"Lo sakit?" tanyaku.
"Nggak kok. Biasa aja."
"Lo kebelet ke belakang yah?" tanyaku.
Ryo pun menggeleng.
"Loh terus kenapa lo nggak ngewaro gue?"
"Ehm.. Gue lagi ada pikiran aja."
"Lo tau lo boleh cerita ma gue kapan pun lo mau kan, Ryo." Aku setengah memaksa.
"Sorry. Gue lagi pengen sendiri nih. Lo ke kantin sendiri aja yah hari ini." Ryo bilang asal-asalan dan berlalu begitu saja. Dia bahkan tidak melihat mataku ketika bicara. Pasti ada yang tidak beres.
Tiba-tiba rombongan murid cewek menyeruak memasuki kantin. Rupanya Devon sedang dikeroyok. Susah juga yah kalau punya tampang di atas rata-rata. Dengan terpaksa, aku masuk kantin dan berjalan perlahan di belakang rombongan Devon-ers itu. Aku membeli semangkuk udon, tempura dan miso soup dari counter Japanese food di kantin. Kantin sekolah ini memang ada beberapa counter, Japanese food, Italian food, Korean food, Chinese food, McDonalds dan French bakery.
Aku kembali duduk sendirian di tangga dekat kantin, tempat Ryo dan aku selalu makan bersama. Tangga itu mengarah ke loteng yang sekarang sudah disegel. Dulunya loteng itu tempat rahasia eskul Pramuka. Tapi karena sudah tua, loteng itu pun tidak boleh dipakai lagi. Lagian siapa juga yang mau naik ke sana. Tampangnya angker gitu.
Dari jauh aku melihat Devon berjalan sendiri ke kelas. Aneh juga, ke mana semua penggemarnya pergi.
"Hei, Devon! Sini-sini!" Aku melambaikan tanganku dengan hebohnya.
Dia bergerak perlahan mendekatiku dan mengangkat alisnya. Sumpah deh. Aku kesal juga diperlakukan begini.
"Aduh ngomong dong!" Aku berlagak frustasi dan sekilas kulihat Devon tersenyum.
"Makanan jepangnya enak?" tanyanya.
"Lumayan. Tapi gue dah bosen banget sama makanan di kantin ini. Udah lima tahun gue makan makanan yang itu-itu mulu. Harusnya kita minta menu baru," kataku sambil bergeser supaya Devon bisa duduk.
Mengerti signal yang kuberikan, Devon pun duduk dan menyeruput teh botol yang sedari tadi dipegangnya.
"Di Jerman ada teh botol yah?"
Devon tersenyum lagi dan menggeleng.
"Terus ini pertama kalinya lo minum dong,"
"Nggak juga. Gue sampai kelas 4 SD tinggal di Jakarta. Terus baru deh pindah ke Jerman ikut nyokap gue," tatapannya menerawang.
"Terus nyokap lo sekarang ikut pulang ke Indonesia?"
"Nggak. Gue pulang ke Indonesia soalnya nyokap gue baru menikah lagi dengan seorang pria Perancis dan gue dikirim ke sini untuk tinggal dengan bokap," katanya.
Muka Devon selalu terlihat sedih. Begitupun senyumnya. Sekarang aku mengerti kenapa.
"Sorry," gumamku. Aku seharusnya tidak usah menanyakan itu padanya di hari pertamanya di sekolah. Bodoh sekali aku.
"Tidak apa-apa. Aku sudah bisa menerimanya. My mom never loved me anyway," katanya dengan tatapan menerawang itu lagi.
"Sekarang lo seneng dong tinggal sama bokap lo?" Aku berusaha menghiburnya sembari berharap dia akan mengatakan bahwa dia senang sudah kembali ke Indonesia dan bahwa ayahnya memang menyayangingnya.
"Ngga juga. Bokap gue tinggal sama keluarganya. Jadi gue tinggal di salah satu apartemen miliknya,"
"Oh," hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku tidak tahu harus menghiburnya dengan cara apa karenan aku bahkan baru mengenalnya.
Benar deh, kata siapa anak orang kaya itu bahagia? Lihat aku contohnya. Aku selalu ditinggal di istana yang kosong melompong dan hanya sekali-sekali ditengok oleh Papa. Tapi setelah mendengar cerita Devon, aku bahkan tidak berhak mengeluh. Setidaknya aku tahu Papa sangat menyayangiku.
"Gue duluan yah. Harus ketemu kepala sekolah ngurusin surat-surat," kata Devon tiba-tiba. Aku tidak tahu kalau dia benar-benar ingin menemui kepala sekolah atau tidak tahan dengan ke-awkward-an suasana di antara kita berdua.
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog