Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Eureke! Eureke!” pekik Iason setelah mendekam selama satu malam di perpustakaan Ratataoskr. Wajahnya sumringah ketika keluar bersama sang istri yang setia menemani. Karena Iason akan bertemu dengan petinggi yang lain, sang istri undur diri untuk pulang, menunggu kepulangan sang suami. “Medeia, kau harus cukup istirahat. Lagipula, ini bukan pekerjaanmu, jadi seharusnya kau tak usah—”

   “Tidak apa sayang, sudah sepantasnya sebagai sang istri untuk menemani suaminya dalam suka dan duka.” Wanita berambut ungu gelap itu berbalik dengan sepasang serdadu yang seharusnya mengawal Iason, tapi kini diperintah khusus untuk mengawal Medeia hingga ke mansion keduanya. Begitu sosok sang istri hilang di balik pintu kereta kuda, Iason berbalik dan segera menyelesaikan pekerjaannya.

   Orang pertama yang ia panggil adalah Sofia. Dengan langkah cepat, ia datang. Berbekal setumpuk kertas di tangan, ia menaruhnya keras-keras ke meja diskusi. “Ada apa, Iason? Jika kau minta informasi, aku masih merangkumnya,” tunjuknya kepada sebendel kertas penuh diagram coretan.

   “Malahan sebaliknya, Sofia. Aku menemui titik terang!” seru Iason. Aku tahu apa yang dimaksud perbatasan langit dan bumi. Aku tahu di mana letaknya.”

   “Di mana?”

   “Berg, daerah pegunungan Berg. Gugusan pegunungan utara yang selalu diselimuti salju juga dilingkupi aurora hijau keunguan. Di puncak tertingginya, ada sebuah kawasan yang selalu tertutupi awan tebal. Menurut kepercayaan lokal, barangsiapa yang bisa melintasi tebalnya kabut yang bahkan menusuk jiwa itu, mereka akan mencapai surga!”

   Sang serdadu yang kini mengawal Kapiten Eias tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Jika bukan karena helm besinya, ia mungkin sudah ketahuan. Kapiten Eias menyenggolnya, menyuruhnya untuk berjalan tegak. Keduanya masuk, menyapa Sofia dan Iason yang sibuk berbicara. Sang serdadu berdiri di ujung pintu, hanya menyimak dan membiarkan Kapiten Eias mengontrol diskusi.

   “Pegunungan Berg ya... Aku pernah ke sana,” ucapnya dengan nada meyakinkan, “orang-orang di sana ramah dan baik hati; kebaikan hati hangat mereka setimpal dengan iklim yang dingin.” Dia menyandarkan dirinya dengan topangan tangan di meja diskusi, “aku bersama timku bisa kesana, jika kalian menyuruh. Tentunya, dengan beberapa syarat.”

   Iason mengerutkan dahinya, “sebutkan.”

   “Lady Morgana harus ikut dengan kami.”

   Sofia memiringkan kepala, tapi ia akhirnya paham setelah pembicaraan kemarin malam dengan Gawain. “Untuk urusan apa?” tanyanya meyakinkan.

   “Tentu saja, untuk menjalin hubungan yang baik.” Eias melepaskan topi segitiga pelautnya yang berwarna coklat kusam, lalu membungkukan badan dengan anggun. “Maaf atas ucapanku kemarin. Bukan bermaksud untuk meledek harga diri dan tanggung jawab kalian sebagai Petinggi Asosiasi, tapi rasa lelah membuat kepalaku keruh.”

   “Tidak apa-apa, Eias,” Iason angkat bicara, “bukankah tim mu masih kelelahan?”

   “Anggotaku siap kapanpun, Iason. Kau hanya perlu memberi tujuannya saja, meski sejatinya Fortuner sedang tidak berada di kuasaku saat ini.”

   “Lantas, bagaimana kau akan melintasi laut untuk sampai ke Pegunungan Berg?” tanya Sofia.

   “Sederhana, Junier adalah kota pelabuhan yang paling terkemuka meski letaknya yang terpencil. Beruntungnya, aku kenal dengan beberapa orang di sana dan mungkin saja mau untuk mengantarkan kami ke seberang.”

   “Ah, tiga minggu, itu pun sudah diberkahi dengan derap kuda tercepat yang kita miliki dengan perjalanan tanpa henti,” tukas Sofia, memprediksi.

   “Tak apa,” tukas Eias dengan nada enteng, “kami akan berangkat secepat mungkin, bahkan hari ini, asal dengan syarat tadi terpenuhi. Bagaimana?”

   Iason mengangguk, lalu memanggil seorang pengantar pesan yang gesit dan menyampaikan pesan singkatnya. Lima menit berselang, sang pengantar pesan datang dengan pias pucat di wajahnya, juga dengan dua orang yang tampak tak asing. Satu pria tua bertongkat dan satunya ksatria berzirah perak. Medraut dan Marlin sudah datang dan bersiap. Keduanya menunduk, lalu angkat bicara setelah Iason menyuruhnya, “maafkan kami, Master Argonauts, namun seperti yang Anda tahu, Lady Morgana tak semudah itu untuk dibujuk. Tapi Anda jangan kecewa, masih ada kami yang bisa menggantikan perannya,” Marlin melirik Eias dengan mata iblisnya, tajam dan dingin, tidak cocok sekali dengan kerutan wajah tuanya, “aku rasa Anda tidak keberatan, Kapiten Eias?”

   Dengan balasan berupa senyum picik, Eias menambahinya, “tidak apa. Kalau begitu aku akan tetap di sini dan hanya mengirim dua abdi kepercayaanku. Ada beberapa hal yang harus kukerjakan di sini dan tentunya membuatku penasaran. Bagaimana, Master Argonauts?”

   Iason menyikut Sofia, ia akan setuju ketika Sofia berkata serupa. Sofia mengangguk, “baiklah, aku juga akan mengirim dua orang kepercayaanku. Dengan ini, ada enam personil yang akan berangkat. Aku akan menyiapkan akomodasi, paling cepat esok pagi, ketika fajar terbit. Semuanya mengerti?”

   Semua orang setuju. “Baiklah, aku mohon undur dulu,” Eias berdiri lantas pergi bersama sang serdadu. Keduanya menghilang tanpa mengucapkan salam, terlihat sekali bahwa keduanya sedang terburu-buru akan suatu hal. Saat melangkah di koridor yang sepi, keduanya berbisik satu sama lain, bertukar informasi hanya dengan gerakan tangan, desahan, atau gerungan yang aneh. Jika seseorang dengan tangkas menguntit mereka, maka dapat dipastikan sang penguntit tahu bahwa keduanya berpisah di ujung koridor lain. Gawain berbelok ke arah asrama sementara Petra menggeluyur pulang bersama Tigra Lily yang sedari tadi menunggu di gerbang dengan kereta kuda.

   Hanya ada satu hal alasan Gawain ia kembali ke kamar Florence di asrama akademi. Dengan langkah yang terendap dan halus, ia masuk tanpa mengundang sepasang mata pun. Meski zirah beratnya mengganggu, tapi ia berhasil sampai ke kamar Florence di lantai tiga. Tanpa kunci, ia merusak selot dan mekanisme kunci dengan gerakan cepat, membuat gerigi tua tanpa pelumas rusak. Ketika ia masuk, kamar itu masih sama seperti sedia kala, hanya berdebu di seluruh tempatnya. Gawain mengenyahkan pikiran melankolisnya, lalu berjalan dengan teguh ke ranjang dan menggesernya perlahan. Tepat di bawah ranjang Florence, ada sebuah pintu rahasia dari papan kayu. Tersembunyi oleh tebalnya debu juga mantra segel yang rumit.

   Jemari Gawain bergetaran. Bukan karena ia takut untuk membukanya, tapi pikirannya kepada Florence mengganggunya. Ia tahu apa yang tersimpan di sana; beragam alat sihir temuan Florence yang mungkin dapat menjadi terobosan baru dalam dunia sihir. Masih berupa purwarupa yang belum sempurna, tapi ia dapat menangkap beberapa fungsi yang dimaksud Florence.

   Ada satu kotak kayu coklat dengan interior elegan berwarna merah darah dari kain tunik yang disulam indah. Di sana, ada sepasang gelang dengan zamrud sebagai mata utamanya. Itu perhiasan mahal hasil tabungan Florence selama dua tahun penuh, dibeli hanya untuk koleksi semata atau sebagai alat percobaan. Seperti yang Gawain tahu, di bagian dalam gelang emas putih itu terdapat sebuah torehan rune yang sayangnya belum lengkap.

   Terobosan Florence adalah dengan membuat sebuah alat komunikasi dua arah, prinsip yang sama persis dengan Jurnal Gawain bedanya gelang itu menggunakan suara, bukan tulisan. Alat komunikasi yang efektif jika sedang bertempur. Gawain mengambil dua gelang itu, memasukkan kotaknya kembali ke pintu rahasia dan memilih menguburnya bersama purwarupa lain yang brilian. Ia mengatur kembali tata letak ruangan itu, mengganjal pintu dari dalam agar tak bisa dibuka, dan keluar melalui jendela.

   Bagai kucing, ia mendarat di semak tanpa suara yang berarti, lantas berjalan santai keluar tanpa menarik perhatian. Setelah cukup jauh dan merasa tak diawasi, ia masuk ke sebuah kedai di gang sempit, masuk ke ruangan tersembunyi dan duduk di hadapan istrinya yang sedari tadi menunggu. “Rencana kedua, kita yang akan berangkat, Abi.” Gawain mengeluarkan sepasang gelang dan jurnalnya, mulai mengidentifikasi informasi yang tersemat dalam buku jurnal seperti rune yang ditulis hingga prinsip komunikasi dua arah itu muncul.

   Jurnal ayahnya itu amat usang, sama seperti rune yang tersembunyi di dalamnya. Abi kini menyibukkan diri menyiapkan perbekalan yang disediakan di kedai remang-remang itu sesuai dengan apa yang Gawain intruksikan sebelumnya. Karena kali ini Gawain menyamar sebagai serdadu berzirah besi ringan, ia sudah menyiapkan perisai dan pedang berat, berbeda betul dengan cara biasa ia bertempur. Tapi di situlah letak jaminannya, ia tak mau kelengahan sedikit dapat membunuhnya langsung.

   Hampir sudah seminggu ia menjejakkan kaki di Unomi, tapi tetap saja tidak ada pergerakan dari Necromancer. Jika boleh dikata, tingkat intelek Necromancer hampir sama seperti dengan Gawain atau bahkan melebihinya. Akibatnya, ia selalu membagi kelompoknya menjadi dua bagian, satu untuk mengawasi Hyulida dan mengumpulkan informasi, dan satunya untuk memburu. Karena kali ini Gawain dan Abi bertugas berburu, maka Lily dan Petra lah yang mengumpulkan informasi, entah bagaimanapun caranya.

   Lima belas menit berlalu hening, Abi masih menyibukkan diri dengan memoles pedang dan panah, sementara Gawain mulai mengukir hasil modifikasi rune di gelang. Dengan detail yang amat cemerlang, ia berhasil membuat alat sihir untuk berkomunikasi dua arah. Florence sudah memperingatkan bahwa alat sihir itu tak mungkin sempurna, masih ada batasan-batasan lain yang harus dibenahi, tapi Gawain rasa purwarupa itu sudah lebih dari cukup.

   Gawain melempar gelang itu, Abi yang cekatan menangkapnya. “Tekan permatanya dan alat ini akan aktif, cobalah berbicara dari sana.” Abi menurut dan melakukan persis seperti yang Gawain suruh.

   Suara manis Abi terdengar lirih di telinga Gawain. Ia merasa separuh senang juga sedih, andaikata ia bisa memberinya sebagai hadiah kepada sang istri, bukan sang kolega. “Baiklah, alat ini berhasil. Sekarang,” Gawain berdiri dan memberikan selembar kertas berisikan puluhan bahan ramuan lengkap dengan takarannya. “Cari semua bahan ini, aku akan membuat persediaan ramuan. Akan buruk bila salah seorang dari kita sekarat atau bahkan mati.”

   Tanpa banyak tanya, Abi keluar melalui pintu belakang, hilang di tengah kepadatan pagi hari.

   Sambil menunggu, Gawain mulai mengisi jurnalnya. Banyak hal yang terjadi dan ia belum sempat untuk menulis. Perjalanan kali ini tentu akan memaksanya untuk menggunakan kekuatan yang besar, dan seperti yang ia tahu, sepersekian ingatannya akan hilang. Ia takut akan itu. Ia takut akan lupa nama kawannya juga kenangan yang tersemat pada mereka, terutama Abi dan Florence. Apa ia akan lupa?

   “Tidak ada gunanya khawatir pada masa depan yang masih belum pasti, Master,” sergah Florence yang berhasil menghapus keraguan Gawain. “Kita akan membentuknya, percayalah padaku, Master.

   “Kau tahu, Florence, aku sudah memikirkan kalimat-kalimat terakhirku kepada yang lain.” Gawain mengeluh, namun tangannya mampu bergerak luwes menoreh tinta hitam. Tiap pengalaman yang ia ingat mulai tumpah, juga perasaannya.

   Dengan detail yang tak tanggung-tanggung, ia akhirnya larut hingga sore hari. Di ruangan tanpa ventilasi yang cukup itu, waktu bertindak secepat kilat. Andai saja Abi tak kembali dan mengetuk, mungkin saja Gawain terus mengembangkan ceritanya hingga tak berujung. Ia berdiri di daun pintu, membawa dua kantong penuh bahan ramuan yang masih mentah dan menunggu diolah. Gawain lekas membantunya, menaruhnya di meja utama yang entah sejak kapan sudah tersedia berbagai peralatan meramu. “Bahkan kedai ini lebih lengkap daripada rumahku... mengherankan sekali,” canda Gawain untuk mencairkan suasana.

   Keduanya mulai bekerja meramu obat-obatan dan racun. Setidaknya ada lima botol ramuan obat yang mampu menyembuhkan luka, juga selusin botol racun mematikan yang bahkan dapat membunuh seekor gajah dalam hitungan menit. Mereka selesai pada tengah malam—mereka tahu dari senyap dan dinginnya malam yang menembus tipisnya dinding. Setelah semua selesai, mereka memasukkannya ke kantong dan tas-tas untuk keberangkatan besok. Untuk pertama kalinya, Abi memilih tidur terlebih dahulu. Dengan tubuh kecilnya, ia meringkuk di pojokkan, tidur dengan duduk dan bersandar di dinding serta hanya berbekal jubah petualang untuk membungkus tubuhnya dari angin malam yang menusuk hingga ke rusuk jiwa.

   Baru saat itulah, Gawain menyadari bahwa jarak antara dirinya dan sang istri semakin jauh.

                                                                                                             ***

Enam kuda meringkik malas keluar dari kandang dengan ditarik oleh enam pengurusnya. Anak-anak kuda tampak keberatan melihat induknya keluar yang kelak nantinya menerjang angin pagi yang berembun demi mengemban tugas. Sinar mata hitam bulat mereka benar-benar menunjukkan keberatan hati, tapi seorang pria tua yang paling senior sebagai pengurus kuda berhasil menghasut mereka untuk kembali ke kandang, mengelus kepala hingga ke punggung dan membisikinya dengan harapan bahwa semua induk mereka akan kembali. Tentu saja ini kebohongan belaka.

   Tiap kuda sudah ditunggu penunggangnya. Keenam pemburu, lengkap dengan ciri khas masing-masing. Ada dua tiga orang ksatria, satu adalah Panther, satunya Merdraud, dan satunya adalah Sang Serdadu. Sementara tiga orang yang lain adalah pertahanan garis belakang. Marlin sebagai penyihir, Abi sebagai pengawas dan pemanah, sementara Felice sebagai pertahanan tengah karena kelincahannya.

