Ada yang menandai kunang-kunang sebagai layangan bintang, adapula yang berhasil menemukan kilau gemerlap pada jernih diri, ada yang telanjang bermandikan tumpahan cahaya bulan, sementara aku tetap terpaku kebingungan; asa diri untaikan garis layang mengukur koordinat, mencari nebula.
Mataku melesat tajam, pekik memecah gerakan udara, menderai titik-titik air. Aku yang terantuk lebam, pada luka sehari-hari. Mencoba menegadahkan tangan, memohon pertemuan. Hingga ufuk mulai membentangkan cahaya kemerahan, aku berpikir itu nebula. Tapi mengapa ia datang terlambat? Adakah semburat yang terpecah-pecah itu adalah jawaban atas semua penantianku di sini? Tapi apakah itu nebula?
Aku mendobrak pintu keingintahuanku, hingga masuk ke wilayah tanpa pengetahuan. Orang menyebutnya sebagai sebuah metode, tentang cara berdiam dan mengenali diri sendiri: tanpa gerak suasana, aku berjalan sunyi.
***
“Kau gemar menyendiri, meski di tengah keramaian sekalipun, itu kekuranganmu.” Ucap Liana padaku.
Aku diam, karena tidak menemukan alasan untuk membalas ucapannya,
“Kenapa diam? Kita semua di sini untuk bersama.”
Aku tetap diam, meski dalam hati membantah,
“Kalau kau punya sesuatu yang terpendam, luapkan di sini.” Pinta Liana setengah membujuk
“Sesuatu?” Aku mulai menelurkan kata,
“Iya, kau bisa bercerita padaku, saat ini.” Angguk Liana,
“Apa yang ingin aku ceritakan?” Jawabku mengandung pertanyaan.
“Lagipula hari sudah terang benderang,” Sambungku,
“Apa kaitannya bercerita dengan keadaan hari yang sudah terang benderang?” Tanya Liana jengkel,
Aku diam,
“Kau bahkan tak akan kehilangan setengah dari dirimu jika kau mau untuk berbagi.”
“Apa yang bisa aku bagi?”
Liana menarik nafas panjang, lalu beranjak, pergi.
“Aku baru saja kehilangan sesuatu hal, bahkan sebelum aku sempat untuk memilikinya.” Bisikku pada jejak yang Liana tinggalkan.
Siang hari di teras sebuah Gunung, kami memang mengikrarkan diri untuk mendaki. Saling melepas penat masing-masing dari rutinitas sehari-hari. Ini baru setengah perjalanan, dan aku mulai malas untuk melanjutkan. Berjalan saat matahari sedang gagah-gagahnya memberi terik, bagiku sangat membosankan. Aku memang gemar menutup diri, terbiasa untuk sembunyi dari keterbukaan. Tapi apalah dayaku? Aku sudah mewujudkan diriku di sini.
“Break!” Teriak Liana
Semua mata memusat padanya, Liana menggeleng.
“Kemana Dinar?” Liana memecah perhatian,
Semua menghela nafas, semua kompak memutus asa,
“Seperti biasa, dia gemar menghilang.” Gerutu Danu,
“Kalau memang itu kegemarannya, ngapain kita cari-cari dia?” Sambung Laras.
Semua mengangguk,
“Ayo kita lanjutkan perjalanan sebelum badai datang!” Perintah Laras
Semua kompak mendongakkan kepala,
Danu mengulurkan tangan ke arah Liana,
Mereka beranjak, memutus jarak.
***
Mengetuk lengkung langit dengan serakit daya, kencang pacuan tanpa gelanggang. Gemuruh lindap pada semaian sunyi. Ditelan lembah terkunyah hingga habis diri, berganti atau kembali?
Begitu kiranya rapal rahasia yang aku bisikkan di bawah pohon pinus tertinggi. Kepada siapa dan untuk apa aku mengungkapkannya? Kenapa aku tidak memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, keluar dari gerbang vegetasi ini? dan aku bersegera menemui keluasan. Apa yang membuatku enggan untuk melanjutkan? Seolah beban tidak berada di atas pundakku, melainkan menghuni sekujur tubuhku, menghambat alirah darah yang membuluh nadi.
“Cukup matahari saja yang berjalan, aku enggan.” Bisikku lagi,
Sementara di pos terakhir, Liana dan lainnya sedang bekerjasama memasang tenda. mereka memutuskan untuk beristirahat hingga sepertiga malam nanti. Riang canda bahagia, mereka saling menertawakan rekaman peristiwa masing-masing selama perjalanan. Mereka saling melingkarkan diri, menguapkan kehangatan.
“Hari sudah mulai gelap, kemana Dinar?” Liana kembali mempertanyakan,
Teman-teman yang lain sudah bosan menjawab pertanyaan itu, sedikit cuek sikap mereka.
“Hei, kita di sini untuk bersama, ada apa dengan kalian?” Tanya Liana geram,
Entah sudah berapa kali, Liana menjadi pusat perhatian perihal tingkah Dinar. Mereka semua menggeleng,
“Dinar yang susah untuk diajak bersama, itu sifat dia. Bukan sekali ini saja kita semua bersama dalam pendakian, namun beberapa kali, dan Dinar tetap seperti itu!” Seloroh Laras menepis anggapan Liana,
Hela nafas panjang, Liana memutuskan untuk melupakan.
