuh sesal
"Sudahlah, Lif besok ente udah balik ke Indonesia kan? Selamat ya yang udah dapet gelar Ph.D"
"Bukan itu masalahnya,"jawab Alif dengan muka yang mulai berubah masam
Zaki tidak paham dengan arah pembicaraan sahabatnya itu. Zaki duduk di samping Alif sembari bertanya-tanya perihal masalahnya.
"Ente cerita aja, Lif. Jangan dipendam gitu"
"Bukan waktu yang tepat, Ki. Aku harus mengurus perihal kepulanganku besok ke Indonesia"
Zaki mengerjitkan keningnya. Ada banyak pertanyaan yang ingin diajukan pada Alif yang bernotabene tidak pernah terlihat begitu kalut seperti hari ini. Pasti ada masalah besar yang tengah dihadapinya.
"Ana pergi duluan, Ki. Assalamu'alaikum,"ujar Alif sembari melangkah pergi menuju ambang pintu
"Wa'alaikumussalam"
"Semoga Allah menguatkan ente, Lif,"batin Zaki
Alif Ath-Athafaruq Al Farizi. Pria berdarah Jawa dan Arab itu memiliki sebuah perpaduan kromosom yang sempurna hingga terekspresi melalui wajahnya yang tampan dengan hidung mancung khas orang Arab. Darah Jawa juga mengalir kental dalam dirinya dia selalu tampil berwibawa, ramah, baik hati, dan lebih suka mengalah. Namun disisi lain dirinya juga tegas jika dihadapkan pada suatu hal kebathilan. Semua itu juga cerminan dari dirinya yang Faruq (mampu membedakan antara yang haq dan kebathilan).
Hari ini Alif pertama kali menyembunyikan masalahnya dari Zaki sahabatnya itu. Memang apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia.
***
"Kaifa haluk, Lif?"
"Alhamdulillah, ana bi khoir paman"
"Wah sepupu paman ini sudah lulus S3 saja ya"
Paman Alif memeluk Alif seperti anaknya sendiri sembari menepuk pundaknya pelan.
Alif yang baru saja tiba di bandara disambut oleh pamannya. Akhirnya setelah sekian lama dirinya tidak pulang. Suasana di London dan Jakarta tentu saja jauh berbeda. Meskipun keduanya sama sama ibukota negara.
"Anta udah tahu perihal abi?"
Alif hanya mengangguk tanda mengiyakan.
"Kenapa abi tiba-tiba sakit, Paman? Apa memang Alif satu satunya yang tidak diberi tahu"
Paman Alif tidak menjawab. Pancaran mata paman Alif menadakan bahwa asumsi Alif benar.
"Ayo kita ke mobil paman saja. Ada banyak hal yang paman ingin ceritakan padamu, Lif"
Saat Alif sudah masuk didalam mobil, paman Alif mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Alif perihal abinya.
Ckikikikk...Rem itu berderit menandakam gesekan antara roda mobil dan aspal jalan.
"Astaghfirullah" kompak keduanya
Kepala Alif hampir saja terantuk karena mobil yang direm secara mendadak sekali.
Apa yang membuat paman Alif tidak melihat ada anak kecil melintas di depan mobilnya. Melihat itu Alif segera turun dari mobil. Anak kecil itu sudah tidak sadarkan diri. Alif sedikit panik namun dia coba menenangkan dirinya. Dia cukup tahu bagaimana memberi pertolongan pertama pada seseorang yang terkena shock. Dirinya senang menggeluti bidang medis meskipun takdirnya tidak membawanya harus berurusan dengan dunia medis. Alif memberi nafas buatan kepada anak itu. Dilonggarkan sedikit celana dan kerah bajunya agar pernafasan dapat berjalan baik.
Uhuk..uhukk...
Anak itu membuka matanya perlahan. Alif mengucap syukur. Hingga akhirnya dia kembali tidak sadarkan diri.
"Paman, tolong bantu Alif bukakan pintu. Anak ini harus segera mendapatkan pertolongan. Dia mengalami shock berat"
Akhirnya anak itu dilarikan ke rumah sakit searah dengan rumah sakit dimana abi Alif dirawat.
Diseberang jalan ada seorang wanita berwajah pucat dengan luka di kening sembari berteriak menyebut nama Azka...Azka. Sebelum akhirnya dia juga terkulai lemas di trotoar pejalan kaki. Disana tidak terlalu banyak orang melintas. Sedangkan, kendaraan cukup rapat merayap di jalanan ibu kota siang ini.
"Azka.."