   Ketiganya berbincang, apalagi fakta bahwa Abi adalah Si Pembawa Lentera yang disegani di Antarie membuat suasana baru di antara mereka. Abi hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, seraya berbisik, “masih ada orang yang jauh lebih kuat di luar sana.”

   Abi memang tidak kuat secara fisik jika dibandingkan dengan Gawain. Tapi kekuatannya sebagai Penyihir Abadi membuat Gawain tak pernah menang melawannya bahkan dalam pertarungan jarak dekat. Benar apa yang dikatakan Urs, Abi memiliki kemampuan yang amat cocok sebagai seorang pembunuh, yaitu kemampuan manipulasi waktu, membuatnya seolah-olah ia lenyap dalam sepersekian momen.

   Memang hanya tiga detik batas kemampuannya, tapi itu cukup banyak dalam suatu pertarungan! Dalam tiga detik itu, Abi mampu mengalterasi aliran waktu menjadi lebih lambat atau lebih cepat sesuai dengan kehendaknya. Jika pergerakannya terlalu cepat, maka seolah-olah Abi akan tampak lenyap di semua mata orang, lalu tiba-tiba muncul di balik punggung musuhnya dan menusuk dari belakang. Apalagi dengan tubuh kecilnya, ia mampu menunduk dan hilang di titik lenyap pandangan, memberi serangan kejutan.

   Begitu juga dengan panahnya yang mampu melesat cepat dikarenakan aliran waktu yang berbeda dengan aliran sebenarnya, membuatnya tampak benar-benar secepat kilat. Gawain memang tak pernah belajar hukum metafisika yang masih misteri di kalangan para sarjana, tapi ia tahu bahwa ruang dan waktu adalah dimensi yang rumit, dan itulah kekuatan Abi. Kekuatannya adalah kunci kemenangan.

   “Contohnya saja serdadu itu,” tunjuk Abi dengan jemari telunjuknya, “meski dia bertubuh kecil untuk ukuran ksatria, tapi dialah yang terkuat di armada. Percayalah.”

   “Ah, rupanya istri Anda bangga dengan kekuatan Anda,” goda Florence.

   “Diamlah,” sergah Gawain yang tak bisa menyembunyikan senyumnya. Bagaimanapun Abi sudah berusaha semampunya untuk mendekatkan diri. Mungkin ia pemalu, Gawain menyadari hal itu, tapi ia tetaplah seorang profesional dalam pekerjaan ini.

   “Tunggu saja, Abi. Iya, tunggu saja,” pikir Gawain. Di dalam drafnya, ia sudah memiliki skenario tersendiri untuk menghindari pertumpahan darah di antara keduanya dengan catatan jika semua hal sebelumnya berjalan mulus sesuai rencana.

   Semua orang sudah menunggangi kuda berpelana. Ketiga Petinggi Asosiasi melihat orang-orang kepercayannya berangkat. Lady Morgana hanya melirik sembari tersenyum, sementara Kapiten Eias dan Sofia berdiri di gerbang, memberi salam perpisahan sebelum keenamnya berangkat menuju misi yang terlihat mustahil. Dengan berbekal darah peri hasil replika yang digarap oleh Morgana, mereka mengemban misi untuk memburu Penyihir Abadi agar enyah dari muka bumi.

   Spekulasi buruk mulai tergambar di pikiran Sofia saat itu. Ia bertanya apakah yang ia lakukan benar? Apakah ia benar-benar menggiring dombanya untuk selamat, bukan ke jurang? Apakah hijau dan gemburnya tanah yang berada setelah pertempuran usai adalah kepalsuan? Ia memiliki firasat buruk, entah dari intuisi atau hanya hasil proyeksi dari suatu fantasi.

   Ia melepas kepergian Panther dan Felice dengan pelukan hangat, “berjanjilah kalian akan pulang dan kembali!” Ketiganya berpelukan, menghangatkan tubuh di pagi buta musim gugur ini.

   Sebaliknya, Kapiten Eias tak melakukan hal sedramatis itu. Dengan garis wajah yang keras, ia hanya berkata, “Gawain, jangan berani kau kembali hanya berupa nama.”

   “Wajahmu tak cocok dengan nada bicaramu, Petra,” Gawain tersenyum dari balik helm besinya. Bisa jadi, ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Petra. Tak ada yang tahu. Mungkin saja ia akan langsung menerima keberadaan Penyihir Abadi yang lain dan berangkat dengan terburu-buru. “Jaga dirimu baik-baik, Kapiten Eias.”

   “Jaga juga dirimu, Gawain. Ah, dan tentu saja istrimu. Aku harap kalian dapat menemui kehidupan  yang damai setelah ini.”

   “Pastinya. Jangan lupa burung Neverland untuk surat, aku pasti membalasnya secepat mungkin, Petra.”

   Gawain percaya pada Petra jika saja Gawain mendapatkan jawaban dari satu pertanyaan akhir dari Petra: mengapa Petra setia padanya? Bukankah kesepakatan di Neverland dulu mengatakan bahwa mereka bekerja sama? Apa yang membuat Petra bertindak seperti ini? Apa ada motif tersembunyi?

   “Gawain, ingatlah suatu hal, kawan. Aku akan mengataknnya karena aku tahu masih ada benih keraguan tumbuh—yang lemah hanya bisa menuruti yang kuat. Dan kau yang terkuat di antara kami, ketahuilah itu.”