Angan masing-masing sudah memenuhi udara sekeliling, mereka menaruh sorot mata pada hamparan bintang-bintang di langit yang mereka tandai, ada yang berbisik, pula meracau. Ada yang menari-nari bahagia. Mereka merangkum berjuta bintang sebagai pesona yang disuguhkan Tuhan untuknya. Tanpa hak kepemilikan, tanpa asa dendam karena tak bisa menggapai.
“Udara sudah sangat dingin, kamu akan membeku jika terus berada di sini,” Ungkap Danu kepada Liana yang sedang duduk memeluk ke dua lutut di luar tenda.
“Kenapa tidak beristirahat, menyusul yang lain?” Sambung Danu,
Liana diam, hanya membalas dengan seikat senyum; mekar dan menawan.
“Menunggu Dinar?” Danu pantang berhenti menanyakan sikap Liana,
Liana tetap diam, namun kini ia mengunci senyumnya, murung.
“Carilah dia di atas sana, siapa tahu dia sedang berkendara pada salah satu bintang.” Ucap Danu disusul gelegak tawa tanda mengejek,
“Bintang? Ia statis, bintang hanya menandai dirinya dengan kerlip,” Protes Liana
Danu tersenyum, karena perempuan itu sudah membalas perkataannya,
“Matahari juga bintang, apakah matahari berdiam dan tidak berputar? bintang juga punya gas seperti matahari, karena itu dia menyala.” Jelas Danu,
Liana menghela nafas lagi, lalu berkata,
“Berkedip-kedip, ia bercahaya”
“Bintang punya sifat malu, dia muncul di saat orang-orang tertidur lelap, karena itu bintang berkerlip.” Canda Danu, Liana tertawa
“Bintang tidak memiliki kelopak mata,” Protes Liana,
“Oh, berarti matahari yang mempunyai kelopak mata.” Gurau Danu lagi,
“Kalau melihat matahari, kelopak mata kita sendiri yang berkelip, siapa yang tahan melihat langsung cahayanya?” Seloroh Liana, keduanya tertawa terbahak-bahak.
Akibat guncangan tadi, bahu mereka saling menempel, Liana menaruh kepalanya di pundak lelaki itu,
“Kita meracau seperti itu, padahal kita tidak bertalian dengan para bintang itu, aku dan kamu bukan seorang optisien nebula.” Ucap Liana
“Nebula?” Tanya Danu,
“Yaps, nebula adalah bintang yang paling redup. Ia seolah menyimpan kesedihan sehari-hari.” Terang Liana, Danu mengangguk.
“Seperti Dinar,” Sambung Liana lagi.
Keduanya menghela nafas bersamaan.
Aku yang berjalan seorang diri, melihat terang di depan sana, Aku langsung menebak itu mereka, segera aku mematikan nyala senter yang sedari tadi aku pakai untuk menuntun perjalanan, memasrahkan diri pada cahaya bulan; biarkan ia yang membantuku menyibak jalan.
Mataku nanar, emosi membuncah tatkala harus ku terima lagi kenyataan, bahwa sekelompok bintang yang ku cari tak bisa ku temukan. Aku sempoyongan, telah ku tebas mereka semua dari pandangan. Dan telah kuteguhkan diri untuk kembali berbaur dengan rombongan, termasuk Liana. Aku tersenyum-senyum sendiri.
Liana mendengar hela nafas cepat di belakang, sorot matanya mencari-cari,
“Dinar? Itukah kamu?” Liana berdiri, membuat Danu kaget,
“Itu Dia, Heii…! Kemana sentermu?” Teriak Danu,
Aku cengegesan, benar-benar seperti seorang pemabuk,
“Wahaa..ha ku kira sudah tidak ada yang tersisa lagi di sini, kalian berdua menungguku datang?” Selorohku polos dan tanpa rasa bersalah.
Liana dan Danu menggeleng kompak, lalu tersenyum dan memapah langkahku,
“Mataku nanar melihat lampu gantung itu, kenapa tidak kau matikan saja, Dan?!” Pintaku pada Danu,
“Kita akan dikurung gelap, Dinar?” Tolak Danu,
Liana beranjak mematikan pijar yang membuat nanar itu, aku tersenyum.
“Biarkan gelap membunuh gerak-gerik kita bertiga, aku tidak ingin menanyakan apapun pada kalian. Termasuk padamu,” Jari Liana seolah menunjuk padaku,
“Baiklah, kali ini aku yang ingin bercerita.” Ungkapku tenang,
Angin membawa nyaring tawa mereka berdua, aku menyadari bahwa bercerita memang bukanlah kebiasaanku,
“laluu.. apa yang ingin kamu ceritakan” Telunjuk Liana menusuk lengan kananku, aku menangkapnya, lalu mengarahkan telunjuknya ke langit.
Danu tak bisa melihatnya, ia tidak ingin melihatnya.
“Kita berdua telah selesai membicarakan mereka.” Jelas Liana merespon tingkahku, Danu mengiyakan.
Aku kaget mendengarnya, membayangkan Danu tersenyum lalu tertawa bahagia.
“Aku telah kehilangan semuanya, semua yang belum pernah ku miliki.” Bisikku pada diri sendiri.
Aku mendengar Danu menyeret langkahnya, lalu terang tiba-tiba, membuat berkunang ke dua mataku.
“Aku dan Liana siap untuk mendengar cerita darimu,” Yakin Danu, Liana mengiyakan sembari menegakkan posisi duduknya.
Aku melihat senyum Liana, membuatku kembali merasa kehilangan.
“Izinkan aku merebahkan diri, aku ingin mencari nebula” Ucapku tanpa sadar, lalu mengunci kata, menutup semua fungsi indera. Aku melesapkan diri dari suasana.
(Selesai)