   Gawain hanya membalasnya dengan seringai, menyalami Petra dan beranjak pergi tanpa menoleh sedikitpun. Abi yang sedari tadi paling siap sudah menunggu bersama Marlin dan Medraut. Gawain menyusul keduanya, menghentikan kuda di sebelah Marlin dan Medraut. Dengan jabatan tangan yang hangat dan nada suara yang ringan, ia membuka pembicaraan, “salam kenal, Gawain.”

   Medraut memicingkan mata. Gawain yang melihat cara bagaimana Medraut menatapnya mengingatkannya pada seseorang, yaitu ibunya sendiri. Entah mengapa dan bagaimana, mata itu mirip dengan milik Morgause. Menyejukkan, meski irisnya berwarna kuning terang dan terdapat kantung mata gelap yang tampak melingkar, juga kerutan di wajah akibat penuaan dini yang entah sejak kapan terjadi ketika ia masih muda membuatnya tampak lebih tua, walau Gawain tahu betul dari cahaya matanya bahwa usia mereka tidaklah jauh berbeda. Sementara Medraut menampilkan kesan buruk, Marlin tetap berusaha setenang mungkin, malahan ia tersenyum dengan sengiran aneh yang sekaligus memamerkan taring iblisnya. Kesannya manis, pengaruh khas dari darah incubus yang ia warisi dari sang ayah, walau Gawain benar-benar merasa ganjal.

   Beberapa saat kemudian, Medraut menjawab jabatan tangan Gawain dengan tangannya. Saat keduanya bersentuhan, dua telapak tangan kasar itu saling merasa satu sama lain, tahu betul bahwa orang yang mereka hadapi adalah ksatria yang tak pernah lelah mengayunkan pedang. “Medraut, panggil saja begitu.”

   “Ah, Ser Medraut,” potong Panther yang sudah bergabung dengan Felice, “kalau tak salah dengar, Anda adalah pemilik sah dari pedang suci itu, bukan?” Panther melirik pinggang Medraut, berusaha mencocokan rumor yang ia kumpulkan dari berbagai sumber. Dari yang ia dengar, Medraut memiliki sebuah pedang suci pemberian Lady Lake dari tanah Avalon. Nama pedang itu Ekskaliber. Untuk kekuatan, tidak ada yang tahu detailnya. Rumor mengatakan bahwa siapapun pemilik pedang itu, maka ia akan menjadi penguasa atau semacamnya.

   “Separuh benar, separuh salah. Pedang ini kudapat dari mendiang ayahku, beliaulah pemegang sah.” Medraut mengelus pegangan pedang dua tangan itu, lantas menatap jauh ke langit seolah berdoa pada suatu nama. “Mari kita mulai!” teriaknya dengan semangat. Ia segera memacu kuda yang langsung saja menjawab dengan ringkikan. Tanpa disuruh, kuda yang lain ikut berjingkak dengan dua kaki belakangnya, melaju mengikuti Medraut yang sudah sepuluh derap ke depan. Dengan formasi seperti burung utara yang bermigrasi ke selatan—seperti sekumpulan albatros dari pesisir laut dingin utara yang mulai melenguh dan dingin lemas—komplotan itu berangkat.

   Dari kejauhan, semua orang tak bisa berkata apa-apa; memanjatkan doa tanpa suara kepada Dewa dan Dewi. Petra yang merasa selesai urusannya segera kembali ke mansion lalu mulai menyusun rencana. Tigra Lily yang setia menunggu dengan bermain-main bola dari pilinan benang adalah sosok yang pertama kali terlihat di ruang kerjanya. Begitu Petra masuk, sifat kekanakan gadis itu hilang, lalu kembali ke figurnya sebagai pemimpin tertinggi ras Tigra.

   Rencana tahap dua, dimulai.

                                                                                                                        ***

Embun dingin yang terwadah di atas daun adalah pengganti air minum yang murni dan menyegarkan. Begitu kau meminumnya, rasa lelah setelah perjalanan berhari-hari akan terangkat dan menguap. Dan hal ini sudah dibuktikan sendiri oleh Panther dan Felice. Tiap kali mereka meminum satu daun penuh, stamina tubuh mereka terisi kembali. Hal ini terjadi berkat kemampuan bawaan dari darah Half-Beast yang mampu menyerap energi yang tersedia di alam. Dalam kepercayaan para pertapa, tidak mungkin seseorang menyerap energi alam murni. Untuk menyerapnya, mereka perlu sebuah pengantar atau media, dan embun adalah media terbaik menurut para pertapa.

   Alhasil, Gawain tak pernah mendapati Panther atau Felice memejamkan mata di sisa perjalanan yang memakan waktu hampir tiga minggu itu. Hal yang sama juga ia saksikan di istrinya, yang memang dari darah abadinya tak bisa pernah tidur lelap; selalu takut akan kematian yang sejatinya hanya sedekat urat leher. Si tua Marlin juga sama, darah setengah iblisnya malah membuatnya menjadi penghuni malam, sementara darah manusianya tetap membuatnya bangun selama matahari masih di atas cakrawala. Seperti sebuah tombol, di mana ia bisa mengganti sesuka hati mengganti sifat dominansi darahnya. Sementara Medraut yang hanya manusia hanya bisa mengikuti saja, begitulah ia mendapat dua kacamata hitam di kulitnya yang separuh pucat.

   Gawain tentu saja merasa kelelahan. Tapi ia punya Florence. Jadi ketika tubuhnya sudah tak kuasa, Florence akan langsung mengambil alih dan membiarkan Gawain tidur dengan damai di alam bawah sadarnya. Tiap kali mereka bertukar, Florence hanya bisa pasrah, pasalnya ia tak terbiasa dengan tubuh pria milik Gawain dan juga gaya bertarung dengan menggunakan pedang berat. Ketika menemui Tyran, ia tak perlu melakukan apapun. Biasanya, Tyran itu akan tewas tercacah langsung oleh pedang Panther yang cepat.

   Satu hari sebelum mereka sampai di Antarie, semua orang memilih untuk beristirahat di salah satu pos bekas pertahanan melawan penyihir abadi tiga dekade lalu. Dengan unggun yang mengusir bayangan gelap nan jatuh dan tertempel di lanskap hutan, juga ditemani harumnya daging rusa panggang buruan yang telah dilumuri rempah-rempah dan minyak racikan Gawain. Harumnya seperti madu manis, agaknya aneh mengingat daging rusa renyah. Tapi rasa lapar membuat lidah menjadi mati rasa dan tak mau pandang bulu. Apapun itu, selama bisa mengenyangkan—bahkan batu sekalipun.

   “Maaf aku punya pandangan buruk padamu, kawan.” Tukas Panther tiba-tiba pada Gawain. “Mari kuluruskan satu hal sebelum kita maju ke medan perang, kawan. Majikanku adalah tipe orang yang sulit untuk percaya, apalagi semenjak kematian Master Lothius. Dia dengan hati-hati sekali memilah orang-orang kepercayaannya dan menyaring serta menyimpulkan sendiri puluhan rumor untuk menemukan fakta yang tepat. Dan kau,” ucapnya berat, “kau orang hilang di matanya.”

   “Hilang?”

   “Dalam artian lain, tak ada informasi tentangmu, kaptenmu, atau gadis Tigra temanmu itu. Yang kami dengar hanya dia,” telunjuknya mengarah ke Abi yang kini duduk di ranting sambil mengawasi, “hanya dia. Itupun sedikit.”

   “Ah. Aku hanya orang biasa, kawan. Wajar saja orang biasa sepertiku ini tak terdengar.” Meski Gawain memberi nama panggilannya, tapi ia tetap harus berhati-hati. Pengalamannya bertemu dengan penduduk Neverland yang mampu mengendus bau jiwanya sudah cukup memberikan kesan buruk. Dibalik helm besinya, Gawain mawas melihat tiap gerak-gerik Panther, takut betul bahwa identitasnya bisa terungkap. “Kau bisa percayakan punggungmu padaku.”

   Panther memasang ekspresi lega, meski sejatinya ia tetap menjaga jarak. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Esoknya, mereka sudah sampai di gerbang Antarie. Sama seperti kota dan desa sebelumnya, sepasang penjaga pasti menunggui gerbang. Bedanya, kali ini yang menjaga adalah sepasang pemuda orc. Keduanya kembar. Aneh, jarang sekali melihat ras orc di sebuah kota. Tapi itu wajar, Antarie tidaklah sama seperti dulu, sekarang ia tampak seperti kota mati yang gemerlap kejayaannya sudah musnah hampir setahun lalu.

   Karena tidak ada yang bisa bicara bahasa orc, Gawain turun lantas bicara dengan mereka. “Lewat dapat bukan?”

   “Tentu saja. Kenapa tidak?” jawab seorang dari mereka. Gawain menoleh, lalu memberi tanda agar turun dan melakukan pemeriksaan. Seharusnya sebentar, tapi ketika si kembar melakukan pemeriksaan pada Abi, mereka berhenti tanpa sejenak. Sebuah kata rasanya ingin keluar dari, tapi mereka segera mengurungkan niatan mereka dan membiarkan kelompok itu masuk.

   Satu hal kesan yang tersirat dari Antarie pada semua orang adalah kesunyian. Biasanya, pada pagi seperti ini setidaknya ada selusin pendoa di depan alun-alun, atau pemabuk di gang sempit lengkap dengan wanita sewaannya, atau bahkan burung gereja yang terbang ke sana kemari, hinggap di atap-atap selaiknya pengawas kota yang selalu terjaga di menara dan dinding-dinding kota, sayang keberadaan keduanya tidak ada di Antarie ini. Tidak ada batu lumos atau lampu minyak pun yang tergantung di dinding-dinding bangunan, membuat keadaan gelap semakin merunyamkan suasana, apalagi dengan semilir angin yang masih berhembus.

   Uap air dari tiap hembusan napas terlihat mengepul, juga kuda-kuda dengan napas yang lebih terengah karena kelelahan. Mereka berencana untuk beristirahat satu malam di sini sembari mengisi perbekalan. Jalan menuju Junier tidaklah mudah. Dengan menjual dan menukar barang jarahan di perjalanan sebelumnya disertai sedikit kemampuan tawar menawar, Gawain berhasil mendapatkan lima ribu koin Myriad, jumlah yang cukup untuk sisa perjalanan. Atas saran Gawain, mereka menginap di salah satu penginapan murah. Sesuai bayarannya, mereka tinggal di satu ruangan dengan atap yang bobrok dan bocor dengan lantai yang berlubang, pas sekali dengan gerimis yang tiba-tiba menyergap ketika malam semakin gulita.

   Kali ini Felice dan Panther tidur dengan nyenyak di pojokan. Abi memilih menyendiri di atap dan berbicara dengan peri-peri hujan, meninggalkan Gawain yang juga kelelahan. Di depan unggun hanya ada Merdraut dan Marlin, duduk diam dan membiarkan keadaan tetap seperti itu, bahkan ketika gerimis semakin menderas dan mulai membasahi keduanya tetap tak bergeming.

   Marlin mengucap mantra penangkal tanpa suara, lalu dengan lirih ia mulai bicara, “sudah lama sekali tak bertemu dengan Anda, Master Lothius—ah tidak, Lady Circe.”

   Tidak ada jawaban dari Gawain, tapi Florence langsung saja menjawabnya, “sudah lama juga, Marlin. Kau nampaknya sudah amat tua untuk bertarung.” Florence yang sudah mengendalikan tubuh Gawain bangkit, lalu duduk mendekat ke unggun. Ia melepas helm besi yang selama ini menyembunyikan wajah Gawain dan menaruhnya di sebelah.

   “Aku memang tua, tapi pengaruh tanah Avalon tetap membuatku hidup, Circe.”

   “Kau seharusnya mati saja,” balas Circe dengan seringai canda. Berbeda dengan Gawain yang seringainya tajam dan menakutkan, seringai Circe membawa pengaruh yang berbeda. Sorot matanya juga berbeda, terasa ada hal lain yang terpancar dari sosok Gawain.

   Medraut yang sedari tadi diam kini berlutut dan menunduk dalam, “terima kasih telah menjaga ibu hingga akhir hayatnya, juga kedua saudaraku dan tentunya ayah—”

   “Sudah menjadi tugasku, Medraut. Bahkan tanpa kau suruh, Master Lothius dan aku sudah terikat kontrak semacam itu.” Florence melempar sebuah cairan serupa lilin dari salah satu botol milik Gawain ke atas. Dengan kendali tangan, cairan lilin itu segera menutup lubang. Keadaan makin remang karena cahaya bulan tertutup, tapi ketiganya sudah terbiasa. “Sangat disayangkan sekali karena kau jauh dari Morgause.”

   “Mau bagaimana lagi, Lady Circe? Master Lothius tak mau menerimaku—menerima anak haram.”

   “Master Lothius tetap saja seorang manusia, Medraut.”

   “Dan ini semua salah Arthur,” desah Marlin. “Andai saja ia tetap setia dengan istrinya, maka Medraut tak menerima takdir semacam ini.”

   Ketiganya mendesah, tak ada yang bisa dilakukan terhadap masa lalu yang telah terlampaui. Florence ingin saja mengajak Gawain untuk bicara mengenai hal ini, tapi ia tahu bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat. Bagaimana kesan Gawain terhadap Morgausse bila terbukti bahwa ibunya sendiri memiliki anak haram? Beruntungnya, Lothius juga tak pernah mencatat hal semacam itu di Jurnal, ia ingin melupakannya secepat mungkin dengan giat meminta kekuatan Circe, tapi tetap saja Circe mengingat semua kenangan itu.

   “Omong-omong, aku dengar Arhur mati. Bagaimana detik-detik akhirnya?” tanya Florence penasaran.

   Raut wajah Medraut dan Marlin langsung terlipat. Terlihat betul bahwa mereka enggan membahasnya, tapi setelah diam beberapa saat, keduanya setuju untuk mulai bercerita. “Dia menjadi gila,” bisik Marlin dengan membungkuk.

   “Gila? Gila dalam artian apa?”

   “Bersumpahlah bahwa Anda tidak membeberkannya di tempat lain,” Marlin menarik napas, ia tampak panik karena suatu hal, “aku tidak tahu, tapi ia menjadi sosok terkutuk. Pertama-tama, tatapannya kosong, lalu cara bicaranya aneh, dilanjutkan dengan tingkah laku dan sebagainya! Tahu-tahu, ia telah berubah menjadi Tyran!”

   “Tunggu dulu! Bagaimana bisa?”

   “Kabar bahwa permainan Penyihir Abadi sampai di telinga paduka, dan dia terobsesi betul dengan hadiah kemenangan yang dijanjikan. Dengan keterbatasannya sebagai manusia, ia mampu dan berhasil membujuk dan mengalahkan satu dari sepuluh Penyihir Abadi. Bayaarnnya? Ah, aku rasa bayaran atas kewarasannya sudah cukup murah!”

“Ia dikutuk?” tanya Florence makin penasaran.

   “Mungkin. Ia dikutuk oleh Lady of Lake karena meminta kekuatan yang seharusnya tak ia tanggung oleh jiwanya sendiri. Cukup beruntung ia masih hidup tanpa melihat neraka dengan mata kepalanya sendiri; tentu saja, karena dialah neraka yang dimaksud!” Marlin mulai gemetar dan gelagapan, keringat dingin mulai terkucur dari keningnya, meski begitu ia masih mau melanjutkan cerita, “dan kami, para Ksatria Meja Bundar hanya bisa tunduk pada perintah sang Raja, hingga Lady Morgana bertindak.”

   Dari informasi yang didapat, Florence sudah dapat menerka bagaimana yang terjadi. Rumor tentang Lady Morgana merebut takhta kekuasaan dari saudaranya sendiri terbukti benar, juga lengkap dengan alasan yang terselubung di dalamnya. “Jadi alasan mengapa kalian tak terdengar berita, bahkan angin tak mampu menerka keberadaan kalian adalah...”

   “Iya, Anda benar, Camlot telah lama musnah.”

   “Sejak kapan dan di mana kalian saat itu?”

   “Sepuluh tahun yang lalu,” kini Medraut yang menjawab, “kala itu aku sudah cukup kuat untuk mengayun pedangku sendiri dan berpikir bahwa apa yang sejatinya dilakukan ayah hanyalah ambisi buta belaka. Demi kehormatannya sebagai Ksatria, seseorang harus mengakhirinya, dan aku rasa diriku cukup untuk mengemban tugas dan dosa semacam itu. Setelahnya, kami hilang dan menghablur di dunia yang tampaknya tak berujung ini mulai dari pergi ke Benua Astralis di Selatan, atau ke pedalaman suku Aboriga dengan etnik yang tak terkira, hingga menjejakkan kaki kami di Avalon.”

   “Avalon? Tanah di mana para peziarah berakhir? Kenapa kalian keluar?”

   “Untuk menghentikan tragedi serupa.” Marlin berdiri dan berjalan menjauh dari unggun. Hujan tampak mereda di luar sana, itu berarti Peri Hujan akan pergi dan Abi akan kembali, “aku memang tak mengenal Gawain, tapi aku mengenal Lothius. Dia pria yang baik, dan sangat disayangkan sekali bahwa niatannya harus terhenti karena takdir keji yang menyusulnya.” Ia memandang Gawain dengan mata penuh keraguan, “apakah ia bisa dipercaya?”

   “Tentu saja. Anggap saja ia sebagai Lothius, namun lebih muda dan cerdik.” Florence berdiri membawa serta Gawain dan meringkuk kembali ke tempat asalnya. Cukup dengan menggunakan selembar kain, ia merebahkan diri di pojokan. Tanpa pengganjal kepala kecuali batu halus yang telah diasah, ia memejamkan mata dan tenggelam ke mimpi.

   Setelah semuanya benar-benar hening, Marlin bertanya, “bagaimana pendapatmu tentang saudaramu ini, Medraut?”

   Medraut hanya tersenyum, “mungkin dia lebih layak mendapatkan pedang ini daripada diriku.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
EDEN dan Sepatu Tuhan
758      552     4     
Short Story
Cerpen ini merupakan sebuah cerita pendek tentang jerih payah seseorang yang bernama Eden untuk mendapatkan secuil Impian dalam menuntut Ilmu. Dia terus berusaha sampai pada titik kulminasi. Dengan pengalaman yang unik yang dilaluinya melalui \"sepatu Tuhan\" akhirnya dia bisa mendapatkannya. Dan sekarang dia akan menjalani perjalanan hidupnya dengan Rahmat Tuhannya.
Noterratus
2556      1040     4     
Mystery
Azalea menemukan seluruh warga sekolahnya membeku di acara pesta. Semua orang tidak bergerak di tempatnya, kecuali satu sosok berwarna hitam di tengah-tengah pesta. Azalea menyimpulkan bahwa sosok itu adalah penyebabnya. Sebelum Azalea terlihat oleh sosok itu, dia lebih dulu ditarik oleh temannya. Krissan adalah orang yang sama seperti Azalea. Mereka sama-sama tidak berada pada pesta itu. Berbeka...
selamatkan rahma!
465      319     0     
Short Story
kisah lika liku conta pein dan rahma dan penyelamatan rahma dari musuh pein
Gray November
3759      1296     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
Bee And Friends
3123      1200     1     
Fantasy
Bee, seorang cewek pendiam, cupu, dan kuper. Di kehidupannya, ia kerap diejek oleh saudara-saudaranya. Walau kerap diejek, tetapi ia memiliki dunianya sendiri. Di dunianya, ia suka sekali menulis. Nyatanya, dikala ia sendiri, ia mempunyai seseorang yang dianggap sebagai "Teman Khayalan". Sesosok karakter ciptaannya yang ditulisnya. Teman Khayalannya itulah ia kerap curhat dan mereka kerap meneman...
BATAM HAIL BASKETBALL
11908      2755     52     
Action
Sekuel dari novel ANTOLOGIA (terbitan Intishar ©November 2018) dan ANKLE BREAKER: ORIGIN. ---------------- Aku tidak mengira, kemegahan Batam yang selama ini terbangun, adalah hasil kerja dua tangan yang seharusnya saling melawan, namun saling berjabat tangan demi suatu tujuan. Ada konspirasi antara pemerintah kota dengan Demiro The Forbidden Most Wanted yang mengendalikan sentralisasi berja...
The Final Journey
429      300     5     
Short Story
Will they reached the top of the mountain with Fay's ashes?
Gue Mau Hidup Lagi
434      288     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
Lilliput
412      303     0     
Short Story
Apa Kau percaya lilliput? Mungkin terdengar klasik dan kuno, tapi ketika Aku membuka pintu kamar itu, Aku percaya!
Rain Murder
2548      674     7     
Mystery
Sebuah pembunuhan yang acak setiap hujan datang. Apakah misteri ini bisa diungkapkan? Apa sebabnya ia melakukannya?